Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)
Untuk menjelaskan
basis argumen para ulama Syiah untuk mendukung konsepsi mereka ten tang imamah
dan untuk menunjukkan apa yang dikatakan orang lain mengenai hal ini, menurut
kami tepat kalau menyajikan dengan disertai penjelasan kutipan tulisan Khwaja
Nasiruddin Tusi. Kutipan ini sangat tepat, dan kaum Syiah serta kaum Sunni juga
memberikan komentar mereka tentangnya. Tentu Anda pernah mendengar judul sebuah
buku, “Tajrid", karya Khwaja Nasiruddin. Buku ini sebagian mengenai
logika, dan diberi nama logika Tajrid. Sebagian lagi mengenai teologi ilmiah
dan membahas masalah seperti tauhid, kenabian, imamah, akhirat dan sebagainya.
Nada bagian yang membahas tauhid agak filosofis, karena dalam bagian ini Khwaja
Nasiruddin mengikuti gaya filosof. Ulasan mengenai dua bagian buku ini ditulis
oleh 'Allamah Hilli. Dia bukan saja salah satu mujtahid hebat Syiah, namun juga
salah satu mujtahid hebat Islam. Di bidang logika, teologi ilmiah, filsafat,
matematika dan sebagainya, dia adalah murid Khwaja Nasiruddin. Dia belajar yurisprudensi
dari Muhaqqiq Hilli, penulis "Syaraya", yangjuga salah seorang
mujtahid ternama Syiah. 'Allamah Hilli dan Khwaja Nasiruddin tergolong ulama
yang sangat piawai. Khwaja Nasiruddin juga dianggap sebagai salah seorang ahli
matematika kelas dunia. Baru-baru ini koran pada mengumumkan bahwa beberapa
bagian dari bulan diberi nama dengan nama ahli-ahli matematika Iran tertentu
seperti Umar Khayyam, Ibnu Sina dan Khwaja Nasiruddin, yang berabad-abad lalu
mengajukan beberapa teori yang sangat sahih tentang bulan. Tak diragukan lagi,
'Allamah Hilli jenius di bidangnya, yaitu yurisprudensi. Dia menulis banyak
buku, antara lain buku duajilid berjudul "Tadzkirah al-Fuqaha". Kalau
buku ini ditelaah, akan terlihat betapa ahlinya penulis buku ini.
Muhammad Qazwini
mengetakan bahwa ketika di Teheran dia suka menghadiri kuliah Mirza Asytiyani.
Kemudian ketika ke Eropa, dan bertemu beberapa pakar Eropa yang ahli di bidang
mereka, dia merasa bahwa Mirza Asytiyani adalah seorang spesialis dalam arti
yang sesungguhnya. "Tadzkirah al-Fuqaha" adalah buku yang bukan saja
tentang yurisprudensi Syiah, namun mengenai setiap norma hukum, buku ini juga
menyebutkan pandangan mazhab-mazhab Sunni yang didirikan oleh empat Imam Sunni
seperti Abu Hanifah, Syafi'i, Malik dan Ahmad bin Hanbal, dan juga putusan
mujtahid-mujtahid terkemuka sebehim terbentuknya empat mazhab ini. Kalau
membahas masalah, buku ini mengatakan bahwa Abu Hanifah berkata demikian,
Syafi'i berkata demikian dan kami, kaum Syiah, berpandangan demikian. Terkadang
dia membuktikan kesalahan suatu pendapat. Terkadang, misal, dia mengatakan
bahwa Syafi'i mulanya mengatakan begini namun kemudian berubah pendapat
mengatakan begitu.
Syaikh Muhammad Taqi
Qummi suka mengatakan bahwa ketika diputuskan untuk menerbitkan "Tadzkirah",
diundanglah seorang ahli dari setiap mazhab Sunni. Ahli-ahli ini tercengang
ternyata 'Allamah Hilli lebih tahu dibanding mereka tentang ajaran
mazhab-mazhab mereka. Sungguh luar biasa orang semacam 'Allamah Hilli itu!
Dia menyusun sebuah
ulasan mengenai Tajrid. Bagian dari "Tajrid" yang berkenaan dengan
logika dikenal dengan judul "Jauhar an-Nadhid". Buku ini termasuk
yang terbaik mengenai logika. Bagian ilmiah dari buku ini diberi judul
"Kasyf al-Murad" dan sekarang dikenal dengan judul "Syarh al-Tajrid".
Kedua bagian dari ulasan 'Allamah Hilli mengenai Tajrid sangat ringkas. Itulah
sebabnya kedua bagian ini kemudian diulas lagi, dan ditulis catatan penjelas
tentang kedua bagian ini. Barangkali selain "Tajrid" tak ada buku
lagi di dunia Muslim yang begitu menarik perhatian ulama. Buku ini disangkal
oleh sebagian dan didukung oleh sebagian lagi. Tak ada buku lagi yang begitu
banyak ulasan dan catatannya selain buku ini. Alasannya adalah ketika Khwaja
Nasiruddin ingin menguraikan sebuah masalah dari sudut pandang Syiah, dia
membicarakannya secara ringkas saja. Dalam kebanyakan hal, dia membicarakannya
secara ringkas. Dalam kesimpulan buku ini, dia menguraikan masalah Imamah
dengan cara yang diterima oleh semua ulama Syiah, dan karena itu dari uraiannya
itu mudah dimengerti bagaimana pikiran ulama-ulama Syiah tentang pokok masalah
ini.
Saya memiliki ulasan
Mulla Ali Qusychi tentang Tajrid. Mulla All Qusychi adalah seorang ulama Sunni
yang hebat. Tentu saja yang dikemukakannya adalah sudut pandang Sunni, dan
dalam kebanyakan hal dia menyangkal pandangan Khwaja Nasiruddin. Dengan
demikian dalam buku ini pandangan Sunni direfleksikan bersama-sama dengan
pandangan Khwaja yang tentu saja pandangan Syiah.
Definisi Imamah
Yang pertama perlu
disebutkan tentang imamah adalah definisi-nya. Tak ada perselisihan pendapat
mengenai definisi imamah. Dikatakan bahwa Imamah adalah tanggung jawab umum
atas urusan keagamaan dan urusan duniawi. Khwaja Nasiruddin menggunakan
ungkapan ilmiah dan mengatakan bahwa Imam adalah luthf (karunia) Allah. Yang
dimaksudnya adalah seperti kenabian, masalah imamah juga berada di luar
otoritas manusia. Karena itu imam tak dapat dipilih berdasarkan keputusan
manusia. Seperti Nabi saw, imam ditunjuk berdasarkan ketetapan Allah SWT.
Bedanya cuma kalau Nabi berhubungan langsung dengan Allah SWT, imam diangkat
oleh Nabi saw setelah mendapat perintah dari Allah SWT.
Argumen Rasional
Syiah
Dalam kaitan ini
Khwaja Nasiruddin hanya mengemukakan satu kalimat. Namun basis penjelasan
ulama-ulama Syiah sama dengan yang kami sebutkan sebelumnya. Mula-mula mereka
mengemukakan argumen sejarah. Mereka mengatakan jika imamah Imam Ali bin Abi
Thalib as berjalan sebagaimana semestinya, maka imamah imam-imam berikutnya
dapat didasarkan deklarasi imam sebelumnya. Ulama-ulama Syiah mengatakan bahwa
mereka tahu Islam adalah agama terakhir dan tak ada agama lagi setelah Islam.
Islam adalah agama
dan seperangkat aturan hidup yang lengkap. Mereka bertanya apakah sejarah hidup
Nabi saw menunjukkan bahwa Nabi saw cukup sempat untuk menyampaikan semua
ajaran Islam kepada umat pada umumnya. Kalau sejarah Islam dikaji, ternyata
Nabi saw tidak memiliki cukup waktu. Meskipun Nabi saw selalu memanfaatkan
waktu yang ada untuk mengajarkan banyak hal kepada umat, namun kalau diingat
keadaan khusus Nabi saw dan kesibukan Nabi saw di Mekah dan Madinah, tentulah
masa 23 tahun tidaklah cukup bagi Nabi saw untuk menyampaikan semua hukum Islam
kepada semua Muslim. Pada saat yang sama juga mustahil bagi Nabi saw untuk
menyampaikan informasi lengkap mengenai agama yang sempurna ini. Karena itu
pastilah ada satu atau lebih orang dari kalangan sahabat Nabi saw yang
mendapatkan pengetahuan lengkap mengenai Islam dari Nabi saw dan dalam posisi
untuk menjelaskan ajaran Islam sepeninggal Nabi saw dengan cara seperti yang
dilakukan Nabi saw, bedanya hanya Nabi saw menerima wahyu langsung dari Allah
SWT, sedangkan mereka mendapatkan pengetahuan ini melalui Nabi saw.
Ulama Syiah
mengatakan bahwa kaum Sunni tidak mengakui eksistensi seseorang yang menjadi
tempat bertanya tentang masalah-masalah Islam, dan ini berarti kaum Sunni
memandang Islam tidak sempurna. Itulah sebabnya kenapa kaum Sunni meng-gunakan
teori analogi. Menurut kaum Sunni, kalau ada masalah-masalah yang tak ada
ketentuannya dalam sunah, maka alternatifnya adalah membandingkan satu masalah
dengan masalah lainnya, dan dengan bersandar pada kesamaan hipotetis diambil
kesimpulan norma hukum. Tentu saja kaum Syiah tak berpandangan seperti ini.
Imam Ali as, dalam "Nahj al-Balâghah", mencela pandangan seperti ini,
begitu pula imam-imam lainnya.
Imam Ali bin Abi
Thalib as berkata, "Apakah Allah menurunkan sebuah agama yang tidak
lengkap?" (khotbah 18) Apakah diperlukan pertimbangan pribadi untuk
melengkapinya? Semua imam mengatakan bahwa Islam sempurna dan lengkap, dan
karena itu norma hukum tak dapat didasarkan pada pertimbangan pribadi atau
perkiraan.
Dalam al-Kâfî ada
sebuah bab yang berjudul "Tak Ada yang Halal atau Haram kecuali ada
ketentuannya dalam Al-Qur'an dan sunah." Setidak-tidaknya prinsip-prinsip
umum yang meliput setiap norma hukum. Yang harus dilakukan adalah menerapkan
prinsip-prinsip ini pada kasus-kasus tertentu. Itulah yang dimaksud ijtihad
oleh kaum Syiah. Dengan kata lain, dalam Islam hukum yang sifatnya umum
jumlahnya memadai, dan tugas mujtahid hanyalah membuat perinciannya.
Sebaliknya, teori analogi menunjukkan bahwa hukum yang sifatnya umum jumlahnya
tidak memadai sehingga perlu dilakukan pengambilan kesimpulan dengan
berdasarkan hipotesis untuk mendapatkan norma hukum.
Ulama Syiah
mengatakan bahwa baik kaum Syiah maupun kaum Sunni mengakui bahwa selama 23
tahun kenabian, Nabi saw tak dapat menyampaikan kepada umat semua aturan Islam
sekalipun secara umum. Untuk menyempurnakan misinya, Nabi saw memilih
orang-orang tertentu yang suci, dan menyampaikan semua kebenaran Islam kepada
orang pertama di antara orang-orang suci itu, yaitu Imam Ali as. Semua orang
suci ini mampu menjawab pertanyaan yang diajukan. Imam All as sering mengatakan
akan menjawab setiap pertanyaan tentang Islam yang diajukan kepadanya.
Imam Artinya Ahli
Masalah Agama
Masalah ini akan
dijelaskan dengan bahasa modern. Ulama Syiah mengatakan bahwa mereka yang
menafikan eksistensi para imam beserta semua sifat khasnya sesungguhnya
menganggap remeh Islam. Bila perlengkapan teknis dikirimkan ke suatu tempat,
selalu disertai ahlinya. Bila negara seperti Amerika atau Rusia mengirimkan
peralatan teknis seperti pesawat phantom atau tempur ke sebuah negara yang
belum banyak tahu tentang peralatan ini, maka pengirimannya disertai beberapa
ahlinya. Tentu saja kalau untuk peralatan teknis sederhana seperti tekstil,
tidak perlu disertai beberapa ahli. Sekarang bagaimana pendapat Anda tentang
Islam yang dari Allah SWT? Apakah Anda menganggapnya sebagai sesuatu yang
sederhana sehingga tak dibutuhkan beberapa ahli, atau menganggapnya sebagai
perlengkapan yang kompleks yang selalu perlu disertai ahli-ahli teknis yang
akan melatih orang-orang yang akan menerima perlengkapan itu sampai benar-benar
tahu perlengkapan itu.
Imam artinya adalah
ahli urusan agama—benar-benar ahli yang tak akan pernah keliru dan salah. Nabi
saw membawa Islam untuk umat manusia. Setidak-tidaknya untuk beberapa waktu
perlu kehadiran ahli-ahli agama di tengah-tengah umat manusia agar umat manusia
tahu tentang Islam. Nabi saw menunjuk seorang yang kompeten untuk mengemban
tanggung jawab ini. Ulama Syiah menyebut penunjukan ini karunia (luthf) Allah
SWT, karena besar manfaatnya bagi umat manusia. Karena manusia haras ber-jalan
menuju Allah SWT, maka kebajikan-Nya menuntut-Nya untuk menunjukkan karunia-Nya
kepada manusia. Karena kenabian adalah karunia Allah SWT, imamah pun juga
merupakan karunia Allah SWT. Ini dapat disebut hujah rasional imamah, sebuah
prinsip pokok Syiah.
Maksum
Di sini muncul soal
kemaksuman. Syiah percaya bahwa imam adalah penjaga dan pelindung hukum Islam.
Melalui imam sajalah orang dapat tahu tentang Islam.[1] Syiah percaya bahwa imam,
seperti Nabi saw: maksum. Kemaksumannya tak dapat dipungkiri. Jika kita tahu
pasti Nabi saw mengemukakan pernyataan tertentu, kita tak mungkin meragukan
kebenaran pernyataannya. Kita tak pernah dapat mengatakan bahwa Nabi saw telah
berbuat keliru. Tak bisa dibayangkan kalau seseorang yang diutus oleh Allah SWT
untuk membimbing umat manusia yang membutuhkan bimbingan, berbuat keliru atau
dosa. Nabi saw tak mungkin sengaja tidak menaati Allah SWT. Misal, kalau Allah
SWT menghendaki seorang nabi untuk menyampaikan pesan tertentu kepada umat
manusia, nabi tersebut tak mungkin mengubah pesan itu dengan alasan tidak
sesuai dengan kepentingan pribadinya. Kalau berbuat demikian, berarti tidak
sesuai dengan karakter esensial kenabian itu sendiri. Jika imamah diakui
sebagai sesuatu yang melengkapi kenabian untuk tujuan menjelaskan agama secara
terperinci, maka tentulah eksistensi imam merupakan keharusan, dan tentulah
imam itu maksum seperti nabi. Jika seseorang mengatakan bahwa kemaksuman imam
tidak begitu fundamental, karena kalau imam berbuat keliru, orang lain bisa
memperingatkan imam, maka kami katakan kalau begitu orang lain tersebut juga
membutuhkan orang lain lagi untuk mengawasinya, dan seterusnya. Pada akhirnya
kita tentu butuh seorang pelindung hukum Islam yang maksum. Lagi pula, kalau
imam berbuat salah, maka umat berkewajiban meluruskannya, padahal kewajiban
umat adalah mengikuti imam, bukan membimbingnya. Dua hal ini saling
bertentangan.
Ditunjuk oleh Allah
Dari soal maksum
muncul soal penunjukan oleh Allah SWT. Ulama Syiah mengatakan bahwa imamah
adalah karunia Allah SWT. Dengan begitu, imamah harus ada. Karena karunia ini
mengharuskan kemaksuman, maka imam tentu haruslah maksum, dan karena alasan
inilah maka harus ditunjuk oleh Allah SWT, karena menentukan siapa yang maksum
berada di luar kemampuan manusia. Karena manusia tak dapat memilih nabi, maka
mereka pun tak dapat memilih imam. Karena nabi ditunjuk oleh Allah SWT, maka
imam pun juga ditunjuk oleh Allah SWT. Bedanya cuma kalau nabi dikenali dan
diakui melalui tanda-tanda yang ditunjukkannya dan mukjizat yang
diperlihatkannya, sedangkan imam diperkenalkan oleh nabi. Itulah yang kami
maksud dengan penunjukan. imam ditunjuk oleh nabi, bukan ditunjuk melalui
pilihan umat. Dengan demikian ulama Syiah melangkah dari soal kemaksuman ke
soal penunjukan. Sekarang tahap keempatnya adalah Imamah Ali bin Abi Thalib as.
Khwaja Nasiruddin
mengatakan bahwa kemaksuman dan penunjukan merupakan dua karakter yang hanya
berlaku pada Imam Ali as saja. Tak ada perselisihan pendapat mengenai fakta
bahwa Nabi saw tidak menunjuk orang lain. Sesungguhnya masalahnya adalah apakah
Nabi saw menunjuk atau tidak. Kalau menunjuk, orang yang ditunjuk tak mungkin
lain kecuali Imam Ali bin Abi Thalib as. Yang kami katakan adalah bahwa Nabi
saw harus menunjuk seseorang untuk menjadi imam sepeninggalnya. Kalau demikian,
Nabi saw tak mungkin menunjuk orang lain, karena tak ada kontra klaimnya. Kaum
Sunni menafikan penunjukan. Bahkan para khalifah tidak mengklaim ditunjuk oleh
Nabi saw. Pengikut mereka juga tak mengeluarkan klaim seperti itu. Karena itu
ini bukanlah poin yang dipersoalkan.
Begitu pula dengan
kemaksuman. Para khalifah tidak mengklaim maksum, juga pengikut mereka tidak
mengatakan bahwa khalifah maksum. Para khalifah justru mengakui kalau mereka
berbuat keliru. Seperti sudah dijelaskan, menurut sudut pandang Sunni, soal
imamah sama dengan soal administrasi pemerintahan. Karena itu, menurut mereka,
tak ada kemaksuman. Kaum Sunni percaya, meskipun para khalifah tidak maksum dan
berbuat banyak kekeliruan, namun secara manusiawi mereka tidak tercela dan
layak untuk menjadi imam salat. Kaum Sunni tidak mengklaim posisi khalifah
lebih tinggi dari ini. Menurut mereka, seperti ditegaskan oleh Mullah Ali
Qusychi, Abu Bakar suka mengatakan bahwa terkadang setan menguasai dirinya. Dia
minta supaya orang meluruskannya kalau ternyata dia salah. Banyak kali,
sebagian mengatakan 70 kali, Umar bin Khathab mengaku akan hancur kalau tak
ada Ali bin Abi Thalib. Kaum Syiah dan Sunni sama-sama mengakui bahwa Umar
memang berkata demikian banyak kali. Banyak kali Umar mengeluarkan perintah
yang salah dan Imam Ali as menunjukkan kesalahannya lalu Umar mengakuinya.
Dengan demikian para khalifah tidak pernah mengklaim maksum, begitu pula yang
lainnya.
Jika soal imamah
dilihat dari tingkat tinggi ini, yaitu tingkat karunia Allah SWT, kemaksuman
dan penunjukan oleh Allah SWT, maka yang dapat mengklaim tingkat ini hanyalah
Imam Ali as. Inilah bentuk ilmiah persoalannya, dan kalau begini maka kami
mulai dari atas. Sudah kami katakan bahwa karena kenabian sangat diperlukan dan
sekaligus merupakan karunia Allah SWT, maka begitu pula imamah. Sekarang kita
lihat apakah dalam praktik aktual juga begitu, dan apakah Nabi saw menunjuk
Imam Ali as atau tidak. Untuk itu rnari kita lihat buku-buku yang perlu dikaji.
Dalam hubungan ini
ada satu lagi persoalan yang patut disebutkan. Persoalannya adalah kenapa yang
digunakan metode ilmiah, dan kenapa dimulai dari atas. Kenapa bukan dimulai
dari bawah, dan membahas posisinya sebagaimana adanya sesungguhnya? Para teolog
ilmiah memulai dari atas, kemudian berangsur-angsur turun ke posisi sebagaimana
adanya dalam kondisi praktisnya. Namun dalam kasus ini muncul pertanyaan
bagaimana hubungan kita dengan masalah-masalah seperti apakah imamah merupakan
karunia Allah SWT, dan jika demikian, tentu saja imam itu maksum dan ditunjuk.
Ini berarti menetapkan kewajiban atas Allah SWT. Karena itu sebaiknya mengikuti
bagaimana adanya sesungguhnya. Jika ternyata Nabi saw melakukan penunjukan,
maka itu sudah cukup bagi kita. Tidak perlu membuktikan secara rasional bahwa
imamah adalah karunia Allah SWT dan bahwa imam mesti maksum dan ditunjuk. Mari
kita lihat argumen-argumen Syiah dalam kaitan ini. Dalam kaitan dapat dicatat
bahwa kaum Sunni tidak menerima kalau teks-teks seperti itu ada, atau
menafsirkannya lain. Dalam banyak kasus, mereka sama sekali tidak menafikan
riwayat-riwayat itu, meski menganggap riwayat-riwayat itu tidak mutawatir.
Teks Kenabian tentang
Imamah Imam Ali bin Abi Thalib as
Kepada sahabat-sahabatnya
Nabi saw pernah mengatakan: "Salamilah Ali, dan panggillah dia Pemimpin
Kaum Mukmin'." Nabi saw mengucapkan kata-kata ini ketika di Ghadir Khum.
Namun karena satu atau lain hal, periwayatan kalimat ini terlepas dari
peristiwa Ghadir. Menurut kaum Sunni, riwayat ini tidak mutawatir. Namun ulama
Syiah membuktikan bahwa riwayat ini mutawatir. Tajrid tidak memberikan ulasan
lebih lanjut mengenai hadis ini .yang digambarkannya sebagai hadis autentik
meski rantai periwayatannya tidak mutawatir. Mullah Ali Qusychi mengatakan
bahwa hadis ini tidak mutawatir, karena yang mengutipnya hanya sebagian orang,
tidak semua orang. Kitab-kitab seperti "'Abaqat" dan
"al-Ghadir" berupaya membuktikan bahwa semua riwayat yang berkaitan
dengan imamah Imam Ali as adalah mutawatir. Dalam dua kitab ini, khususnya
dalam "al-Ghadir", disebutkan satu per satu periwayat hadis Ghadir
dalam setiap generasi sampai abad ke-14. Disebutkan lebih dari enam puluh
sahabat Nabi saw meriwayatkan hadis ini. Menarik untuk dicatat bahwa semua nama
ini diambil dari kitab-kitab Sunni. Kitab ini juga menyebutkan periwayat hadis
ini dari kalangan tabi'in. Semuanya ini hampir dari abad pertama. Kemudian
disebutkan pula periwayat hadis ini pada setiap generasi dan pada setiap abad.
Kekhasan "al-Ghadir" adalah kitab ini mengutip sumber-sumber yang
memperkuat hadis ini. Sedangkan "'Abaqat" dan kitab-kitab lain hanya
menyebutkan nama orang-orang yang meriwayatkannya pada tiap-tiap masa dan abad.
Para penyair di setiap masa merefleksikan pikiran-pikiran utama yang berkembang
di kalangan umat selama masa itu. Kalau peristiwa Ghadir memang direkayasa pada
abad ke-4, tentu peristiwa ini tak akan disebut-sebut dalam syair-syair gubahan
penyair-penyair abad ke-1, ke-2 dan ke-3. Di setiap abad ternyata masalah
Ghadir menjadi bagian dari literatur abad itu. Dari sudut pandang sejarah, mana
mungkin hadis ini dinafikan? Kita sering mengikuti pakar untuk memastikan
apakah suatu masalah memang ada dalam sejarah. Kalau ternyata banyak pakar di
setiap abad menyebut-nyebut masalah itu, maka pastilah masalah itu memang ada
di masa mereka. Penulis "'Abaqât" mengkhususkan satu kitab penuh
untuk membahas satu hadis dan menelaah secara kritis semua periwayatnya. Kalau
orang melihat luar biasa indahnya karangan bunga yang dirangkainya, maka dia
akan terpana.
Ada hadis lain yang
menyebutkan bahwa Nabi saw berkata kepada Imam Ali as, "Engkau akan
menjadi Khalifah sepeninggalku." Masih ada beberapa hadis lainnya yang
seperti ini. "Sirah Ibn Hisyam" adalah sebuah kitab yang ditulis pada
abad ke-2. Ibn Hisyam sendiri barangkali hidup pada abad ke-3, namun kitab ini
semula ditulis oleh Ibn Ishaq yang hidup pada abad ke-2. Kemudian diikhtisarkan
oleh Ibn Hisyam. Melalui Ibn Hisyam inilah kitab ini sampai ke kita. Kitab ini,
yang dianggap andal oleh kaum Sunni, menceritakan dua peristiwa yang tak
disebut-sebut oleh Tajrid. Karena dua peristiwa ini relevan, maka kami sajikan
kembali di sini.
Peristiwa Hari
Peringatan
Salah satunya
berkaitan dengan Hari Peringatan, sebuah nama yang diambil dari ayat Al-Qur'an
yang turun pada masa awal Islam: Dan berilah peringatan kepada kerabat
terdekatmu. (QS. asy-Syu'arâ`: 214)
Sampat saat itu Nabi
saw belum melakukan dakwah terbuka. Seperti kita tahu, pada saat itu Imam Ali
as masih anak-anak dan tinggal di rumah Nabi saw. Itu sendiri sudah merupakan
suatu peristiwa. Nabi saw meminta Imam Ali as untuk menyiapkan hidangan dan
mengundang makan keturunan Hasyim dan Abdul Muthalib. Imam Ali as menyiapkan
hidangan yang terdiri dari daging dan susu. Seusai tetamu makan, Nabi saw
berkata, "Aku adalah Nabi Allah, yang diutus oleh-Nya sebagai Nabi. Jika
kalian menerima perkataanku, kalian akan bahagia di dunia dan akhirat."
Begitu mendengar kata-kata ini, paman Nabi saw yang bernama Abu Lahab murka dan
mengatakan, "Apakah engkau mengundang kami hanya untuk menyampaikan omong
kosong ini?" Abu Lahab berteriak-teriak sedemikian sehingga pertemuan itu
berakhir dengan kegagalan. Nabi saw meminta Imam Ali as untuk mengatur
pertemuan lagi. Imam Ali as mengatakan bahwa jumlah orang yang hadir dalam
pertemuan kedua ini kurang lebih empat puluh. Nabi saw mengatakan kepada
hadirin, "Barangsiapa di antara kalian yang pertama menerima seruanku,
maka dia akan menjadi wazir dan penerusku." Beberapa kali Nabi saw mengulangi
ucapan ini. Namun tak ada yang memberikan tanggapan. Akhirnya Imam Ali as
bangkit dari duduknya dan menerima seruan Nabi saw. Nabi saw berkata,
"Engkau akan menjadi wazir, penerus dan khalifah sepeninggalku."
Pertemuan Kepala Suku
dengan Nabi
"Sirah Ibn Hisyam"
menyebutkan peristiwa lain yang lebih penting. Ketika Nabi saw masih di Mekah,
kaum Quraisy melarang Nabi saw berdakwah. Situasinya sangat tegang. Namun
selama bulan-bulan suci[2] kaum Quraisy berhenti mengganggu Nabi saw,
setidak-tidaknya gangguan mereka terhadap Nabi saw tidak sampai mencederai
fisik, meskipun selama bulan-bulan ini mereka melarang Nabi saw melakukan
aktivitas yang ada kaitannya dengan dakwah Islam. Namun Nabi saw selalu
memanfaatkan gencatan senjata sementara ini. Nabi saw mengajak berbagai suku
yang berkumpul di Ukaz dan Arafah (orang Arab pra-Islam juga menunaikan haji,
meskipun dengan gaya mereka sendiri) untuk masuk Islam. Ketika Nabi saw
mengadakan kunjungan informal ke berbagai suku, Abu Lahab mengejar Nabi saw,
menentang dan memberikan gambaran yang salah tentang Nabi saw. Kepala satu suku
ini sangat pintar. Dia bicara dengan Nabi saw sebentar, lalu dia berkata kepada
kaumnya, "Seandainya orang ini dari sukuku, tentu dengan bantuannya akan
aku taklukkan semua orang Arab." Maksudnya adalah Nabi saw begitu banyak
kemampuannya, sehingga dengan bantuan Nabi saw semua orang Arab dapat
ditundukkan. Kemudian orang itu berpaling ke Nabi saw dan berkata, "Aku
dan kaumku siap beriman kepada Anda, asalkan Anda mengangkatku atau salah seorang
dari kaumku menjadi penerus Anda." Nabi saw bersabda, "Bukan aku yang
menunjuk siapa penerusku, melainkan Allah SWT." Inilah satu peristiwa yang
disebutkan dalam kitab-kitab Sunni.
Hadis Ghadir Adalah
Hadis yang Mutawatir
Argumen lain Syiah
adalah hadis Ghadir. Khwaja Nasiruddin mengatakan bahwa hadis Ghadir mutawatir.
Mutawatir adalah istilah teknis. Sebuah hadis, kalau tidak mutawatir, ia khabar
wahid. Khobar wahid tidak berarti hadis itu diriwayatkan hanya oleh satu orang
saja. Khabar wahid adalah hadis yang periwayatannya tidak meyakinkan. Tak soal
apakah hadis itu diriwayatkan oleh satu orang atau sepuluh orang. Misal,
seseorang mengatakan mendengar berita dari radio. Anda menganggap dia tidak
dusta, namun Anda masih ingin tahu bagaimana kata orang lain. Jika beritanya
dikuatkan oleh orang lain, Anda jadi sedikit lebih yakin. Bila Anda tahu banyak
orang mengatakan hal yang sama, Anda jadi yakin bahwa tak mungkin semuanya
berkata dusta. Jumlah periwayat hadis mutawatir haruslah sedemikian banyak sehingga
tertutup kemungkinan kalau mereka itu bersekongkol. Dalam contoh di atas
mungkin saja sepuluh orang, bahkan dua ratus orang, bersekongkol untuk
mengatakan bahwa mereka mendengar berita tertentu dari radio. Namun ada
kasus-kasus di mana kemungkinan seperti itu tidak ada. Misal, Anda pergi ke
Amerika Selatan dan bertemu seseorang yang mengatakan bahwa berita tertentu
telah disiarkan oleh radio. Lalu Anda ke Afrika Timur, dan lagi bertemu
beberapa orang memberitakan hal yang sama. Kemudian Anda ke Afrika Barat, dan
berita yang sama ternyata juga disebutkan. Dalam kasus ini tak mungkin Anda
mengatakan bahwa semua orang ini telah bersekongkol untuk berkata dusta. Inilah
yang disebut mutawatir. Kaum Syiah mengklaim bahwa hadis Ghadir diriwayatkan
oleh sedemikian banyak orang sehingga tak mungkin ada persekongkolan. Misal,
dalam kasus hadis Ghadir kita tak dapat mengatakan bahwa empat puluh sahabat
Nabi saw telah bersekongkol untuk berkata dusta, khususnya bila kita tahu bahwa
banyak dari mereka memusuhi Imam Ali as, atau setidak-tidaknya sikap mereka
tidak bersahabat dengan Imam Ali as. Seandainya periwayat-periwayat ini adalah
orang-orang seperti Salman al-Farisi, Abu Dzar dan Miqdad, yang sangat
mencintai dan mengikuti Imam Ali as, maka bisa saja dikatakan jangan-jangan
karena kecintaan yang luar biasa kepada Imam Ali as maka mereka bersekongkol
untuk merekayasa cerita. Orang-orang seperti Qusychi tanpa hujah menganggap
hadis ini khabar wahid. Namun kaum Syiah menekankan bahwa hadis ini mutawatir.
Menurut hadis ini, Nabi saw bersabda kepada audiens, "Bukankah aku lebih
berwenang atas diri kalian ketimbang diri kalian sendiri?"[3] Semuanya
mengatakan, "Betul." Kemudian Nabi saw berkata, "Ali ini adalah
pemimpin bagi orang yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya." Nabi saw
ingin menegaskan bahwa kalau Nabi saw lebih unggul dibanding orang lain maka
begitu juga Ali as.
Hadis lain, yang juga
mutawatir menurut Khwaja Nasiruddin sedangkan Mulla AH Qusychi menganggapnya
khabar wahid meskipun All Qusychi tidak menafikan substansi hadis ini. Hadis
ini mendapat banyak perhatian dari pakar-pakar seperti Mir Hamid Husain,
penulis "'Abaqat", dan 'Allamah Amini, penulis "al-Ghadir".
Mir Hamid Husain meriulis satu buku penuh tentang hadis ini. Hadis ini dikenal
sebagai hadis manzilah. Nabi saw diriwayatkan berkata kepada Imam Ali bin Abi
Thalib as, "Dalam hubungannya dengan aku, engkau posisinya seperti posisi
Harun dalam hubungannya dengan Musa, kecuali bahwa tak ada nabi setelah
aku." Nabi saw berkata demikian ketika hendak memulai operasi Tabuk, bukan
sebuah pertempuran melainkan sebuah kampanye. Kejadiannya setelah Perang
Mu'tah, perang terakhir yang dilakukan orang Arab terhadap orang Rum selama
masa hayat Nabi saw. Perang ini terjadi di timur Madinah. Istanbul
(Konstantinopel) adalah ibukota Ke-kaisaran Rum Timur, Syria juga berada di
bawah kekuasaan Rum (Romawi—peny.). Di sana tengah berlangsung persiapan cepat
untuk menyerang Madinah. Menurut Nabi saw, jalan yang bijaksana adalah
menempatkan pasukan di perbatasan Rum, dan Nabi saw sukses menjalankan misi
itu.[4]
Nabi saw, seperti
kata politisi, ingin memperlihatkan kekuatannya. Kaum Muslim bergerak ke
perbatasan Rum dan kemudian kembali. Dalam ekspedisi ini Nabi saw tidak
menyertakan Imam Ali as. Nabi saw meninggalkan Ali as sebagai pengganti Nabi
saw di Madinah. Ulama Syiah mengatakan bahwa tindakan Nabi saw ini
memperlihatkan bahwa Nabi saw tahu kalau pertempuran tak akan terjadi. Tentu
saja Imam Ali as tak suka kalau dirinya tidak diikut-sertakan. Imam Ali as
berkata kepada Nabi saw, "Mengapa Anda tidak mengajakku? Mengapa Anda
tinggalkan aku di sini bersama kaum wanita dan anak-anak?" Nabi saw
berkata, "Apakah engkau tidak suka kalau posisimu dalam hubungannya
denganku seperti posisi Harun dalam hubungannya dengan Musa, kecuali tak akan
ada nabi setelahku?" Nabi saw bermaksud mengatakan bahwa hubungan Imam Ali
as dengan Nabi saw seperti hubungan Harun as dengan Musa as, kecuali
"kenabian". Sekarang mari kita lihat Al-Qur'an untuk mengetahui
hubungan Harun as dengan Musa as. Kita tahu Al-Qur'an menyebutkan bahwa pada
permulaan misinya, Musa as memohon kepada Allah SWT:
Ya Tuhanku,
lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah
kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah
untukku seorang pembantu (wazir) dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku,
teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku,
supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. (QS.
Thâhâ: 25-34)
Kata "wazir"
berasal dari akar kata "wizr" yang artinya adalah beban atau tanggung
jawab. Wazir adalah orang yang meringankan beban atasannya dan ikut memikul
tanggung jawab atasannya. Kemudian kata ini digunakan dalam pengertian menteri.
Karena itu Nabi Musa as minta kepada Allah SWT untuk menunjuk seseorang yang
akan membantu dan berbagi tugas dengan dirinya. Untuk itu Nabi Musa as
mengusulkan nama Harun as. Dalam Al-Qur'an kita juga mencatat bahwa Nabi Musa
as berkata kepada Nabi Harun as: Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku. (QS.
al-A'râf: 142)
Dengan demikian kita
melihat bahwa, menurut Al-Qur'an, Harun as adalah wazir Musa as, pendukung
utama Musa as, mitra dalam tugas Musa as dan penerus Musa as dalam memimpin
kaumnya. Itulah hubungan antara Nabi Musa as dan Harun as, dan begitu pula
hubungan antara Nabi Muhammad saw dan Imam Ali as. Kalau Nabi saw tidak
mengatakan, "Kecuali tak ada nabi setelah aku," dapat kami katakan
bahwa Nabi saw berpikiran sama, namun ketika Nabi saw meniadakan kenabian, maka
jadi jelas bahwa ada hubungan ini dalam semua bidang lainnya (tentu saja bidang
sosial, bukan fisis). Tampaknya Nabi saw seakan-akan ingin mengatakan kepada
Imam Ali as, "Kedudukanmu dalam hubungannya dengan aku, adalah seperu
kedudukan Harun dalam hubungannya dengan Musa dalam semua bidang yang
ditetapkan oleh Allah SWT."
Jawaban kaum Sunni
terhadap argumen ini adalah mereka akan menerima hadis ini kalau hadis ini
mutawatir, namun sayang hadis ini khabar wahid. Namun seperti sudah dijelaskan
sebelumnya, pakar-pakar seperti Mir Hamid Husain telah membuktikan dalam
kitab-kitab mereka bahwa hadis ini mutawatir.
Pertanyaan dan jawaban
Pertanyaan: Kesan yang didapat
dari pembahasan terdahulu adalah bahwa sampai tingkat tertentu ada batas antara
Imamah dan administrasi pemerintahan. Anda (Ayatullah Muthahhari) mengatakan
bahwa dalam imamah ada tugas-tugas dan fungsi-fungsi tertentu, dan administrasi
pemerintahan hanyalah salah satunya. Namun saya tak tahu tugas-tugas lain yang
tidak menunjukkan administrasi. Pengetahuan kami sejauh ini tentang Islam
menunjukkan bahwa tak ada batas antara dunia dan akhirat, atau antara aktivitas
duniawi dan aktivitas ukhrawi. Perbuatan yang berkaitan dengan akhirat ada
relevansinya dengan kehidupan duniawi, dan perbuatan yang berkaitan dengan
dunia dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan kehidupan sosial dan
untuk membantu mewujudkan sistem pemerintahan yang adil. Kita mencatat bahwa
Al-Qur'an menyebutkan kehidupan orang-orang yang ibadahnya diarahkan untuk
memperbaiki kehidupan duniawi dan untuk menegakkan pemerintahan yang adil
sebagai model. Al-Qur'an memandang jihad sangat penting. Kita mencatat bahwa
semua upaya dan gaya hidup para imam diarahkan untuk mendapatkan kembali hak
mereka untuk memerintah. Dalam hal ini tak ada bedanya antara mereka yang
berjuang terang-terangan dan mereka yang diam-diam berkampanye di penjara atau
di tempat persembunyian. Menurut saya, tak ada tugas lain selain administrasi
pemerintahan yang dapat menjustifikasi lembaga imamah, karena administrasi
pemerintahan sajalah yang dapat menjustifikasi semua aktivitas yang berkaitan
dengan imamah.
Jawaban: Soal batas, hanya
Andalah yang mengangkatnya. Saya tak pernah menggunakan kata ini. Saya kira
tidak tepat kalau menggunakannya. Seperti sudah saya katakan, Syiah percaya
bahwa tingkat imamah lebih tinggi dibanding tingkat pemerintahan, yang hanyalah
satu di antara sekian fungsinya. Fungsi lain yang lebih tinggi tingkatannya
adalah tugas imam untuk menjelaskan Islam dengan terperinci. Selanjutnya, imam
adalah seorang maksum ahlinya hukum agama. Kami katakan bahwa salah satu fungsi
Nabi saw adalah fungsi eksekutif. Namun hak untuk memerintah bukan diberikan
kepadanya oleh umat. Hak tersebut diberikan kepadanya oleh Allah SWT, atas dasar
superioritasnya atas seluruh manusia. Dengan kata lain, Nabi saw menjadi
penguasa karena Nabi saw adalah orang yang dapat menjelaskan secara terperinci
hukum Allah SWT dan memiliki kontak spiritual dengan alam gaib. Saya tak pernah
ingin mengatakan bahwa ada batas antara dunia dan akhirat. Saya juga tak
bermaksud memisahkan fungsi imam dan fungsi penguasa. Saya tidak mengatakan
bahwa imam mengurusi urusan umat yang berhubungan dengan akhirat dan penguasa
mengurusi urusan umat yang berkaitan dengan dunia. Seandainya saya berkata
demikian, maka kritik Anda benar adanya. Syiah memiliki teori. Kalau teori ini
terbukti, maka otomatis selesai sudah soal penguasa.
Kami percaya bahwa
imamah adalah kelanjutan kenabian. Kalau ketika ada Nabi saw, tidak ada soal
berkuasanya orang lain, maka begitu pula kalau ada imam soal seperti ini juga
tidak ada. Soal bentuk pemerintahan dalam arti modern baru muncul ketika imam
dianggap tidak ada atau ketika Imam tengah gaib seperti posisinya di zaman
sekarang ini. Kalau tidak, dengan adanya imam, seperti dipercaya kaum Syiah,
maka posisinya sangat jelas.
Pertanyaan: Menurut kaum Sunni,
dari dua riwayat itu, mana yang khobar wahid, riwayat yang berkaitan dengan
Ghadir Khum atau riwayat yang Anda kutip, yang menurut riwayat itu Nabi saw
bersabda, "Salamilah Ali, dia adalah Amirmu?"
Jawaban: Barangkali kaum Sunni
pun tak mungkin membantah ke-mutawatir-an bagian hadis Ghadir yang mengatakan,
"Ali adalah pemimpin bagi orang yang menjadikan aku pemimpinnya,"
meski Mulla Ali Qusychi mengatakan bahwa bagian ini pun merupakan khabar wahid.
Padahal bagian hadis ini diriwayatkan oleh sedemikian banyak periwayat sehingga
mustahil untuk menafikan hadis ini.[5] Sedemikian banyak orang bahkan
telah meriwayatkan bagian pertama hadis ini yang mengatakan, "Bukankah aku
lebih berwenang atas diri kalian dibanding diri kalian sendiri." Kaum
Syiah percaya bahwa bagian hadis ini juga mutawatir. Namun sejauh menyangkut
hadis lain, "Salamilah Ali, dan sebut dia Pemimpin Kaum Mukmin," kaum
Sunni menganggapnya tidak mutawatir. Barangkali kami juga tak dapat membuktikan
kalau itu mutawatir. Namun, itu tak ada efeknya. Dari sudut pandang kami,
ke-mutawatir-an hadis berikut ini, yang sangat penting, sudah jelas.
Nabi saw bersabda,
"Bukankah aku lebih berwenang atas diri kalian dibanding diri kalian
sendiri?" Orang-orang mengatakan, "Betul." Kemudian Nabi saw
berkata, "Ali ini adalah pemimpin bagi orang yang menjadikan aku sebagai
pemimpinnya. Ya Allah, bersahabatlah dengan orang yang bersahabat dengan Ali,
dan musuhilah orang yang memusuhi Ali."
Lagi pula para ulama
Sunni tidak sependapat mengenai apakah hadis ini mutawatir atau khabar wahid.
Sebagian mengatakan khabar wahid, sebagian mengatakan mutawatir meski
menambahkan bahwa itu tidak berarti apa yang diklaim Syiah. Nabi saw hanya
mengatakan, "Barangsiapa menjadikan aku sahabatnya, maka jadikan juga Ali
sebagai sahabatnya." Kami katakan bahwa tidak dapat diterima akal sehat
kalau Nabi saw mengumpulkan orang di Ghadir Khum hanya untuk meminta mereka
menjadikan Ali sebagai sahabat, khususnya kalau diingat fakta bahwa Nabi saw
juga menambahkan, "Bukankah aku lebih berwenang atas diri kalian dibanding
diri kalian sendiri." Juga dapat dicatat bahwa kata maula tidak digunakan
dalam pengertian sahabat.
Pertanyaan: Apakah ayat
"Hari ini Aku sempurnokan agamamu bagimu dan lengkapkan karunia-Ku
untukmu, dan Aku pilihkan Islam sebagai agamamu," turun setelah peristiwa
Ghadir Khum?
Jawaban: Ayat ini turun di
Ghadir Khum.
Catatan:
[1] Syiah memandang sangat penting aspek religius imamah. Seperti sudah
kami jelaskan, di zaman kita imamah terutama dianggap sama dengan adminislrasi pemerintahan,
namun ini merupakan pikiran yang salah. Imamah terutama merupakan masalah
keagamaan, sedangkan administrasi pemerintahan hanyalah salah satu fungsinya.
Sedikit banyak, imamah dan administrasi pemerintahan adalah dua istilah yang
dalam hal-hal tertentu saling turn pang tindih. Namun pada dasarnya imamah
adalah satu masalah, sedangkan administrasi pemerintahan, kendatipun salah satu
fungsi Imam, adalah masalah lain. Aneh rasanya kalau selama periode gaib kita
bicara tentang administrasi pemerintahan, namun tetap bungkam tentang makna
sejati imamah, yang lidak boleh dianggap sama dengan administrasi pemerintahan.
Menurut terminologi ulama Syiah, imam adalah pemegang otoritas urusan keagamaan
maupun urusan duniawi. Sebagai pemegang otoritas urusan keagamaan, imam
otomatis pemegang otoritas urusan duniawi juga, seperti halnya Nabi saw yang,
karena menjadi pemimpin agama, juga menjadi kepala pemerintahan. Kalau misal
saja tak ada imam, atau misal saja kita tahu bahwa imam sedang gaib, maka dalam
kedua kasus ini berarti tak ada pemimpin agama. Karena itu dalam kasus-kasus
ini tentu saja muncul pertanyaan tentang kepala pemerintahan.
[2] Bulan Zulqaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab adalah bulan-bulan suci.
Selama bulan-bulan ini tidak boleh ada perang dan pembalasan dendam. Selama
bulan-bulan ini semua rule aman, orang dan barang datang dan pergi dengan
lancar. Pekan raya tahunan juga diselenggarakan di sebuah tempat dekat Mekah.
Tempat itu bernama Ukaz.
[3] Nabi saw merujuk ke ayat "Nabi lebih berwenang atas kaum mukmin ketimbang diri
mereka sendiri." (QS. al-Ahzâb: 6) Karena menjadi Nabi Allah, Nabi saw
berwenang atas jiwa, harta dan segala yang menyarigkut umat. Nabi saw lebih
berwenang atas umat dibanding umat itu sendiri. Tentu saja wewenang ini bukan
untuk tujuan pribadinya sendiri. Allah SWT menunjuk Nabi saw sebagai wakil kaum
Muslim, dan dengan begitu Nabi saw berwenang atas jiwa dan harta kaum Muslim
atas nama kaum Muslim sebagai keseluruhan.
[4] Tahun lalu kebetulan kami ke Khaibar. Saat itu kami tak tahu seberapa jauh Khaibar dan
Tabuk dari Madinah kalau langsung melalui Syusa. Jarak seluruhnya ternyata 600
km. Dengan perjalanan di zaman dahulu, jaraknya mungkin lebih jauh. Jarak
antara Madinah dan Khaibar adalah 360 km. Kami sungguh terpana dengan
keberanian dan tekad kaum Muslim yang menempuh jarak yang jauh ini dengan
sarana sederhana yang mereka miliki di zaman itu.
[5] Alasan kenapa diriwayatkan oleh sedemikian banyak periwayat, adalah
pada zaman itu sabda-sabda Nabi saw hanya dihafal, bukan ditulis. Tentu saja hadis-hadis
yang menyebut-nyebut nama Imam Ali as dapat diingat oleh lebih banyak orang
ketimbang hadis-hadis lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar