Label

Studi Umiah Atas Imamah


Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari (‘Ulama, Faqih, dan Filsuf)

Untuk menjelaskan basis argumen para ulama Syiah untuk mendukung konsepsi mereka ten tang imamah dan untuk menunjukkan apa yang dikatakan orang lain mengenai hal ini, menurut kami tepat kalau menyajikan dengan disertai penjelasan kutipan tulisan Khwaja Nasiruddin Tusi. Kutipan ini sangat tepat, dan kaum Syiah serta kaum Sunni juga memberikan komentar mereka tentangnya. Tentu Anda pernah mendengar judul sebuah buku, “Tajrid", karya Khwaja Nasiruddin. Buku ini sebagian mengenai logika, dan diberi nama logika Tajrid. Sebagian lagi mengenai teologi ilmiah dan membahas masalah seperti tauhid, kenabian, imamah, akhirat dan sebagainya. Nada bagian yang membahas tauhid agak filosofis, karena dalam bagian ini Khwaja Nasiruddin mengikuti gaya filosof. Ulasan mengenai dua bagian buku ini ditulis oleh 'Allamah Hilli. Dia bukan saja salah satu mujtahid hebat Syiah, namun juga salah satu mujtahid hebat Islam. Di bidang logika, teologi ilmiah, filsafat, matematika dan sebagainya, dia adalah murid Khwaja Nasiruddin. Dia belajar yurisprudensi dari Muhaqqiq Hilli, penulis "Syaraya", yangjuga salah seorang mujtahid ternama Syiah. 'Allamah Hilli dan Khwaja Nasiruddin tergolong ulama yang sangat piawai. Khwaja Nasiruddin juga dianggap sebagai salah seorang ahli matematika kelas dunia. Baru-baru ini koran pada mengumumkan bahwa beberapa bagian dari bulan diberi nama dengan nama ahli-ahli matematika Iran tertentu seperti Umar Khayyam, Ibnu Sina dan Khwaja Nasiruddin, yang berabad-abad lalu mengajukan beberapa teori yang sangat sahih tentang bulan. Tak diragukan lagi, 'Allamah Hilli jenius di bidangnya, yaitu yurisprudensi. Dia menulis banyak buku, antara lain buku duajilid berjudul "Tadzkirah al-Fuqaha". Kalau buku ini ditelaah, akan terlihat betapa ahlinya penulis buku ini.

Muhammad Qazwini mengetakan bahwa ketika di Teheran dia suka menghadiri kuliah Mirza Asytiyani. Kemudian ketika ke Eropa, dan bertemu beberapa pakar Eropa yang ahli di bidang mereka, dia merasa bahwa Mirza Asytiyani adalah seorang spesialis dalam arti yang sesungguhnya. "Tadzkirah al-Fuqaha" adalah buku yang bukan saja tentang yurisprudensi Syiah, namun mengenai setiap norma hukum, buku ini juga menyebutkan pandangan mazhab-mazhab Sunni yang didirikan oleh empat Imam Sunni seperti Abu Hanifah, Syafi'i, Malik dan Ahmad bin Hanbal, dan juga putusan mujtahid-mujtahid terkemuka sebehim terbentuknya empat mazhab ini. Kalau membahas masalah, buku ini mengatakan bahwa Abu Hanifah berkata demikian, Syafi'i berkata demikian dan kami, kaum Syiah, berpandangan demikian. Terkadang dia membuktikan kesalahan suatu pendapat. Terkadang, misal, dia mengatakan bahwa Syafi'i mulanya mengatakan begini namun kemudian berubah pen­dapat mengatakan begitu.

Syaikh Muhammad Taqi Qummi suka mengatakan bahwa ketika diputuskan untuk menerbitkan "Tadzkirah", diundanglah seorang ahli dari setiap mazhab Sunni. Ahli-ahli ini tercengang ternyata 'Allamah Hilli lebih tahu dibanding mereka tentang ajaran mazhab-mazhab mereka. Sungguh luar biasa orang semacam 'Allamah Hilli itu!

Dia menyusun sebuah ulasan mengenai Tajrid. Bagian dari "Tajrid" yang berkenaan dengan logika dikenal dengan judul "Jauhar an-Nadhid". Buku ini termasuk yang terbaik mengenai logika. Bagian ilmiah dari buku ini diberi judul "Kasyf al-Murad" dan sekarang dikenal dengan judul "Syarh al-Tajrid". Kedua bagian dari ulasan 'Allamah Hilli mengenai Tajrid sangat ringkas. Itulah sebabnya kedua bagian ini kemudian diulas lagi, dan ditulis catatan penjelas tentang kedua bagian ini. Barangkali selain "Tajrid" tak ada buku lagi di dunia Muslim yang begitu menarik perhatian ulama. Buku ini disangkal oleh sebagian dan didukung oleh sebagian lagi. Tak ada buku lagi yang begitu banyak ulasan dan catatannya selain buku ini. Alasannya adalah ketika Khwaja Nasiruddin ingin menguraikan sebuah masalah dari sudut pandang Syiah, dia membicarakannya secara ringkas saja. Dalam kebanyakan hal, dia membicarakannya secara ringkas. Dalam kesimpulan buku ini, dia menguraikan masalah Imamah dengan cara yang diterima oleh semua ulama Syiah, dan karena itu dari uraiannya itu mudah dimengerti bagaimana pikiran ulama-ulama Syiah tentang pokok masalah ini.

Saya memiliki ulasan Mulla Ali Qusychi tentang Tajrid. Mulla All Qusychi adalah seorang ulama Sunni yang hebat. Tentu saja yang dikemukakannya adalah sudut pandang Sunni, dan dalam kebanyakan hal dia menyangkal pandangan Khwaja Nasiruddin. Dengan demikian dalam buku ini pandangan Sunni direfleksikan bersama-sama dengan pandangan Khwaja yang tentu saja pandangan Syiah.

Definisi Imamah

Yang pertama perlu disebutkan tentang imamah adalah definisi-nya. Tak ada perselisihan pendapat mengenai definisi imamah. Dikatakan bahwa Imamah adalah tanggung jawab umum atas urusan keagamaan dan urusan duniawi. Khwaja Nasiruddin menggunakan ungkapan ilmiah dan mengatakan bahwa Imam adalah luthf (karunia) Allah. Yang dimaksudnya adalah seperti kenabian, masalah imamah juga berada di luar otoritas manusia. Karena itu imam tak dapat dipilih berdasarkan keputusan manusia. Seperti Nabi saw, imam ditunjuk berdasarkan ketetapan Allah SWT. Bedanya cuma kalau Nabi berhubungan langsung dengan Allah SWT, imam diangkat oleh Nabi saw setelah mendapat perintah dari Allah SWT.

Argumen Rasional Syiah

Dalam kaitan ini Khwaja Nasiruddin hanya mengemukakan satu kalimat. Namun basis penjelasan ulama-ulama Syiah sama dengan yang kami sebutkan sebelumnya. Mula-mula mereka mengemuka­kan argumen sejarah. Mereka mengatakan jika imamah Imam Ali bin Abi Thalib as berjalan sebagaimana semestinya, maka imamah imam-imam berikutnya dapat didasarkan deklarasi imam sebelum­nya. Ulama-ulama Syiah mengatakan bahwa mereka tahu Islam adalah agama terakhir dan tak ada agama lagi setelah Islam.

Islam adalah agama dan seperangkat aturan hidup yang lengkap. Mereka bertanya apakah sejarah hidup Nabi saw menunjukkan bahwa Nabi saw cukup sempat untuk menyampaikan semua ajaran Islam kepada umat pada umumnya. Kalau sejarah Islam dikaji, ternyata Nabi saw tidak memiliki cukup waktu. Meskipun Nabi saw selalu memanfaatkan waktu yang ada untuk mengajarkan banyak hal kepada umat, namun kalau diingat keadaan khusus Nabi saw dan kesibukan Nabi saw di Mekah dan Madinah, tentulah masa 23 tahun tidaklah cukup bagi Nabi saw untuk menyampaikan semua hukum Islam kepada semua Muslim. Pada saat yang sama juga mustahil bagi Nabi saw untuk menyampaikan informasi lengkap mengenai agama yang sempurna ini. Karena itu pastilah ada satu atau lebih orang dari kalangan sahabat Nabi saw yang mendapatkan pengetahuan lengkap mengenai Islam dari Nabi saw dan dalam posisi untuk menjelaskan ajaran Islam sepeninggal Nabi saw dengan cara seperti yang dilakukan Nabi saw, bedanya hanya Nabi saw menerima wahyu langsung dari Allah SWT, sedangkan mereka mendapatkan pengetahuan ini melalui Nabi saw.

Ulama Syiah mengatakan bahwa kaum Sunni tidak mengakui eksistensi seseorang yang menjadi tempat bertanya tentang masalah-masalah Islam, dan ini berarti kaum Sunni memandang Islam tidak sempurna. Itulah sebabnya kenapa kaum Sunni meng-gunakan teori analogi. Menurut kaum Sunni, kalau ada masalah-masalah yang tak ada ketentuannya dalam sunah, maka alternatifnya adalah membandingkan satu masalah dengan masalah lainnya, dan dengan bersandar pada kesamaan hipotetis diambil kesimpulan norma hukum. Tentu saja kaum Syiah tak berpandangan seperti ini. Imam Ali as, dalam "Nahj al-Balâghah", mencela pandangan seperti ini, begitu pula imam-imam lainnya.

Imam Ali bin Abi Thalib as berkata, "Apakah Allah menurunkan sebuah agama yang tidak lengkap?" (khotbah 18) Apakah diperlukan pertimbangan pribadi untuk melengkapinya? Semua imam mengatakan bahwa Islam sempurna dan lengkap, dan karena itu norma hukum tak dapat didasarkan pada pertimbangan pribadi atau perkiraan.

Dalam al-Kâfî ada sebuah bab yang berjudul "Tak Ada yang Halal atau Haram kecuali ada ketentuannya dalam Al-Qur'an dan sunah." Setidak-tidaknya prinsip-prinsip umum yang meliput setiap norma hukum. Yang harus dilakukan adalah menerapkan prinsip-prinsip ini pada kasus-kasus tertentu. Itulah yang dimaksud ijtihad oleh kaum Syiah. Dengan kata lain, dalam Islam hukum yang sifatnya umum jumlahnya memadai, dan tugas mujtahid hanyalah membuat perinciannya. Sebaliknya, teori analogi menunjukkan bahwa hukum yang sifatnya umum jumlahnya tidak memadai sehingga perlu dilakukan pengambilan kesimpulan dengan berdasarkan hipotesis untuk mendapatkan norma hukum.

Ulama Syiah mengatakan bahwa baik kaum Syiah maupun kaum Sunni mengakui bahwa selama 23 tahun kenabian, Nabi saw tak dapat menyampaikan kepada umat semua aturan Islam sekalipun secara umum. Untuk menyempurnakan misinya, Nabi saw memilih orang-orang tertentu yang suci, dan menyampaikan semua kebenaran Islam kepada orang pertama di antara orang-orang suci itu, yaitu Imam Ali as. Semua orang suci ini mampu menjawab pertanyaan yang diajukan. Imam All as sering mengatakan akan menjawab setiap pertanyaan tentang Islam yang diajukan kepadanya.

Imam Artinya Ahli Masalah Agama

Masalah ini akan dijelaskan dengan bahasa modern. Ulama Syiah mengatakan bahwa mereka yang menafikan eksistensi para imam beserta semua sifat khasnya sesungguhnya menganggap remeh Islam. Bila perlengkapan teknis dikirimkan ke suatu tempat, selalu disertai ahlinya. Bila negara seperti Amerika atau Rusia mengirimkan peralatan teknis seperti pesawat phantom atau tempur ke sebuah negara yang belum banyak tahu tentang peralatan ini, maka pengirimannya disertai beberapa ahlinya. Tentu saja kalau untuk peralatan teknis sederhana seperti tekstil, tidak perlu disertai beberapa ahli. Sekarang bagaimana pendapat Anda tentang Islam yang dari Allah SWT? Apakah Anda menganggapnya sebagai sesuatu yang sederhana sehingga tak dibutuhkan beberapa ahli, atau menganggapnya sebagai perlengkapan yang kompleks yang selalu perlu disertai ahli-ahli teknis yang akan melatih orang-orang yang akan menerima perlengkapan itu sampai benar-benar tahu perlengkapan itu.

Imam artinya adalah ahli urusan agama—benar-benar ahli yang tak akan pernah keliru dan salah. Nabi saw membawa Islam untuk umat manusia. Setidak-tidaknya untuk beberapa waktu perlu kehadiran ahli-ahli agama di tengah-tengah umat manusia agar umat manusia tahu tentang Islam. Nabi saw menunjuk seorang yang kompeten untuk mengemban tanggung jawab ini. Ulama Syiah menyebut penunjukan ini karunia (luthf) Allah SWT, karena besar manfaatnya bagi umat manusia. Karena manusia haras ber-jalan menuju Allah SWT, maka kebajikan-Nya menuntut-Nya untuk menunjukkan karunia-Nya kepada manusia. Karena kenabian adalah karunia Allah SWT, imamah pun juga merupakan karunia Allah SWT. Ini dapat disebut hujah rasional imamah, sebuah prinsip pokok Syiah.

Maksum

Di sini muncul soal kemaksuman. Syiah percaya bahwa imam adalah penjaga dan pelindung hukum Islam. Melalui imam sajalah orang dapat tahu tentang Islam.[1] Syiah percaya bahwa imam, seperti Nabi saw: maksum. Kemaksumannya tak dapat dipungkiri. Jika kita tahu pasti Nabi saw mengemukakan pernyataan tertentu, kita tak mungkin meragukan kebenaran pernyataannya. Kita tak pernah dapat mengatakan bahwa Nabi saw telah berbuat keliru. Tak bisa dibayangkan kalau seseorang yang diutus oleh Allah SWT untuk membimbing umat manusia yang membutuhkan bimbingan, berbuat keliru atau dosa. Nabi saw tak mungkin sengaja tidak menaati Allah SWT. Misal, kalau Allah SWT menghendaki seorang nabi untuk menyampaikan pesan tertentu kepada umat manusia, nabi tersebut tak mungkin mengubah pesan itu dengan alasan tidak sesuai dengan kepentingan pribadinya. Kalau berbuat demikian, berarti tidak sesuai dengan karakter esensial kenabian itu sendiri. Jika imamah diakui sebagai sesuatu yang melengkapi kenabian untuk tujuan menjelaskan agama secara terperinci, maka tentulah eksistensi imam merupakan keharusan, dan tentulah imam itu maksum seperti nabi. Jika seseorang mengatakan bahwa kemaksuman imam tidak begitu fundamental, karena kalau imam berbuat keliru, orang lain bisa memperingatkan imam, maka kami katakan kalau begitu orang lain tersebut juga membutuhkan orang lain lagi untuk mengawasinya, dan seterusnya. Pada akhirnya kita tentu butuh se­orang pelindung hukum Islam yang maksum. Lagi pula, kalau imam berbuat salah, maka umat berkewajiban meluruskannya, padahal kewajiban umat adalah mengikuti imam, bukan membimbingnya. Dua hal ini saling bertentangan.

Ditunjuk oleh Allah

Dari soal maksum muncul soal penunjukan oleh Allah SWT. Ulama Syiah mengatakan bahwa imamah adalah karunia Allah SWT. Dengan begitu, imamah harus ada. Karena karunia ini mengharuskan kemaksuman, maka imam tentu haruslah maksum, dan karena alasan inilah maka harus ditunjuk oleh Allah SWT, karena menentukan siapa yang maksum berada di luar kemampuan manusia. Karena manusia tak dapat memilih nabi, maka mereka pun tak dapat memilih imam. Karena nabi ditunjuk oleh Allah SWT, maka imam pun juga ditunjuk oleh Allah SWT. Bedanya cuma kalau nabi dikenali dan diakui melalui tanda-tanda yang ditunjukkannya dan mukjizat yang diperlihatkannya, sedangkan imam diperkenalkan oleh nabi. Itulah yang kami maksud dengan penunjukan. imam ditunjuk oleh nabi, bukan ditunjuk melalui pilihan umat. Dengan demikian ulama Syiah melangkah dari soal kemaksuman ke soal penunjukan. Sekarang tahap keempatnya adalah Imamah Ali bin Abi Thalib as.

Khwaja Nasiruddin mengatakan bahwa kemaksuman dan penunjukan merupakan dua karakter yang hanya berlaku pada Imam Ali as saja. Tak ada perselisihan pendapat mengenai fakta bahwa Nabi saw tidak menunjuk orang lain. Sesungguhnya masalahnya adalah apakah Nabi saw menunjuk atau tidak. Kalau menunjuk, orang yang ditunjuk tak mungkin lain kecuali Imam Ali bin Abi Thalib as. Yang kami katakan adalah bahwa Nabi saw harus menunjuk seseorang untuk menjadi imam sepeninggalnya. Kalau demikian, Nabi saw tak mungkin menunjuk orang lain, karena tak ada kontra klaimnya. Kaum Sunni menafikan penunjukan. Bahkan para khalifah tidak mengklaim ditunjuk oleh Nabi saw. Pengikut mereka juga tak mengeluarkan klaim seperti itu. Karena itu ini bukanlah poin yang dipersoalkan.

Begitu pula dengan kemaksuman. Para khalifah tidak meng­klaim maksum, juga pengikut mereka tidak mengatakan bahwa khalifah maksum. Para khalifah justru mengakui kalau mereka berbuat keliru. Seperti sudah dijelaskan, menurut sudut pandang Sunni, soal imamah sama dengan soal administrasi pemerintahan. Karena itu, menurut mereka, tak ada kemaksuman. Kaum Sunni percaya, meskipun para khalifah tidak maksum dan berbuat banyak kekeliruan, namun secara manusiawi mereka tidak tercela dan layak untuk menjadi imam salat. Kaum Sunni tidak mengklaim posisi khalifah lebih tinggi dari ini. Menurut mereka, seperti ditegaskan oleh Mullah Ali Qusychi, Abu Bakar suka mengatakan bahwa terkadang setan menguasai dirinya. Dia minta supaya orang meluruskannya kalau ternyata dia salah. Banyak kali, sebagian mengata­kan 70 kali, Umar bin Khathab mengaku akan hancur kalau tak ada Ali bin Abi Thalib. Kaum Syiah dan Sunni sama-sama mengakui bahwa Umar memang berkata demikian banyak kali. Banyak kali Umar mengeluarkan perintah yang salah dan Imam Ali as menunjukkan kesalahannya lalu Umar mengakuinya. Dengan demikian para khalifah tidak pernah mengklaim maksum, begitu pula yang lainnya.

Jika soal imamah dilihat dari tingkat tinggi ini, yaitu tingkat karunia Allah SWT, kemaksuman dan penunjukan oleh Allah SWT, maka yang dapat mengklaim tingkat ini hanyalah Imam Ali as. Inilah bentuk ilmiah persoalannya, dan kalau begini maka kami mulai dari atas. Sudah kami katakan bahwa karena kenabian sangat diperlukan dan sekaligus merupakan karunia Allah SWT, maka begitu pula imamah. Sekarang kita lihat apakah dalam praktik aktual juga begitu, dan apakah Nabi saw menunjuk Imam Ali as atau tidak. Untuk itu rnari kita lihat buku-buku yang perlu dikaji.

Dalam hubungan ini ada satu lagi persoalan yang patut disebutkan. Persoalannya adalah kenapa yang digunakan metode ilmiah, dan kenapa dimulai dari atas. Kenapa bukan dimulai dari bawah, dan membahas posisinya sebagaimana adanya sesungguhnya? Para teolog ilmiah memulai dari atas, kemudian berangsur-angsur turun ke posisi sebagaimana adanya dalam kondisi praktisnya. Namun dalam kasus ini muncul pertanyaan bagaimana hubungan kita dengan masalah-masalah seperti apakah imamah merupakan karunia Allah SWT, dan jika demikian, tentu saja imam itu maksum dan ditunjuk. Ini berarti menetapkan kewajiban atas Allah SWT. Karena itu sebaiknya mengikuti bagaimana adanya sesungguhnya. Jika ternyata Nabi saw melakukan penunjukan, maka itu sudah cukup bagi kita. Tidak perlu membuktikan secara rasional bahwa imamah adalah karunia Allah SWT dan bahwa imam mesti maksum dan ditunjuk. Mari kita lihat argumen-argumen Syiah dalam kaitan ini. Dalam kaitan dapat dicatat bahwa kaum Sunni tidak menerima kalau teks-teks seperti itu ada, atau menafsirkannya lain. Dalam banyak kasus, mereka sama sekali tidak menafikan riwayat-riwayat itu, meski menganggap riwayat-riwayat itu tidak mutawatir.

Teks Kenabian tentang Imamah Imam Ali bin Abi Thalib as

Kepada sahabat-sahabatnya Nabi saw pernah mengatakan: "Salamilah Ali, dan panggillah dia Pemimpin Kaum Mukmin'." Nabi saw mengucapkan kata-kata ini ketika di Ghadir Khum. Namun karena satu atau lain hal, periwayatan kalimat ini terlepas dari peristiwa Ghadir. Menurut kaum Sunni, riwayat ini tidak mutawatir. Namun ulama Syiah membuktikan bahwa riwayat ini mutawatir. Tajrid tidak memberikan ulasan lebih lanjut mengenai hadis ini .yang digambarkannya sebagai hadis autentik meski rantai periwayatannya tidak mutawatir. Mullah Ali Qusychi mengatakan bahwa hadis ini tidak mutawatir, karena yang mengutipnya hanya sebagian orang, tidak semua orang. Kitab-kitab seperti "'Abaqat" dan "al-Ghadir" berupaya membuktikan bahwa semua riwayat yang berkaitan dengan imamah Imam Ali as adalah mutawatir. Dalam dua kitab ini, khususnya dalam "al-Ghadir", disebutkan satu per satu periwayat hadis Ghadir dalam setiap generasi sampai abad ke-14. Disebutkan lebih dari enam puluh sahabat Nabi saw meriwayatkan hadis ini. Menarik untuk dicatat bahwa semua nama ini diambil dari kitab-kitab Sunni. Kitab ini juga menyebutkan periwayat hadis ini dari kalangan tabi'in. Semuanya ini hampir dari abad pertama. Kemudian disebutkan pula periwayat hadis ini pada setiap generasi dan pada setiap abad. Kekhasan "al-Ghadir" adalah kitab ini mengutip sumber-sumber yang memperkuat hadis ini. Sedangkan "'Abaqat" dan kitab-kitab lain hanya menyebutkan nama orang-orang yang meriwayatkannya pada tiap-tiap masa dan abad. Para penyair di setiap masa merefleksikan pikiran-pikiran utama yang berkembang di kalangan umat selama masa itu. Kalau peristiwa Ghadir memang direkayasa pada abad ke-4, tentu peristiwa ini tak akan disebut-sebut dalam syair-syair gubahan penyair-penyair abad ke-1, ke-2 dan ke-3. Di setiap abad ternyata masalah Ghadir menjadi bagian dari literatur abad itu. Dari sudut pandang sejarah, mana mungkin hadis ini dinafikan? Kita sering mengikuti pakar untuk memastikan apakah suatu masalah memang ada dalam sejarah. Kalau ternyata banyak pakar di setiap abad menyebut-nyebut masalah itu, maka pastilah masalah itu memang ada di masa mereka. Penulis "'Abaqât" mengkhususkan satu kitab penuh untuk membahas satu hadis dan menelaah secara kritis semua periwayatnya. Kalau orang melihat luar biasa indahnya karangan bunga yang dirangkainya, maka dia akan terpana.

Ada hadis lain yang menyebutkan bahwa Nabi saw berkata kepada Imam Ali as, "Engkau akan menjadi Khalifah sepeninggalku." Masih ada beberapa hadis lainnya yang seperti ini. "Sirah Ibn Hisyam" adalah sebuah kitab yang ditulis pada abad ke-2. Ibn Hisyam sendiri barangkali hidup pada abad ke-3, namun kitab ini semula ditulis oleh Ibn Ishaq yang hidup pada abad ke-2. Kemudian diikhtisarkan oleh Ibn Hisyam. Melalui Ibn Hisyam inilah kitab ini sampai ke kita. Kitab ini, yang dianggap andal oleh kaum Sunni, menceritakan dua peristiwa yang tak disebut-sebut oleh Tajrid. Karena dua peristiwa ini relevan, maka kami sajikan kembali di sini.

Peristiwa Hari Peringatan

Salah satunya berkaitan dengan Hari Peringatan, sebuah nama yang diambil dari ayat Al-Qur'an yang turun pada masa awal Islam: Dan berilah peringatan kepada kerabat terdekatmu. (QS. asy-Syu'arâ`: 214)

Sampat saat itu Nabi saw belum melakukan dakwah terbuka. Seperti kita tahu, pada saat itu Imam Ali as masih anak-anak dan tinggal di rumah Nabi saw. Itu sendiri sudah merupakan suatu peristiwa. Nabi saw meminta Imam Ali as untuk menyiapkan hidangan dan mengundang makan keturunan Hasyim dan Abdul Muthalib. Imam Ali as menyiapkan hidangan yang terdiri dari daging dan susu. Seusai tetamu makan, Nabi saw berkata, "Aku adalah Nabi Allah, yang diutus oleh-Nya sebagai Nabi. Jika kalian menerima perkataanku, kalian akan bahagia di dunia dan akhirat." Begitu mendengar kata-kata ini, paman Nabi saw yang bernama Abu Lahab murka dan mengatakan, "Apakah engkau mengundang kami hanya untuk menyampaikan omong kosong ini?" Abu Lahab berteriak-teriak sedemikian sehingga pertemuan itu berakhir dengan kegagalan. Nabi saw meminta Imam Ali as untuk mengatur pertemuan lagi. Imam Ali as mengatakan bahwa jumlah orang yang hadir dalam pertemuan kedua ini kurang lebih empat puluh. Nabi saw mengatakan kepada hadirin, "Barangsiapa di antara kalian yang pertama menerima seruanku, maka dia akan menjadi wazir dan penerusku." Beberapa kali Nabi saw mengulangi ucapan ini. Namun tak ada yang memberikan tanggapan. Akhirnya Imam Ali as bangkit dari duduknya dan menerima seruan Nabi saw. Nabi saw berkata, "Engkau akan menjadi wazir, penerus dan khalifah sepeninggalku."

Pertemuan Kepala Suku dengan Nabi

"Sirah Ibn Hisyam" menyebutkan peristiwa lain yang lebih penting. Ketika Nabi saw masih di Mekah, kaum Quraisy melarang Nabi saw berdakwah. Situasinya sangat tegang. Namun selama bulan-bulan suci[2] kaum Quraisy berhenti mengganggu Nabi saw, setidak-tidaknya gangguan mereka terhadap Nabi saw tidak sampai mencederai fisik, meskipun selama bulan-bulan ini mereka melarang Nabi saw melakukan aktivitas yang ada kaitannya dengan dakwah Islam. Namun Nabi saw selalu memanfaatkan gencatan senjata sementara ini. Nabi saw mengajak berbagai suku yang berkumpul di Ukaz dan Arafah (orang Arab pra-Islam juga menunaikan haji, meskipun dengan gaya mereka sendiri) untuk masuk Islam. Ketika Nabi saw mengadakan kunjungan informal ke ber­bagai suku, Abu Lahab mengejar Nabi saw, menentang dan memberikan gambaran yang salah tentang Nabi saw. Kepala satu suku ini sangat pintar. Dia bicara dengan Nabi saw sebentar, lalu dia berkata kepada kaumnya, "Seandainya orang ini dari sukuku, tentu dengan bantuannya akan aku taklukkan semua orang Arab." Maksudnya adalah Nabi saw begitu banyak kemampuannya, sehingga dengan bantuan Nabi saw semua orang Arab dapat ditundukkan. Kemudian orang itu berpaling ke Nabi saw dan berkata, "Aku dan kaumku siap beriman kepada Anda, asalkan Anda mengangkatku atau salah seorang dari kaumku menjadi penerus Anda." Nabi saw bersabda, "Bukan aku yang menunjuk siapa penerusku, melainkan Allah SWT." Inilah satu peristiwa yang disebutkan dalam kitab-kitab Sunni.

Hadis Ghadir Adalah Hadis yang Mutawatir

Argumen lain Syiah adalah hadis Ghadir. Khwaja Nasiruddin mengatakan bahwa hadis Ghadir mutawatir. Mutawatir adalah istilah teknis. Sebuah hadis, kalau tidak mutawatir, ia khabar wahid. Khobar wahid tidak berarti hadis itu diriwayatkan hanya oleh satu orang saja. Khabar wahid adalah hadis yang periwayatannya tidak meyakinkan. Tak soal apakah hadis itu diriwayatkan oleh satu orang atau sepuluh orang. Misal, seseorang mengatakan mendengar berita dari radio. Anda menganggap dia tidak dusta, namun Anda masih ingin tahu bagaimana kata orang lain. Jika beritanya dikuatkan oleh orang lain, Anda jadi sedikit lebih yakin. Bila Anda tahu banyak orang mengatakan hal yang sama, Anda jadi yakin bahwa tak mungkin semuanya berkata dusta. Jumlah periwayat hadis mutawatir haruslah sedemikian banyak sehingga tertutup kemungkinan kalau mereka itu bersekongkol. Dalam contoh di atas mungkin saja sepuluh orang, bahkan dua ratus orang, bersekongkol untuk mengatakan bahwa mereka mendengar berita tertentu dari radio. Namun ada kasus-kasus di mana kemungkinan seperti itu tidak ada. Misal, Anda pergi ke Amerika Selatan dan bertemu seseorang yang mengatakan bahwa berita tertentu telah disiarkan oleh radio. Lalu Anda ke Afrika Timur, dan lagi bertemu beberapa orang memberitakan hal yang sama. Kemudian Anda ke Afrika Barat, dan berita yang sama ternyata juga disebutkan. Dalam kasus ini tak mungkin Anda mengatakan bahwa semua orang ini telah bersekongkol untuk berkata dusta. Inilah yang disebut mutawatir. Kaum Syiah mengklaim bahwa hadis Ghadir diriwayatkan oleh sedemikian banyak orang sehingga tak mungkin ada persekongkolan. Misal, dalam kasus hadis Ghadir kita tak dapat mengatakan bahwa empat puluh sahabat Nabi saw telah bersekongkol untuk berkata dusta, khususnya bila kita tahu bahwa banyak dari mereka memusuhi Imam Ali as, atau setidak-tidaknya sikap mereka tidak bersahabat dengan Imam Ali as. Seandainya periwayat-periwayat ini adalah orang-orang seperti Salman al-Farisi, Abu Dzar dan Miqdad, yang sangat mencintai dan mengikuti Imam Ali as, maka bisa saja dikatakan jangan-jangan karena kecintaan yang luar biasa kepada Imam Ali as maka mereka bersekongkol untuk merekayasa cerita. Orang-orang seperti Qusychi tanpa hujah menganggap hadis ini khabar wahid. Namun kaum Syiah menekankan bahwa hadis ini mutawatir. Menurut hadis ini, Nabi saw bersabda kepada audiens, "Bukankah aku lebih berwenang atas diri kalian ketimbang diri kalian sendiri?"[3] Semuanya mengatakan, "Betul." Kemudian Nabi saw berkata, "Ali ini adalah pemimpin bagi orang yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya." Nabi saw ingin menegaskan bahwa kalau Nabi saw lebih unggul dibanding orang lain maka begitu juga Ali as.

Hadis lain, yang juga mutawatir menurut Khwaja Nasiruddin sedangkan Mulla AH Qusychi menganggapnya khabar wahid meskipun All Qusychi tidak menafikan substansi hadis ini. Hadis ini mendapat banyak perhatian dari pakar-pakar seperti Mir Hamid Husain, penulis "'Abaqat", dan 'Allamah Amini, penulis "al-Ghadir". Mir Hamid Husain meriulis satu buku penuh tentang hadis ini. Hadis ini dikenal sebagai hadis manzilah. Nabi saw diriwayatkan berkata kepada Imam Ali bin Abi Thalib as, "Dalam hubungannya dengan aku, engkau posisinya seperti posisi Harun dalam hubungannya dengan Musa, kecuali bahwa tak ada nabi setelah aku." Nabi saw berkata demikian ketika hendak memulai operasi Tabuk, bukan sebuah pertempuran melainkan sebuah kampanye. Kejadiannya setelah Perang Mu'tah, perang terakhir yang dilakukan orang Arab terhadap orang Rum selama masa hayat Nabi saw. Perang ini terjadi di timur Madinah. Istanbul (Konstantinopel) adalah ibukota Ke-kaisaran Rum Timur, Syria juga berada di bawah kekuasaan Rum (Romawi—peny.). Di sana tengah berlangsung persiapan cepat untuk menyerang Madinah. Menurut Nabi saw, jalan yang bijaksana adalah menempatkan pasukan di perbatasan Rum, dan Nabi saw sukses menjalankan misi itu.[4]

Nabi saw, seperti kata politisi, ingin memperlihatkan kekuatannya. Kaum Muslim bergerak ke perbatasan Rum dan kemudian kembali. Dalam ekspedisi ini Nabi saw tidak menyertakan Imam Ali as. Nabi saw meninggalkan Ali as sebagai pengganti Nabi saw di Madinah. Ulama Syiah mengatakan bahwa tindakan Nabi saw ini memperlihatkan bahwa Nabi saw tahu kalau pertempuran tak akan terjadi. Tentu saja Imam Ali as tak suka kalau dirinya tidak diikut-sertakan. Imam Ali as berkata kepada Nabi saw, "Mengapa Anda tidak mengajakku? Mengapa Anda tinggalkan aku di sini bersama kaum wanita dan anak-anak?" Nabi saw berkata, "Apakah engkau tidak suka kalau posisimu dalam hubungannya denganku seperti posisi Harun dalam hubungannya dengan Musa, kecuali tak akan ada nabi setelahku?" Nabi saw bermaksud mengatakan bahwa hubungan Imam Ali as dengan Nabi saw seperti hubungan Harun as dengan Musa as, kecuali "kenabian". Sekarang mari kita lihat Al-Qur'an untuk mengetahui hubungan Harun as dengan Musa as. Kita tahu Al-Qur'an menyebutkan bahwa pada permulaan misinya, Musa as memohon kepada Allah SWT:

Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu (wazir) dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. (QS. Thâhâ: 25-34)

Kata "wazir" berasal dari akar kata "wizr" yang artinya adalah beban atau tanggung jawab. Wazir adalah orang yang meringankan beban atasannya dan ikut memikul tanggung jawab atasannya. Kemudian kata ini digunakan dalam pengertian menteri. Karena itu Nabi Musa as minta kepada Allah SWT untuk menunjuk seseorang yang akan membantu dan berbagi tugas dengan dirinya. Untuk itu Nabi Musa as mengusulkan nama Harun as. Dalam Al-Qur'an kita juga mencatat bahwa Nabi Musa as berkata kepada Nabi Harun as: Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku. (QS. al-A'râf: 142)

Dengan demikian kita melihat bahwa, menurut Al-Qur'an, Harun as adalah wazir Musa as, pendukung utama Musa as, mitra dalam tugas Musa as dan penerus Musa as dalam memimpin kaumnya. Itulah hubungan antara Nabi Musa as dan Harun as, dan begitu pula hubungan antara Nabi Muhammad saw dan Imam Ali as. Kalau Nabi saw tidak mengatakan, "Kecuali tak ada nabi setelah aku," dapat kami katakan bahwa Nabi saw berpikiran sama, namun ketika Nabi saw meniadakan kenabian, maka jadi jelas bahwa ada hubungan ini dalam semua bidang lainnya (tentu saja bidang sosial, bukan fisis). Tampaknya Nabi saw seakan-akan ingin mengatakan kepada Imam Ali as, "Kedudukanmu dalam hubungannya dengan aku, adalah seperu kedudukan Harun dalam hubungannya dengan Musa dalam semua bidang yang ditetapkan oleh Allah SWT."

Jawaban kaum Sunni terhadap argumen ini adalah mereka akan menerima hadis ini kalau hadis ini mutawatir, namun sayang hadis ini khabar wahid. Namun seperti sudah dijelaskan sebelumnya, pakar-pakar seperti Mir Hamid Husain telah membuktikan dalam kitab-kitab mereka bahwa hadis ini mutawatir.

Pertanyaan dan jawaban

Pertanyaan: Kesan yang didapat dari pembahasan terdahulu adalah bahwa sampai tingkat tertentu ada batas antara Imamah dan administrasi pemerintahan. Anda (Ayatullah Muthahhari) mengatakan bahwa dalam imamah ada tugas-tugas dan fungsi-fungsi tertentu, dan administrasi pemerintahan hanyalah salah satunya. Namun saya tak tahu tugas-tugas lain yang tidak menunjukkan administrasi. Pengetahuan kami sejauh ini tentang Islam menunjukkan bahwa tak ada batas antara dunia dan akhirat, atau antara aktivitas duniawi dan aktivitas ukhrawi. Perbuatan yang berkaitan dengan akhirat ada relevansinya dengan kehidupan duniawi, dan perbuatan yang ber­kaitan dengan dunia dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan kehidupan sosial dan untuk membantu mewujudkan sistem pemerintahan yang adil. Kita mencatat bahwa Al-Qur'an menyebutkan kehidupan orang-orang yang ibadahnya diarahkan untuk memperbaiki kehidupan duniawi dan untuk menegakkan pemerintahan yang adil sebagai model. Al-Qur'an memandang jihad sangat penting. Kita mencatat bahwa semua upaya dan gaya hidup para imam diarahkan untuk mendapatkan kembali hak mereka untuk memerintah. Dalam hal ini tak ada bedanya antara mereka yang berjuang terang-terangan dan mereka yang diam-diam berkampanye di penjara atau di tempat persembunyian. Menurut saya, tak ada tugas lain selain administrasi pemerintahan yang dapat menjustifikasi lembaga imamah, karena administrasi pemerintahan sajalah yang dapat menjustifikasi semua aktivitas yang berkaitan dengan imamah.

Jawaban: Soal batas, hanya Andalah yang mengangkatnya. Saya tak pernah menggunakan kata ini. Saya kira tidak tepat kalau menggunakannya. Seperti sudah saya katakan, Syiah percaya bahwa tingkat imamah lebih tinggi dibanding tingkat pemerintahan, yang hanyalah satu di antara sekian fungsinya. Fungsi lain yang lebih tinggi tingkatannya adalah tugas imam untuk menjelaskan Islam dengan terperinci. Selanjutnya, imam adalah seorang maksum ahlinya hukum agama. Kami katakan bahwa salah satu fungsi Nabi saw adalah fungsi eksekutif. Namun hak untuk memerintah bukan diberikan kepadanya oleh umat. Hak tersebut diberikan kepadanya oleh Allah SWT, atas dasar superioritasnya atas seluruh manusia. Dengan kata lain, Nabi saw menjadi penguasa karena Nabi saw adalah orang yang dapat menjelaskan secara terperinci hukum Allah SWT dan memiliki kontak spiritual dengan alam gaib. Saya tak pernah ingin mengatakan bahwa ada batas antara dunia dan akhirat. Saya juga tak bermaksud memisahkan fungsi imam dan fungsi penguasa. Saya tidak mengatakan bahwa imam mengurusi urusan umat yang berhubungan dengan akhirat dan penguasa mengurusi urusan umat yang berkaitan dengan dunia. Seandainya saya berkata demikian, maka kritik Anda benar adanya. Syiah memiliki teori. Kalau teori ini terbukti, maka otomatis selesai sudah soal penguasa.

Kami percaya bahwa imamah adalah kelanjutan kenabian. Kalau ketika ada Nabi saw, tidak ada soal berkuasanya orang lain, maka begitu pula kalau ada imam soal seperti ini juga tidak ada. Soal bentuk pemerintahan dalam arti modern baru muncul ketika imam dianggap tidak ada atau ketika Imam tengah gaib seperti posisinya di zaman sekarang ini. Kalau tidak, dengan adanya imam, seperti dipercaya kaum Syiah, maka posisinya sangat jelas.

Pertanyaan: Menurut kaum Sunni, dari dua riwayat itu, mana yang khobar wahid, riwayat yang berkaitan dengan Ghadir Khum atau riwayat yang Anda kutip, yang menurut riwayat itu Nabi saw bersabda, "Salamilah Ali, dia adalah Amirmu?"

Jawaban: Barangkali kaum Sunni pun tak mungkin membantah ke-mutawatir-an bagian hadis Ghadir yang mengatakan, "Ali adalah pemimpin bagi orang yang menjadikan aku pemimpinnya," meski Mulla Ali Qusychi mengatakan bahwa bagian ini pun merupakan khabar wahid. Padahal bagian hadis ini diriwayatkan oleh sedemikian banyak periwayat sehingga mustahil untuk menafikan hadis ini.[5] Sedemikian banyak orang bahkan telah meriwayatkan bagian pertama hadis ini yang mengatakan, "Bukankah aku lebih berwenang atas diri kalian dibanding diri kalian sendiri." Kaum Syiah percaya bahwa bagian hadis ini juga mutawatir. Namun sejauh menyangkut hadis lain, "Salamilah Ali, dan sebut dia Pemimpin Kaum Mukmin," kaum Sunni menganggapnya tidak mutawatir. Barangkali kami juga tak dapat membuktikan kalau itu mutawatir. Namun, itu tak ada efeknya. Dari sudut pandang kami, ke-mutawatir-an hadis berikut ini, yang sangat penting, sudah jelas.

Nabi saw bersabda, "Bukankah aku lebih berwenang atas diri kalian dibanding diri kalian sendiri?" Orang-orang mengatakan, "Betul." Kemudian Nabi saw berkata, "Ali ini adalah pemimpin bagi orang yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya. Ya Allah, bersahabatlah dengan orang yang bersahabat dengan Ali, dan musuhilah orang yang memusuhi Ali."

Lagi pula para ulama Sunni tidak sependapat mengenai apakah hadis ini mutawatir atau khabar wahid. Sebagian mengatakan khabar wahid, sebagian mengatakan mutawatir meski menambahkan bahwa itu tidak berarti apa yang diklaim Syiah. Nabi saw hanya mengata­kan, "Barangsiapa menjadikan aku sahabatnya, maka jadikan juga Ali sebagai sahabatnya." Kami katakan bahwa tidak dapat diterima akal sehat kalau Nabi saw mengumpulkan orang di Ghadir Khum hanya untuk meminta mereka menjadikan Ali sebagai sahabat, khususnya kalau diingat fakta bahwa Nabi saw juga menambahkan, "Bukankah aku lebih berwenang atas diri kalian dibanding diri kalian sendiri." Juga dapat dicatat bahwa kata maula tidak digunakan dalam pengertian sahabat.

Pertanyaan: Apakah ayat "Hari ini Aku sempurnokan agamamu bagimu dan lengkapkan karunia-Ku untukmu, dan Aku pilihkan Islam sebagai agamamu," turun setelah peristiwa Ghadir Khum?

Jawaban: Ayat ini turun di Ghadir Khum.

Catatan:

[1] Syiah memandang sangat penting aspek religius imamah. Seperti sudah kami jelaskan, di zaman kita imamah terutama dianggap sama dengan adminislrasi pemerintahan, namun ini merupakan pikiran yang salah. Imamah terutama merupakan masalah keagamaan, sedangkan administrasi pemerintahan hanyalah salah satu fungsinya. Sedikit banyak, imamah dan administrasi pemerintahan adalah dua istilah yang dalam hal-hal tertentu saling turn pang tindih. Namun pada dasarnya imamah adalah satu masalah, sedangkan administrasi pemerintahan, kendatipun salah satu fungsi Imam, adalah masalah lain. Aneh rasanya kalau selama periode gaib kita bicara tentang administrasi pemerintahan, namun tetap bungkam tentang makna sejati imamah, yang lidak boleh dianggap sama dengan administrasi pemerintahan. Menurut terminologi ulama Syiah, imam adalah pemegang otoritas urusan keagamaan maupun urusan duniawi. Sebagai pemegang otoritas urusan keagamaan, imam otomatis pemegang otoritas urusan duniawi juga, seperti halnya Nabi saw yang, karena menjadi pemimpin agama, juga menjadi kepala pemerintahan. Kalau misal saja tak ada imam, atau misal saja kita tahu bahwa imam sedang gaib, maka dalam kedua kasus ini berarti tak ada pemimpin agama. Karena itu dalam kasus-kasus ini tentu saja muncul pertanyaan tentang kepala pemerintahan.
[2] Bulan Zulqaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab adalah bulan-bulan suci. Selama bulan-bulan ini tidak boleh ada perang dan pembalasan dendam. Selama bulan-bulan ini semua rule aman, orang dan barang datang dan pergi dengan lancar. Pekan raya tahunan juga diselenggarakan di sebuah tempat dekat Mekah. Tempat itu bernama Ukaz.
[3] Nabi saw merujuk ke ayat "Nabi lebih berwenang atas kaum mukmin ketimbang diri mereka sendiri." (QS. al-Ahzâb: 6) Karena menjadi Nabi Allah, Nabi saw berwenang atas jiwa, harta dan segala yang menyarigkut umat. Nabi saw lebih berwenang atas umat dibanding umat itu sendiri. Tentu saja wewenang ini bukan untuk tujuan pribadinya sendiri. Allah SWT menunjuk Nabi saw sebagai wakil kaum Muslim, dan dengan begitu Nabi saw berwenang atas jiwa dan harta kaum Muslim atas nama kaum Muslim sebagai keseluruhan.
[4] Tahun lalu kebetulan kami ke Khaibar. Saat itu kami tak tahu seberapa jauh Khaibar dan Tabuk dari Madinah kalau langsung melalui Syusa. Jarak seluruhnya ternyata 600 km. Dengan perjalanan di zaman dahulu, jaraknya mungkin lebih jauh. Jarak antara Madinah dan Khaibar adalah 360 km. Kami sungguh terpana dengan keberanian dan tekad kaum Muslim yang menempuh jarak yang jauh ini dengan sarana sederhana yang mereka miliki di zaman itu.
[5] Alasan kenapa diriwayatkan oleh sedemikian banyak periwayat, adalah pada zaman itu sabda-sabda Nabi saw hanya dihafal, bukan ditulis. Tentu saja hadis-hadis yang menyebut-nyebut nama Imam Ali as dapat diingat oleh lebih banyak orang ketimbang hadis-hadis lain.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar