Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari
Dinamisme
dan Kejumudan
“Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul
apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada
kamu.”[13] Salah satu persoalan yang
disebutkan dalam al-Quran menyangkut topik kematian dan kehidupan. Masalah ini
dalam semua tingkatannya dipaparkan dalam al-Quran untuk berbagai macam tujuan
dan maksud. Seperti yang berkenaan dengan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang,
juga manusia. Ini bukanlah pembahasan kehidupan secara umum, namun hanya
berkenaan dengan jenis tertentu darinya yang kita sebut dengan kehidupan
manusia. Sedangkan untuk bagian-bagian kehidupan lain tidak akan kita bahas,
mengingat jenis kehidupan manusia lebih banyak diperhatikan oleh al-Quran.
Banyak orang yang
beranggapan bahwa ketika jantung seseorang berdetak, urat syarafnya aktif, urat
nadinya berdenyut, dan bisa bergerak, maka ia bisa dikatakan hidup. Dalam
keadaan bagaimanakah seseorang dikatakan mati? Pada saat dokter meletakkan
stetoskop di atas dadanya dan mengatakan bahwa jantungnya telah berhenti
berdetak. Inilah anggapan kebanyakan orang mengenai kematian. Padahal,
kehidupan seperti ini bukanlah kehidupan manusia yang sebenarnya. Kehidupan
semacam itu tak jauh berbeda dengan kehidupan satwa pada umumnya (zendegi-e
hewâni-e ensân). Manusia jelas harus memiliki pula kehidupan yang
identik dengan kehidupan semua binatang. Umpamanya seekor anjing –kehidupannya
tentu memiliki ciri-ciri semacam ini; memiliki jantung, urat syaraf, otot-otot,
darah yang mengalir, dan anggota tubuh. Namun, al-Quran menerangkan pula adanya
jenis kehidupan lain yang khas bagi manusia, yang berbeda dengan kehidupan
dalam tingkat binatang. Menurut logika al-Quran, boleh jadi manusia hidup,
berjalan di tengah-tengah masyarakat, jantungnya berdenyut, urat syarafnya
bekerja, dan darahnya mengalir, namun pada waktu bersamaan (sesungguhnya) dia
mati (mati dalam hidup, —pent.). Ungkapan ini berasal dari
al-Quran. Dalam sebuah ayat difirmankan: “Supaya dia (Muhammad)
memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya)… .”[14]
Keberadaan masyarakat
manusia terbagi menjadi dua bagian –masyarakat yang hidup dan yang mati.
Al-Quran hanya akan memberikan pengaruhnya kepada orang-orang yang memiliki
hati yang hidup. Adapun masyarakat manusia yang hatinya mati sama sekali tidak
akan terpengaruh al-Quran. Lantas, apa sebenamya yang dimaksud dengan kematian
dan kehidupan? Dalam ayat lain, al-Quran menjelaskan bahwa setiap bayi yang
dilahirkan ke dunia membawa fitrah ketuhanan. Fitrah tersebut adalah fitrah
pencari kebenaran, pencari hakikat, dan rasa ingin tahu. Namun dalam diri
sebagian orang, cahaya fitrah tersebut padam. Pada saat cahaya fitrah tersebut
padam, manusia akan berubah menjadi makhluk yang mati. Bentuk jasmaninya memang
masih hidup, namun ruhnya telah mati.
Dalam ungkapannya
yang lain, al-Quran menyatakan bahwa orang-orang yang dalam dirinya terdapat
kehidupan akan memiliki lahan jiwa (ruh) laksana padang rumput yang subur. Pada
saat al-Quran ditanamkan di dalamnya, ia akan segera tumbuh dan berkembang.
Sebelumnya, keberadaan jiwa ibarat tanah atau lahan yang siap ditanami, yang
setelah itu berubah menjadi kebun yang rimbun dengan pohon-pohon, tanaman,
bunga-bunga, serta berbagai macam tanaman lainnya. Ini sesuai dengan ungkapan
al-Quran, yang salah satunya berbunyi: “Dan apakah orang yang sudah
mati kemudian kami hidupkan (dengan perantaraan al-Quran)?”[15] “…dan Kami berikan
kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu ia dapat berjalan di
tengah-tengah masyarakat manusia.”[16] Sewaktu berjalan di
tengah-tengah masyarakat manusia, ia akan memancarkan cahaya yang terang dan
bergerak dalam sinarnya yang benderang. Apakah orang seperti ini “serupa
dengan orang yang berada dalam gelap gulita yang sekali’kali tidak dapat
keluar dari padanya?”[17]
Di bagian yang lain,
terdapat ayat yang mengklasifikasikan keberadaan komunitas manusia ke dalam dua
bagian –komunitas yang hidup dan yang mati. Ayat tersebut menjelaskan bahwa
al-Quran merupakan faktor kehidupan dan para Nabi merupakan muhyi (orang
yang memberikan kehidupan). Ayat yang saya bawakan pada permulaan pembicaraan
ini barangkali merupakan ayat yang paling jelas untuk menerangkan persoalan
tersebut. Ayat yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang
memberi kehidupan kepada kamu.”[18] Betapa ungkapan tersebut
sangat indah, luar biasa, dan amat jelas pengertiannya! Ayat tersebut mengatakan:
“Hai orang-orang yang beriman dan yang membenarkan Nabi ini (Nabi Muhammad)
serta ajarannya, penuhilah seruannya apabila dia menyeru kalian kepada sesuatu
yang memberi kehidupan kepada kalian.”
Islam merupakan
ajaran yang memberikan kehidupan bagi umat manusia. Nabi Muhammad datang
membawa kehidupan bagi kalian (umat manusia). Kini kalian tengah berada dalam
kematian dan dalam keadaan tidak memahami diri kalian sendiri. Karenanya,
tunduklah kalian pada dokter spiritual ini agar mengetahui bagaimana ia
memberikan kehidupan kepada kalian. Apa arti kehidupan? Kehidupan memiliki
arti penglihatan dan kemampuan. Pada titik inilah letak perbedaan
kehidupan dan kematian. Setiap kali tingkat penglihatan dan kemampuan berubah
menjadi lebih besar, maka kehidupan pun akan menjadi lebih besar. Mengapa kita
menyebut Tuhan dengan nama Hayyun (Zat Yang Maha Hidup)?
Seperti dalam ayat: “Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia Yang Maha
Hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya”[19] atau ayat
yang berbunyi: “Dialah Zat Yang Maha Hidup dan tidak pernah mati”.[20] Mengapa kita katakan Allah
Maha Hidup? Apakah yang dimaksud dengannya adalah bahwa Tuhan memiliki jantung
dan darah yang mengalir? Bukan, bukan seperti ini pengertian dari hidupnya
Tuhan. Allah tidak memiliki jantung, urat, darah, dan tubuh.
Makna dan
Syarat-syarat Kehidupan
Apakah yang dimaksud
dengan hidup adalah bernafas dan menghirup udara? Semua itu bukanlah pengertian
dari hidup –melainkan sebagai syarat-syaratnya. Arti hidup itu sendiri adalah
penglihatan yang berarti pengetahuan dan kemampuan. Dari aspek inilah kita
dapat katakan bahwa Allah Hayyun (Maha Hidup), Maha
Mengetahui, dan Maha Kuasa secara absolut. Kita menyebut Allah Maha Hidup yang
memberikan kehidupan dari Zat-Nya yang Suci. Dia Maha Lembut, Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang. Dengan begitu, hidup identik dengan pengetahuan dan
kemampuan. Ajaran Islam adalah ajaran pengetahuan dan kemampuan. Ajaran inilah
yang telah diterapkan selama berabad-abad. Islam agama kehidupan. Dan agama
kehidupan tidak identik dengan ketidaktahuan dan kelemahan.
Hal ini bisa
dijadikan perbandingan untuk memahami Islam. Dalam pertemuan sebelumnya, (telah
saya kemukakan) bahwa salah satu unsur kehidupan dalam pemikiran Islam adalah
beramal. Islam mengharuskan seseorang untuk berusaha dan berupaya gigih. Dalam
ajaran Islam dijelaskan bahwa takdir manusia amat bergantung dari amal
perbuatannya. Maksudnya, manusia bergantung pada dirinya sendiri. Islam
mengatakan, wahai manusia, kebahagiaan kamu tergantung pada amal perbuatanmu,
demikian pula dengan kesengsaraan kamu, juga bergantung kepadanya. Apakah
perbuatan manusia bergantung pada sesuatu? Perbuatan manusia bergantung pada
keinginan dan kehendaknya sendiri. Kesimpulannya, manusia adalah makhluk yang
bergantung pada diri dan perbuatannya sendiri, yang darinya ia akan memiliki
kepribadian sendiri. Apakah kalian berpikir al-Quran sekadar bergurau saat
mengatakan: “Dan bahwasannya manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya.”[21] Diri manusia sendirilah
yang menjadi faktor penggerak, kebangkitan, penglihatan, dan kemampuan.
Rasa Percaya Diri
Pada masa sekarang,
pakar pendidikan telah berusaha keras untuk menumbuhkan rasa percaya diri
manusia. Rasa percaya diri yang ditumbuhkan Islam adalah menghilangkan harapan
yang tidak berasal dari perbuatannya. Apabila seseorang hendak mewujudkan
harapannya, ia harus mengusahakannya sendiri. Seperti inilah keterkaitan antara
manusia dengan segala sesuatu maupun manusia lainnya. Keterkaitan itu terjadi
melalui amal perbuatan. Anda tidak bisa menyatu dengan Imam Ali bin Abi Thalib
as atau dengan Sayyidah Fathimah as kecuali melalui amal perbuatan. Maksudnya,
Islam menutup semua pintu keterkaitan dan hubungan dengan Rasulullah SAWW dan
Ahlul Baitnya, kecuali melalui pintu beramal. Saya teringat sebuah hadis Nabi
yang pernah saya baca sekitar 17-18 tahun silam. Hadis tersebut membuat saya
sangat terkesan. Saya benar-benar melihat kehidupan Nabi nampak sebagai sebuah
gambaran kehidupan yang luar biasa –yang tak seorang pun memiliki gambaran
kehidupan dan sisi-sisi keagungan seperti itu. Ketika seseorang berpikir dan
melihat bagaimana orang yang buta huruf yang hidup dalam lingkungan jahiliyah
bisa melontarkan berbagai kalimat yang sedemikian indah dalam hidupnya, tentu
ia akan hanyut dalam kekaguman dan mengakui bahwa itu merupakan perbuatan yang luar
biasa. Hadis ini telah saya ungkapkan pula dalam kitab Dastân-e
Rastân (telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul, Orang-orang
Bijak, —peny.). Dalam hadis tersebut dikatakan:
Pada suatu ketika,
Nabi melakukan perjalanan bersama para sahabatnya (dalam riwayat tidak di
sebutkan perjalanan yang mana). Setelah memasuki waktu Zhuhur, beliau
memerintahkan kafilah untuk turun. Para sahabat kemudian turun dari
tunggangannya, dan Nabi pun juga turun dari untanya. Beliau kemudian pergi
menuju ke suatu arah. Para sahabat berpikir bahwa Nabi akan melakukan sesuatu.
Semua sahabat segera turun dari tunggangan masing-masing. Setelah agak jauh
dari untanya, para sahabat melihat Nabi kembali. Para sahabat menduga, Nabi
tidak merasa cocok dengan tempat tersebut dan akan memerintahkan mereka pergi
mencari tempat lain. Namun, tatkala kembali ke tunggangannya, Nabi tidak
berbicara apapun kepada mereka. Para sahabat melihat Nabi membuka tempat
perbekalannya yang menggantung di punggung untanya dan serta merta mengeluarkan
seutas tali. Kemudian beliau mengikat untanya dan kembali menempuh arah
sebelumnya. Para sahabat terheran-heran melihat Nabi kembali hanya untuk
mengikat untanya. Padahal, itu merupakan pekerjaan yang sepele! Mereka
bertanya: “Wahai Rasulullah, jika kamu kembali hanya untuk melakukan pekerjaan
ringan ini, mengapa engkau tidak menyuruh kami? (Mereka merupakan para sahabat
setia yang apabila Rasulullah menyuruhnya menyeberangi lautan api, mereka pasti
akan melakukannya. Kebanggaan mereka adalah menjalankan perintah Rasulullah).
Mereka juga mengatakan: “Wahai Rasulullah, untuk pekerjaan remeh ini, mengapa
engkau tidak memberikan perintah, padahal kami pasti akan melakukannya?” Beliau
menjawab: “Hendaknya kalian jangan minta tolong orang lain dalam
melakukan pekerjaan sekecil apapun meskipun hanya untuk mengambilkan sikat gigi
(siwak).”
Lakukanlah pekerjaan
yang bisa kalian lakukan dan jangan sampai menginginkan orang lain untuk
melakukan pekerjaanmu. Lihat, betapa indahnya ungkapan tersebut! Jika kata-kata
Nabi ini diucapkan di atas mimbar, tentu itu tidak akan menimbulkan pengaruh
apa-apa. Beliau mengucapkan kalimat ini sambil mempraktikkannya. Tujuan saya
menyampaikan ini adalah ingin mengingatkan bahwa salah satu pilar dari ajaran
Islam adalah menghidupkan pemikiran Islam. Salah satunya adalah dengan beramal
dan bergantung pada amal sendiri. Saya juga ingin menyampaikan materi yang
berhubungan dengan moralitas serta beberapa dasar pendidikan Islam lainnya. Masalah
pendidikan merupakan masalah yang sensitif dan rawan. Maksudnya, apabila
masalah ini diajarkan dengan baik dan benar, maka akan timbul hasil yang sangat
luar biasa. Namun jika sedikit saja terjadi penyimpangan –maka secara seratus
persen, ia akan menimbulkan pengaruh yang sebaliknya. Sejauh yang saya telaah,
khususnya dengan bersandar pada perspektif al-Quran, ternyata hampir sebagian
besar pengajaran moral dan pendidikan Islam dilakukan secara terbalik dan
menyimpang, sehingga berpengaruh besar terhadap pemikiran kaum muslimin dewasa
ini.
Tawakal, Konsep
Pemberi Hidup dan Semangat
Konsep tawakal
merupakan konsep akhlak dan pendidikan Islam. Pada dasarnya, Islam menghendaki
kaum muslimin untuk bertawakal kepada Allah. Jika Anda mengkaji masalah tawakal
dalam al-Quran (saya senantiasa mencatat ayat al-Quran yang bicara tentang
ketakwaan), maka Anda akan menjumpai keserasian yang luar biasa di dalamnya.
Dalam al-Quran, konsep tawakal disebut sebagai konsep yang menganugerahkan
hidup dan semangat kepada manusia. Setiap ayat yang memerintahkan manusia untuk
beramal dan menghilangkan rasa takut, senantiasa dibarengi dengan
ungkapan: “…jangan takut dan bertawakallah kepada Allah”. Bergantunglah
kamu kepada Allah dan melangkah majulah ke depan. Bergantunglah pada Allah dan
sampaikanlah kebenaran. Bergantunglah pada Allah dan janganlah gentar
menghadapi musuh yang banyak jumlahnya.
Jika Anda mempelajari
konsep tawakal di tengah-tengah pemikiran kaum muslimin pada jaman modern ini,
Anda akan menjumpainya sebagai konsep yang mati dan kering. Kita hanya mulai
bertawakal tatkala kita menginginkan kehidupan yang tenang, tidak memiliki
aktivitas, dan menjauhkan diri dari tanggung jawab. Padahal, konsep tawakal
yang benar harus sesuai dengan apa yang diajarkan al-Quran. Saya harus diberi
kesempatan untuk membacakan ayat-ayat tentang ketakwaan untuk Anda secara
satu-persatu, serta membuktikan bahwa konsep tawakal dalam al-Quran merupakan
konsep yang luar biasa. Konsep yang memberikan semangat dan kehidupan, yang
merupakan manifestasi dari ayat di bawah ini: “Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu
kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” Terdapat konsep
lain yang akan saya kemukakan pula pada pertemuan kali ini.
Pengertian Zuhud
Tidak ada istilah dalam
al-Quran yang menyatakan bahwa manusia harus bersikap zuhud. Istilah tersebut
hanya terdapat dalam hadis Nabi dan ucapan para imam suci.” Kendati tidak
diragukan lagi bahwa inti pengertian dari zuhud juga terkandung dalam al-Quran.
Namun, secara khusus, pengertian zuhud banyak disampaikan dalam berbagai ucapan
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Istilah zuhud telah sangat populer di
kalangan kita. Namun, jika kita ingin mencari orang zuhud yang sesuai dengan
kriteria hadis dan riwayat, tentunya kita akan sangat kesulitan. Yang kita
jumpai dalam kenyataan malahan akan amat berbeda. Julukan zuhud acapkali
dinisbahkan kepada banyak individu secara sembarangan. Kadangkala, seseorang
mengatakan bahwa si fulan adalah orang yang sangat zuhud. Namun, pada saat kita
telusuri orang tersebut, akan nampak kenyataan bahwa ia hanya menjalani
kezuhudan secara negatif. Artinya, ia termasuk orang yang hanya merasa puas
dengan kehidupan yang dijalaninya. Karenanya, kita lantas mengatakan bahwa
orang yang merasa puas dalam kehidupannya disebut sebagai orang zuhud. Padahal,
pengertian zuhud yang sebenarnya bukanlah seperti ini.
Salah satu prasyarat
kezuhudan adalah merasa puas dengan kehidupan pribadi yang dijalani dan
dimilikinya. Pengertian semacam ini memiliki makna filosofis yang sangat
mendalam. Namun, temyata tidak setiap orang yang merasa puas dengan apa yang
dimilikinya bisa disebut sebagai orang yang zuhud. Kezuhudan berkaitan erat
dengan harta, materi, dan kedudukan duniawi. Jika Anda bertanya, apakah dalam
pandangan Islam, keberadaan harta dan materi merupakan sesuatu yang baik atau
buruk? Jawabannya jelas tergantung pada tujuan penggunaan harta dan materi?
Kekayaan merupakan kekuasaan. Demikian juga dengan kedudukan. Apa tujuan dan
maksud yang Anda inginkan dari kekuatan tersebut? Anda adalah anak Adam, hamba
sahaya, dan tawanan hawa nafsu sendiri. Apakah kekuatan berupa harta dan materi
akan Anda gunakan untuk memuaskan hawa nafsu pribadi? Jika Anda telah menjadi
tawanan hawa nafsu, Anda akan diatur dan didikte olehnya. Anda akan menjadi
rakus terhadap harta dan kekayaan. Anda juga akan menjadi seseorang yang gila
pangkat dan kedudukan. Demikian seterusnya. Segala sesuatu yang digunakan
semata-mata untuk memenuhi selera hawa nafsu merupakan keburukan.
Namun, jika Anda
mulai memperbaiki diri, tidak menjadi penyembah berhala hawa nafsu, menjauhkan
egoisme dari dalam diri, memiliki tujuan sosial, menjadi seorang religius yang
taat pada Tuhan, maka harta dan kekayaan yang merupakan kekuasaan, akan Anda
gunakan untuk tujuan suci dan mulia. Ini merupakan ibadah. Begitu pula jika
Anda menginginkan pangkat dan kedudukan demi maksud-maksud spiritual. Apa yang
saya kemukakan ini bukanlah berasal dari pribadi saya sendiri, melainkan
ungkapan dari Imam Ja’far Shadiq as. Pada masa Imam Ja’far Shadiq as, banyak
bermunculan ulama zuhud yang bodoh. Mereka berdebat dengan Imam Ja’far as
tentang masalah zuhud. (Imam Ja’far mengatakan): “Jika pengertian zuhud seperti
yang kalian sampaikan, lantas bagaimana dengan Nabi Yusuf yang menurut al-Quran
adalah Nabi dan hamba Allah yang shalih. Mengapa ketika terbukti tidak bersalah
dan dikeluarkan dari penjara, Nabi Yusuf malah berkata kepada penguasa Mesir: “Jadikanlah
aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai
menjaga, lagi berpengetahuan.”
Ternyata Nabi Yusuf
menghendaki jabatan tinggi dalam pemerintahan. Beliau mengatakan: “Serahkanlah
padaku seluruh pengaturan keuangan yang ada.” Mengapa al-Quran menceritakan
kisah Nabi Yusuf tersebut dan tidak menganggap tindakannya sebagai sebuah tabu?
Lagi pula, mengapa al-Quran tidak menyatakan beliau sebagai orang yang rakus
dunia? Semua ini dikarenakan Nabi Yusuf bukan penyembah materi. Sejak awal
kehidupannya, beliau telah menjadi penyembah Allah, bukan seorang hedonis atau
penyembah harta dunia. Segenap pangkat dan jabatan yang dikehendaki Nabi Yusuf
as akan digunakannya untuk mencapai tujuan-tujuan spiritual dan religius.
Dikarenakan menghendaki tujuan spiritual dan religius, maka apa yang beliau
lakukan tidak bisa disebut dengan upaya mencari pemenuhan kepentingan duniawi.
Sebaliknya, upaya beliau justru ditujukan untuk kepentingan eskatologis
(ukhrawi atau keakhiratan).
Masalah Kedudukan
Penguasa Zalim
Para ulama Islam
mengatakan bahwa kedudukan (wilayah) penguasa zalim hukumnya haram. Seseorang
yang hendak mengabdi pada pemerintah zalim sesungguhnya telah melakukan
kejahatan dan dosa besar. Namun, apabila seseorang menerima kedudukan tersebut
dengan tujuan menyelamatkan orang-orang tertindas, tentu itu bukanlah perbuatan
dosa. Bahkan berdasarkan fatwa sebagian ulama, perbuatan tersebut tergolong
mustahab (sunah). Lebih dari itu, menurut pendapat sebagian ulama lainnya,
hukumnya malah wajib. Menerima kedudukan dari pemerintah zalim untuk mengabdi
(pada masyarakat), menentang kezaliman, dan menyelamatkan orang-orang tertindas
bukanlah perbuatan yang haram. Bahkan, sebagaimana tadi dikemukakan, menurut
sebagian pendapat, mengupayakan hal tersebut hukumnya wajib atau mustahab. Demikian
pula dengan kepemilikan harta kekayaan. Untuk tujuan apakah Anda mengumpulkan
harta kekayaan? Apa tujuan Anda mencari kekuatan ini? Pada saat moralitas Anda
sudah terbina, dan Anda membutuhkan hal itu demi mencapai tujuan spiritual yang
mulia, Anda harus melakukannya! Jika tidak, berarti Anda telah berbuat dosa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar