Oleh
Syamsir Alam
Siapa
sebenarnya yang mengambil keuntungan dari perpecahan Sunni-Syiah di Indonesia
sekarang ini? Dalam sebuah kesempatan di Sekretariat IJABI, Kemang, Jakarta,
Sabtu (31/11/2011), Jalaluddin Rakhmat menyebutkan Amerika Serikat (AS) berada
dibalik kerusuhan Syiah di Madura. Kepentingan Amerika Serikat ikut andil dalam
beberapa konflik agama di dunia, termasuk di Indonesia, muncul pasca revolusi
Iran yang selalu menentang negara adikuasa tersebut.“Jadi dalam hal ini Amerika
berperan dalam konflik agama di Indonesia,” ungkap Kang Jalal –sapaan akrab
Jalaluddin Rakhmat– seperti dikutip Liputan.com (http://www.fimadani.com/tokoh-syiah-amerika-berperan-dalam-konflik-sunni-syiah/)
Pendapat lain, muncul dari
pengamat intelejen AC Manullang, yang mengatakan bahwa konflik di Sampang, yang
mengakibatkan terbakarnya pesantren milik Syiah, tidak bisa dilepaskan dari
persaingan Amerika Serikat dan China dalam memperebutkan gas di Madura. “Saya
menduga, konflik ini bukan hanya faktor perselisihan Sunni-Syiah, tetapi ada
kepentingan besar yang menginginkan Madura menjadi tempat konflik, karena saat
ini, China sudah menguasai kawasan ini terutama sektor gas,” kata pengamat
intelijen, AC Manullang seperti diwartakan sebuah situs berita, Selasa, 3
Januari 2012 (www.itoday.co.id). AC Manullang mensinyalir Amerika tidak suka
keberadaan Cina yang sudah menguasai sumber gas di Madura. Selain itu, pada
kesempatan lain Manullang mengatakan berdasarkan pengamatannya, intelijen asing
Amerika, yakni Central Intelligence Agency (CIA),
selalu memainkan isu-isu yang berbau Islam untuk menguji panas dinginnya
politik di Indonesia (http://arrahmah.com/ read/2012/01/09/
17324-ac-manullang-dari-pertarungan-faksi-gam- hingga-keterlibatan-cia.html).
Dr. Michael Brant, mantan tangan
kanan direktur CIA Bob Woodwards, mengungkapkan dalam sebuah buku berjudul “A Plan to Divide and Destroy the Theology”, bahwa CIA
telah mengalokasikan dana sebesar 900 juta USD untuk melancarkan berbagai
aktivitas anti-Syiah. Brant sendiri telah lama bertugas di bagian tersebut,
akan tetapi ia kemudian dipecat dengan tuduhan korupsi dan penyelewengan jabatan.
Menurut Brant, kemenangan Revolusi Iran tahun 1979 telah menggagalkan
politik-politik Barat yang sebelumnya menguasai kawasan negara Islam. Pada
mulanya Revolusi Iran itu dianggap hanya sebagai reaksi wajar terhadap politik
Syah Iran. Dan setelah Syah tersingkir, Amerika berusaha lagi untuk menempatkan
orang-orang mereka di dalam pemerintahan Iran yang baru agar dapat melanjutkan
politiknya di negara salah satu penghasil minyak terbesar, setelah Saudi
Arabia, Rusia, dan Libya.
Setelah kegagalan besar yang
dialami Amerika dalam dua tahun pertama, dikuasainya Kedubes di Teheran dan
hancurnya pesawat-pesawat tempur AS di Tabas, dan setelah semakin meningkatnya
kebangkitan Islam dan kebencian terhadap Barat, juga setelah munculnya
pengaruh-pengaruh Revolusi Iran di kalangan Syiah di berbagai negara –terutama
Libanon, Irak, Kuwait, Bahrain, dan Pakistan– akhirnya para pejabat tinggi CIA
menggelar pertemuan besar yang disertai pula oleh wakil-wakil dari Badan
Intelijen Inggris. Inggris dikenal telah memiliki pengalaman luas dalam
berurusan dengan negara-negara Arab itu.
Dalam pertemuan tersebut, Amerika
sampai pada beberapa kesimpulan, di antaranya, bahwa Revolusi Iran bukan
sekadar reaksi alami dari politik Syah Iran. Tetapi, terdapat berbagai faktor
dan hakikat lain, di mana faktor terkuatnya adalah adanya sistem kepemimpinan
politik berdasarkan agama (marjaiyah) dan ikatan melalui peringatan syahidnya
Husein, cucu Rasulullah SAW, 1400 tahun lalu, yang diperingati oleh kaum Syiah
secara meluas melalui upacara-upacara kesedihan. Sesungguhnya dua faktor ini
yang membuat Syiah lebih aktif dibanding Muslimin lainnya. Dalam pertemuan CIA
itu, telah diputuskan bahwa sebuah lembaga independen akan didirikan untuk
mempelajari Islam Syiah secara khusus dan menyusun strategi dalam menghadapinya
(http://www.
victorynewsmagazine.com /ConspiracyAgainstJaffariSchoolofThoughtRevealed.htm).
Dengan itu, bisakah disimpulkan
ada konspirasi global yang dipandu oleh Amerika, sebagai negara adikuasa yang
merasa menjadi polisi dunia, untuk menghancurkan Islam secara sistematis dan
terorganisir di seluruh dunia, termasuk Indonesia, agar bisa menguasai
sepenuhnya kawasan yang mempunyai aset ekonomi berupa minyak dan gas, seperti
Aceh, Madura dan Papua?
Masalahnya, kita memang mudah
dihasut dengan menyebarkan perbedaan kecil yang bisa menjadi sumber
kesalahpahaman penyulut kerusuhan massa. Seperti kata pepatah, “Tungau (kutu
yang sangat kecil) di seberang laut nampak, gajah di pelupuk mata tidak
nampak”. Banyak sekali persamaannya antara Sunni dan Syiah, walaupun ada
perbedaannya, mengapa harus menjadi masalah? Mungkin, karena kita senang
berdebat yang cenderung menegakkan benang basah, untuk membenarkan pendapat
sendiri selalu berusaha mencari kesalahan orang lain. Sebaiknya hentikan
polemik antara tokoh-tokoh Sunni dengan Syiah mengenai kehebatan paham mereka
masing-masing. Lebih baik berlomba dalam kebaikan memperbaiki kondisi umat yang
sedang terpuruk sekarang ini, setelah ditinggalkan oleh para penjabat yang
lebih senang memperhatikan kepentingan partainya sendiri. (*)
Sunni - Syiah bertikai kaum kafir dan yahudi tepuk tangan, maka saudara saudaraku hati hati dengan politik adu domba kafir dan yahudi
BalasHapus:-)
BalasHapus