Ia membentuk
sekelompok dai yang dikenal dengan akhlaqnya, keterbukaan pikiran dan keluasan
dadanya, serta kesiapannya untuk melakukan dialog secara intensif dan bebas
dengan masyarakat Barat.
Penampilan fisiknya mengagumkan: tampan, berkulit putih, tinggi, besar, berjenggot tebal dan rapi tanpa kumis. Wajar jika kehadirannya di suatu majelis selalu menonjol dan menyita perhatian orang.
Tetapi
kelebihannya bukan hanya itu. Kalau sudah berbicara di forum, orang akan
terkagum-kagum lagi dengan kelebihan-kelebihannya yang lain. Intonasi suaranya
membuat orang tak ingin berhenti mengikuti pembicaraannya. Pada saat tertentu,
suara dan ungkapan-ungkapannya menyejukkan hati pendengarnya. Tapi pada saat
yang lain, suaranya meninggi, menggelegar, bergetar, membuat mereka tertunduk,
lalu mengoreksi diri sendiri.
Namun
jangan dikira kelebihannya hanya pada penampilan fisik dan kemampuan bicara.
Materi yang dibawakannya bukan bahan biasa yang hanya mengandalkan retorika,
melainkan penuh dengan pemahaman-pemahaman baru, sarat dengan informasi
penting, dan ditopang argumentasi-argumentasi yang kukuh. Wajar, karena ia
memang memiliki penguasaan ilmu agama yang mendalam dalam berbagai cabang
keilmuan, ditambah pengetahuannya yang tak kalah luas dalam ilmu-ilmu modern,
juga kemampuannya menyentuh hati orang, membuat para pendengarnya bukan hanya
memperoleh tambahan ilmu dan wawasan, melainkan juga mendapatkan semangat dan
tekad yang baru untuk mengoreksi diri dan melakukan perubahan.
Itulah
sebagian gambaran Habib Ali bin Abdurrahman Al-Jufri, sosok ulama dan dai muda
yang nama dan kiprahnya sangat dikenal di berbagai negeri muslim, bahkan juga
di dunia Barat.
Ia
memang sosok yang istimewa. Pribadinya memancarkan daya tarik yang kuat. Siapa
yang duduk dengannya sebentar saja akan tertarik hatinya dan terkesan dengan
keadaannya. Bukan hanya kalangan awam, para ulama pun mencintainya. Siapa
sesungguhnya tokoh ini dan dari mana ia berasal?
Menimba Ilmu dari para Tokoh Besar
Menimba Ilmu dari para Tokoh Besar
Habib
Ali Al-Jufri lahir di kota Jeddah, Arab Saudi, menjelang fajar, pada hari
Jum’at 16 April 1971 (20 Shafar 1391 H). Ayahnya adalah Habib Abdurrahman bin
Ali bin Muhammad bin Alwi Al-Jufri, sedangkan ibundanya Syarifah Marumah binti
Hasan bin Alwi binti Hasan bin Alwi bin Ali Al-Jufri.
Di
masa kecil, ia mulai menimba ilmu kepada bibi dari ibundanya, seorang alimah
dan arifah billah, Hababah Shafiyah binti Alwi bin Hasan Al-Jufri. Wanita
shalihah ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam mengarahkannya ke
jalur ilmu dan perjalanan menuju Allah.
Setelah
itu ia tak henti-hentinya menimba ilmu dari para tokoh besar. Habib Abdul Qadir
bin Ahmad Assegaf adalah salah seorang guru utamanya. Kepadanya ia membaca dan
mendengarkan pembacaan kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, Tajrid
Al-Bukhari, Ihya’ Ulumiddin, dan kitab-kitab penting lainnya. Cukup lama Habib
Ali belajar kepadanya, sejak usia 10 tahun hingga berusia 21 tahun.
Ia
juga berguru kepada Habib Ahmad Masyhur bin Thaha Al-Haddad, ulama terkemuka
dan penulis karya-karya terkenal. Di antara kitab yang dibacanya kepadanya
adalah Idhah Asrar `Ulum Al-Muqarrabin. Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki juga
salah seorang gurunya. Kepadanya ia mempelajari kitab-kitab musthalah hadits,
ushul, dan sirah. Sedangkan kepada Habib Hamid bin Alwi bin Thahir Al-Haddad,
ia membaca Al-Mukhtashar Al-Lathif dan Bidayah Al-Hidayah.
Ia
pun selama lebih dari empat tahun menimba ilmu kepada Habib Abu Bakar Al-`Adni
bin Ali Al-Masyhur, dengan membaca dan mendengarkan kitab Sunan Ibnu Majah,
Ar-Risalah Al-Jami`ah, Bidayah Al-Hidayah, Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah,
Tafsir Al-Jalalain, Tanwir Al-Aghlas, Lathaif Al-Isyarat, Tafsir Ayat Al-Ahkam,
dan Tafsir Al-Baghawi.
Pada
tahun 1412 H (1991 M) Habib Ali mengikuti kuliah di Fakultas Dirasat Islamiyyah
Universitas Shan`a, Yaman, hingga tahun 1414 H (1993 M).
Kemudian
ia menetap di Tarim, Hadhramaut. Di sini ia belajar dan juga mendampingi Habib
Umar bin Muhammad Bin Hafidz sejak tahun 1993 hingga 2003. Kepadanya, Habib Ali
membaca dan menghadiri pembacaan kitab-kitab Shahih Al-Bukhari, Ihya’
Ulumiddin, Adab Suluk Al-Murid, Risalah Al-Mu`awanah, Minhaj Al-`Abidin,
Al-`Iqd An-Nabawi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, Al-Hikam, dan sebagainya.
Selain
kepada mereka, ia pun menimba ilmu kepada para tokoh ulama lainnya, seperti
Syaikh Umar bin Husain Al-Khathib, Syaikh Sayyid Mutawalli Asy-Sya`rawi, Syaikh
Ismail bin Shadiq Al-Adawi di Al-Jami` Al-Husaini dan di Al-Azhar Asy-Syarif,
Mesir, juga Syaikh Muhammad Zakiyuddin Ibrahim. Di samping itu, Habib Ali juga
mengambil ijazah dari 300-an orang syaikh dalam berbagai cabang
ilmu.
Dakwah yang Dialogis
Berbekal
berbagai ilmu yang diperolehnya, ditambah pengalaman berkat tempaan para
gurunya, ia pun mulai menjalankan misi dakwahnya. Aktivitas dakwahnya dimulai
pada tahun 1412 H/1991 di kota-kota dan desa-desa di negeri Yaman. Ia kemudian
berkelana dari satu negeri ke negeri lain. Perjalanannya ke mancanegara dimulai
pada tahun 1414 H/1993 dan terus berlangsung hingga kini.
Berbagai
kawasan negara dikunjunginya. Misalnya negara-negara Arab, yakni Uni Emirat
Arab, Yordania, Bahrain, Arab Saudi, Sudan, Suriah, Oman, Qatar, Kuwait,
Lebanon, Libya, Mesir, Maroko, Mauritania, Jibouti.
Negara-negara
non-Arab di Asia, di antaranya Indonesia, Malaysia, Singapura, India, Bangladesh,
Sri Lanka. Di Afrika, di antaranya ia mengunjungi Kenya dan Tanzania. Sedangkan
di Eropa, dakwahnya telah merambah Inggris, Jerman, Prancis, Belgia, Belanda,
Irlandia, Denmark, Bosnia Herzegovina, dan Turki. Ia pun setidaknya telah empat
kali mengadakan perjalanan dakwah ke Amerika Serikat; pertama tahun 1998, kedua
tahun 2001, ketiga tahun 2002, dan keempat tahun 2008. Di samping juga
mengunjungi Kanada.
Perjalanan
dakwahnya ke berbagai negeri membawa kesan tersendiri di hati para jama’ah yang
mendengarkan penjelasan dan pesan-pesannya.
Di
Jerman, ia membuat jama’ah masjid sebanyak tiga lantai menangis tersedu-sedu
mendengar taushiyahnya. Orang-orang yang tinggal di Barat, yang cenderung keras
hatinya, ternyata bisa lunak di tangan Habib Ali. Di Amerika ada yang merasa
bahwa memandang dan berkumpul bersama Habib Ali Al-Jufri selama satu malam
cukup untuk memberinya tenaga dan semangat untuk beribadah selama tiga bulan.
Di Inggris ia terlibat pelaksanaan Maulid Nabi di stadion Wembley. Di Denmark
ia mengadakan jumpa pers dengan kalangan media massa.
Di
Darul Musthafa, Tarim, Hadhramaut setiap tahun, bulan Rajab-Sya`ban, ia menjadi
pembicara rutin Daurah Internasional. Ia pun merangkul para dai muda di Timur
Tengah, serta membimbing dan memberikan petunjuk kepada para pemuda yang
berbakat. Ia suka duduk bersama para pemuda dan mengadakan dialog terbuka
secara bebas.
Dalam
berdakwah, ia aktif menjalin hubungan dengan berbagai kalangan masyarakat. Ia
memasuki kalangan yang paling bawah, seperti suku-suku di Afrika, hingga
kalangan paling atas, seperti keluarga keamiran Abu Dhabi. Ia berhubungan
dengan kalangan awam hingga kalangan yang paling alim, seperti Syaikh Muhammad
Said Ramadhan Al-Buthi (mufti de facto negeri Syria), Syaikh Ali Jum`ah (mufti
Mesir), dan ulama-ulama besar lainnya.
Banyak
sekali bintang film, artis dan aktris, para seniman, di Mesir yang bertaubat di
tangannya. Ini mengakibatkan pemerintah Mesir merasa khawatir, kalau hal ini
berlangsung terus akan memberikan dampak buruk bagi industri perfilman Mesir,
yang merupakan salah satu sumber penghasilan utama setelah pariwisata. Artis
yang sebelumnya “terbuka” jadi berhijab, yang dulunya aktor jadi berdakwah.
Kini
ia pun secara rutin tampil di televisi. Penyampaian dakwahnya menyentuh akal
dan hati. Cara dakwahnya yang sejuk dan simpatik, pandangan-pandangannya yang
cerdas dan tajam, pembawaannya yang menarik hati, membuatnya semakin
berpengaruh dari waktu ke waktu.
Kemunculan
Habib Ali di dunia dakwah membawa angin segar bagi kaum muslimin, terutama
kalangan Sunni. Cara dakwahnya berbeda dengan dakwah kalangan yang cenderung
keras, kasar, dan kering dari nilai-nilai ruhani, serta cenderung menyerang
orang lain, dan banyak menekankan pada model konflik ketimbang harmoni dengan
kalangan non-muslim. Bahkan mereka memandang masyarakat muslim sekarang sebagai
reinkarnasi dari masyarakat Jahiliyah.
Beberapa
waktu lalu koran Denmark kembali menampilkan kartun Nabi. Berbeda dengan reaksi
sebagian kalangan muslim yang penuh amarah dan tindak kekerasan di dalam
menanggapinya, Habib Ali Jufri dengan kesejukan hatinya serta ketajaman
pandangan, pikiran, akal, dan mata bathinnya telah melakukan serangkaian
langkah yang bervisi jauh ke depan. Ia berharap, langkah-langkahnya akan
berdampak positif bagi kaum muslimin, terutama yang tinggal di negara-negara
Barat, serta akan menguntungkan dakwah Islam di masa kini dan akan datang.
Bukannya
melihat kasus ini sebagai ancaman dan bahaya terhadap Islam dan muslimin, Habib
Ali justru secara cerdas melihat hal ini sebagai peluang dakwah yang besar
untuk masuk ke negeri Eropa secara terbuka, untuk menjelaskan secara bebas
tentang Rasulullah SAW dan berdialog dengan penduduk serta kalangan pers di
sana tentang agama ini dan tentang fenomena muslimin. Singkatnya, ia justru melihat
ini sebagai peluang dakwah yang besar.
Tentu
saja cara pandang Habib Ali juga disebabkan pemahamannya yang sangat dalam
tentang karakter masyarakat Barat. Salah satu karakter terbesar mereka adalah
mempunyai rasa ingin tahu yang besar, berpikir rasional, dan memiliki sikap
siap mendengarkan. Karakter-karakter umum ini, ditambah sorotan perhatian
kepada Rasulullah, merupakan peluang besar untuk memberikan penjelasan. Mereka
ingin tahu tentang Nabi SAW, berarti mereka dalam kondisi siap mendengarkan.
Mereka rasional, berarti siap untuk mendapatkan penjelasan yang logis.
Apabila
kita bisa menjelaskan tentang Nabi SAW dan agama ini kepada mereka dengan cara
yang menyentuh akal dan hati mereka, maka kita justru akan bisa mengubah
mereka. Dari yang anti menjadi netral, yang netral menjadi pro, yang pro
menjadi muslim, yang antipati menjadi simpati, yang keras menjadi lembut, yang
marah menjadi dingin, yang acu menjadi penasaran. Sekaligus pula mencegah
simpatisan menjadi oposan, pro menjadi anti dan seterusnya.
Karena
karakter masyarakat Barat yang terbuka, toleran, lebih bisa menerima
keanekaragaman budaya, maka peluang dakwah terbuka bebas. Inilah ranah ideal
untuk dakwah Islamiyah. Tentu saja ini bagi para da`i yang berfikiran terbuka,
berakal lurus dan tajam, cerdas memahami situasi kondisi, dan memiliki dada
yang cukup lapang dalam menerima tanggapan negatif, serta giat melakukan
pendekatan yang konstruktif dan positif, serta memiliki akhlak yang mulia. Di
sinilah Habib Ali Al-Jufri masuk dengan dakwahnya yang dialogis.
Terjalinnya Silaturahim
Terjalinnya Silaturahim
Tentu
saja untuk berani melakukan dialog dengan pers Barat dibutuhkan kecerdasan dan
keluasan berpikir serta pemahaman atas pola berpikir masyarakat Barat. Habib
Ali dan para dai ini, selain sangat memahami masyarakat Barat, juga memiliki
tim khusus yang melakukan penelitian-penelitian secara ilmiah dan mendetail
tentang subyek apa pun yang dibutuhkan.
Ketika
melihat berbagai reaksi yang ada atas kasus kartun Nabi, Habib Ali menemukan
satu benang merah: semua kelompok dalam masyarakat Islam marah. Kemarahan yang
mencerminkan masih adanya sisa-sisa mahabbah kepada Nabi SAW ini bersifat
lintas madzhab, lintas thariqah, lintas jama’ah, bahkan lintas aqidah. Habib
Ali melihat ini sebagai peluang pula untuk menyatukan visi kaum muslimin dan
menyatukan barisan mereka. Kalau kaum muslimin tak bisa bersatu dalam madzhab,
thariqah, bahkan aqidah, mereka ternyata bisa disatukan dalam mahabbah dan
pembelaan terhadap Nabi SAW.
Langkah
Habib Ali tidak berhenti di sini. Ia membentuk sekelompok dai yang dikenal
dengan akhlaqnya, keterbukaan pikiran dan keluasan dadanya, serta kesiapannya
untuk melakukan dialog secara intensif dan bebas dengan masyarakat Barat.
Kemudian ia bersama kelompok dai ini mengadakan safari intensif keliling Eropa
bertemu dengan kalangan pers dan berbagai kalangan lainnya untuk memberikan
penjelasan.
Habib
Ali dan para dai tersebut mengambil momen ini untuk memupuk cinta muslimin
kepada Rasulullah, untuk menghidupkan lagi tradisi-tradisi yang lama mati, dan
untuk mengajak muslim berakhlaq mulia sebagaimana akhlaq nabinya, sambil
mengingatkan kaum muslimin yang berdemo agar menjaga adab dan akhlaq Nabi. Ia
juga menyeru kepada kaum muslimin untuk memanfaatkan momen ini dengan
menghadiahkan buku-buku tentang Nabi Muhammad kepada para tetangga dan
kawan-kawan mereka yang non-muslim, serta untuk membuka topik untuk menjelaskan
kepada mereka tentang Rasulullah dan kedudukan beliau di lubuk hati kaum
muslimin.
Bukan
hanya itu. Ia pun memanfaatkan momen ini untuk menyatukan dai-dai sedunia dalam
satu shaf dan mempelopori berdirinya organisasi dai sedunia. Yang menarik,
dalam semua tindakan dan langkahnya ini, ia senantiasa menggandeng,
berkoordinasi, dan bermusyawarah serta melibatkan para ulama besar dunia,
seperti Syaikh Muhammad Sa`id Ramadhan Al-Buthi, Syaikh Ali Jum`ah (mufti
Mesir), dan ulama-ulama besar lainnya. Sehingga gerakan ini menjadi gerakan
kolektif, milik bersama, bukan milik Habib Ali saja.
Sebagai
salah satu dampak dari gerakan ini adalah terjalinnya silaturahim dan
tersambungnya komunikasi yang sebelumnya terputus atau kurang intensif di
antara para ulama dan dai muslimin karena mereka menjadi giat berkomunikasi
lintas madzhab, pemikiran, kecenderungan pribadi, bahkan lintas aqidah.
Gerakan
yang dipelopori Habib Ali ternyata mampu mengikat sejumlah besar pemuka Islam
dari berbagai latar belakang yang berbeda ke dalam satu shaf lurus yang panjang
untuk bersama-sama menanggapi sebuah isu internasional dengan satu suara bulat
yang tidak terpecah-pecah. Kita berharap, ini tidak akan berakhir, bahkan justru menjadi sebuah awal dari
persatuan ulama dan dai-dai muslimin. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar