Menafsir Iman Melalui
Puisi oleh Sulaiman Djaya (2007)
Di Antara Keabadian dan Kefanaan: Burung-Burungnya
Fariduddin Attar
“Pembicaraanku tanpa kata, tanpa lidah,
“Pembicaraanku tanpa kata, tanpa lidah,
tanpa suara. Perdengarkan nyanyi ratapmu
yang timbul karena luka dan kepedihan cinta.
Dan kau pun melihat mata air nurani
yang tercelup di lautan cahaya
sementara kau tinggal di sumur kegelapan
dan penjara ketakpastian.
Kau terikat pada tubuh dunia ini dan dari
semesta dunia, kini dan nanti.
Bila kau telah mencapai kesempurnaan diri,
kau pun tak
akan ada lagi......” (Fariduddin
Attar).[18]
Pada suatu pengalaman dan pencaharian tertentu, moment religius adalah moment puitik, dan seorang penyair mendapatkan keterbatasan sekaligus kekayaannya dalam kesunyian dan pengasingan. Ia menjadi peziarah spiritual untuk menualangi kefanaan-nya, dan keabadiannya adalah sebentuk kerinduan pada ketiadaan (eskatologi):
Pada suatu pengalaman dan pencaharian tertentu, moment religius adalah moment puitik, dan seorang penyair mendapatkan keterbatasan sekaligus kekayaannya dalam kesunyian dan pengasingan. Ia menjadi peziarah spiritual untuk menualangi kefanaan-nya, dan keabadiannya adalah sebentuk kerinduan pada ketiadaan (eskatologi):
“Bagaimana mengukur bulan dari ikan?
Begitulah ribuan kepala bergerak kesana kemari
dan hanya ratap dan keluh saja yang terdengar.
Tak adakah Daud yang malang tempat aku
Antara kerinduan dan
ketakberdayaan kemudian menjadi sebentuk rima dan nyanyian. Ikhtiar ini
mendapatkan momentnya dalam sebuah upaya menyamarkan lewat lagu kerinduan. Pada
konteks ini seorang penyair tengah berdusta untuk melawan mereka-mereka yang dengan
mudah telah mampu melakukan penggenapan pada pengetahuan dan kebenaran.
Dusta seorang penyair
menjadi sebentuk kejujuran dan kerendahan hati untuk mengakui ketakberdayaannya
sendiri di hadapan keabadian. Atau ia berusaha untuk menertawakan upaya menemukan
keabadian tersebut, karena kefanaannya jauh lebih nyata seperti halnya siang
dan malam. Dan usaha untuk menertawai adalah juga ikhtiar untuk mendustai.
Tidaklah berlebihan bila Jalaluddin Rumi berkata tentang Fariduddin Attar: ‘Bila aku adalah raga, maka Attar adalah jiwa’[20]. Bila raga yang fana rentan terkapar, maka jiwa yang abadi senantiasa berkelana, dan petualangan seorang penyair dan mistikus menjadi sebentuk ziarah spiritual. Lalu iman? Mungkin sejenis keraguan dan skeptisisme yang meradang, tapi justru dengan itu iman senantiasa mencari dan kritis. Iman menjadi sebentuk interupsi. Iman di hati para penyair-mistik menjadi ikhtiar pencarian dalam pergulatannya dengan realitas kefanaan.
Iman yang puitis ini kemudian terasa lebih lembut ketimbang imannya para fuqaha dan teolog. Menjadi sebentuk penghayatan personal seperti halnya Kierkegaard dan Al-Hallaj. Iman seperti ini disulam dari rasa rindu dan kasih-sayang, lahir dari kepekaan seorang penyair dan mistikus. Kadang-kadang iman puitis ini adalah ikhtiar untuk menertawai sekaligus mendustai ketakberdayaan di hadapan kefanaan, lalu mencari ilusi keabadian. Menjelma iman eskatologis. Kesadarannya pada ketiadaan adalah upaya untuk menghibur sekaligus menghidupi realitas kefanaan.
Akan tetapi pada sisi yang lain, iman para penyair dan mistikus ini adalah sebentuk komitmen dan keintiman yang kuat pada hidup dan takdir-esksistensial manusia itu sendiri. Ia meresapi bahwa nasib dan takdirnya juga dialami oleh semua manusia. Karena itu iman para penyair dan mistikus hanya mengenal kesalehan, bukan iman yang dikumandangkan untuk membenarkan penghalalan darah manusia.
Ketika seorang penyair dan mistikus menyadari kefanaannya sendiri, ketika itu pulalah ia memaklumi kefanaan yang lainnya. Iman yang lembut dan puitis ini memanglah pertama-tama lahir dari kerendahan hati seorang mistikus dan penyair. Ia tak pernah tahu apakah dirinya saleh atau tidak. Yang ia tahu bahwa dirinya kelak tiada: “bila kau telah mencapai kesempurnaan diri, kau tak akan ada lagi”.
Iman para mistikus dan penyair menjadi permenungan dalam pergulatannya dengan realitas kefanaan. Sebentuk teodisi dan ikthtiar untuk menemukan illuminasi. Iman seperti inilah yang akan menumbuhkan sikap toleransi. Iman yang yang menegur diri sendiri. Menginvestigasi kerentanan subjek.
Imannya Fariduddin Attar yang mencari dan berziarah adalah metafor burung-burungnya yang bermusyawarah, berdialog. Tapi di saat yang sama juga terbang berpetualang mencari musim, berkelana dalam kefanaan. Dalam ikhtiar untuk menertawai ilusi keabadian. Sebentuk kerinduan pada ketiadaan.
Iman pada konteks ini adalah iman memiliki komitmen pada kefanaan itu sendiri sebagai realitas kehidupan manusia. Iman yang mengabdi pada sejarah sekaligus iman yang berikhtiar untuk memperbaiki sejarah. Iman yang memiliki tanggungjawab pada sejarah. Sekaligus yang mencari kemungkinan-kemungkinan bagi sejarah dan masa depan. Iman yang berikhtiar untuk menemukan masa depan dalam kubangan kefanaan. Sebentuk iman yang berdialog dan bermusyawarah. Seperti The Conference of the Birds-nya Fariduddin Attar.
Iman Pencarian Sebagai Interupsi dan Investigasi: Membaca Kembali Eulogy-nya Si Pengkhotbah
“Segala perkataan tak mencukupi,
Tidaklah berlebihan bila Jalaluddin Rumi berkata tentang Fariduddin Attar: ‘Bila aku adalah raga, maka Attar adalah jiwa’[20]. Bila raga yang fana rentan terkapar, maka jiwa yang abadi senantiasa berkelana, dan petualangan seorang penyair dan mistikus menjadi sebentuk ziarah spiritual. Lalu iman? Mungkin sejenis keraguan dan skeptisisme yang meradang, tapi justru dengan itu iman senantiasa mencari dan kritis. Iman menjadi sebentuk interupsi. Iman di hati para penyair-mistik menjadi ikhtiar pencarian dalam pergulatannya dengan realitas kefanaan.
Iman yang puitis ini kemudian terasa lebih lembut ketimbang imannya para fuqaha dan teolog. Menjadi sebentuk penghayatan personal seperti halnya Kierkegaard dan Al-Hallaj. Iman seperti ini disulam dari rasa rindu dan kasih-sayang, lahir dari kepekaan seorang penyair dan mistikus. Kadang-kadang iman puitis ini adalah ikhtiar untuk menertawai sekaligus mendustai ketakberdayaan di hadapan kefanaan, lalu mencari ilusi keabadian. Menjelma iman eskatologis. Kesadarannya pada ketiadaan adalah upaya untuk menghibur sekaligus menghidupi realitas kefanaan.
Akan tetapi pada sisi yang lain, iman para penyair dan mistikus ini adalah sebentuk komitmen dan keintiman yang kuat pada hidup dan takdir-esksistensial manusia itu sendiri. Ia meresapi bahwa nasib dan takdirnya juga dialami oleh semua manusia. Karena itu iman para penyair dan mistikus hanya mengenal kesalehan, bukan iman yang dikumandangkan untuk membenarkan penghalalan darah manusia.
Ketika seorang penyair dan mistikus menyadari kefanaannya sendiri, ketika itu pulalah ia memaklumi kefanaan yang lainnya. Iman yang lembut dan puitis ini memanglah pertama-tama lahir dari kerendahan hati seorang mistikus dan penyair. Ia tak pernah tahu apakah dirinya saleh atau tidak. Yang ia tahu bahwa dirinya kelak tiada: “bila kau telah mencapai kesempurnaan diri, kau tak akan ada lagi”.
Iman para mistikus dan penyair menjadi permenungan dalam pergulatannya dengan realitas kefanaan. Sebentuk teodisi dan ikthtiar untuk menemukan illuminasi. Iman seperti inilah yang akan menumbuhkan sikap toleransi. Iman yang yang menegur diri sendiri. Menginvestigasi kerentanan subjek.
Imannya Fariduddin Attar yang mencari dan berziarah adalah metafor burung-burungnya yang bermusyawarah, berdialog. Tapi di saat yang sama juga terbang berpetualang mencari musim, berkelana dalam kefanaan. Dalam ikhtiar untuk menertawai ilusi keabadian. Sebentuk kerinduan pada ketiadaan.
Iman pada konteks ini adalah iman memiliki komitmen pada kefanaan itu sendiri sebagai realitas kehidupan manusia. Iman yang mengabdi pada sejarah sekaligus iman yang berikhtiar untuk memperbaiki sejarah. Iman yang memiliki tanggungjawab pada sejarah. Sekaligus yang mencari kemungkinan-kemungkinan bagi sejarah dan masa depan. Iman yang berikhtiar untuk menemukan masa depan dalam kubangan kefanaan. Sebentuk iman yang berdialog dan bermusyawarah. Seperti The Conference of the Birds-nya Fariduddin Attar.
Iman Pencarian Sebagai Interupsi dan Investigasi: Membaca Kembali Eulogy-nya Si Pengkhotbah
“Segala perkataan tak mencukupi,
tak seorang jua pun sanggup
untuk mengatakannya.
Dengan tiada sangguplah manusia
untuk menyelami
dari permulaan sampai
penghabisan.
Begitu juga pengertian
akan keabadian
dalam hati mereka. Sebab
samalah nasib manusia
dan binatang, berakhir
pada kematian.
Karena itu lebih baik
anjing yang hidup
daripada singa yang mati. Maka
minumlah anggurmu
dengan sukahati” (Si
Pengchotbah).[21]
Mungkin iman yang sesungguhnya adalah iman yang sadar dengan ketidaktahuan, lalu Si Pengkhotbah pun melanjutkan: ‘dari yang lampau tak ada peringatan, dan dari yang kemudian pun tak ada peringatan’[22]. Si Pengkhotbah adalah subjek yang sadar dengan kedhaifannya untuk merengkuh apa yang disebut hakikat. Si Pengchotbah pun melanjutkan: ‘dan apa yang kurang tak dapat dibilang’[23]. Karena Si Pengchotbah sadar bahwa ikhtiar pencarian ini pun bermuara pada enigma: ‘dan barangsiapa menambah pengetahuan, ia pun hanya menambah duka’. Sebab itulah Si Pengchotbah bermuram:
“Kubangun rumah-rumah dan kutanam segala pohon dan buah-buah. Orang bijak mempunyai mata di kepalanya dan kedunguan berjalan dalam kegelapan. Tapi apa gunanya aku menjadi bijak? Sebab nasib si dungu pun menimpaku juga!”[24]
Terkadang pesimisme memang lebih mampu mengungkapkan kerentanan subjek sekaligus kedalamannya ketimbang optimisme yang banal yang justru abai pada sisi yang lain dari kehidupan. Menurutku Si Pengkhotbah adalah sebentuk teguran atas iman yang menafikan pengetahuan dan kepekaan, sebab manusia senantiasa terjebak di antara ketakterbatasan dan keterbatasan.
Di Antara Ketakterbatasan dan Keterbatasan
Pada konteks ini Kierkegaard menulis: kehidupan manusia adalah sebentuk sintesis antara ketakterbatasan dan keterbatasan, di antara kefanaan dan keabadian, di antara kebebasan dan keharusan[25]. Kesadaran akan kenyataan ini mungkin bisa menjadi wawasan yang lebih toleran pada diri sendiri atau pada orang lain sejauh menyangkut pandangan religius atau keimanan seseorang. Pada konteks ini mungkin seseorang akan senantiasa menyadari bahwa dirinya terus-menerus berada dalam kerentanan dan keterbatasan untuk merengkuh kebenaran hakikat. Sebab keimanan dan sikap religius pada dasarnya adalah mungkin sebentuk keragu-raguan itu sendiri, tapi justru dengan itu iman terus mencari dan berziarah.
Mungkin iman yang sesungguhnya adalah iman yang sadar dengan ketidaktahuan, lalu Si Pengkhotbah pun melanjutkan: ‘dari yang lampau tak ada peringatan, dan dari yang kemudian pun tak ada peringatan’[22]. Si Pengkhotbah adalah subjek yang sadar dengan kedhaifannya untuk merengkuh apa yang disebut hakikat. Si Pengchotbah pun melanjutkan: ‘dan apa yang kurang tak dapat dibilang’[23]. Karena Si Pengchotbah sadar bahwa ikhtiar pencarian ini pun bermuara pada enigma: ‘dan barangsiapa menambah pengetahuan, ia pun hanya menambah duka’. Sebab itulah Si Pengchotbah bermuram:
“Kubangun rumah-rumah dan kutanam segala pohon dan buah-buah. Orang bijak mempunyai mata di kepalanya dan kedunguan berjalan dalam kegelapan. Tapi apa gunanya aku menjadi bijak? Sebab nasib si dungu pun menimpaku juga!”[24]
Terkadang pesimisme memang lebih mampu mengungkapkan kerentanan subjek sekaligus kedalamannya ketimbang optimisme yang banal yang justru abai pada sisi yang lain dari kehidupan. Menurutku Si Pengkhotbah adalah sebentuk teguran atas iman yang menafikan pengetahuan dan kepekaan, sebab manusia senantiasa terjebak di antara ketakterbatasan dan keterbatasan.
Di Antara Ketakterbatasan dan Keterbatasan
Pada konteks ini Kierkegaard menulis: kehidupan manusia adalah sebentuk sintesis antara ketakterbatasan dan keterbatasan, di antara kefanaan dan keabadian, di antara kebebasan dan keharusan[25]. Kesadaran akan kenyataan ini mungkin bisa menjadi wawasan yang lebih toleran pada diri sendiri atau pada orang lain sejauh menyangkut pandangan religius atau keimanan seseorang. Pada konteks ini mungkin seseorang akan senantiasa menyadari bahwa dirinya terus-menerus berada dalam kerentanan dan keterbatasan untuk merengkuh kebenaran hakikat. Sebab keimanan dan sikap religius pada dasarnya adalah mungkin sebentuk keragu-raguan itu sendiri, tapi justru dengan itu iman terus mencari dan berziarah.
Catatan:
[17] Sumber: 1. Jacques Derrida, Hostipitality dalam Acts Of Religion, translated and introduced by Gil Anidjar, Routledge 2002, pp.359-420, 2.Giovanna Borradori, Philosphy In A Time Of Terror, terj. Alfons Taryadi, Penerbit Kompas Maret 2005, 3.Geoffrey Bennington, Forever Friends dalam Interupting Derrida, Routledge 2002, pp.110-127, 4.Al Kitab Perjanjian Lama, 5.Al Qur’an
[18] Fariduddin Attar, The Conference of the Birds, terj. Tarawang Press Jogjakarta 2003:16-19
[19] Ibid, h.27
[20] Ibid, h.vii
[21] Kitab-Kitab Kebijaksanaan, Nusa Indah Flores 1960, h.192-212
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Soren Kierkegaard, The Sickness Unto Death, transl. Alastair Hannay, Penguin Books 1989:43
[17] Sumber: 1. Jacques Derrida, Hostipitality dalam Acts Of Religion, translated and introduced by Gil Anidjar, Routledge 2002, pp.359-420, 2.Giovanna Borradori, Philosphy In A Time Of Terror, terj. Alfons Taryadi, Penerbit Kompas Maret 2005, 3.Geoffrey Bennington, Forever Friends dalam Interupting Derrida, Routledge 2002, pp.110-127, 4.Al Kitab Perjanjian Lama, 5.Al Qur’an
[18] Fariduddin Attar, The Conference of the Birds, terj. Tarawang Press Jogjakarta 2003:16-19
[19] Ibid, h.27
[20] Ibid, h.vii
[21] Kitab-Kitab Kebijaksanaan, Nusa Indah Flores 1960, h.192-212
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Soren Kierkegaard, The Sickness Unto Death, transl. Alastair Hannay, Penguin Books 1989:43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar