Label

Bung Karno & Uni Soviet


oleh Alexei Drugov (pakar ilmu politik Rusia, pemerhati masalah Indonesia)

PERKATAAN terkenal berbunyi: orang-orang agung seperti bintang di langit –bahkan waktu bintang sudah mati, cahayanya masih lama terlihat orang. Oleh karena itu, perayaan ulang tahun orang agung bukan hanya alasan memperingatinya dengan hormat, tetapi juga mempelajari pengalamannya agar mendapat sesuatu yang penting untuk mengatasi masalah-masalah masa kini.

Kehidupan dan kegiatan Presiden Soekarno mewujudkan dua zaman dalam sejarah Indonesia, yaitu perjuangan kemerdekaan yang mengakibatkan proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, dan periode pembangunan negara Indonesia sampai tahun 1967, ketika Presiden Soekarno mundur dari jabatannya.

Soekarno mengatakan berulang kali, ide nasionalismenya berpadu dengan internasionalisme. Hal itu antara lain dibuktikan dengan jelas oleh sikap Soekarno terhadap Uni Soviet. Orang Rusia sampai saat ini mengingat dengan rasa terima kasih bagaimana pada tahun 1941 Soekarno yang pada waktu itu diasingkan ke Bengkulu, dalam artikelnya di koran Pemandangan menyatakan keyakinannya terhadap kemenangan Tentara Merah (Soviet) melawan pasukan Hitler.

Soekarno menulis, “Tentara Merah tidak hanya membela kemerdekaan negaranya sendiri, tetapi juga akan mendukung pembebasan seluruh umat manusia dari ancaman fasisme”. Pandangan Soekarnomencerminkan ideologi seluruh gerakan pembebasan nasional Indonesia. Sikap Uni Soviet pada masa perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia ialah meyakinkan Soekarno bahwa Uni Soviet adalah kekuatan yang dapat diandalkan Indonesia dalam mempertahankan kepentingan nasionalnya.

Oleh karena itu, pada awal tahun 1948 atas prakarsa Indonesia dicapai persepakatan pendahuluan mengenai terjalinnya hubungan diplomatik antara Indonesia dan Uni Soviet. Namun, karena beberapa peristiwa di Indonesia, realisasi persepakatan tersebut secara praktis baru mulai pada awal tahun 1950-an.

Pada musim semi tahun 1952 delegasi Indonesia berangkat ke Moskwa untuk ikut serta dalam Persidangan Ekonomi Dunia. Anggota delegasi antara lain Adam Malik, yang kemudian menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Uni Soviet, bahkan kemudian menjadi Menteri Luar Negeri dan Wakil Presiden RI.

Pada bulan April tahun 1955 Uni Soviet menyambut baik Konferensi Negara-negara Asia dan Afrika di Bandung. Sambutan positif itu tampaknya dapat meyakinkan Soekarno bahwa persepsi Moskwa terhadap keadaan dunia setelah Perang Dunia II lebih pluralis daripada pandangan Barat.

Sikap negara-negara Barat terhadap Konferensi Bandung dan Gerakan Nonblok secara terus terang diucapkan oleh Menlu AS John Foster Dulles, yang menyebut sikap netral Indonesia sebagai “politik amoral”. Satu atau dua tahun kemudian sikap negatif itu diperlihatkan secara lebih keras pula dalam bentuk bantuan militer yang diberikan oleh pihak Barat kepada para pemberontak separatis di Sumatera dan Sulawesi.

Banyak pengamat menganggap Soekarno sebagai seorang romantik dalam politik. Soekarno sendiri tampaknya tidak keberatan atas persepsi itu. Namun, ternyata simpatinya dalam politik luar negeri ditentukan bukan oleh emosinya, melainkan pragmatismenya, yaitu kemampuannya melihat kepentingan nasional Indonesia dan mempertimbangkan apakah politik negara lain sesuai dengan kepentingan nasionalisme Indonesia.

Misalnya, seperti diketahui, pada akhir tahun 1950-an waktu Pemerintah Indonesia menyepakati perlunya modernisasi ABRI, awalnya penelitian mengenai pembelian persenjataan dilakukan di Barat. Dan hanya setelah ditolak negara-negara Barat secara nyata baru Jakarta mengarah ke Moskwa dan negara-negara Eropa Timur.

Kunjungan Soekarno ke Moskwa pada Agustus-September tahun 1956 menjadi peristiwa yang sangat penting artinya dalam sejarah hubungan Indonesia dan Uni Soviet. Baru pada waktu itulah Indonesia memperoleh simpati di Uni Soviet. Setelah mengunjungi banyak daerah dan berpidato di depan ratusan ribu orang, Soekarno berhasil mengubah sikap masyarakat Uni Soviet tentang negara Indonesia yang dianggap jauh dan kurang diketahui, menjadi salah satu negara yang paling disukai orang Soviet.

Selain itu pula, Soekarno menemukan titik persamaan dengan tokoh-tokoh politik Soviet, pertama-tama karena pertimbangannya saling kepentingan secara pragmatis dan wajar.

Presiden RI menyadari, Uni Soviet bertujuan memperkuat kedudukannya di antara negara-negara sedang berkembang sebagai benteng anti-imperialisme, yang terus berusaha keras mempertahankan gagasannya dalam rangka politiknya menentang AS. Sementara itu Soekarno juga berkeyakinan, kesempatan memperluas pengaruh Soviet di Indonesia terbatas karena banyak faktor, termasuk perbedaan kebudayaan dan agama.

Keyakinan itu secara umum ternyata benar. Uni Soviet memberikan kepada Indonesia bantuan militer yang tidak ada bandingannya. Ribuan orang militer Indonesia diajari oleh instruktur-instruktur Soviet. Kerja sama ekonomi berkembang aktif pada waktu itu. Akan tetapi, semua hal tersebut tidak mengakibatkan kenaikan nyata pengaruh politik Soviet di RI, khususnya dalam ABRI. Namun, hal itu tidak mengecilkan arti rasa simpati orang biasa yang timbul antara para anggota AL, AU, pasukan tank dan roket, serta ahli sipil kedua negara itu.

Yang menjadi contoh perkiraan politik sangat tepat dari kedua pihak tersebut adalah kampanye Irian Barat. Baik Soekarno maupun pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev tidak mau agar keberadaan kapal dalam jumlah besar seperti kapal selam dan pesawat terbang militer Soviet di Indonesia melampaui rangka demonstrasi kekuatan saja hingga mendorong Belanda, sama dengan AS, untuk menyelesaikan masalah dengan cara politik. Uni Soviet dan Indonesia sepenuhnya saling mengerti mengenai hal itu.

Sebaliknya, dua tahun kemudian saling pengertian seperti itu gagal tercapai waktu Indonesia melawan pembentukan Federasi Malaysia. Soekarno menduga bahwa Uni Soviet berdasarkan taruhannya di “Dunia Ketiga” akan sedia memberikan kepada Indonesia bantuan sebesar kampanye Irian Barat. Akan tetapi, pada saat sengketa dengan Malaysia keadaan dunia berubah sehingga yang dianggap paling mungkin adalah campur tangan militer Barat yang berpihak kepada Kuala Lumpur. Tambahan lagi campur tangan seperti itu dapat mengakibatkan konflik besar.

Sekarang kita menghampiri perbedaan penting antara Moskwa dan Jakarta dalam sikap terhadap politik dunia yang mulai menonjol pada tahun 1962-1963. Soekarno menganggap bahwa pandangan Soviet menjadi lebih didominasi ide koeksistensi secara damai dan pencegahan perang nuklir. Beliau memandang sikap itu sebagai gejala kongkalikong antara Uni Soviet dan Amerika Serikat dengan mempermainkan negara-negara sedang berkembang.

Khrushchev pada gilirannya dan kemudian Leonid Brezhnev (pemimpin Soviet sesudah Khrushchev) cukup beralasan mengira bahwa dengan menghilangkan ancaman nuklir mereka bertindak demi kepentingan seluruh umat manusia, termasuk Indonesia. Perbedaan pendapat tersebut menonjol, misalnya, dalam perundingan Soekarno dan Khrushchev di Moskwa pada bulan September tahun 1964.

Namun, kalau masalah itu dipandang dari segi masa kini maka intinya ternyata berubah. Dengan penggunaan bahasa modern, Soekarno khawatir atas munculnya model dunia bipolar sehingga kebanyakan negara akan dipengaruhi perkembangan hubungan antara dua “raksasa nuklir.” Sedangkan ide-ide Konferensi Bandung, yang dibaktikan Soekarno sampai hari terakhir, berarti penetapan hak politik semua negara untuk ikut serta secara berdaulat dalam menentukan tata dunia.

Demikianlah kalau saat ini dipertanyakan apa yang masih aktual dari warisan ide-ide Soekarno, maka seharusnya ditonjolkan ide dunia multipolar dan prinsip persamaan hak semua negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar