Label

Burung-Burung Januari


Bagi banyak orang, Januari tentu saja adalah bulan keriangan, terutama bagi mereka yang menyambut dan merayakannya. Tapi itu tidak sama dengan kami. Sejujurnya kami tak pernah tahu bila ada orang-orang yang menyalakan kembang api di tengah malam di ujung bulan Desember. Saya hanya tahu bahwa di saat saya terbangun pagi-pagi sekali di awal bulan itu, saya hanya keluar sejenak.

Mungkin ketika itu saya terpesona, meski masih seorang kanak-kanak, saat tangan-tangan fajar menyentuh rumput dan daun-daun yang masih basah karena embun. Menyentuh hidup.

Itulah saat-saat saya sungguh-sungguh terjaga, entah saya duduk atau berdiri kala itu. Mengelanakan kedua mata ke arah cuaca. Sementara, ketika saya telah menjadi seorang lelaki remaja, di pagi-pagi seperti itu saya akan menyeduh segelas kopi dari bubuk kopi buatan Ibu, agar sedikit merasa nyaman saat duduk di gubuk, menunggu burung-burung Januari yang kami khawatirkan akan datang menyerbu.

Pada saat-saat seperti itulah, saya sadar bahwa ada yang tengah termenung, ada yang begitu riang berlarian seperti kanak-kanak yang bahagia. Juga, ada yang tengah merapihkan diri dan ada yang bermain-main saja. Tetapi itu semua saya namakan sebagai tangan-tangan fajar yang riang bermain dan bercanda dengan burung-burung awal bulan Januari yang basah dan lembab saat saya tengah terduduk di sebuah gubuk tempat saya termenung dan menunggu.

Itulah keriangan Januari yang kami pahami dan kami alami. Keriangan yang juga datang ketika kami meninggalkan tahun sebelumnya, meski saya kira, ketika itu segala sesuatunya masih tetap sama dan tidak berubah. Kami masih menjalani hidup dengan menginjakkan kaki-kaki kami di lumpur dan meremas batang-batang padi ketika memukul-mukulkan ujung-ujung pohonnya yang bergelantungan bijian-bijian berwarna kuning pada sebuah alat yang kami sebut gelebotan. Setelahnya, seperti biasa, ada keheningan senjakala.

Burung-burung Januari saat itu, seperti sebuah karnaval yang melintasi bentangan kanvas-kanvas langit dan cakrawala yang berwarna kuning dan merah. Di hari-hari yang lain, bila kami telah selesai membantu orang tua-orang tua kami itu, kami akan bermain layang-layang hingga adzan magrib berkumandang. Dan pada malam harinya, selepas sembahyang magrib itu, kami akan membawa lampu minyak milik kami masing-masing menuju sebuah langgar tempat kami belajar al Qur’an kepada ustadz kami yang terbilang galak.

Seperti itulah rutinitas kami sebagai kanak-kanak sebelum akhirnya saya belajar dan mengerjakan tugas sekolah di rumah, juga bertemankan semungil nyala lampu minyak yang telah dinyalakan Ibu. Tidak seperti sekarang ini, musik-musik malam saya ketika itu adalah desau angin yang datang dari ranting-ranting dan sela-sela dedaunan sepanjang sungai, juga para katak dan serangga yang tak bosan-bosan memainkan orkhestra mereka. (Sulaiman Djaya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar