Label

Islam di Era Imam Ali As


Oleh Allamah Muhammad Husain Thabathabai

Periode kekhalifahan Ali as dimulai di penghujung tahun 35 H. dan berlangsung selama empat tahun dan sembilan bulan. Dalam metode kekhalifahannya, Ali as mengikuti metode pemerintahan Rasulullah saw.[1] Ia mengembalikan mayoritas perubahan yang telah dilakukan para khalifah sebelumnya ke posisinya semula dan memberhentikan seluruh pegawai negara yang tidak layak yang pada waktu itu masih memegang kekuasaan.[2] Pada hakikatnya, tindakannya adalah sebuah revolusi besar-besaran, dan—tentunya—menghadapi banyak problematika.

Pada hari pertama kekhalifahannya, dalam sebuah pidato di hadapan masyarakat, Ali as menegaskan, “Ketahuilah! Problematika yang kamu hadapi pada saat Rasulullah diutus menjadi nabi, sekarang telah kembali ke (pangkuan)mu dan telah mendominasi kehidupanmu. Kamu harus berubah secara total. Para pemilik keutamaan yang selama ini diletakkan di belakang harus maju ke depan (baca: memimpin) dan mereka yang telah berada di depan (baca: memimpin) dengan cara tidak becus harus berada di belakang. Jika kebatilan sangat banyak (baca: merajalela), hal itu bukanlah suatu hal yang baru, dan jika hak (kebenaran) amat sedikit, kadang-kadang sesuatu yang sedikit dapat maju ke depan (memimpin) dan harapan untuk maju masih ada. Hanya saja sangat jarang terjadi sesuatu yang telah berlalu dari seseorang, ia akan kembali lagi.”[3]

Ali as melanjutkan sistem pemerintahan revolusionernya. Dan sebagai konsekuensi alamiah dari sebuah revolusi, unsur-unsur penentang yang merasakan kepentingan-kepentingannya terancam akan mengadakan penentangan dari setiap penjuru pemerintahan. Dengan dalih menuntut darah Khalifah Ketiga, mereka telah meletuskan peperangan-peperangan intern berdarah yang—kira-kira—berlanjut selama periode kekhalifahan Ali as. Menurut pendapat Syi‘ah, pihak-pihak yang menjadi faktor meletusnya peperangan-peperangan intern ini tidak memiliki tujuan lain kecuali kepentingan pribadi, dan menuntut darah Khalifah Ketiga tidak lebih hanyalah sebuah dalih untuk mengelabuhi opini masyarakat awam. Bahkan, kesalahpahaman pun bukanlah faktor pemicu peperangan-peperangan itu.[4]

Faktor penyebab perang pertama yang dikenal dengan Perang Jamal adalah realita perselisihan kasta yang muncul sejak masa kekhalifahan Khalifah Kedua ketika ia membagi-bagikan harta Baitul Mâl secara tidak rata. Setelah resmi menjadi Khalifah, Ali as membagi-bagikannya di antara masyarakat secara sama rata[5] seperti cara Rasulullah saw membagi-bagikannya. Metode pembagian harta Baitul Mal semacam ini sangat menyakitkan hati Zubair dan Thalhah. Mereka berdua ingin memberontak. Dengan dalih berziarah ke Ka’bah, dari Madinah mereka berdua pergi ke Makkah. Mereka berdua mengajak Ummul Mukminin ‘Aisyah yang pada waktu itu berada di Makkah dan hubungannya dengan Ali as agak sedikit keruh untuk bersama mereka. Dengan dalih menuntut darah Khalifah Ketiga, mereka berdua telah memicu berkobarnya perang berdarah Jamal.[6] Padahal Thalhah dan Zubair berada di Madinah ketika terjadi pengepungan terhadap Khalifah Ketiga, tetapi mereka berdua enggan membelanya.[7] Setelah Khalifah terbunuh, mereka berdua adalah orang pertama yang membai’at Ali as atas nama diri mereka dan Muhajirin.[8] Begitu juga, Ummul Mukminin ‘Aisyah termasuk orang-orang yang telah mempengaruhi masyarakat untuk membunuh Khalifah Ketiga.[9] Ketika pertama kali mendengar kematian Khalifah, ia mencaci-makinya dan menampakkan kebahagiaannya. Pada dasarnya, penyebab asli pembunuhan Khalifah adalah para sahabat yang menulis surat ke seluruh penjuru pemerintahan dan mempengaruhi masyarakat untuk menentangnya.

Faktor penyebab meletusnya perang kedua yang dikenal dengan nama Perang Shiffin dan berlangsung selama satu setengah tahun adalah ketamakan Mu‘awiyah terhadap kedudukan kekhalifahan. Dengan dalih menuntut darah Khalifah Ketiga, ia memicu peperangan ini dan telah menumpahkan lebih dari seratus ribu darah tak bersalah. Yang jelas, dalam peperangan ini, Mu‘awiyah selalu menyerang, bukan membela diri. Hal itu lantaran penuntutan darah tidak pernah bersikap membela diri.

Syi’ar perang ini adalah “Menuntut Darah Khalifah Ketiga”. Padahal, di akhir-akhir kehidupannya, ia telah meminta bala bantuan kepada Mu‘awiyah untuk membasmi keributan yang sedang memanas. Mu‘awiyah dan bala tentara bantuannya berangkat dari Syam menuju ke Madinah. Ia sengaja berhenti lama di pertengahan jalan hingga para pengepung membunuh Khalifah Ketiga. Setelah itu, ia kembali ke Syam dan bangkit untuk menuntut darah Khalifah.[10]

Setelah Ali as meneguk cawan syahadah dan Mu‘awiyah berhasil merebut kekhalifahan, ia melupakan darah Khalifah Ketiga dan tidak mencari para pembunuhnya.

Setelah peperangan Shiffin usai, perang Nahrawan meletus. Dalam peperangan ini, sekelompok sahabat juga ikut serta. Atas aktuasi-aktuasi (tahrîk) Mu‘awiyah pada perang Shiffin, musuh-musuh Ali as bangkit menentangnya. Mereka mengadakan kekacauan-kekacauan di seluruh penjuru pemerintahan Islam. Di manapun mereka menemukan para pendukung Ali as, mereka membunuhnya. Sampai-sampai mereka tega merobek perut wanita-wanita hamil, mengeluarkan bayi-bayi mereka, dan menyembelihnya.[11]

Ali as pun berhasil meredakan pemberontakan ini. Akan tetapi, setelah berlalu beberapa masa, ia harus meneguk cawan syahadah dari tangan salah seorang Khawarij tersebut di mihrab Masjid Kufah ketika beliau sedang mengerjakan shalat.

Keuntungan Syi‘ah dari Lima Tahun Kekhalifahan Ali

Meskipun Ali as selama empat tahun dan sembilan bulan masa kekhalifahannya tidak berhasil mengembalikan kondisi pemerintahan Islam yang telah hancur-lebur itu ke kondisi semula secara sempurna, tetapi di tiga sisi penting ia telah mencapai keberhasilan:

a. Dengan perantara sirahnya yang adil, ia telah berhasil menunjukkan sirah Rasulullah saw yang menarik kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya generasi muda. Di hadapan metode kehidupan Kisra dan Kaisar Mu‘awiyah, ia selalu hidup dengan pakaian orang-orang miskin dan terlantar. Ia tidak pernah mengutamakan sahabat, keluarga, dan familinya atas orang lain, dan tidak pernah lebih mementingkan orang yang kaya atas orang yang miskin dan orang yang kuat atas orang yang lemah.

b. Dengan adanya kesulitan-kesulitan yang menyita tenaga itu, ia telah berhasil meninggalkan ilmu-ilmu Ilahiah dan pengetahuan-pengetahuan Islam yang benar sebagai kenang-kenangan di tengah-tengah umat manusia.

Para penentang Ali as berkata, “Ia adalah seorang pahlawan keberanian, bukan seorang politis. Karena, pada permulaan masa kekhalifahannya, ia dapat melakukan perdamaian dengan unsur-unsur penentang (kekhalifahannya) untuk sementara waktu dan memuaskan mereka dengan pernjanjian damai tersebut. Dengan demikian, ia dapat memperkokoh kekhalifahannya dan setelah itu, memberantas mereka.”

Akan tetapi, mereka melupakan satu poin bahwa kekhalifahan Ali as adalah sebuah gerakan revolusi dan gerakan revolusi harus terjauhkan dari segala bentuk perjanjian damai (baca: sikap lunak, mudâhanah) dan affektasi (tazhâhur). Kondisi semacam ini juga pernah terjadi pada periode Bi’tsah Rasulullah saw. Berkali-kali orang-orang kafir dan musyrikin menawarkan perdamaian kepada beliau dengan syarat beliau tidak menjelek-jelekkan tuhan-tuhan mereka dan mereka pun tidak akan menghalang-halangi dakwah beliau. Akan tetapi, beliau menolak tawaran tersebut. Padahal, dalam kondisi yang serba sulit itu, beliau dapat berdamai demi memperkokoh posisinya, dan setelah itu, baru beliau memberantas mereka secara keseluruhan. Pada dasarnya, dakwah Islami tidak pernah mengizinkan untuk menghidupkan sebuah kebenaran, sebuah kebenaran yang lain terbunuh atau memberantas sebuah kebatilan dengan kebatilan yang lain. Dan sangat banyak sekali ayat Al-Qur’an yang telah menegaskan masalah ini.[12]

Ketika para penentang Ali as, dalam menggapai kemenangan dan mencapai tujuan mereka, telah melakukan segala jenis kejahatan, kriminalitas, dan pelecehan terhadap hukum-hukum Islam yang jelas tanpa pengecualian, serta mencuci setiap kotoran dengan dalih bahwa mereka adalah para sahabat dan mujtahid, tetapi Ali as tetap teguh memegang hukum-hukum Islam.

Dari Ali as, dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan rasional, religius, dan sosial tercatat  hampir sebelas ribu hikmah pendek,[13] dan ia telah menjelaskan pengetahuan Islam[14] dalam pidato-pidatonya dengan dialek yang paling indah dan penjelasan yang paling mudah dicerna.[15] Ia telah mencetuskan ilmu Tata Bahasa Arab dan meletakkan pondasi ilmu Sastra Bahasa Arab. Ia adalah orang pertama dalam Islam yang menyelami lautan ilmu filsafat Islam.[16] Ia berbicara dengan metode argumentasi bebas dan logik. Ia telah menjelaskan pembahasan-pembahasan (filosofis) yang hingga masa itu belum mendapatkan perhatian para filsuf dunia. Dan dalam hal ini, ia begitu serius menanganinya hingga di tengah-tengah berkobarnya api peperangan sekalipun, ia tetap siap mengetengahkan pembahasan ilmiah.[17]

c. Ia telah berhasil mendidik banyak tokoh agama dan ilmuwan Islam[18] yang sebagian dari mereka terdapat orang-orang zâhid dan ‘ârif, seperti Uwais al-Qarani, Kuamil bin Ziyad, Maitsam at-Tammar, dan Rusyaid al-Hajari. Mereka adalah ahli dalam bidang ilmu fiqih, teologi, tafsir, dan qirâ’ah.


[1] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 154.
[2] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 155; Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hal. 364.
[3] Nahjul Balaghah, Pidato no. 15.
[4] Setelah Rasulullah saw wafat, sedikit sekali sahabat—karena mengikuti jejak Ali as—yang menolak untuk membai’at (Khalifah Pertama). Yang menjadi pelopor mereka adalah Salman al-Farisi, Miqdad, dan Ammar bin Yasir. Di permulaan Ali as menjadi khalifah, juga sedikit sahabat yang menentang kekhalifahannya. Di antara para penentang yang sangat getol adalah Sa’id bin ‘Ash, Walid bin ‘Uqbah, Marwan bin Hakam, ‘Amr bin ‘Ash, Busr bin Arthat, Samurah bin Jundub, Mughirah bin Syu’bah, dan lain-lainnya.
Menelaah biografi kedua golongan tersebut dan merenungkan tindakan-tindakan yang telah dilakukan dan kisah-kisah yang berhasil dicatat oleh sejarah tentang mereka dapat menjelaskan kepribadian religius dan tujuan mereka masing-masing secara gamblang.
Golongan pertama adalah para sahabat istimewa Rasulullah saw, zahid, ‘abid, orang yang rela berkorban, peneriak kebebasan Islam, dan orang-orang yang dicintai oleh beliau secara khusus. Rasulullah saw bersabda, “Allah memberitahukan kepadaku bahwa Ia mencintai empat orang dan Ia juga memerintahkanku untuk mencintai mereka.” Para sahabat bertanya tentang nama-nama mereka. Beliau bersabda tiga kali, “Ali!” Setelah itu, beliau menyebutkan nama Abu Dzar, Salman, dan Miqdad. Silakan rujuk Sunan Ibn Majah, jilid 1, hal. 66.
‘Aisyah berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Ketika Ammar ditawarkan dua perkara, pasti ia akan memilih salah satunya yang benar dan lebih memiliki petunjuk.’” Silakan rujuk Sunan Ibn Majah, jilid 1, hal. 66.
Rasulullah saw bersabda, “Tiada seorang pun di bumi dan di langit yang lebih jujur dari Abu Dzar.” Silakan rujuk Sunan Ibn Majah, jilid 1, hal.68.
Selama hidup, tidak satu pun tindakan yang bertentangan dengan syariat dinukil dari mereka. Mereka tidak pernah menumpahkan darah yang tidak bersalah, melanggar kehormatan orang lain, merampas harta orang lain, atau menyesatkan masyarakat.
Akan tetapi, lembaran sejarah penuh dengan tindakan menjijikkan dan kejahatan-kejahatan golongan kedua. Darah-darah tak bersalah yang telah mereka tumpahkan, harta Muslimin yang telah mereka rampas, dan tindakan-tindakan memalukan yang telah mereka lakukan tidak dapat dihitung dan semua itu tidak dapat dijustifikasi kecuali dengan justifikasi yang dilakukan oleh sebagian orang bahwa Allah telah ridha atas mereka dan mereka bebas melakukan setiap kriminalitas, serta hukum-hukum Islam yang termaktub di dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah saw hanya disyariatkan untuk orang lain.
[5] Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hal. 362; Nahjul Balaghah, Pidato no. 122; Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 160; Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 1, hal. 180.
[6] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2; Târîkh Abil Fida’, jilid 1, hal. 172; Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hal. 366.
[7] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 152.
[8] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 154; Târîkh Abil Fida’, jilid 1, hal. 171.
[9] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 152.
[10] Ketika Khalifah ‘Utsman dikepung oleh para pemberontak, ia meminta bala bantuan kepada Mu‘awiyah via sepucuk surat. Mu‘awiyah mempersiapkan dua belas ribu bala tentara yang bersenjata lengkap dan berangkat menuju ke Madinah. Akan tetapi, ia memerintahkan supaya seluruh bala tentara berhenti di perbatasan Syam. Ia sendiri datang menghadap Khalifah dan melaporkan kesiapan bala tentaranya. ‘Utsman menyergah, “Kau sengaja memerintahkan bala tentaramu berhenti di situ hingga aku terbunuh. Kemudian, engkau akan bangkit dengan dalih menuntut darahku.” Silakan rujuk Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 152, Murûj adz-Dzahab, jilid 3, hal. 25, dan Târîkh ath-Thabari, hal. 402.
[11] Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hal. 415.
[12] Silakan Anda merujuk asbâbun nuzûl ayat-ayat berikut ini:
a. “Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka [seraya berkata], ‘Pergilah kamu dan tetaplah [menyembah] tuhan-tuhanmu ….’” (QS. Shad [38]: 6)
b. “Dan jika Kami tidak memperkuat [hati]mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka.” (QS. al-Isra’ [17]: 74)
c. “Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak, lalu mereka akan bersikap lunak [pula kepadamu].” (QS. al-Qalam [68]: 9)
[13] Al-Amidi, Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalim. Begitu juga di bagian-bagian terpisah dalam buku-buku referensi hadis.
[14] Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hal. 431; Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 1, hal. 181.
[15] As-Suyuthi, al-Asybâh wa an-Nazhâ’ir fi an-Nahw, jilid 2; Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 1, hal. 6.
[16] Silakan Anda merujuk ke Nahjul Balaghah.
[17] Ketika perang Jamal sedang berkecamuk, seorang Arab datang kepada Ali as seraya bertanya, “Wahai Amirul Mukminin! Engkau berpendapat bahwa Allah adalah Maha Esa?” Orang-orang yang hadir di situ memarahinya seraya berkata, “Wahai orang Arab! Apakah engkau tidak melihat kelelahan dan ketidakkonsentrasian Ali sehingga engkau masih mau mengajukan pembahasan ilmiah?” Ali as berkata kepada mereka, “Biarkanlah ia. Karena, dalam perang melawan kaum ini, aku tidak memiliki tujuan lain kecuali kejelasan keyakinan yang benar dan pengetahuan-pengetahuan Islam.” Setelah berkata demikian, ia menjawab pertanyaan orang Arab itu dengan terinci. Silakan rujuk Bihâr al-Anwâr, jilid 2, hal. 65.
[18] Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 1, hal. 6-9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar