Oleh
Sulaiman Djaya (esais dan penyair)
Kebanyakan
orang, biasanya, terjebak dalam definisi mekanik ketika mereka “memahami”
waktu. Misalnya, waktu dipahami sebagai “jam”. Karena itu, seringkali imajinasi
dan pikiran orang terpenjara oleh definisi-definisi mekanis tersebut. Padahal,
“waktu” tidak-lah mekanik, acapkali lebih bersifat batin dan puitis.
Di
sini, barangkali kita pun bertanya: mungkinkah waktu didefinisikan? Jawabannya
antara ya dan tidak. Para fisikawan, misalnya, menyatakan bahwa keberadaan
waktu bersifat “relasional” dalam jagat ini, dan bila waktu dipahami atau
dimengerti sebagai durasi, hal itu pun akan berbeda di setiap tempat, seperti
waktu di bumi tidaklah sama dengan waktu di angkasa sana. Al-Qur’an yang suci
menegaskan:
“Sesungguhnya
sehari di sisi Tuhan-mu seperti seribu tahun dari tahun-tahun yang kamu hitung”
(al Haj: 47). “Yang datang dari Allah, yang mempunyai tempat-tempat naik.
Malaikat-malaikat dan Jibril naik menghadap kepada Tuhan dalam sehari yang
kadarnya lima-puluh ribu tahun” (QS. Al-Ma’arij 70: 3-4).
Kita
bisa bayangkan, berdasarkan penegasan al-Qur’an yang suci itu, satu hari di
suatu kawasan di angkasa sana, yang kita belum tahu di mana itu, sama dengan
lima-puluh ribu tahun di bumi, di planet biru-hijau di mana kita hidup, berada,
mengalami rasa-senang, kesedihan, jatuh cinta, putus-asa, atau marah. Sementara
itu, di bumi sendiri, pengalaman dan pemahaman kita akan waktu tergantung pada
aspek fisik dan psikis (bathin) kita. Misalnya, waktu terasa berjalan lambat
(lama) ketika kita menderita dan terasa berjalan cepat ketika kita sedang
mengalami kesenangan.
Penerimaan
dan pengalaman kita tentang waktu, contohnya, tidak sama ketika kita sedang
sakit dan ketika sedang bersama kekasih yang dirindu dan dicinta. Ada waktu
mekanis yang sifatnya birokratis dan tak lebih sebuah alat ukur yang terbuat
dari mesin, dan ada waktu psikis (batin) yang dialami secara unik dan berbeda
oleh masing-masing kita sesuai konteks dan pengalaman kita sendiri yang
sifatnya subjektif dan individual.
Ada
waktu yang dihitung dan ada waktu yang dilupakan dan dikenang. Kita tahu bahwa
sehari-semalam adalah 24 jam secara mekanis, bahwa satu tahun adalah 12 bulan
berdasarkan kalkulasi almanak, tapi ada waktu yang “di-ingat” dan “dikenang”
oleh kita, meski hal itu kita sebut masa silam atau ingatan. Waktu seperti
inilah yang ada dalam musik, dalam nada-nada, dalam roman, atau dalam
gubahan-gubahan sajak, yang senantiasa dibaca dan dibaca lagi, meski digubah
dan ditulis di masa-masa yang lampau.
Dalam
arti ini, waktu bukanlah sesuatu yang dihitung secara mekanik dan matematik,
tetapi yang tetap dan tidak bergerak ke mana-mana. Sebab yang bergerak secara
bergiliran hanyalah rotasi siang-malam dan putaran jarum-jarum jam dan hitungan
angka-angka di saat waktu itu sendiri adalah “diam”.
Dalam
fiksi-fiksi sains, contohnya, semisal yang ditulis oleh H.G. Wells dan Jules
Verne, diceritakan dan digambarkan bagaimana seorang insinyur dan ilmuwan
membuat dan menciptakan “mesin waktu” yang akan membuat kita si pengguna dan
pengendaranya bisa kembali ke masa silam sekaligus bisa ke masa depan
–membelakangi sekaligus mendahului waktu yang pergi dan datang, agar kita bisa
memperbaiki kesalahan dan kekeliruan di masa silam sekaligus sanggup
“mendahului” waktu yang akan datang.
Tentu
saja hal itu merupakan sebuah alegori ketika manusia ingin “menekuk” dan
“melipat” waktu, sekaligus ingin menjadi “penguasa” masa silam dan masa depan.
Ingin menjadi makhluk super cerdas yang sanggup melawan hukum fisika atau
“takdir kosmik” yang menjadi “hukum pasti” yang tak bisa “dibengkokkan” dan
“dirubah” oleh kita.
Tentang
waktu yang ingin ditaklukkan oleh H.G. Wells dan Jules Verne itu, Alfred Lord
Tennyson pun berdendang: “Kuarungi masa depan, sejauh mata manusia memandang,
melihat visi dunia, dan segala keajaiban yang mungkin terjadi”, yang
mengingatkan kita kepada anekdot sains yang dikutip oleh Lawrence M. Krauss
dalam Fisika Star Treknya: “Suatu ketika hiduplah seorang wanita bernama Bright
–dan ia berkelana melampaui kecepatan cahaya. Suatu hari ia berangkat, dengan
kecepatan relatif terhadap waktu, dan kembali pada malam sebelum
keberangkatan”.
Singkatnya,
waktu adalah juga imajinasi. Dan salah-seorang fisikawan yang dikenal memiliki
imajinasi yang kuat itu adalah Albert Einstein, hingga Lawrence M. Krauss, sang
penulis Fisika Star Trek itu pernah berseloroh: “Sama seperti para pengarang,
ia tak berbekal apa pun selain imajinasi”. Dalam hal inilah, sains dan sastra,
sebagai contohnya, sama-sama dimungkinkan oleh rahim yang sama, yaitu
imajinasi. Dan memang, Einstein pernah terus-terang berujar, “Imajinasi itu
lebih penting ketimbang ilmu pengetahuan. Imu pengetahuan itu terbatas,
sedangkan imajinasi mengelilingi dunia”.
Kisah yang menarik, wong banten harus tahu nih!
BalasHapusBetul sekali
BalasHapus