Munajatku
Aku tiba pada-Mu
seperti senja yang ranum.
Kepakan para unggas adalah perumpamaan
tentang bagaimana aku
harus menulis do’a
dengan sungguh-sungguh.
Sebelum adzan berkumandang, Tuhanku,
aku tak pernah tahu
sujud seperti apa
yang dapat menggali rindu.
Aku bahkan acapkali tersesat
menjelajahi semestaku sendiri
seperti sepi nyala mungil
di meja belajar masa kanakku.
Kata-kata di dalam hatiku
senantiasa mencari
kekasih yang mau mengerti.
Jika minyak lampu itu telah habis,
Tuhanku, anugerahkanlah mautku
maut sang perindu.
Mungkin seperti sebuah lagu
yang pernah didaraskan ibuku.
(2014)
Jendela
Ada sebuah pintu yang
terbuat dari udara:
daun-daun dan gerimis
adalah kesepian
yang teramat kagum pada
lampu.
Kau tahu, tahun-tahun
telah mencipta batu
ketika hujan baru saja
beranjak
dari gugusan rambutmu.
Di sebentang pematang, di
siang yang reda
yang menyimpan jejak kaki
ibuku
ada lagu perkutut dan
masa-lalu
yang jadi sajakku. Di
dinding rumah,
ketika kau sedang sibuk
belajar membaca
ada barisan pigura dan
almanak
menafsir bisu pada angka
27.
Ketika aku berdo’a dengan
kata-kata
yang paling lemah,
sadarlah aku
yang paling rimbun
ketimbang tahun-tahun
adalah sepasukan maut yang
menjelma embun,
menjelma waktu dan sebaris
rindu.
(2014)
Lampu
Aku masuki malam yang
selembut parasmu
dan aku adalah kata-kata
yang berdiam
di buku-buku. Di
salah-satu ceritanya
ada kanak-kanak yang
selalu berusaha
mengekalkan kenangan
dengan seutas benang
bagi layang-layang yang
khusuk membaca
langit merah sekedarnya.
Aku adalah hujan
yang ingin sekali
berkunjung ke rumahmu
dengan langkah-langkah
sepi seperti puisi.
Ketika senja yang kausuka
masih basah,
maut dan cinta adalah
perumpamaan
sekian rahasia
perabot-perabot rumahtangga
yang ditinggalkan ibunda.
Tetapi,
sebelum lembab malam
menyelinap
di sebalik pigura, aku
suka sekali
menyimak srigunting dan
riuh para gelatik
sebelum sunyi magrib jadi
lengkap
bersama dingin angin bulan
april.
Tiup, tiuplah sayang,
dengan nafasmu itu
jika kau sudah mengantuk
seperti sebaris lagu di
meja bacaku.
Sebab aku pun adalah juga
embun
di hening sabtu yang
serimbun dua matamu
dan rindu telah lama jadi
waktu.
(2014)
Ziarah
Apa yang akan kau tulis,
Hafiz, jika kau hidup
di jaman ini? Kata-kataku
tidak lahir dari hening embun
tapi dari desing mesin dan
serbuan iklan di televisi.
Kadang aku tak sanggup
lagi mengenali
bahasaku. Sampaikan
salamku kepada Attar
jika burung-burungnya
singgah ke Tursina,
Makkah, atau Karbala. Di
manakah
dapat kucium semerbak
wangi lembah Kaf
dan Nun yang masyhur itu?
Di dalam kalbu
ataukah di rintih do’a
para pelacur? Aku baca
puisi-mu, Hafiz, dan
membayangkan jalan sepi
yang kau lalui. Tapi dunia
yang kujumpai kini
lebih lincah dari
perumpamaan-perumpamaan
yang kau kisahkan dengan
larik-larik ghazalmu.
Hujan dalam puisimu tidak
sama dengan hujan
yang menulis kata-kata
dalam sajakku.
Sampaikan salamku kepada
Sa’adi
bagaimana ia akan menulis
elegi di jaman ini?
(2014)
Sungai
Kebahagiaan tumbuh dengan
sabar
seperti rumput disusu
embun.
Lumut adalah perumpamaan
usiaku
dan Tuhan kita sama, duhai
sahabat,
meski acapkali kita
berbeda paham.
Setiap hari kita berebut
peran
sebagai Samiri yang pandai
dan sesekali sebagai
Zakaria
yang ragu saat ayat
difirmankan.
Benarkah, oh Tuhan, sebab
hamba
bukan manusia yang tanpa
cela
dan terbebas dari lupa.
Dan di Hira sang Rasul pun
bertanya:
apa yang harus kubaca?
Aku pun bertanya, apa yang
kaucari
duh penyair? Di jaman
hingar bingar iklan
dan waktu yang hancur
di kotak-kotak televisi.
Tak ada lagi
nubuat seperti bagi Musa
di Tursina
atau mukjizat bagi Isa
di Lembah Jordan. Mulut
kita kadang
tak lagi suci
saat meneriakkan asma-asma
Tuhan
yang kudus dan sunyi.
Kebahagiaan barangkali,
duh sahabat,
ada dalam dusta kita
masing-masing.
Dan biarlah asma-asma
Tuhan
hadir dalam sepi, seperti
sajak ini.
(2014)
Apa ada konfirmasi jika puisi dimuat, trims
BalasHapusPengalaman saya sendiri tidak ada konfirmasi
BalasHapusMaaf saya mengakui terlalu awam dalam proses mengenal sastra umumnya dan khususnya puisi.
BalasHapusSaya mau bertanya tentang tipografi puisi yang acapkali menjadi perhatian kritikus dan penikmat.apakah tipografi tersebut memiliki makna tersendiri untuk puisi...?dan apakah tipografi adalah sesuatu yang konvensional...?saya mohon responya .karena saya betul2 kurang memahami
Semua bentuk tulisan dan kata yang menjadi dasar kalimat termasuk tipografi semuanya memiliki makna jika yang punya tulisan dengan sadar memaknainya. tidak hanya konvensional tipografi bisa bermakna lebih dari itu.. salam
Hapusselainitu tipografi adalah bagian dari permaknaan puisi itu sendiri.. ia juga sebagai batang tubuh dari bentuk puisi
Hapusboleh gak menulis puisi cinta?
BalasHapusboleh gak menulis puisi cinta?
BalasHapusboleh,asalkan pesannya dalam adn pemilihan diksinya bagus
BalasHapus