Menafsir Iman Melalui Puisi oleh Sulaiman Djaya (2007)
Tentang
Iman dan Persoalan Tafsir [7]
“O Lord, increase my perplexity concerning Thee” (Ibn Araby). “O! Kearifan! Engkau tidak lebih dari anak susuan, akal budi orang-orang tua dan berpengalaman sekalipun sesat dalam pencaharian ini” (Fariduddin Attar)[8]
Ikhtiar manusia untuk mengetahui hakikat adalah sebentuk ironi menara Babel. Pendirian dan pembangunan menara Babel yang hendak menyentuh langit (surga) adalah metafor dari keangkuhan manusia itu sendiri yang hendak mencari bahasa universal dan kebenaran hakikat. Sekaligus sebentuk allegori dari ketakmungkinan tersebut. Kehendak untuk mengetahui bahasa dan maksud Tuhan itu sendiri pada akhirnya akan bermuara pada kebingungan. Sebagaimana kebingungan Ibn Araby dan Fariduddin Attar yang sadar pada kerentanan subjektivitasnya untuk mengetahui misteri dan hakikat Tuhan dan perbuatan-Nya.
Ketika Tuhan menghancurkan menara Babel sesungguhnya Tuhan telah melakukan detotalisasi atau dekonstruksi. Dan hasil dari detotalisasi (penghancuran totalitas) itu tak lain adalah kebingungan. Kehendak manusia untuk melakukan homogenisasi adalah tindak kekerasan terhadap keberlainan. Kebingungan dan keheranan itu mendapatkan konteksnya pada soal kemungkinan sekaligus ketakmungkinan untuk menafsir atau menemukan hakikat. Karena kata Babel berarti kebingungan itu sendiri. Penghancuran menara Babel adalah sebentuk disseminasi (suatu ikhtiar untuk melampaui makna). Sejenis dosa.
Lalu di mana seorang pemikir atau penyair? Wittgenstein berujar: the philosopher goes wild, screaming helplessly, until he gets to the heart of his confusion. Begitu juga ‘Ayn Al-Qudat Hamadani bermuram: my heart was tumultuous a sea with no shores, in it was drowned all the ends and all the beginnings. Tuhan itu sendiri adalah Sang Penunjuk (Al-Haadi) sekaligus Sang Penyesat (Al-Mudhillu). Seperti halnya kebingungan Nuh yang merindu daratan dan kesudahan malapetaka bah-Nya.
Kebingungan adalah differance sekaligus disseminasi. Dan disseminasi tak lain: endlessly opens up a snag (accroc) in writing that can no longer be mended. Ibnu Arabi pun berkeluh: how every group has believed something about God, what he means is that every group has tied a certain knot about God? Lalu ia menawarkan paradigma plural: God is the root of every diversity in beliefs within the cosmos.
Moment penghancuran menara Babel adalah moment penemuan paradigma dan perspektif yang majemuk (plural). Moment fragmentasi. Moment puisi. Tapi pada saat yang sama juga adalah penolakan pada otoritas. Pada author (pengarang). Sebentuk moment Jeremiah. Sejenis diaspora. Pengalaman exile atau exodus. Ketakmungkinan untuk menggenapi. Ketakberdayaan untuk menemukan tafsir tunggal atas teks atau doktrin. Karena Tuhan itu sendiri adalah keganjilan dan keanehan (keberlainan) itu sendiri. God who is everywhere and nowhere.
Tuhan sendirilah yang menolak dan menghancurkan kesombongan manusia untuk menemukan tafsir tunggal. Sebab Tuhan sendirilah sang penghancur menara Babel. Dan para pendiri menara itu pun kebingungan. Dan ketika itu pula Tuhan mendekonstruksi dan mendisseminasi dirinya sendiri. Dan karena itulah dalam tradisi Semitik ada larangan menyuarakan dan menyebutkan nama Tuhan.
“O Lord, increase my perplexity concerning Thee” (Ibn Araby). “O! Kearifan! Engkau tidak lebih dari anak susuan, akal budi orang-orang tua dan berpengalaman sekalipun sesat dalam pencaharian ini” (Fariduddin Attar)[8]
Ikhtiar manusia untuk mengetahui hakikat adalah sebentuk ironi menara Babel. Pendirian dan pembangunan menara Babel yang hendak menyentuh langit (surga) adalah metafor dari keangkuhan manusia itu sendiri yang hendak mencari bahasa universal dan kebenaran hakikat. Sekaligus sebentuk allegori dari ketakmungkinan tersebut. Kehendak untuk mengetahui bahasa dan maksud Tuhan itu sendiri pada akhirnya akan bermuara pada kebingungan. Sebagaimana kebingungan Ibn Araby dan Fariduddin Attar yang sadar pada kerentanan subjektivitasnya untuk mengetahui misteri dan hakikat Tuhan dan perbuatan-Nya.
Ketika Tuhan menghancurkan menara Babel sesungguhnya Tuhan telah melakukan detotalisasi atau dekonstruksi. Dan hasil dari detotalisasi (penghancuran totalitas) itu tak lain adalah kebingungan. Kehendak manusia untuk melakukan homogenisasi adalah tindak kekerasan terhadap keberlainan. Kebingungan dan keheranan itu mendapatkan konteksnya pada soal kemungkinan sekaligus ketakmungkinan untuk menafsir atau menemukan hakikat. Karena kata Babel berarti kebingungan itu sendiri. Penghancuran menara Babel adalah sebentuk disseminasi (suatu ikhtiar untuk melampaui makna). Sejenis dosa.
Lalu di mana seorang pemikir atau penyair? Wittgenstein berujar: the philosopher goes wild, screaming helplessly, until he gets to the heart of his confusion. Begitu juga ‘Ayn Al-Qudat Hamadani bermuram: my heart was tumultuous a sea with no shores, in it was drowned all the ends and all the beginnings. Tuhan itu sendiri adalah Sang Penunjuk (Al-Haadi) sekaligus Sang Penyesat (Al-Mudhillu). Seperti halnya kebingungan Nuh yang merindu daratan dan kesudahan malapetaka bah-Nya.
Kebingungan adalah differance sekaligus disseminasi. Dan disseminasi tak lain: endlessly opens up a snag (accroc) in writing that can no longer be mended. Ibnu Arabi pun berkeluh: how every group has believed something about God, what he means is that every group has tied a certain knot about God? Lalu ia menawarkan paradigma plural: God is the root of every diversity in beliefs within the cosmos.
Moment penghancuran menara Babel adalah moment penemuan paradigma dan perspektif yang majemuk (plural). Moment fragmentasi. Moment puisi. Tapi pada saat yang sama juga adalah penolakan pada otoritas. Pada author (pengarang). Sebentuk moment Jeremiah. Sejenis diaspora. Pengalaman exile atau exodus. Ketakmungkinan untuk menggenapi. Ketakberdayaan untuk menemukan tafsir tunggal atas teks atau doktrin. Karena Tuhan itu sendiri adalah keganjilan dan keanehan (keberlainan) itu sendiri. God who is everywhere and nowhere.
Tuhan sendirilah yang menolak dan menghancurkan kesombongan manusia untuk menemukan tafsir tunggal. Sebab Tuhan sendirilah sang penghancur menara Babel. Dan para pendiri menara itu pun kebingungan. Dan ketika itu pula Tuhan mendekonstruksi dan mendisseminasi dirinya sendiri. Dan karena itulah dalam tradisi Semitik ada larangan menyuarakan dan menyebutkan nama Tuhan.
Dan di bukit Tursina itu pun Tuhan berkata
pada Musa: Aku adalah Aku. Atau Dia Yang
Bernama (Elohim). Sebentuk penegasan identitas tapi di saat yang sama juga
penegasan non-identitas. Dan ketika itu pula Musa ditegur: Dan sebelum engkau menghadapku, tanggalkan kasutmu (sandalmu: identitas
politismu). Fahla’ Na’layk!
Juga ketika Tuhan menampakkan dirinya dalam wajah api, pada saat itu juga Tuhan memperkenalkan kesakralan dan keabadian wahyu dan diri-Nya. Kata-kata dan bahasa adalah api yang abadi. Dan sekali-kali engkau tak akan menemukan arti. Dan semakin sering engkau menyebut nama-Ku dengan mulutmu sendiri (identitas dan klaim politismu) untuk kepentingan dirimu sendiri, maka semakin sering pula engkau melanggar dan menghancurkan kesakralan-Ku. Maka cukuplah nama-Ku ada di hatimu.
Begitulah pada akhirnya, kebingungan bermuara pada keheranan dan tawa. Pada konteks inilah mungkin menurutku orang-orang yang sering meneriakkan nama (simbol) Tuhan dengan lantang adalah orang-orang sekuler dalam pengertian genealogisnya.
Kierkegaard, Metafor, Peristiwa Atau Tentang Batas – Batas Penafsiran
Dengan Kierkegaard saya ingin berbicara tentang “Komunikasi Tak Langsung”. Dalam pembacaan saya dengan komunikasi tak langsung ini Kierkegaard mengijinkan tulisannya menjadi subjek tersendiri, yang kemudian menjadi teman dialog dengan pengarang itu sendiri. Seperti yang diutarakan Kierkegaard:
“....dalam karya-karya bernama samaran itu tak ada satu kata pun yang merupakan kataku. Aku tidak mempunyai pendapat tentang karya kecuali sebagai orang ketiga, tidak mengetahui artinya kecuali sebagai pembaca, tak ada hubungan pribadi yang paling jauh sekalipun dengan karya-karya itu[9].
Yang saya maksud di sini adalah Kierkegaard menggunakan gaya dan bentuk surat cinta, yang sebenarnya tulisannya tidak dimaksudkan untuk seseorang tertentu. Hanya saja dengan ini pembaca kemudian menjadi terlibat dan bergulat langsung, lazimnya setiap surat cinta akan selalu memungkinkan pembacanya lebih istimewa dari penulisnya sendiri.
Komunikasi tak langsung inilah yang menjadi salah satu alasan Kierkegaard menggandrungi nama-nama samaran. Tulisan yang ditulis dengan nama samaran itu pun kemudian dikutip pada tulisan berikutnya dengan nama samaran yang lain. Kierkegaard telah mebebaskan tulisan-tulisannya (anak-anaknya) tersebut dari “the father” (pengarang) dan menjadi teman-teman dialog bagi Kierkegaard sendiri. Ia telah memberikan otonomi pada tulisannya.
Komunikasi tak lansung yang dimaksud Kierkegaard sendiri merujuk pada kitab suci yaitu Yesus dan filsuf Yunani, Sokrates. Komunikasi tak langsung berarti juga ada yang tidak bisa dikomunikasikan dengan bahasa biasa, konsep, atau metafor. Konsep itu sendiri adalah metafor. Dan metafor itu sendiri adalah konsep. Dan metafor itu sendiri malah akan semakin mengaburkan apa yang ingin dipinjamkan sebagai makna, sebagaimana konsep mereduksinya dalam simplisitas, koherensi, dan universalisasi.
Laku Kierkegaard memperlakukan konsep-konsep objektif secara regressif yang tidak lain adalah sifat swadestruktif bahasa untuk menyibakkan kemiskinan bahasa hanyalah untuk menjelaskan ironi dan paradoks yang melekat pada subjek. Derrida menyebutnya sebagai aporia. Klaim objektivitas dan universalitas tidak lebih dari laku pengingkaran ironi dan paradoks tersebut.
Dalam kesusasteraan Timur saya teringat Fariduddin Attar: O! Engkau yang menghargai kebenaran, janganlah mencari kias[10]. Dan: O! Kearifan! Engkau tak lebih dari anak susuan, akal budi orang-orang tua dan berpengalaman sekalipun sesat dalam pencaharian ini[11]. Dan Ibnu Arabi: O, Lord, Increase my perplexity concerning Thee[12]. Baik metafor atau pun konsep sama-sama reduktif. Cerminan langsung dari upaya yang gagal untuk mengatasi kemiskinan bahasa.
Lebih lanjut menurut Kierkegaard, baik Yesus atau pun Sokrates menginvestigasi setiap orang secara personal, melucuti segala sesuatu dari orang tersebut, dan menyuruhnya pergi dengan tangan kosong tanpa ada satu pun kebenaran yang dimilikinya kecuali kebenaran subjektif yang disebutnya sebagai kebenaran eksistensial. Kebenaran jenis ini menurutnya tidak dapat dikomunikasikan. Dengan menyadari ini Sokrates mengemukakan diktumnya yang terkenal: Aku tidak tahu apa-apa! Dan ketidak tahuan ini jauh lebih banyak dari yang diketahui.
Menurut Kierkegaard apa yang diajarkan Sokrates dan Yesus tidak memiliki isi objektif dan menjadi kondisi negatif yang menjadi jalan untuk belajar tentang individu itu sendiri. Metode seperti ini dengan sendirinya akan mengguncang keseimbangan. Dan di tangan Derrida metode ini beralih nama menjadi dekonstruksi.
Semangat ini saya temukan juga pada pemikiran Nietzsche: ....man has for long ages believed in the concept and name of things as in the aeternae veritates he has appropriated to himself....he really thought that in language he possesed knowledge of the world[13]. Bahwa tafsir atas peristiwa, fakta, atau bahkan teks, jika saya menggabungkan fakta dan peristiwa atau keseluruhan kenyataan itu sendiri hanyalah sebuah usaha untuk melakukan metonimi, penamaan, bahkan dogmatisasi.
Tentang hal ini Derrida menyatakan peristiwa sebagai:....another name for experience, which always experience of the other, the event is what does not allow itself to be subsumed under any other concept, not even that being. A ‘there is’ or ‘let there be something rather than nothing’ arises from the experience of the event, rather from thinking of being. The happening of the event is what cannot and should not be prevented: it is another name for the future itself[14].
Dalam pandangan Derrida jika peristiwa adalah apa yang datang menuju, maka peristiwa tidak dapat direduksikan ke dalam kategori esksistensi. Dengan inilah terjadi kemungkinan tentang apa yang akan datang, differance, tidak dapat diapropriasi, tak dapat diramalkan, dan melampaui antisipasi. Differance berpangkal pada sesuatu yang lain, dalam pengertian alteritas. Pada singularitas yang lain. Pada yang akan datang dan yang tak terduga[15]. Sementara itu Kierkegaard memandang eksistensi sebagai kebisuan setelah ketakberdayaan analisis.
Juga ketika Tuhan menampakkan dirinya dalam wajah api, pada saat itu juga Tuhan memperkenalkan kesakralan dan keabadian wahyu dan diri-Nya. Kata-kata dan bahasa adalah api yang abadi. Dan sekali-kali engkau tak akan menemukan arti. Dan semakin sering engkau menyebut nama-Ku dengan mulutmu sendiri (identitas dan klaim politismu) untuk kepentingan dirimu sendiri, maka semakin sering pula engkau melanggar dan menghancurkan kesakralan-Ku. Maka cukuplah nama-Ku ada di hatimu.
Begitulah pada akhirnya, kebingungan bermuara pada keheranan dan tawa. Pada konteks inilah mungkin menurutku orang-orang yang sering meneriakkan nama (simbol) Tuhan dengan lantang adalah orang-orang sekuler dalam pengertian genealogisnya.
Kierkegaard, Metafor, Peristiwa Atau Tentang Batas – Batas Penafsiran
Dengan Kierkegaard saya ingin berbicara tentang “Komunikasi Tak Langsung”. Dalam pembacaan saya dengan komunikasi tak langsung ini Kierkegaard mengijinkan tulisannya menjadi subjek tersendiri, yang kemudian menjadi teman dialog dengan pengarang itu sendiri. Seperti yang diutarakan Kierkegaard:
“....dalam karya-karya bernama samaran itu tak ada satu kata pun yang merupakan kataku. Aku tidak mempunyai pendapat tentang karya kecuali sebagai orang ketiga, tidak mengetahui artinya kecuali sebagai pembaca, tak ada hubungan pribadi yang paling jauh sekalipun dengan karya-karya itu[9].
Yang saya maksud di sini adalah Kierkegaard menggunakan gaya dan bentuk surat cinta, yang sebenarnya tulisannya tidak dimaksudkan untuk seseorang tertentu. Hanya saja dengan ini pembaca kemudian menjadi terlibat dan bergulat langsung, lazimnya setiap surat cinta akan selalu memungkinkan pembacanya lebih istimewa dari penulisnya sendiri.
Komunikasi tak langsung inilah yang menjadi salah satu alasan Kierkegaard menggandrungi nama-nama samaran. Tulisan yang ditulis dengan nama samaran itu pun kemudian dikutip pada tulisan berikutnya dengan nama samaran yang lain. Kierkegaard telah mebebaskan tulisan-tulisannya (anak-anaknya) tersebut dari “the father” (pengarang) dan menjadi teman-teman dialog bagi Kierkegaard sendiri. Ia telah memberikan otonomi pada tulisannya.
Komunikasi tak lansung yang dimaksud Kierkegaard sendiri merujuk pada kitab suci yaitu Yesus dan filsuf Yunani, Sokrates. Komunikasi tak langsung berarti juga ada yang tidak bisa dikomunikasikan dengan bahasa biasa, konsep, atau metafor. Konsep itu sendiri adalah metafor. Dan metafor itu sendiri adalah konsep. Dan metafor itu sendiri malah akan semakin mengaburkan apa yang ingin dipinjamkan sebagai makna, sebagaimana konsep mereduksinya dalam simplisitas, koherensi, dan universalisasi.
Laku Kierkegaard memperlakukan konsep-konsep objektif secara regressif yang tidak lain adalah sifat swadestruktif bahasa untuk menyibakkan kemiskinan bahasa hanyalah untuk menjelaskan ironi dan paradoks yang melekat pada subjek. Derrida menyebutnya sebagai aporia. Klaim objektivitas dan universalitas tidak lebih dari laku pengingkaran ironi dan paradoks tersebut.
Dalam kesusasteraan Timur saya teringat Fariduddin Attar: O! Engkau yang menghargai kebenaran, janganlah mencari kias[10]. Dan: O! Kearifan! Engkau tak lebih dari anak susuan, akal budi orang-orang tua dan berpengalaman sekalipun sesat dalam pencaharian ini[11]. Dan Ibnu Arabi: O, Lord, Increase my perplexity concerning Thee[12]. Baik metafor atau pun konsep sama-sama reduktif. Cerminan langsung dari upaya yang gagal untuk mengatasi kemiskinan bahasa.
Lebih lanjut menurut Kierkegaard, baik Yesus atau pun Sokrates menginvestigasi setiap orang secara personal, melucuti segala sesuatu dari orang tersebut, dan menyuruhnya pergi dengan tangan kosong tanpa ada satu pun kebenaran yang dimilikinya kecuali kebenaran subjektif yang disebutnya sebagai kebenaran eksistensial. Kebenaran jenis ini menurutnya tidak dapat dikomunikasikan. Dengan menyadari ini Sokrates mengemukakan diktumnya yang terkenal: Aku tidak tahu apa-apa! Dan ketidak tahuan ini jauh lebih banyak dari yang diketahui.
Menurut Kierkegaard apa yang diajarkan Sokrates dan Yesus tidak memiliki isi objektif dan menjadi kondisi negatif yang menjadi jalan untuk belajar tentang individu itu sendiri. Metode seperti ini dengan sendirinya akan mengguncang keseimbangan. Dan di tangan Derrida metode ini beralih nama menjadi dekonstruksi.
Semangat ini saya temukan juga pada pemikiran Nietzsche: ....man has for long ages believed in the concept and name of things as in the aeternae veritates he has appropriated to himself....he really thought that in language he possesed knowledge of the world[13]. Bahwa tafsir atas peristiwa, fakta, atau bahkan teks, jika saya menggabungkan fakta dan peristiwa atau keseluruhan kenyataan itu sendiri hanyalah sebuah usaha untuk melakukan metonimi, penamaan, bahkan dogmatisasi.
Tentang hal ini Derrida menyatakan peristiwa sebagai:....another name for experience, which always experience of the other, the event is what does not allow itself to be subsumed under any other concept, not even that being. A ‘there is’ or ‘let there be something rather than nothing’ arises from the experience of the event, rather from thinking of being. The happening of the event is what cannot and should not be prevented: it is another name for the future itself[14].
Dalam pandangan Derrida jika peristiwa adalah apa yang datang menuju, maka peristiwa tidak dapat direduksikan ke dalam kategori esksistensi. Dengan inilah terjadi kemungkinan tentang apa yang akan datang, differance, tidak dapat diapropriasi, tak dapat diramalkan, dan melampaui antisipasi. Differance berpangkal pada sesuatu yang lain, dalam pengertian alteritas. Pada singularitas yang lain. Pada yang akan datang dan yang tak terduga[15]. Sementara itu Kierkegaard memandang eksistensi sebagai kebisuan setelah ketakberdayaan analisis.
Kierkegaard sebenarnya tengah mengkritik filsafat
Plato yang melulu melakukan konseptualisasi dalam filsafat forma-nya. Bagi Kierkegaard jika hanya apa yang dapat
dikonseptualisasikan itu dapat dipikirkan, maka eksistensi tidak dapat
dipikirkan. Sebab eksistensi selalu konkrit dan tidak pernah abstrak.
Pada akhirnya berbicara tentang pengetahuan dan kebenaran tidak bisa dilepaskan dari subjek dan bahasa. Sebentuk aporia. Tentang ketakberdayaan untuk merengkuh kebenaran. Pada Derrida dan Heidegger hal ini memiliki semangat teologis atau juga religius dengan kentalnya nuansa messianistik: kemasadepanan yang tak teramalkan dan tak dapat diprediksi. Sebagaimana Nietzsche layaknya sang biarawan, yang kemudian memberikan konsekuensi kenabian untuk mengatasi agama. Mengalihkan orientasi dari dunia sana pada dunia sini.
Heidegger dan Foucault misalnya bersikap kritis terhadap gagasan tentang “diri” Cartesian dan “otonomi-agensi” Kantian. Menurut Foucault subjek tereduksi dalam sejumlah fungsi wacana. Dan kebebasan harus dipahami sebagai kekuatan untuk mempertanyakan apa yang nyata-nyatanya terberi begitu saja. Dan untuk menemukan dunia-dunia baru yang sebelumnya tidak ditemukan hanya dapat dilakukan lewat menulis. Subjek harus dibaca sebagai produk tradisi atau pemikiran sebelumnya. Subjek terlempar dalam dunia yang sudah terdefinisi dan terberi.
Jika mau dicermati dengan keprihatinan yang sungguh-sungguh, perbincangan tentang subjek dan bahasa ini mendapatkan tempat yang istimewa dalam eksistensialisme dan filsafat kontemporer. Dalam eksistensialisme pengaminan ke-aku-an begitu kental. Sementara dalam filsafat kontemporer, ke-aku-an dan otentisitas individual ini dicurigai sebagai sumber kekerasan dan otoritarianisme. Tetapi eksistensialisme telah menyumbangkan suatu wawasan baru dalam pemikiran dan filsafat: kebenaran sangat terkait erat dengan persoalan bahasa dan modus mengada manusia seperti yang ditegaskan Kierkegaard, Nietzsche, dan Heidegger.
Menurut Nietzsche misalnya selama berabad-abad manusia mengira dirinya telah menemukan kebenaran, padahal yang sesungguhnya adalah mereka hanya berusaha mengatasi bahasa. Mereka mengira telah merengkuh kebenaran, padahal hanya mengemukakan segugus prasangka yang dikiranya sebagai kebenaran.
Pada Kierkegaard dasar eksistensi atau pengalaman bukan hanya kesadaran, akan tetapi juga kekaburan. Jika saja kesadaran ada dalam kelangsungan, maka kelangsungan adalah aktualitas itu sendiri. Sementara ujaran atau konsep hanya idealitas tentangnya. Kesadaran adalah oposisi dan kontradiksi. Pada saat seseorang mengekspresikan realitas, oposisi ada di sana. Karena itu kemungkinan keragu-raguan terletak dalam kesadaran. Dan kemungkinan keragu-raguan itu dihasilkan oleh dan menghasilkan duplisitas. Memang ada kepastian dan kelangsungan dalam sensasi, tetapi kepastian langsung ini akan hilang segera ketika pengalaman diekspresikan dengan bahasa dan pikiran.
Pada titik ini filsafat Kierkegaard koheren dengan filsafat Nietzsche. Bahasa bukanlah realitas. Ada suatu pengalaman yang tidak dapat direngkuh oleh bahasa dan pikiran. Berpikir tentang sesuatu atau membahasakannya (menamainya) adalah memperlawankannya dengan yang lain. Dalam kesadaran, aktualitas dihadapkan pada apa yang tidak ada (kemungkinan) . Dengan sendirinya kesadaran adalah perbenturan antara aktualitas dan kemungkinan.
Menurut Kierkegaard kata doubt (keraguan) secara etimologis berkaitan dengan doubleness (kerangkapan). Kesadaran bukanlah bentuk kepastian sebagaimana yang diandaikan Descartes, melainkan suatu bentuk ketidakpastian. Kesadaran bukanlah mengatasi keragu-raguan. Melainkan suatu bentuk keragu-raguan itu sendiri. Karena dalam kesadaran apa yang ada dipertanyakan[16].
Kesadaran seperti yang dikemukakan Kierkegaard tersebut merupakan artian Heraklitus: Anda tidak mungkin berdiri di sungai yang sama dua kali pada waktu yang sama, yang disebut Sartre sebagai ketidakjujuran. Karena ada sejenis ketakutan dalam kesadaran. Menurut Sartre kesadaran adalah suatu spontanitas tak berpribadi. Kesadaran ditakuti oleh spontanitasnya sendiri.
Dalam eksistensialisme isu kemewaktuan dan kemengadaan dalam dunia begitu kentalnya. Dan pemikiran atau pun pengetahuan sesungguhnya dihidupi oleh bahasa sekaligus oleh kemiskinan bahasa itu sendiri.
Pada Nietzsche kebenaran adalah subjektivitas dan perspektivitas. Muncul dari segugus horison yang berbeda-beda yang jumlahnya bertebaran. Kebenaran hanyalah fungsi ‘mengada’ dan harus dilihat sebagai hubungan-hubungan. Kebenaran adalah sesuatu yang tanpanya manusia tak bisa hidup. Tak lebih sebagai fungsi pelestarian manusia. Dan mengalami puncaknya pada hasrat untuk berkuasa (Will to Power). Nietzsche sendiri dengan gamblang menyatakan bahwa hasrat yang paling kuat pada manusia bukanlah hasrat untuk hidup dan mengada, akan tetapi hasrat untuk berkuasa. Sementara kebenaran dan pengetahuan hanya kedok dan fungsi untuk berkuasa.
Tetapi di mata Heidegger baik filsafat modern atau pun eksistensialisme masih menjadikan manusia sebagai pusat untuk berfilsafat, yang pada akhirnya melahirkan cara pandang teknologis. Dunia ada hanya untuk manusia, bukan untuk yang lainnya. Dan cara pandang ini pada akhirnya berujung pada kekerasan dan kerusakan lingkungan.
Dan akhirnya, kebenaran menurut saya adalah segugus pengalaman yang tidak pernah menemukan rumah dan terminalnya. Terus-menerus hidup dalam fase keberangkatan bagi awal mula yang cepat menjadi lalu. Tidak pernah menemukan moment yang bisa merengkuh seluruh pengalaman atau pun peristiwa. Selamanya ia tetap berserakan. Sebentuk puisi!
Pada akhirnya berbicara tentang pengetahuan dan kebenaran tidak bisa dilepaskan dari subjek dan bahasa. Sebentuk aporia. Tentang ketakberdayaan untuk merengkuh kebenaran. Pada Derrida dan Heidegger hal ini memiliki semangat teologis atau juga religius dengan kentalnya nuansa messianistik: kemasadepanan yang tak teramalkan dan tak dapat diprediksi. Sebagaimana Nietzsche layaknya sang biarawan, yang kemudian memberikan konsekuensi kenabian untuk mengatasi agama. Mengalihkan orientasi dari dunia sana pada dunia sini.
Heidegger dan Foucault misalnya bersikap kritis terhadap gagasan tentang “diri” Cartesian dan “otonomi-agensi” Kantian. Menurut Foucault subjek tereduksi dalam sejumlah fungsi wacana. Dan kebebasan harus dipahami sebagai kekuatan untuk mempertanyakan apa yang nyata-nyatanya terberi begitu saja. Dan untuk menemukan dunia-dunia baru yang sebelumnya tidak ditemukan hanya dapat dilakukan lewat menulis. Subjek harus dibaca sebagai produk tradisi atau pemikiran sebelumnya. Subjek terlempar dalam dunia yang sudah terdefinisi dan terberi.
Jika mau dicermati dengan keprihatinan yang sungguh-sungguh, perbincangan tentang subjek dan bahasa ini mendapatkan tempat yang istimewa dalam eksistensialisme dan filsafat kontemporer. Dalam eksistensialisme pengaminan ke-aku-an begitu kental. Sementara dalam filsafat kontemporer, ke-aku-an dan otentisitas individual ini dicurigai sebagai sumber kekerasan dan otoritarianisme. Tetapi eksistensialisme telah menyumbangkan suatu wawasan baru dalam pemikiran dan filsafat: kebenaran sangat terkait erat dengan persoalan bahasa dan modus mengada manusia seperti yang ditegaskan Kierkegaard, Nietzsche, dan Heidegger.
Menurut Nietzsche misalnya selama berabad-abad manusia mengira dirinya telah menemukan kebenaran, padahal yang sesungguhnya adalah mereka hanya berusaha mengatasi bahasa. Mereka mengira telah merengkuh kebenaran, padahal hanya mengemukakan segugus prasangka yang dikiranya sebagai kebenaran.
Pada Kierkegaard dasar eksistensi atau pengalaman bukan hanya kesadaran, akan tetapi juga kekaburan. Jika saja kesadaran ada dalam kelangsungan, maka kelangsungan adalah aktualitas itu sendiri. Sementara ujaran atau konsep hanya idealitas tentangnya. Kesadaran adalah oposisi dan kontradiksi. Pada saat seseorang mengekspresikan realitas, oposisi ada di sana. Karena itu kemungkinan keragu-raguan terletak dalam kesadaran. Dan kemungkinan keragu-raguan itu dihasilkan oleh dan menghasilkan duplisitas. Memang ada kepastian dan kelangsungan dalam sensasi, tetapi kepastian langsung ini akan hilang segera ketika pengalaman diekspresikan dengan bahasa dan pikiran.
Pada titik ini filsafat Kierkegaard koheren dengan filsafat Nietzsche. Bahasa bukanlah realitas. Ada suatu pengalaman yang tidak dapat direngkuh oleh bahasa dan pikiran. Berpikir tentang sesuatu atau membahasakannya (menamainya) adalah memperlawankannya dengan yang lain. Dalam kesadaran, aktualitas dihadapkan pada apa yang tidak ada (kemungkinan) . Dengan sendirinya kesadaran adalah perbenturan antara aktualitas dan kemungkinan.
Menurut Kierkegaard kata doubt (keraguan) secara etimologis berkaitan dengan doubleness (kerangkapan). Kesadaran bukanlah bentuk kepastian sebagaimana yang diandaikan Descartes, melainkan suatu bentuk ketidakpastian. Kesadaran bukanlah mengatasi keragu-raguan. Melainkan suatu bentuk keragu-raguan itu sendiri. Karena dalam kesadaran apa yang ada dipertanyakan[16].
Kesadaran seperti yang dikemukakan Kierkegaard tersebut merupakan artian Heraklitus: Anda tidak mungkin berdiri di sungai yang sama dua kali pada waktu yang sama, yang disebut Sartre sebagai ketidakjujuran. Karena ada sejenis ketakutan dalam kesadaran. Menurut Sartre kesadaran adalah suatu spontanitas tak berpribadi. Kesadaran ditakuti oleh spontanitasnya sendiri.
Dalam eksistensialisme isu kemewaktuan dan kemengadaan dalam dunia begitu kentalnya. Dan pemikiran atau pun pengetahuan sesungguhnya dihidupi oleh bahasa sekaligus oleh kemiskinan bahasa itu sendiri.
Pada Nietzsche kebenaran adalah subjektivitas dan perspektivitas. Muncul dari segugus horison yang berbeda-beda yang jumlahnya bertebaran. Kebenaran hanyalah fungsi ‘mengada’ dan harus dilihat sebagai hubungan-hubungan. Kebenaran adalah sesuatu yang tanpanya manusia tak bisa hidup. Tak lebih sebagai fungsi pelestarian manusia. Dan mengalami puncaknya pada hasrat untuk berkuasa (Will to Power). Nietzsche sendiri dengan gamblang menyatakan bahwa hasrat yang paling kuat pada manusia bukanlah hasrat untuk hidup dan mengada, akan tetapi hasrat untuk berkuasa. Sementara kebenaran dan pengetahuan hanya kedok dan fungsi untuk berkuasa.
Tetapi di mata Heidegger baik filsafat modern atau pun eksistensialisme masih menjadikan manusia sebagai pusat untuk berfilsafat, yang pada akhirnya melahirkan cara pandang teknologis. Dunia ada hanya untuk manusia, bukan untuk yang lainnya. Dan cara pandang ini pada akhirnya berujung pada kekerasan dan kerusakan lingkungan.
Dan akhirnya, kebenaran menurut saya adalah segugus pengalaman yang tidak pernah menemukan rumah dan terminalnya. Terus-menerus hidup dalam fase keberangkatan bagi awal mula yang cepat menjadi lalu. Tidak pernah menemukan moment yang bisa merengkuh seluruh pengalaman atau pun peristiwa. Selamanya ia tetap berserakan. Sebentuk puisi!
[1] Fariduddin
Attar, The Conference of the Birds, terj. Tarawang Press Yogyakarta 2003:14
[2] Ibid, h.14
[3] Ibid, h.14
[4] Ibid, h.12
[5] Ibid, h.10
[6] Giovanna Borradori, Philosophy In A Time of Terror, terj. Alfons Taryadi, Penerbit Kompas Maret 2005. h. 230-233 dan h. 154-5
[7] Sumber: 1. Jacques Derrida, Acts Of Religion, Routledge 2002. pp. 104-133, 2. Ian Almond, The Honesty of Perplexed: Derrida and Ibn Araby On Bewilderment dalam Journal of the American Academy of Religion September 2002 Vol.70 No.3, pp. 515-537, 3. Al Kitab Perjanjian Lama, 4. Al-Qur’an
[8] Fariduddin Attar, The Conference of the Birds, terj. Terawang Press 2003:14
[9] Donald D. Palmer, Kierkegaard For Beginners, terj. Kanisius 2001, h.26
[10] Fariduddin Attar, The Conference of the Birds, terj. Tarawang Press Jogjakarta 2003, h.9
[11] Ibid, h. 14
[12] Ian Almond, The Honesty of Perplexed: Derrida and Ibn Araby On Bewilderment dalam Journal of the American Academy of Religion September 2002 Vol.70 No.3, pp. 515
[13] Friedrich Nietzsche, Human, All Too Human, transl. R. J. Hollingdale, Cambridge University Press 2002, pp. 16
[14] Martin McQuillan, The Deconstruction of Actuality: An Interview With Jacques Derrida dalam Deconstruction, A Reader, Edinburgh University Press 2000, pp.534
[15] Ibid, pp.533
[16] Donald D. Palmer, Kierkegaard For Beginners, terj. Kanisius 2001:52-3
[2] Ibid, h.14
[3] Ibid, h.14
[4] Ibid, h.12
[5] Ibid, h.10
[6] Giovanna Borradori, Philosophy In A Time of Terror, terj. Alfons Taryadi, Penerbit Kompas Maret 2005. h. 230-233 dan h. 154-5
[7] Sumber: 1. Jacques Derrida, Acts Of Religion, Routledge 2002. pp. 104-133, 2. Ian Almond, The Honesty of Perplexed: Derrida and Ibn Araby On Bewilderment dalam Journal of the American Academy of Religion September 2002 Vol.70 No.3, pp. 515-537, 3. Al Kitab Perjanjian Lama, 4. Al-Qur’an
[8] Fariduddin Attar, The Conference of the Birds, terj. Terawang Press 2003:14
[9] Donald D. Palmer, Kierkegaard For Beginners, terj. Kanisius 2001, h.26
[10] Fariduddin Attar, The Conference of the Birds, terj. Tarawang Press Jogjakarta 2003, h.9
[11] Ibid, h. 14
[12] Ian Almond, The Honesty of Perplexed: Derrida and Ibn Araby On Bewilderment dalam Journal of the American Academy of Religion September 2002 Vol.70 No.3, pp. 515
[13] Friedrich Nietzsche, Human, All Too Human, transl. R. J. Hollingdale, Cambridge University Press 2002, pp. 16
[14] Martin McQuillan, The Deconstruction of Actuality: An Interview With Jacques Derrida dalam Deconstruction, A Reader, Edinburgh University Press 2000, pp.534
[15] Ibid, pp.533
[16] Donald D. Palmer, Kierkegaard For Beginners, terj. Kanisius 2001:52-3
(Lukisan karya Bischak)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar