Oleh
Seyyed Mohsen Miri
Krisis
Lingkungan: Penyebab dan Solusi
Keprihatinan
terhadap krisis lingkungan saya mulai dengan dua proposisi berikut. Pertama, saat ini kita sedang
menghadapi dan berjuang atas isu penting mengenai krisis lingkungan hidup yang
semakin meluas dan menyebar. Kedua,
kita harus mencari jalan untuk mengatasi krisis tersebut dengan menimbang dan
mengevaluasi berbagai solusi yang telah dikemukakan oleh para pemikir dan kaum
intelektual.
Secara
garis besar, terdapat dua pendekatan yang digunakan sebagai solusi untuk
mengatasi krisis lingkungan baik secara individual maupun sosial. Pertama, pemecahan krisis melalui
pertimbangan atas segala sesuatu yang langsung terlihat, situasi yang sedang
berlangsung, membuat perubahan jangka pendek dan membuat suatu perencanaan
ulang. Kedua, pemecahan krisis
melalui penjabaran sebab dan faktor yang mendorong munculnya krisis (aspek
ontologis), melalui dasar keilmuan (aspek epistemologis), kerangka rohani, dan
intelektual, serta paradigma budaya yang menyebabkan krisis tersebut terjadi
dengan tetap mengacu kepada pendekatan pertama.
Nampaknya
pendekatan kedua merupakan solusi yang memberikan pengaruh lebih nyata. Jika
kita hanya berpegang pada pendekatan pertama, maka masalah akan muncul kembali
dan menjadi lebih serius karena krisis sebelumnya masih aktif. Meskipun
beberapa percobaan penting telah dilakukan semisal proyek penggantian
kelengkapan transportasi, membuat bahan bakar non-fosil, merancang teknologi
ramah lingkungan, pendekatan pertama tidaklah dapat menghapus krisis lingkungan
dan tidak dapat menjadi solusi yang memadai bagi masalah tersebut.
Penyebab
munculnya krisis lingkungan (penyebab eksistensi dan kognisi) harus diketahui
sebelum kita dapat mengatasi masalah tersebut. Dugaan penyebab kerusakan,
kehancuran, dan krisis dalam lingkungan adalah perspektif mengenai manusia dan
alam semesta pada era modern, sebuah pandangan-dunia yang merupakan imitasi
mutlak saintisme. Perspektif tersebut mengabaikan semua unsur filosofi, budaya,
dan kerangka spiritual; mengurangi tingkat kebenaran dan membatasi ruang
lingkup kognisi (pengenalan) manusia dan tingkat eksistensi hanya kepada sains
sensasional dan segala sesuatu yang bersifat material. Perspektif tersebut
secara perlahan menghilangkan kehidupan jiwa, tujuan, harapan, kebahagiaan, dan
kesucian dengan cara pemutusan materi alamiah dari jiwa, dari dunia gaib, dan
dari kemurnian mutlak dan kebenaran konstan pembentuk filosofi keagungan.
Pengosongan
dimensi kesucian menyebabkan indisposisi dan kesalahan pada seseorang, dan dia
mencoba untuk menggapai kembali jiwa yang hilang melalui percobaan baru,
kedaulatan terhadap alam yang lebih besar, dan mendapatkan produk modern; aksinya
seperti seseorang yang meminum air laut yang asin untuk memuaskan dahaga tanpa
menghasilkan apapun selain dahaga yang berkepanjangan dan efek samping yang
menghancurkan bagi orang tersebut. Manusia modern yang menyenangi sains,
melalui penempatan manusia sebagai poros alam raya (humanisme) dan mengabaikan
Tuhan dan memutuskan hubungan dengan-Nya, memaksa alam untuk mengupas
misterinya (melalui pengaruh sains modern) dengan tujuan untuk memperkaya
seseorang, lebih berkuasa, dan memenuhi keinginan dari ketamakan dan jiwa yang
tak pernah puas.
Dalam
pendangan modern, manusia menganggap alam raya sebagai partikel yang tidak
suci, dia menganggap dirinya sebagai dewa yang memiliki segala kekeistimewaan,
memerintah, dan menguasai alam raya, tidak memiliki kewajiban terhadap Tuhan
dan alam, dan tidak bertanggung jawab terhadap semua orang. Dalam perspektif
modern, manusia melalui pencarian kekuasaan dan kedaulatan intelektual akan
memisahkankan etika dan spriritualitas dari sains dan alam raya dan berusaha mempopulerkan
kapitalisme; pada proses yang merusak ini, semua nilai kemanusiaan dan ekonomi
merupakan ikatan materiil.
Selama
perspektif ini tidak berubah dan kita tidak memberikan upaya pada dimensi
spiritual lingkungan, tidak akan banyak harapan untuk mengembangkan lingkungan
hidup. Manusia harus kembali kepada akar spritualnya; dia harus kembali kepada
kesucian dirinya, Tuhan dan alam; hanya dengan pendekatann ini dia akan
berhenti merusak rangkaian alam, dan disinilah nilai penting untuk kembali
kepada agama dan spritulitas menjadi nyata.
Prinsip-prinsip Pemikiran Mulla Shadra untuk Lingkungan
Mazhab
filsafat Mulla Shadra yang mendalam dan menarik dapat berperan dalam mendesain
filsafat lingkungan hidup serta menguatkan dasar-dasar filosofisnya. Filosof muslim
ini telah melahirkan sebuah mazhab filsafat paripurna. Ia berkembang dengan
menggunakan ayat-ayat al-Quran, sunnah Nabi Muhammad SAW dan Ahlulbayt. Disamping
itu ia juga terilhami oleh filsafat yang diajarkan oleh Al-Farabi, Ibnu Sina,
Suhrawardi, pemikiran Yunani, Persia kuno, dan Irfan yang mendalam dari
Muhyiddin Ibn Arabi. Filsafat Mulla Shadra membawa berita gembira keserasian
teori-teori filsafat dengan obyek-obyek syuhud para arif, dengan Kitab takwini
Allah yaitu keindahan alam semesta dan apa yang di baliknya dan dengan Kitab Tadwini
Allah yaitu Al-Quran. Mulla Shadra meyakini bahwa Akal, Kalbu dan Al-Quran
adalah tiga jalur yang identik untuk mengenali rahasia alam. Ia berusaha keras
untuk mendirikan sebuah mazhab filsafat yang dapat menjelaskan syuhud
para urafa secara rasional juga berdasarkan ajaran agama, dan dapat mendukung
dakwaan-dakwaan akal dengan syuhud para urafa.
Dengan
kata lain, akal dan kalbu berjalan seiring dengan kandungan ayat-ayat al-Quran
dan riwayat-riwayat yang shohih. Untuk itu ia berdalil bahwa Tuhan yang
merupakan awal dari alam semesta adalah juga yang mengirim Al-Quran, memberi
manusia kemampuan berpikir dan juga kalbu yang berkemampuan untuk syuhud
hakikat alam. Oleh sebab itu wajar jika ketiganya saling mendukung dan seiring.
Di sini kita hendak menjelaskan secara ringkas sejumlah prinsip filsafat Mulla
Shadra yang menunjukkan potensi besarnya sebagai basis filsafat lingkungan
hidup. Prinsip pertama adalah
bahwa semua yang ada, termasuk di dalamnya Tuhan maupun ciptaan Tuhan yang
dengan sendirinya memiliki hirarki dan strata keberadaan yang beragam, memiliki
persamaan yang penting dan mendasar serta kesatuan erat yang tak dapat
dipisahkan. Walaupun Mulla Shadra tidak
meyakini adanya wujud individual, meyakini ada banyak maujud di alam ini yang
memiliki keragaman dan derajat yang berbeda, namun dalam keragaman dan
keterbilangan itu, terdapat kesatuan dan ikatan yang mendalam antara semua
maujud; dari Tuhan yang menduduki posisi tertinggi dan termulia dalam hirarki
keberadaan, maujud-maujud di bawahnya sampai maujud yang terendah di alam
benda. Mereka semua sama-sama ada.
Untuk
memperjelas masalah ini, Mulla Shadra menggunakan perumpamaan yang berawal dari
filsafat Persia kuno. Cahaya memiliki misdaq (ekstensi, denotasi) yang
banyak. Misdaq-misdaq ini berbeda dari sisi kekuatan, kelemahan dan
keragaman. Silsilah ini berawal dari cahaya lilin yang lemah, cahaya lampu
kecil, cahaya lampu besar hingga berakhir ke cahaya matahari atau bahkan lebih
kuat dari itu. Walaupun cahaya menjelma dalam beragam bentuk dan persona yang
tak terhingga; dari segi ini cahaya sangat banyak jumlahnya, namun segenap
bentuk dan corak memiliki kesatuan dari sisi ke-cahaya-an mereka. Jika kita
menempatkan kegelapan di hadapan cahaya, semua persona cahaya akan serentak dan
sepakat sebagai sesuatu yang mematahkan kegelapan. Ia berpendapat bahwa semua
‘yang ada’ sejalan dan laksana rantai yang terkait satu dengan yang lain dalam
rangka menentang dan melawan ketiadaan. ‘Yang ada’ mencakup Tuhan, malaikat,
manusia, langit, bumi, galaksi, binatang, pohon, tumbuh-tumbuhan, air dan
benda-benda padat dan lain sebagainya. Tidak satupun keluar dari lingkaran
kebersamaan dan kesatuan ini.
Prinsip kedua Mulla Shadra
menyatakan bahwa hubungan antara sebab dan akibat merupakan hubungan yang eksis
secara khas dan semacam hubungan matematis. Dalam silsilah angka, misalnya,
kita tidak dapat mencabut angka 4 antara 3 dan 5 lalu menempatkannya di tempat
lain. Tempat angka 4 hanya antara 3 dan 5. Begitupula hubungan antara sebab ‘A’
dan akibatnya ‘B’. Hubungan tersebut tidak dapat diubah dikarenakan
sinkronisitas keberadaan di antara keduanya. Hubungan itu tidak dapat diubah. Tuhan
adalah sebab dari ‘keberadaan’ semua maujud. Oleh sebab itu, hubungan
keberadaanNya dengan maujud lain seperti langit, alam, bumi, manusia dan yang
lain adalah sebuah hubungan keniscayaan. Begitu pula hubungan antara
masing-masing akibatNya. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa hubungan antara
satu maujud dengan yang lain di alam ini bersifat keniscayaan.
Karena
Allah SWT, Maha Bijak dan Maha Mengetahui, Dia telah menciptakan alam dengan
tatanan terbaik yang mungkin terjadi. Mustahil dibayangkan sebuah tatanan yang
lebih baik dari yang ada. Jika mungkin maka pastilah telah diciptakannya. Dalam
tatanan terbaik ini, posisi manusia sangat istimewa. Karena memiliki kehendak,
ia berbeda dengan maujud yang tidak berkehendak atau berkehendak namun
berlandaskan insting. Manusia memiliki kehendak yang bebas dan selalu berada
antara dua jalur kebenaran dan kesalahan. Al-Quran menyatakan, “Telah Kami tunjukkan kepadanya jalan, terkadang ia
bersyukur dan terkadang mengingkari”. Karena merupakan maujud yang
berkehendak bebas, manusia bisa menjadi salah satu kategori berikut di bawah
ini:
(a) Hanya
memikirkan dorongan syahwat kebinatangan dan mengatur hidupnya berdasarkan itu.
Dengan demikian ia telah merubah dirinya menjadi binatang seperti yang tidak
memikirkan kecuali perut dan libido. (b) Melakukan penghancuran, aniaya dan
kezaliman terhadap diri, masyarakat dan Tuhan. Dengan demikian ia berubah
menjadi serigala yang tidak memikirkan selain kebuasan dan kekejaman. (c) Selalu berpikir untuk menipu orang
lain dan mendasari tindakannya dengan itu. Dengan demikian ia menjadi manusia
jelmaan setan. (d) Hanya mencari
kesempurnaan, kejernihan dan kebersihan. Menghiasi jiwa dengan nilai-nilai
kesempurnaan dengan menambah pengetahuan dan beramal salih. Ia adalah manusia
yang menjadi malaikat.
Oleh
sebab itu dalam tatanan terbaik alam semesta ini, hanya manusia yang memiliki
peranan yang menentukan. Hanya kepada manusia, Tuhan menyerahkan pembentukan
alam ciptaan sesuai dengan kehendaknya. Hanya manusia yang dapat menyampaikan
tatanan terbaik ini ke posisi semestinya. Hanya ia pula yang dapat mendatangkan
kerusakan di dalamnya. Hanya manusia yang dapat sampai ke tahapan tertinggi
kesempurnaan dan melewati malaikat. Itulah harmoni yang sesungguhnya di dalam
tatanan keberadaan. Dengan demikian ia menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dan
cermin seutuhnya Tuhan. Atau sebaliknya, dengan menginjak nilai-nilai moral dan
spiritual, ia jatuh ke lembah terdalam kehinaan. Dalam pada itu, Tuhan,
pencipta alam semesta termasuk manusia, telah mengirim buku panduan melalui utusan-utusanNya
untuk membimbing kehendak bebas manusia. Agar ia dapat mengenali jalur yang
benar dari yang salah. Karena alam ciptaan dan kitab bersumber dari Tuhan,
keduanya tidak hanya tidak bertentangan, malah terdapat harmoni dan
sinkronisitas yang sempurna di antara keduanya. Masing-masing bertanggung jawab
terhadap sebagian dari proyek tatanan terbaik ini.
Prinsip ketiga filsafat Mulla
Shadra menyatakan bahwa segenap maujud di alam semesta, baik yang material
maupun yang metafisikal, kesemuanya adalah tampilan dan jelmaan Tuhan. Semua
laksana cermin menampakkan Tuhan di dalamnya. Oleh sebab itu semua maujud
adalah tanda Tuhan. Poin lain adalah bahwa sebenarnya jelmaan dan pemunculan
Tuhan tidak berbilang dan beragam. Dengan ungkapan lain, Tuhan tidak memiliki
lebih dari satu jelmaan dalam tahapan kreasi dan aksi. Sebagai contoh jika kita
memancarkan cahaya dari atas ke sejumlah kaca dengan warna yang beragam, cahaya
yang terpentul ke benda-benda lain melewati kaca-kaca tersebut akan menjadi
beragam sebanyak warna yang ada pada kaca-kaca tadi. Padahal hanya ada satu
cahaya yang dipancarkan. Mulla Shadra berpandangan bahwa jelmaan dan emanasi
Tuhan ke alam semesta hanya satu. Namun karena terkena pada banyak hal, menjadi
beragam dan banyak.
Contoh
lain Mulla Shadra mengenai hal ini dinukil dari Ibnu Arabi. Manusia memproduksi
suara dengan cara melewatkan nafas yang keluar dari paru-paru melalui banyak
titik yang berbeda; lidah, gigi dan bibir. Susunan suara menjadi ribuan kata,
susunan kata menjadi kalimat, susunan kalimat menjadi media komunikasi yang
dapat memindahkan ide, pandangan dan informasi yang tertutup di hati. Akan
tetapi kesemuanya itu tidak lain hanya nafas yang keluar dari paru-paru
manusia. Perbedaan hanya disebabkan karena nafas tersebut dalm perjelanannya
telah membentur dinding dan permukaan yang berbeda-beda di mulut manusia. Makhluk
Allah SWT juga seperti ucapan. Mereka semua adalah emanasi dan Nafas Ilahi (Nafas
Ar-Rahman) yang berbenturan dengan quiditas-quiditas yang berbilang dan muncul
dengan bentuk-bentuk makhluk yang beragam. Kesemuanya menunjukkan Tuhan sesuai
dengan kadar dan kesiapan masing-masing.
Kesatuan
di antara keragaman ini sangat mendasar dan penting. Hal tersebut menunjukkan
bahwa jika manusia bergerak melawan bio-sistem dan makhluk lainnya, maka ia
sendirilah yang sebenarnya merugi. Implikasi prinsip di muka adalah kenyataan
bahwa seluruh bagian dan makhluk yang ada di dunia seluruhnya merupakan
perwujudan serta bentuk nyata dari kebenaran Tuhan di alam raya. Semua makhluk
merupakan nama dan kata Tuhan; “nama” di sini adalah sesuatu yang menunjukkan
kebenaran yang spesifik. Seluruh hal merupakan tanda-tanda Tuhan; alam raya
seperti sebuah cermin di mana Tuhan hadir dan nyata, dan semua makhluk ini
dengan ukurannya masing-masing mewujudkan Tuhan; yang berarti, mereka semua
mengindikasikan kehadiran Tuhan.
Berdasarkan
atas deskripsi alam raya tersebut, seorang penyair Persia, Bab Taher
mengatakan:
Aku
melihat laut, dan aku melihat Engkau
Aku
melihat padang pasir, dan aku melihat Engkau
Memandang
laut, gunung, dan padang pasir,
Aku
melihat semuanya sebagai wujud Engkau yang indah
Kenyataan
bahwa semua makhluk, dengan keterbatasan yang ada padanya, merupakan tanda
Tuhan akan kesucian, keindahan, kilauan, ilmu pengetahuan, hidup, dan
kesempurnaan lainnya dari Tuhan. Seluruh makhluk tanpa terkecuali, diharuskan
untuk memuji dan mengagungkan Tuhan, dan berdasarkan hal tersebut,
Shadr-ul-Muta’allihin Shirazi percaya bahwa semua atribut kesempurnaan seperti
hidup, intelektual, sinar mengalir dan beredar pada semua makhluk di seluruh
alam raya.
Prinsip keempat Mulla Shadra
adalah bahwa setiap maujud alam ini, yang berada di martabat dan level
keberadaan manapun, memiliki semua sifat kesempurnaan. Setiap ‘yang ada’
memiliki kehidupan, pengetahuan, kekuatan, kasih sayang, cinta… sesuai dengan
kadar keberadaannya. Sifat-sifat kesempurnaan mengalir di segenap maujud alam
ini baik yang material maupun yang tidak. Itu karena semua sifat kesempurnaan adalah
eksisten (bersifat ada). Maka, setiap ‘yang ada’ pasti memiliki sifat
kesempurnaan. Di dunia, semua mendengar, melihat, sadar dan mencintai. Semua mencintai Tuhan sebagai pelopor cahaya,
kebaikan dan sebagai kekasih yang mereka semua menujuNya. Mereka tidak kunjung
tenang sebelum mencapai cahaya, kesenangan dan kesempurnaan absolut, yaitu
Allah SWT. Kesemua makhluk itu bertutur kata dengan mengingatNya, bertasbih,
dan bersujud kepadaNya; sebagaimana Al-Quran menjelaskan: “Tidak satupun
makhluk kecuali bertasbih dengan memujiNya akan tetapi kalian tidak mengerti
tasbih mereka” (Al-Israa’: 44). “Dan kepada Allah sajalah bersujud
segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang di bumi…” (An-Nahl:
49).
Karena
cinta mereka kepada Tuhan, mereka mencintai diri sendiri dan makhluk lain yang
merupakan tanda dan aksi Tuhan. Argumen lain yang mendukung bahwa segenap
maujud alam semesta mencintai diri sendiri dan makhluk lain adalah bahwa semua
maujud itu baik dan secara alamiah semua mencintai kebaikan dalam ukuran apapun
dan di manapun.
Jika
kita hendak menyimak lapisan lebih dalam dari filsafat Mulla Shadra, kita akan
menemukan bahwa ia meyakini bahwa kekasih dan ‘yang dicintai’ itu tidak lebih
dari satu dan dia adalah Tuhan Yang merupakan kemolekan dan cahaya absolut.
Namun dikarenakan maujud lain adalah akibat dariNya maka keindahan itu terdapat
pada semua namun secara terbatas sesuai dengan level keberadaan masing-masing.
Oleh sebab itu kita menemukan para pecinta Tuhan saat menyaksikan jelmaan dan
refleksi cahaya dan keindahan Sang Kekasih di segala hal niscaya mencintai
jelmaan-jelmaan itu karena Tuhan. Mengingat lingkungan hidup adalah salah satu
jelmaan keindahan Tuhan, maka tentu kita akan memelihara keindahan lingkungan.
Peran
dan posisi manusia dalam konteks prinsip ini adalah unik. Sebagai bentuk
ciptaan Tuhan yang paling sempurna, manusia adalah perwakilan Tuhan dan wujud
nyata Tuhan yang paling sempurna di muka bumi. Dia adalah pengemban kepercayaan
yang berat dan tanggung jawab yang besar yang tidak dapat diterima makhluk
lain. Manusia adalah perantara antara Pencipta dan makhluk lain mulai dari yang
teratas (Tuhan) ke yang terbawah (pergerakan ke bawah) dari seluruh ciptaanNya
dan sifat ketuhananNya (kita milik Tuhan)
Melalui
manusialah kesempurnaan dan rahmat turun ke bumi; dalam perjalanan menuju
Tuhan, melalui manusialah seluruh alam raya dapat menggapai Tuhan; dengan kata
lain, manusia adalah penjaga alam, pemelihara, dan penyebab kehidupan di
dalamnya. Bagaimanapun juga, sangat menarik bahwa manusia yang sama juga
mencari bantuan dari alam dalam pendakiannya dan pergerakan ke atas menuju
Tuhan; kesempurnaanya tidak mungkin tanpa alam dan isinya. Imam Ali bin Abi
Thalib (AS) menjelaskan hal ini kepada salah seorang Muslim, yang mencoba mengingkari
kehidupan dunia alami: “Adalah melalui dunia fana di mana para malaikat
mencapai kesempurnaan. Adalah di dunia ini di mana wahyu Tuhan diturunkan ke
bumi melalui Nabi dan orang-orang yang dibimbing kearah cahaya dan
kesempurnaaan.”
Karena
manusia memiliki atribut perwakilan ketuhanan dan kesempurnaan manusia dan
mengharuskan keingkaran terhadap poros diri sendiri dan pemujaan diri sendiri,
maka ketamakan, sifat materialistis, dan menggapai kesempatan dengan seluruh
pengorbanan bukanlah merupakan pertimbangannya. Yang merupakan kepentingannya
adalah untuk mengamati batasan dirinya sendiri dan hak makhluk lain (tanpa
menghamburkan atau menghancurkan). Di alam dia melihat cahaya Tuhan, dan dia
mendengar melalui telinga jiwanya suara makhluk alam yang diwajibkan untuk
memuja Tuhan.
Islam dan
Lingkungan Hidup
Di
akhir bagian tulisan ini, izinkan saya mengulas secara ringkas sejumlah ajaran
Islam yang terkait dengan pemeliharaan dan pengelolan lingkungan hidup. Salah
satu prinsip filsafat lingkungan hidup Islam adalah bahwa alam semesta
diciptakan berdasarkan keseimbangan dan harmoni antar anggota alam tersebut.
Selain itu, manusia harus berusaha maksimal untuk menjaga keseimbangan dan
berinteraksi secara benar dengan maujud-maujud lain di alam.
Tentang
keseimbangan dan harmoni alam semesta, Allah berfirman: “Kamu sekali-kali
tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih sesuatu yang tidak seimbang”
(Al-Mulk: 13). Segala sesuatu tercipta berdasarkan perhitungan dan ukuran dan
ditempatkan di posisi yang tepat: “Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu
dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapih-rapihnya” (Al-Furqan: 2).
“Segala sesuatu pada sisiNya ada ukurannya”(Ar-Ra’d: 8). “Matahari
dan bulan (beredar) menurut perhitungan, bintang dan pohon tunduk kepadaNya,
Allah meninggikan langit dan Dia meletakkan necara” (Ar-Rahman: 5-8). “Ciptaan
Tuhan Yang telah mengokohkan segala sesuatu” (An-Naml: 88). Tidak satupun
benda tercipta sia-sia: “dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi.. Ya Tuhan Kami tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci
Engkau..” (Ali Imraan: 191). Metode penciptaan terbaik telah digunakan Oleh
Tuhan: “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya”
(As-Sajdah: 7). Kehidupan segala sesuatu tergantung pada air menurut Al-Quran “Dan
Kami Jadikan dari air segala sesuatu yang hidup” (Al-Anbiyaa: 30). Air
telah diciptakan sesuai takaran khusus: ”Dan Kami turunkan air dari langi
menurut suatu ukuran lalu kami jadikan air itu menetap di bumi dan sesungguhnya
Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya” (Al-Mu’minuun: 18). Relasi
danta kuantitas segala sesuatu telah ditentukan dengan sangat teliti: “Dan
Kami telah menghamparkann bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami
tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran” (Al-Hijr: 19).
Tentang
harmoni antara angin, air dan tumbuh-tumbuhan Al-Quran berifrman: “Dan
Dialah yang mengirim angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan
rahmatNya, hingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu
daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami kelurkan
dengan sebab hujan itu beragam buah-buahan” (Al-A’raaf: 57). Adapun tentang
keserasian antara bumi, langit, air dan manusia: “Dialah Yang
menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap”
(Al-Baqarah: 22). “Bukankah Kami telah jadikan bumi sebagai hamparan”
(An-Naba’: 6). “Dan bumi sesudah itu dihamparkannya. Dia memancarkan darinya
mata air dan tetumbuhan. Dan gunung-gunung dipancangkanNya dengan teguh untuk
kesenangan kalian dan ternak kalian” (An-Nazi’at: 30-33).
Jika
manusia menjaga keseimbangan ini dan tidak merusaknya ia telah memaksimalkan
keuntungannya dari alam, karena sejak semula alam diciptakan untuk digunakan
manusia. “Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian”
(Al-Baqarah: 29). “Tidakkah kalian perhatikan sesungguhnya Allah menundukkan
untuk kalian apa yang di langit dan apa yang di bumi dan telah menyempurnakan
untuk kalian nikmat-Nya lahir dan batin” (Luqmaan: 20). “Dan Dialah
Allah yang menundukkan lautan untuk kalian, agar kalian dapat memakan darinya
daging yang segar, dan kalian mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu
pakai dan engkau melihat bahtera berlayar padanya dan agar kalian mencari dari
karuniaNya dan agar kalian bersyukur” (An-Nahl: 14).
“Allah
lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air dari langit lalu
Dia keluarkan darinya dari buah-buahan rizki bagi kalian dan Dia tundukkan
bahtera untuk berlayar di laut dengan perintahNya dan menjadikan bagi kalian
sungai-sungai. Dan menjadikan bagi kalian matahari dan bulan silih berganti dan
menjadikan bagi kalian malam dan siang. Ia telah berikan bagi kalian dari
segala yang kalian minta dan jika kalian menghitung nikmat Allah maka tidak akan
dapat kalian hitung” (Ibrahim: 32-34). Adapun tentang keharusan manusia
menjaga keseimbangan dan tidak merusaknya dan bersikap sebaik mungkin
berdasarkan iman dan amal salih dengan alam dan makhluk lainnya, Al-Quran
berfirman: “Dan Jika penghuni desa beriman dan bertakwa maka akan kami
bukakan untuk mereka berkat-berkat dari langit dan bumi” (Al-A’raaf: 96).
Salah
satu prinsip Islam yang penting seputar lingkungan hidup adalah perhatian yang
mendalam tentang menanam pohon. Allah swt berulangkali mengingatkan kemudahan
yang telah Dia berikan kepada manusia dan menghitungnya sebagai suatu karunia: “Dan Dialah yang menurunkan air dari langit dan lalu Kami
keluarkan tumbuh-tumbuhan dari segala jenis, lalu Kami keluarkan darinya yang
hijau”. Dari sisi lain, berulang kali Rasulullah saw menghimbau kita
untuk hal ini: “Seorang muslim tidak menanam tanaman lalu kemudian seekor
burung, manusia atau binatang memakan dari tanaman itu melainkan Allah menulis
baginya sedekah” (Hadits muttafaqun alaih, lu’lu’ wa lmarjan,
hadis ke-1001). “Barangsiapa merawat pohon sampai tegak dan berbuah, maka
setiap kali ada yang memakan dari buahnya terhitung sedekah baginya di sisi
Allah” (H.R Ahmad, 4, 51, 5, 274).
Dari
sisi lain Islam menekankan pemberdayaan tanah dengan cara menanam tanaman.
Untuk itu, selain pahala ukhrawi Islam juga menentukan balasan materil: “Barangsiapa
menghidupkan tanah, maka itu menjadi miliknya” (H.R Abu Daud 2073). Islam
juga melarang pengrusakan bumi: “Dan janganlah kalian membuat kerusakan di
muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya..” (Al-A’raaf: 56). “Makan dan
minumlah dari rizki Allah dan janganlah kalian berkeliaran di muka bumi dengan
berbuat kerusakan” (Al-Baqarah: 60). “..dan mereka berbuat kerusakan di
muka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”
(Al-Maidah: 64).
Tentang
bagaimana memenfaatkan binatang ternak, ajaran Islam menunjukkan nilai moral
abadi tentang bagaimana seharusnya kehormatan makhluk lain dijaga: “Tidak
seorang muslim pun yang membunuh burung gereja atau yang lain, tanpa memberikan
haknya, kecuali Allah akan mempertanyakan itu darinya. Ditanya: Apa hak burung
itu Ya Rasulullah? Beliau menjawab: menyembelihnya lalu memakannya dan tidak
memotong kepalanya lalu membuangnya” (H.R Ahmad, 6001). Islam juga melarang
berburu binatang dan burung hanya untuk rekreasi dan hobi.
Islam
mengajarkan agar mengisolasi binatang yang berpenyakit menular dari binatang
yang lain agar tidak menjangkiti yang lain. Dasar untuk menjaga semua jenis
binatang ayat ini saja sudah mencukupi: “Ya Tuhan Kami tiadalah Engkau
menciptakan ini sia-sia, Maha Suci Engkau” (Ali Imraan: 191). Semua makhluk
diciptakan berdasarkan tujuan dan fungsi tertentu. Oleh sebabnya dilarang
memunahkan spesies tertentu: “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di
bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan umat-umat
(juga) seperti kalian. Tiadalah kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab..”
(Al-An’aam: 38). Dalam riwayat lain dari Bukhari dijelaskan bahwa seorang
wanita disiksa di api neraka. Itu dikarenakan ia memenjarakan seekor kucing
lalu tidak memberinya makan dan minum sampai mati. Islam melarang memotong
pohon, membakar ladang dan tumbuh-tumbuhan musuh. Begitu juga menutup aliran
air minum untuk musuh dan perlakuan kejam terhadap tawanan.
Asketisme Islam
dan Lingkungan Hidup
Manusia
yang menapak jalan menuju kesempurnaan material dan spiritual, tidak akan
melancarkan peperangan, penghancuran dan berlaku serakah. Ia akan dapat
memaksimalkan keuntungan dari karunia ilahi dari langit dan bumi. Namun
sayangnya, seringnya umat manusia tidak berlaku demikian dan oleh sebab itu
terjadi banyak kerusakan di alam semesta: “Telah
muncul kerusakan di darat dan laut akibat ulah manusia” (Ar-Ruum: 41).
Manusialah
dengan perilakunya yang menjauh dari keseimbangan, penyebab krisis dan
tercerainya ekosistem bumi. Mungkin para malaikat karena khawatir akan hal ini
bertanya kepada Tuhan saat Dia hendak menjadikan manusia sebagai penggantiNya
di bumi: “Apakah Engkau akan menjadikan di dalamnya yang merusak di sana dan
menumpahkan darah, sementara kami bertasbih dan mensucikanMu” (Al-Baqarah:
20). Tuhan tentunya menjawab bahwa Aku mengetahui yang kalian tidak
mengetahui yang berarti walaupun apa yang kalian katakan itu benar, tetapi
itu bukan seluruh kebenaran. Manusia adalah makhluq yang ditiupkan ke dalamnya
dari Ruh Tuhan: “Dan Aku tiup ke dalamnya dari RuhKu” (Al-Hijr: 29). Oleh
sebab itulah manusia, dengan keimanan kepada Allah dan mentaati ajaran
agamaNya, dapat berinteraksi secara seimbang dan harmonis dengan manusia lain,
alam semesta dan ekosistem dan menjaga mereka dari kehancuran.
Doktrin
moralitas Islam, secara keseluruhan, terdiri atas keingkaran terhadap poros
diri dan azas kepentingan diri sendiri. Dengan melihat Haji, kita dapat melihat
perbaikan diri dan kesempurnaan manusia diperoleh melaui penghormatan terhadap
alam. Sewaktu di miqat kita memegang janji ihram dan memasuki
batasanNya, kita tidak dapat bahkan menyakiti semut atau mencabut tumbuhan
maupun semak; kita tidak dapat merusak alam, tidak mengenakan pakaian yang
penuh warna, dan lain-lain. Dan kita harus menghindari segala sesuatu yang
merupakan wujud sifat keegoisan dan sifat poros diri sendiri. Dalam ihram,
manusia belajar bagaimana menyampaikan pelajaran kepatuhan dan menghormati hak
makhluk lain dan hak penciptanya sendiri atas seluruh hidupnya dan tidak
melupakannya meskipun sejenak. Ibrahim, Nabi besar aliran monotheisme, mencapai
kesempurnaan yang sesungguhnya saat dia berhasil melalui ujian ihram.
Untuk
memanfaatkan alam, manusia yang beragama, saat merasakan kemiskinan dan
masalah, akan berpegang bukan kepada kekuatan yang menghancurkan dan merusak,
tetapi atas dasar kebaikan dan kemurahan Tuhan. Mari kita lihat doa untuk
mendapatkan hujan dan bagaimana kita harus keluar kota dengan orang yang lebih
tua, anak-anak, orang-orang lemah, dan hewan yang haus; bagaimana kita harus
mengangkat tangan ke langit dan memohon hujan dari Tuhan; hujan adalah rahmat,
kegembiraan, dan kemurahan, yang mebawa pada syukur. Dan berdasaran doktrin
religi, cara tepat bersyukur kepad Tuhan adalah dengan melengkapi rahmat
Ketuhanan dengan tepat dan cara yang benar.
Tuhan
melengkapi pengolahan, kerja, dan pengembangan alam, dan rahmat kepadaNya dan
menegaskan: Apakah engkau yang mengolahnya atau Kami? Dengan arti, adalah kerja
Tuhan yang menunjukkan hasil dan mempengaruhi alam. Tuhan menyebutkan bahwa air
adalah sumber dari segalanya. “Dan Kami buat segalanya yang hidup dari air.”
Berdasarkan
doktrin Islam, manusia berterima kasih kepada Tuhan atas segala butir yang dia
dapatkan, dan dia mendapatkan kesenangan spiritual dengan memenuhi kewajiban
ini. Dalam sudut pandang Islam, “al-mulku li-llah”, sebagaimana
disebutkan, kepemilikan yang sesungguhnya merupakan milik yang Maha Kuasa Tuhan
, dan tidak ada seorang pun yang memiliki hak kepemilikan mutlak atas segala
sesuatu. Segala sesuatunya adalah kepercayaan Tuhan (amanah), dan manusia
sempurna adalah yang menjalankan kepercayaan dengan hati-hati; pencarian
kekuasaan atas alam adalah suatu bentuk tirani. Budaya dan dimensi spiritual
dibutuhkan untuk mengubah jiwa pencarian kekuasaan pada manusia menjadi rendah
hati, sehingga manusia akan mennghargai usaha mempertahankan alam layaknya
nyawanya sendiri dan mengubah korelasi destruktif menjadi kreatif dan dinamis.
Dalam agama Islam, semua aktivitas manusia melambangkan suatu aspek pelayanan,
misalnya saja mempertahankan dan mengembangkan lingkungan alami. “Katakanlah,
doaku dan ibadah dan hidup dan mati milik Tuhan, penguasa alam raya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar