Oleh Abu Aqilah
Ghadir Khum adalah sebuah tempat yang berlokasi dekat Al-Juhfa –yang
merupakan tempat perlintasan bagi para jamaah haji yang ingin menuju Madinah,
Mesir, Irak, Suriah, Najaf dan ke seluruh negeri lainnya. Tempat tersebut
sangatlah strategis sebagai tempat peristirahatan dalam perjalanan mereka.
Tempat tersebut menjadi tempat yang bersejarah yang dikenal dengan peristiwa
‘al-Ghadir’, di situlah Rasulullah Saaw mengumunkan tentang seorang pewaris
khilafah spiritual dan duniawi yang akan menggantikan kedudukan beliau sebagai
penerus risalah Ilahi, akan mampu bertanggung jawab dan meneruskan risalah yang
beliau emban.
Inilah salah satu dari
hari yang termashur bagi kaum muslimin dan adanya keberkahan di dalamnya. Inilah
hari ketika hukum-hukum Allah Swt secara sempurna ditetapkan. Inilah yang telah
memberikan kepada Sang Penutup para Rasul dan juga para pemimpin Ilahi. Inilah
hari ketika Allah Swt menguji hamba-hamba-Nya. Sebuah keberkahan yang akan
didapatkan bagi orang-orang yang beriman dan kecelakaan bagi orang-orang kafir.
Inilah hari ketika Allah
Swt menyempurnakan agama-Nya, mencukupkan nikmat-Nya dan menetapkan Islam
sebagai agama. Dalam ayat tersebut, Allah Swt berfirman:“Pada hari ini telah
Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmatmu, dan
telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu,” (Al-Maidah ayat 3).
Dalam hadist yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ia mengatakan, “Ayat tersebut diturunkan pada
hari al-Ghadir, yakni setelah ucapan Rasulullah Saw, “Man kuntu maulahu
faaliyyun maulahu (Siapa yang aku
sebagai pemimpinnya, maka inilah ‘Ali sebagai pemimpinnya).” Dan
ketika itu Rasulullah Saw bersabda, “ Allah Maha Besar atas penyempurnaan agama,
nikmat serta keridhaan-Nya terhadap risalahku dan wilayah Ali setelahku.”
Hendaklah diyakini bahwa
khabar atas pengangkatan Sayyidina Ali karammallahu wajhah sebagai
khalifah yang akan menggantikan kedudukan beliau sudah sesekali disampaikan
beliau sejak awal tugas kenabian (dakwah al-Islamiyah) beliau –yang
berupa sebuah isyarat bahwa Sayyidina Ali yang kelak akan meneruskan tugas
beliau. Hingga pada akhirnya, pada hari tersebut sebagai ‘pengumuman resmi’ ke seluruh
umat di sepanjang masa.
Bagian khotbah yang
terpenting di Ghadir Khum adalah kalimat: “Barangsiapa yang aku pemimpinnya (–tuannya)
maka Ali adalah pemimpin-nya.”
Seandainya kita tidak
mengakui hari raya al-Ghadir sebagai hari besar, namun kandungan sejarah
merupakan bukti kebesaran hari tersebut. Dan peristiwa penting yang ingin
ditunjukkan pada masa itu adalah peresmian nama seorang khalifah yang akan
meneruskan risalah Rasul. Walaupun juga ada beberapa dari mereka setelah
peristiwa ini, tidak mengakui Imam Ali as sebagai pemimpin setelah Rasul Saw,
namun bukti-bukti hadist dan riwayat yang shaheh telah mengakui otoritas
kebesaran beliau (Sayyidina Ali ra).
Riwayat sejarah
membuktikan dialah sebagai jawara perang dan penakluk musuh. Ali-lah yang
dikenal sebagai pendobrak pintu Khaibar dan pahlawan Khandaq.
Pesan yang ingin
disampaikan pada peristiwa al Ghadir adalah sebuah persoalan yang signifikan –yakni
kepemimpinan umat setelah Rasul Saw. Dan dalam Islam seorang pemimpin terkait
pada orang-orang yang beriman, adil dan sebagainya –yang akan memimpin umat
serta memisahkan kepemimpinan itu dari orang-orang yang zalim –dan yang
terpenting adalah kepemimpinan adalah ditentukan dari sisi Allah Swt,
sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Baqarah ayat 124, yang berbunyi: “Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan
larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya
Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia“. Ibrahim berkata: “(Dan
saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini)
tidak mengenai orang-orang yang lalim”.
Dari ayat tersebut, Allah
menjadikan kepemimpinan mereka dari nasab dan rahim yang suci. Tidaklah selain
Allah yang akan mampu menjadikan imam, nabi atau khalifatullah di muka bumi
ini. Kepemimpinan yang memiliki kriteria tersebut sebagai hujjah Allah di
sepanjang masa. Dan Allah tidak membiarkan bumi ini kosong dari hujjah-Nya.
Kekosongan hujjah di muka bumi, menjadikan kesesatan bagi umat ini yang
ditinggalkan oleh hujjahnya.
Bagaimanapun, ketika nabi
Musa as meninggalkan kaumnya untuk bermunajat dan menemui Tuhannya selama 40
hari di gunung Thur –sina, keadaan kaumnya ketika itu meninggalkan ajaran yang
dibawa oleh nabi mereka dan mereka membuat patung hewan untuk disembah –yang dipimpin
dan diprakarsai oleh Samiri. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat
Al-Baqarah ayat 51, yang berbunyi: “Dan (ingatlah), ketika Kami berjanji
kepada Musa (memberikan Taurat, sesudah) empat puluh malam, lalu kamu
menjadikan anak lembu (sembahanmu) sepeninggalnya dan kamu adalah orang-orang
yang lalim.”
Mereka tersesat selama Nabi Musa meninggalkan mereka selama empat puluh hari. Bagaimana mungkin kalau
sekiranya umat ini akan ditinggalkan selamanya, tanpa seorang pemimpin. Dan
konsep kepemimpinan ini merupakan salah satu pokok dalam ajaran Islam.
Oleh karenanya, Islam
dalam ajarannya menyangkut semua aspek kehidupan memerlukan seorang figur yang
mampu menjadi pemimpin. Namun, dalam pencaharian figur yang memiliki sifat
kepemimpinan ini, haruslah kita memahami atas kajian sejarah secara benar.
Barulah kita akan memahami pemimpin yang memenuhi kriteria-kriteria khusus yang
telah ditunjuk oleh Allah Swt dan rasul-Nya. Hingga, kriteria-kriteria tersebut
akan tertanam pada sosok kepemimpinan Imam Mahdi as sebagai Ratu Adil
kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar