Oleh Hendi Jo
Banten, pernah menjadi
salah satu kota pelabuhan kerajaan Islam termodern di dunia. Dipuji Tome Pires,
diincar Belanda. Namun kini hanya meninggalkan sisa-sisa kejayaan lama.
Senja
memerah di kawasan Banten Lama. Tubagus Nuruddin Zein (59) termenung di atas
tumpukan batu karang, sisa-sisa reruntuhan sebuah benteng tua. Sambil sesekali
menghisap rokok, dia menatap sayu pemandangan lepas di hadapannya: Benteng
Surosowan dan menara Masjid Agung Banten. Selarik cahaya pijar merah menerpa
wajah tuanya, saat dia bergumam perlahan: "Dulu,tanah
ini pernah sangat dihormati dunia," ujar lelaki yang mengaku masih
memiliki garis keturunan langsung dari Maulana Hasanuddin, pendiri Kerajaan
Banten itu.
Zein tidak sedang mengingat kenangan kosong. Tome Pires, seorang
raja kelana asal Portugis menyebut Banten sudah dikenal sebagai salah satu
bandar teramai di dunia sejak awal abad 16. "Kapal-kapal
dari Arab, Eropa, Cina, Jepang, Keling dan Persia berlabuh di tepian Bandar
Banten seraya membongkar barang-barang seperti porselin, kain-kain sutera,
senjata, mesiu dan meriam-meriam besar. Sejatinya semua barang tersebut
diperjualbelikan, namun yang terjadi lebih banyak dibarter dengan
rempah-rempah, beras, kopi dan hewan-hewan lokal," tulis Pires dalam
The Suma Oriental.
Selain kestabilan ekonomi, Kesultanan Banten dikenal
sebagai salah satu kesultanan Islam terkuat di wilayah Nusantara. Begitu
kuatnya, sehingga sejarawan Belanda kenamaan, H.J.De Graff menyatakan, "Pada abad 17, ada dua adidaya yang
sangat disegani Belanda di kawasan Jawa waktu itu yakni Mataram dan
Banten," ungkap De Graff dalam Puncak Kekuasaan Mataram.
Penilaian De Graff merujuk pada kualitas dan kuantitas
pertahanan militer Kesultanan Banten. Selain dikenal memiliki tentara infanteri
yang terlatih, benteng pertahanan kokoh dan angkatan laut yang kuat, pertahanan
militer Banten juga dilengkapi perangkat artileri yang canggih pada zamannya.
Salah satunya yang legendaris dinamakan Ki Amuk.
Konon Ki Amuk dibuat oleh tenaga impor yang khusus
didatangkan dari Persia. Begitu diandalkannya meriam tersebut, hingga pihak
Banten memasangnya di Karangantu. Itu nama sebuah kawasan yang terletak di
ujung barat pulau Jawa dan masih masuk dalam wilayah Bandar Banten. "Jadi kalau ada musuh menyerang Banten,
Ki Amuk ini pertama yang menghadapinya," kata Tubagus Zein
Kini Ki Amuk tidak lagi di Pelabuhan Karangantu. Sejak
Indonesia merdeka, meriam besar tersebut dipindahkan ke Musium Banten Lama,
persis sebelah timur Masjid Agung. Setiap pengunjung yang datang ke sana,
pertama kali akan disambut oleh Ki Amuk, yang terlihat masih sangar.
Tigapuluh meter dari Ki Amuk, terletak Benteng Surosowan.
Itu adalah tempat pertahanan yang dibangun oleh Sultan Maulana Yusuf
(1570-1580). Kini benteng yang memiliki luas 3 ha itu kondisinya sudah
berantakan dan sama sekali tidak terurus. Itu dibuktikan dengan banyaknya
tumpukan sampah plastik di beberapa sudut.
"Jangankan pemerintah pusat, pemerintah daerah Banten saja tidak
perduli," ujar KH.Tubagus Fathul Adzim
Chatib, Ketua Kenadziran Masjid Agung Kesultanan Maulana Hasanuddin Banten.
Padahal Banteng Surosowan merupakan salah satu saksi bisu
perlawanan gigih rakyat Banten saat berperang melawan Belanda. Di sinilah tepat
200 tahun yang lalu, Sultan Safiyuddin membuat sebuah keputusan bersejarah. Dia
menolak mentah-mentah permintaan Gubernur Jenderal Daendels untuk mengirim 300
pekerja rodi ke Pantai Labuan.
Tidak cukup bersikap menolak, Sultan pun memenggal kepala
Du Puy, utusan Daendels yang dianggap bersikap congkak, dan konon mengirimkan
kepalanya langsung kepada Daendels. Penggagas pembangunan jalan dari
Anyer-Panarukan dengan cara kerja paksa tersebut lantas berang. Sebagai jawaban
balik, dia lantas mengerahkan seluruh kekuatan darat dan laut Belanda untuk
menggempur Banten.
Tahun 1809, angkatan bersenjata Belanda berhasil
menghancurleburkan Benteng Surosowan. Sultan pun ditangkap dan dibuang ke
Ambon. Sementara Sultan dinaikan ke kapal perang, pembersihan pun dijalankan
para serdadu Belanda. Ratusan orang pun jatuh menjadi korban, termasuk
Mahapatih dan beberapa pejabat Banten yang dikenai hukum pancung. "Konon Kali Banten sampai berwarna
merah karena darah dari para korban," kata Tubagus Fathul Adzim.
Penghancuran simbol-simbol Kesultanan Banten terus
dijalankan oleh Belanda hingga 1832. Selain Benteng Surosowan, Belanda juga
menghancurkan Keraton Kaibon yang terletak di sebelah utara Masjid Agung. Mereka
juga mengangkut lantai ubin Keraton Kaibon dan memindahkannya ke gedung
pemerintahan Belanda di Serang dan di Batavia.
Benteng Surosowan dan Istana Kaibon lantas terbengkalai
begitu saja. Rupanya, ratusan tahun setelah dibombardir oleh pasukan Daendels
kondisi kedua tempat itu tetap sama. Alih-alih dirawat secara baik, dua tempat
bersejarah tersebut malah kini menjadi tempat bercengkramanya para anak muda
dan wilayah bermain para bocah. Bahkan saat ke Istana Kaibon, saya menyaksikan
puluhan kambing dengan merdeka tengah merumput di sana.
Senja memerah di kawasan Banten Lama. Tubagus Nuruddin
Zein masih termenung di atas tumpukan batu karang. Sesekali sarung merahnya
berkibar ditiup angin bulan Mei. Di tengah riuh bocah bermain layang-layang,
bisa jadi secara diam-diam dia tengah membayangkan Banten kembali jadi pujaan
dunia. (*)
Sumber: http://islam-indonesia.com/feature/asal-usul/470-ki-amok-di-ujung-jawa
cerita yang menarik
BalasHapusmeriam yang gagah, komentar balik ya ke blog saya www.goocap.com
BalasHapusYang membuat meriam ki Amuk adalah coje zainal orang portugis yang masuk Islam.
BalasHapus