Dik, selami saja musik
yang kugubah ini –bila kau tanpa sengaja menemukan puisi yang kutulis untukmu
tanpa mesti merasa sia-sia –di antara berkas-berkas kusam dan traktat-traktat
yang malas kau baca. Dan masuki kata per-katanya: adakah ia menyebut namamu atau
ia terlampau mengigau tentang nasibnya yang sempat kau lupakan –di saat-saat
kau sibuk dan bosan untuk menemaninya untuk sesaat saja. Adakalanya ia pun
tertidur dan adakalanya ia menunggumu dengan setia.
Telah sekian musim dan
tempat ia singgahi sebelum akhirnya ia dituliskan dan dinyanyikan setiap ia
hendak menuliskannya.
Inilah November kesekian, Dik, semenjak aku tak lagi
menghitung pucuk-pucuk daun yang tumbuh dan berganti, kala gerimisnya tak lagi
kupahami sebagai peri-peri kecil yang turun dari langit. Bunga-bunga tebing
memang mulai menguning, pertanda aku telah beberapa kali menyayangi dengan
gelisah dan gembira sajak-sajak yang kukisahkan untukmu saban kali pagi dan
sore hari memberiku seredup matamu yang damai itu, dan malam memberiku secahaya
lampu yang tenang.
Dan masih selalu
kudengarkan setiap gerak dan desir yang berhenti dan tak sanggup bergetar pada
dinding dan kaca jendela.
Dengarkanlah, Dik, dengarkan saja semua yang ingin
didongengkan diamnya yang meminta dan mengiba dengan sabar, sebab mulutku tak
lagi mampu berbicara dengan bunyi yang telah kujadikan nada-nada musik yang
kugubah ini. Sebab aku pun tak mau lagi menulis tentang kesedihan dan kesepian,
apalagi tentang lagu-lagu yang aku dan kau enggan untuk menyanyikannya dengan
riang dan bebas, seperti ketika seseorang berjumpa dengan kekasih lamanya yang
baru datang.
Selami saja musik yang kugubah ini, Dik, bila kau
tanpa sengaja menemukan puisi yang kutulis untukmu tanpa mesti merasa sia-sia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar