Para pencinta dan pengikut
Ali as —mengingat kedudukan yang dimilikinya di sisi Rasulullah saw, para
sahabat, dan Muslimin— yakin seratus persen bahwa ia akan memegang kekhalifahan
dan kepemimpinan setelah Rasulullah saw meninggal dunia. Situasi dan kondisi
waktu itu —kecuali beberapa peristiwa yang terjadi pada saat Rasulullah saw
sakit [1]—memperkuat keyakinan mereka itu (dan memihak
kepada mereka).
Akan tetapi, berbeda
dengan penantian mereka, ketika Rasulullah saw wafat dan jenazah beliau yang
suci belum dikebumikan, serta Ahlulbait as dan sebagian sahabat masih berada
dalam suasana berkabung dan mempersiapkan keperluan tasyyi’ jenazah,
mereka mendapat berita bahwa sebagian sahabat —yang nantinya dapat memenangkan
suara mayoritas— dengan penuh ketergesa-gesaan dan tanpa bermusyawarah terlebih
dahulu dengan Ahlulbait, keluarga, dan para pengikut Rasulullah saw yang lain,
bahkan mereka pun tidak memberitahukan terlebih dahulu kepada mereka, di bawah
kedok menginginkan kebaikan (bagi kehidupan Muslimin) telah menentukan seorang
khalifah bagi mereka dan menghadapkan Ali as dan para pengikutnya dengan sebuah
keputusan yang sudah diambil.[2]
Setelah usai mengebumikan
Rasulullah saw dan mendengarkan berita itu, Ali as dan para pengikut setianya,
seperti Abbas, Zubair, Salman, Abu Dzar, Miqdad, dan Ammar Yasir, bangkit dan
menentang pemilihan khalifah dan para sutradaranya itu. Mereka juga mengadakan
pertemuan-pertemuan resmi dengan masyarakat. Akan tetapi, malah “memang
demikianlah kemaslahatan Muslimin menuntut” adalah jawaban yang mereka
dapatkan.[3]
Penentangan dan pengakuan
(baca: jawaban) itulah yang memisahkan golongan minoritas (Syi’ah) dari
golongan mayoritas (Sunni), dan memperkenalkan para pengikut setia Ali as
kepada masyarakat (Islam) dengan julukan “Syi‘ah Ali”. Pihak penguasa —sesuai
dengan tuntutan politik waktu itu— selalu berusaha supaya golongan minoritas
ini tidak dikenal dengan julukan tersebut sehingga masyarakat kala itu tidak —terkesan—
terbagi menjadi dua golongan minoritas (Syi’ah) dan mayoritas (Sunni). Mereka
mengumumkan bahwa pemilihan khalifah itu adalah hasil pemilihan yang telah
disepakati bersama (ijmâ’) dan menamakan penentangnya dengan pengingkar
bai’at dan penentang jamaah Muslimin. Dan kadang-kadang, mereka menjulukinya
dengan ungkapan-ungkapan yang sangat keji lainnya.[4]
Syi‘ah semenjak hari-hari
pertama telah menjadi korban permainan politik kala itu. Hanya dengan
penentangan, mereka tidak mampu berbuat apa-apa. Dan Ali as pun —demi menjaga
kemaslahatan Islam dan Muslimin, serta karena tidak adanya kekuatan yang
memadai— enggan mengadakan perlawanan berdarah. Akan tetapi, kelompok penentang
ini —dari segi keyakinan— tidak pernah menyerah kepada golongan mayoritas dan
mereka masih bersiteguh bahwa kekhalifahan Rasulullah saw adalah hak Ali as
yang tidak dapat diganggu-gugat.[5] Dalam hal-hal ilmiah dan spiritualitas,
mereka hanya merujuk kepadanya, dan mereka selalu mengajak orang lain untuk
membelanya.[6]
Kekhalifahan dan Sentralisasi Keilmuan
Berdasarkan ajaran-ajaran
Islam yang telah diperolehnya, Syi‘ah meyakini bahwa kejelasan ajaran-ajaran
dan budaya Islam menempati peringkat urgensi yang paling utama,[7] dan setelah itu, pengaktualisasiannya di
tengah-tengah masyarakat Islam menempati peringkat berikutnya.
Dengan kata lain, pertama,
anggota masyarakat harus melihat dunia dan manusia dengan kaca mata realistis.
Mereka harus mengetahui tugas-tugas insaninya sesuai dengan kemaslahatan sejati
dan mengamalkannya meskipun hal itu tidak sesuai dengan keinginan hati mereka.
Dan kedua, sebuah pemerintahan Islam harus memelihara dan menjalankan
undang-undang Islam sejati di dalam masyarakat sedemikian rupa sekiranya basis
kecenderungan terhadap Islam tersedia secara sempurna sehingga masyarakat tidak
menyembah selain Allah dan dapat merasakan manisnya kebebasan yang sempurna dan
keadilan sosial-individual.
Kedua tujuan itu harus
dilaksanakan melalui tangan seseorang yang memiliki ‘ishmah
(keterjagaan) dan proteksi Ilahi. Jika tidak, sangat mungkin seseorang akan
menjadi penguasa pemerintahan atau sentral keilmuan yang dalam melaksanakan
tugas-tugas yang telah dilimpahkan kepadanya tidak terjamin dari penyelewengan
pemikiran atau pengkhianatan. Sebagai akibatnya, secara perlahan-lahan,
kepemimpinan adil Islam yang memiliki misi pembebasan itu akan berubah menjadi
sistem kerajaan yang diktator dan kepemimpinan Kaisar, dan ajaran-ajaran Islam
yang suci ini —sebagaimana ajaran-ajaran agama-agama lain— akan mengalami
distorsi (tahrîf) dan perubahan-perubahan di tangan para ulama egois dan
penyembah hawa nafsu. Dan satu-satunya orang yang —sesuai dengan sabda
Rasulullah saw— ucapan dan perilakunya selalu benar dan sirahnya sesuai dengan
Al-Qur’an dan sunah beliau sepenuhnya adalah Ali as.[8]
Jika (alasannya) seperti
yang telah dilontarkan oleh golongan mayoritas bahwa Quraisy menentang
kekhalifahan Ali yang hak (sehingga mereka terpaksa harus menentukan orang lain
sebagai khalifah), semestinya mereka harus memaksa para penentang untuk
menerima kebenaran dan menyadarkan para pembangkang (atas kesalahan mereka)
sebagaimana mereka telah (berani) memerangi sekelompok orang yang enggan
menunaikan zakat dan bersikeras untuk memungutnya, bukannya malah
membumihanguskan kebenaran lantaran takut kepada Quraisy.
Iya! Faktor yang mencegah
Syi‘ah untuk menyetujui pemilihan khalifah (yang telah disepakati) itu adalah
rasa khawatir atas konsekuensinya yang —pasti— sangat mengerikan. Yaitu,
kerusakan metode pemerintahan Islam dan terberangusnya ajaran-ajarannya yang
tinggi. Secara kebetulan, peristiwa-peristiwa susulan setelah peristiwa
(pemilihan khalifah) itu —hari demi hari— membuktikan kebenaran keyakinan atau
prediksi tersebut. Dan sebagai konsekuensinya, Syi‘ah semakin teguh memegang
keyakinannya. Meskipun mereka —secara eksoteris— dengan jumlah permulaannya
yang dapat dihitung dengan jari tertelan di dalam gelombang golongan mayoritas
dan —secara esoteris— bersikeras untuk hanya mengambil ajaran-ajaran Islam dari
Ahlulbait as dan berdakwah sesuai dengan metode mereka, akan tetapi, demi
mencapai kemajuan Islam dan menjaga kekuatannya, mereka tidak mengadakan
perlawanan secara terang-terangan. Bahkan, para pengikut Syi‘ah selalu saling
bahu-membahu bersama golongan mayoritas untuk melakukan jihad dan hadir aktif
dalam menangani masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Ali as sendiri —dalam
kondisi yang penting dan esensial— selalu memberikan petunjuk kepada golongan
mayoritas dalam rangka mencapai kepentingan Islam.[9]
Catatan:
[1] Ketika sakit, Nabi Muhammad saw mempersiapkan
sebuah laskar jihad di bawah pimpinan Usamah bin Zaid. Beliau menegaskan supaya
seluruh sahabat ikut serta dalam peperangan tersebut dan keluar dari kota
Madinah. Sebagian sahabat, seperti Abu Bakar dan Umar, tidak mendengarkan
perintah tegas beliau itu. Hal itu menyebabkan Rasulullah saw murka. Silakan
rujuk Syarah Ibn Abil Hadid, cetakan Mesir, jilid 1, hal. 53.
Menjelang wafat,
Rasulullah saw bersabda, “Berilah aku pena supaya kutuliskan bagi kalian sebuah
surat yang dapat membukakan jalan petunjuk bagi kalian dan (dengannya) kalian
tidak akan tersesat.” Umar mencegahnya seraya berkata, “Sakitnya telah parah
dan ia sedang mengigau!” Silakan rujuk Târîkh ath-Thabari, jilid 2, hal.
436, Shahih Bukhari, jilid 3, Shahih Muslim, jilid 5, al-Bidâyah
wa an-Nihâyah, jilid 5, hal. 227, dan Syarah Ibn Abil Hadid, jilid
1, hal. 133.
“Kondisi” Rasulullah saw
ini juga pernah menimpa Khalifah Pertama ketika ia sedang menghadapi kematian
dan menulis surat wasiat untuk (kekhalifahan) Umar. Bahkan, ketika sedang
menulis wasiat itu, ia tidak sadarkan diri. Anehnya, Umar tidak berkomentar
sedikit pun dan tidak mengatakan bahwa ia sedang mengigau, padahal ketika
menulis surat wasiat itu, Khalifah Pertama itu sedang tidak sadarkan diri.
Rasulullah saw adalah ma’shum dan (pada waktu meminta pena) sepenuhnya sadar.
Silakan rujuk Raudhah ash-Shafâ, jilid 2, hal. 260.
[2] Syarah Ibn Abil Hadid, jilid 2, hal.
58 dan 123-135; Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal. 102; Târîkh
ath-Thabari, jilid 2, hal. 445-460.
[3] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal.
103-106; Târîkh Abil Fida’, jilid 1, hal. 156 dan 166; Murûj
adz-Dzahab, jilid 2, hal. 307 dan 352; Syarah Ibn Abil Hadid, jilid
2, hal. 17 dan 134.
[4] ‘Amr bin Huraits pernah bertanya kepada Sa’id
bin Zaid, “Apakah ada orang yang menentang pembai’atan Abu Bakar?” Ia menjawab,
“Tidak satu pun yang menentangnya kecuali orang-orang yang sudah murtad atau
hampir murtad.” Silakan rujuk Târîkh ath-Thabari, jilid 2, hal. 447.
[5] Dalam hadis Tsaqalain yang masyhur
Rasulullah saw bersabda, “Kuamanatkan di tengah-tengah kalian dua pusaka yang
sangat berharga yang jika kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya kalian
tidak akan pernah tersesat: Al-Qur’an dan Ahlulbaitku. Keduanya tidak akan
pernah berpisah hingga Hari Kiamat tiba.” Hadis ini telah dinukil melalui
seratus sanad lebih dari tiga puluh lima sahabat Rasulullah saw. Silakan rujuk
silsilah sanad hadis Tsaqalain di dalam buku Ghâyah al-Marâm,
hal. 211.
Rasulullah saw juga
bersabda, “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Barangsiapa
menginginkan ilmu, hendaknya ia masuk melalui pintunya.” Silakan rujuk al-Bidâyah
wa an-Nihâyah, jilid 7, hal. 259.
[6] Târîkh al-Ya’qubi, jilid 2, hal.
105-150.
[7] Rasulullah saw bersabda, “Mencari ilmu adalah
wajib bagi setiap Muslim.” Lihat Bihâr al-Anwâr, jilid 1, hal. 172.
[8] Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, jilid 7,
hal. 360.
[9] Târîkh al-Ya’qubi, hal. 111, 126 dan
1219.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar