Karya-karya sastra
adiluhung biasanya mengandung filosofi dan hikmah, dan para penyair adiluhung
biasanya adalah juga para filsuf –yang dalam hal ini contohnya Jalaluddin Rumi,
sang filsuf sufi Persia yang kemudian hijrah ke Anatolia itu.
“Karena cinta ampas berubah jadi sari murni,
karena cinta pedih menjadi obat.
Karena cinta kematian berubah jadi kehidupan”.
Jalaluddin Rumi bicara apa
saja dengan puisi-puisinya –mulai dari rahmat pagihari dan juga fajar,
perenungan senjakala, meditasi malam, hingga upaya menerjemahkan ‘cinta’
sebagai sebuah cakrawala yang mencakup kapasitas pemahaman yang toleran dan
sanggup mengerti orang lain, kemampuan bersikap welas-asih kepada sesama –di
mana cinta kemudian mewujud dalam kesabaran, peredaman ego yang acapkali mendatangkan
amarah dan destruksi, hingga cinta dalam arti yang ‘irfani.
Sampai-sampai bagi
Jalaluddin Rumi, cinta adalah ‘kosmos’ dan ‘semesta’ yang menjadi hukum harmoni
dan penjaga atau perawat keberlangsungan hidup dan eksistensi manusia,
“Cinta adalah lautan tak bertepi,
langit hanyalah serpihan buih belaka.
Di dalam cahaya-Mu aku belajar
mencintai. Di dalam keindahan-Mu
aku belajar menulis puisi.”
Puisi Jalaluddin Rumi di
atas bisa saja dibaca sebagai upaya untuk ‘memahami’ arti dan makna cinta dalam
arti yang ‘irfani, suatu kawah kerinduan seorang manusia kepada Sang Khalik
karena manisnya iman dan rahmat pengampunan, yang pada saat bersamaan, bersifat
manusiawi, sebagai kodrat alami yang ada di dalam diri manusia untuk
mengembangkan pemahaman dan sikap welas-asih.
Adakalanya Jalaluddin Rumi
pun menegur dan menyindir secara terus-terang dengan gaya dan nada bertanyanya
yang khas puitik, ketika ia mengkritik kemalasan intelektual dan spiritual
manusia, yang acapkali menjebak manusia hanya menuruti sikap dan karakter yang
justru membuat manusia menjadi rendah, tiadanya kemampuan untuk menjadi seorang
pencinta, baik secara manusiawi maupun ‘irfani. Semisal manusia-manusia yang
hidupnya hanya terseret pada arus komodifikasi, mereka yang terjerembab dalam
kehampaan spiritual, meskipun yang ironisnya, mereka adalah juga orang-orang
yang mengaku beragama:
“Engkau dilahirkan memiliki sayap
mengapa lebih memilih hidup merangkak?”
Sayap dalam puisi itu
tentu saja tidak dimaksudkan secara verbal, seperti misalnya sayap yang
dimiliki para burung, melainkan sebagai alegori-aforistis bagi pendakian dan
ikhtiar untuk menggapai progress dan ketinggian. Bukankah para burung sanggup
terbang ke arah ketinggian karena memiliki sayap? Sehingga, sayap adalah sebuah
‘alegori khusus’ dalam puisi-puisi para penyair-filsuf sufi untuk memaksudkan
makna dari fungsi sayap dalam arti verbal tersebut, sebagaimana alegori kedai
dan anggur demi menerjemahkan kerinduan dan madrasah ‘pelatihan’ bathin.
Secara semantis dan
hermeneutis, ‘cinta’ yang berusaha dimaknakan dan diberi pengertian dalam
puisi-puisi Jalaluddin Rumi adalah cinta dalam arti yang luas –cinta yang
baginya unsur utama semesta dunia ini, semisal dasar bagi penciptaan semesta
dan serta hukum yang menjaga dan mengaturnya, bukan semata cinta ingusan
anak-anak remaja, misalnya. Sementara itu, secara ‘irfani, cinta yang
dimaksudkan dalam puisi-puisinya Jalaluddin Rumi adalah cinta dalam arti yang
mistis dan spiritual antara manusia dengan Sang Khalik berkat iman, yang karena
iman itulah, lahir dan tumbuh-lah harapan dan pemahaman yang benar. Sebab,
banyak mereka yang mengaku beragama hanya basah di kulit, tapi hatinya
kering-kerontang.
“Apa pun yang kau dengar dan katakan
(tentang Cinta), Itu semua hanyalah kulit belaka.
Sebab inti dari Cinta adalah
sebuah rahasia yang tak terungkapkan”
JALALUDDIN RUMI DAN MARTIN BUBER
Kita dilahirkan sebagai
pribadi-pribadi yang berlainan satu dengan lainnya di dunia ini. Kita menjadi
aku yang benar-benar jika kita mempunyai hubungan yang erat dengan orang-orang
lain. Melewati Thou seseorang menjadi I. Karenanya, menurut Martin Buber, Aku
itu bersifat sosial dan interpersonal, dan seseorang yang real adalah orang
yang hidup antara orang dan orang. Menurut Martin Buber, hubungan I-Thou
mempunyai ciri-ciri timbal balik, langsung dan kesungguhan (intensity). Dalam
hubungan yang semacam itulah suatu dialog atau pengetahuan dapat terlaksana.
Dialog tersebut mungkin dengan perkataan atau secara diam-diam. Bahkan dialog
tersebut terjadi dengan sekadar pandangan yang spontan dan tanpa gaya, akan
tetapi mengandung pemahaman dan perhatian yang timbal balik.
Lebih lanjut Martin Buber
mengkritik, atau tepatnya melakukan protes terhadap “pembendaan” serta
kecenderungan depersonalisasi dalam kehidupan modern seiring maraknya
fetishisme (pembendaan) atau komodifikasi dalam segala hal, karena kedua hal
tersebut akan berakibat mengingkari aku dan menghalangi ekspresinya. Begitulah,
menurut filsafatnya Martin Buber, orang hanya dapat hidup dalam hubungan yang
timbal balik jika mereka dapat berkata Thou kepada yang lain dan yang baik itu
dalam pandangan Buber adalah persatuan jiwa dengan kehidupan, sedang yang jahat
adalah pemisahan jiwa dari kehidupan. Apa yang didadarkan filsafatnya Martin
Buber itu sangat koheren dan berada di garis wawasan dan spiritual yang sama
dengan puisinya Jalaluddin Rumi, filsuf sufi yang hidup sebelum Buber, lewat
puisinya yang berjudul Kau dan Aku:
“Nikmati waktu selagi kita duduk di punjung, Kau dan
Aku;
Dalam dua bentuk dan dua wajah — dengan satu jiwa,
Kau dan Aku. Warna-warni taman dan nyanyian burung
memberi obat keabadian. Seketika kita menuju
ke kebun buah-buahan, Kau dan Aku.
Bintang-bintang Surga keluar memandang kita
–Kita akan menunjukkan Bulan pada mereka, Kau dan Aku.
Kau dan Aku, dengan tiada ‘Kau’ atau ‘Aku’,
akan menjadi satu melalui rasa kita; Bahagia,
aman dari omong-kosong, Kau dan Aku.
Burung nuri yang ceria dari surga akan iri pada kita
–Ketika kita akan tertawa sedemikian rupa; Kau dan
Aku.
Ini aneh, bahwa Kau dan Aku, di sudut sini…
Keduanya dalam satu nafas di Iraq, dan di Khurasan
–Kau dan Aku.”
Persis seperti yang
diidealkan Martin Buber, puisi Kau dan Aku-nya Jalaluddin Rumi tersebut
memadahkan keintiman dalam sebuah hubungan yang karib dan saling memahami satu
sama lain. Sebuah puisi yang mengandung filosofi dan hikmah yang demikian dalam
dan karib dan dimadahkan dengan suara dan bahasa yang jernih, yang pada saat
bersamaan merupakan simbolisme yang sublim –sebuah kearifan pedagogis yang
disampaikan dengan modus dialog dan medium puitis, sehingga yang membacanya
akan merasa terlibat sebagai kawan dialog itu sendiri, bukan semata objek yang
digurui.
Sementara itu, bila kita
kembali kepada filsafatnya Martin Buber, manusia mempunyai dua relasi atau dua
hubungan yang fundamental yang berbeda antara satu dan lainnya. Di satu pihak
relasi dengan benda-benda, dan di lain pihak relasi dengan sesama manusia dan
Allah. Dalam hal ini, puisinya Jalaluddin Rumi yang berjudul Kau dan Aku itu,
bila dibaca dalam kerangka filsafatnya Martin Buber, berada dalam kategori
relasi atau hubungan antara manusia dengan manusia dan hubungan atau relasi
antara manusia dengan Tuhan.
Dan seperti terefleksi
dengan jernih dalam puisinya Jalaluddin Rumi itu, Martin Buber lebih lanjut
mengatakan bahwa karena dua jenis relasi inilah “Aku” sendiri bersifat
dwi-ganda, di mana “Aku” yang berhubungan dengan “Itu” (atau dengan benda)
berlainan dengan “Aku” yang behubungan dengan “Engkau” Jenis dan bentuk
hubungan antara Aku dan Itu, demikian dalam filsafat Martin Buber merupakan
dunia dimana saya menggunakan benda-benda, menyusun benda-benda, memperalat
benda-benda. Dunia ini ditandai kesewenang-wenangan. Semuanya dalam dunia ini
diatur menurut kategori-kategori seperti kepemilikan dan penguasaan, tak ada
dialog.
Sedangkan bentuk dan jenis
hubungan Aku – Engkau adalah dimana di dunia ini Aku tidak menggunakan Engkau
sebagaimana terjadi dalam hubungan antara Aku dan Itu, melainkan Aku menjumpai
Engkau, Aku yang menjumpai Engkau sebagaimana dilukiskan dengan indah oleh
puisinya Jalaluddin Rumi yang berjudul Kau dan Aku itu. Di sini, Aku karena
Engkau, Engkau yang hadir dan tampil bagi Aku sebagai suatu rahmat.
Hak cipta (c) Sulaiman Djaya (2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar