Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari
Kajian kita kali ini masih
berkenaan dengan upaya untuk menghidupkan pemikiran Islam. Para reformis dan
para pemikir besar Islam yang hidup pada abad terakhir sangat menaruh perhatian
besar terhadap masalah ini. Saat ini, cara berpikir mayoritas kaum muslimin
terhadap Islam mengalami banyak penyimpangan. Minggu lalu saya telah
menyampaikan bagaimana suatu aliran pemikiran atau aksi yang pada dasarnya
hidup diterima oleh masyarakat. Boleh jadi suatu aliran pada dasarnya memberikan
kehidupan –namun diapresiasi oleh masyarakat melalui cara berpikir yang keliru.
Atas dasar itu, saya akan menyatakan bahwa penyimpangan pola pikir kaum
muslimin dewasa ini terhadap Islam berhubungan erat dengan cara mereka menerima
ajaran Islam. Jika hendak menelaah pola pikir semacam ini, kita harus berperan
sebagai seorang dokter. Hal pertama yang akan dilakukan seorang dokter adalah
mendiagnosis pasien guna mengetahui jenis penyakit apa yang dideritanya. Ia
akan menanyakan kepada pasien tentang apa yang dilakukan sebelumnya,
gejala-gejala apa yang dirasakannya, dan bagaimana keadaan sebelumnya.
Upaya-upaya ini dilakukan untuk menentukan jenis penyakit apa yang dideritanya.
Baru setelah itu ia melakukan pengobatan terhadap pasiennya.
Jika ingin membenahi pola
pikir kita yang keliru, kita harus menengok kembali sejarah Islam di masa
silam. Apakah akar penyimpangan tersebut berasal dari masa silam? Yang jelas,
kondisinya pasti berbeda-beda. Sebagian mungkin terjadi dalam dua, tiga, empat,
atau lima abad yang lalu. Namun, penyimpangan pemikiran telah muncul sejak abad
kedua Islam. Pada malam ini, saya ingin menjelaskan dua materi pembahasan yang
berhubungan dengan abad pertama Islam. Dan pada abad modern ini, telah nampak
juga berbagai akar penyimpangan baru. Salah satu penyimpangan pemikiran yang
terjadi pada permulaan abad Islam adalah adanya anggapan bahwa pengaruh
perbuatan akan menghalangi proses penciptaan kebahagiaan manusia. Dengan kata
lain, seseorang harus menanggalkan cara berpikir yang realistis, untuk kemudian
menggunakan pemikiran imajinatif. Padahal, apabila seseorang merujuk kepada
al-Quran —yang merupakan rujukan dan sandaran pertama kita— serta sunah Nabi
dan para imam suci, maka akan nampak dengan jelas bahwasannya Islam merupakan
agama yang amat menekankan pengikumya untuk senantiasa beramal (shalih).
Dasar pengajaran dan
pendidikan Islam adalah beramal atau berupaya. Islam senantiasa mengarahkan
pengikutnya untuk bekerja (beramal). Takdir menetapkan bahwa manusia harus
beramal. Ini merupakan pola pikir yang sesuai dengan kenyataan, bersifat
rasional, dan juga sesuai dengan rahasia penciptaan. Berapa banyakkah jumlah
kisah al-Quran yang diungkap dalam bahasa yang memukau mengenai keharusan
beramal? Sungguh, ayat-ayat yang berkenaan dengannya memiliki ungkapan yang
indah dan luar biasa. Misalnya ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya
manusia tidak akan mendapatkan apapun kecuali apa yang telah ia upayakan.”[2] Maksudnya,
kebahagiaan manusia amat bergantung pada amal perbuatannya. Dalam ayat lain
disebutkan: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat (biji)
dzarahpun, niscaya ia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan seberat (biji) dzarahpun, niscaya ia akan melihat balasannya pula.”[3] Ajaran ini merupakan yang
terbesar bagi kehidupan suatu bangsa. Pada saat suatu bangsa memahami bahwa
takdir yang ada di tangannya menentukan dirinya harus beramal, maka pada saat
itulah mereka akan senantiasa beramal dengan kekuatannya sendiri. Bangsa
tersebut sadar bahwa segala sesuatu tidak akan bermanfaat kecuali diamalkan
oleh dan kekuatannya sendiri. Hal itu menjadi motivasi yang kuat bagi mereka
untuk mengarungi bahtera kehidupan.
Jika Anda menengok sejarah
permulaan Islam, betapa mereka senantiasa gigih berupaya dengan kekuatannya
sendiri dalam meraih suatu tujuan. Itu dikarenakan pemikiran mereka ditopang
oleh prinsip-prinsip ajaran ini. Mereka senantiasa mengikuti ajaran ini –dan,
sampai sekarang, tak pernah menyeleweng darinya. Prinsip pemikiran mereka
adalah, dengan beramal dan bekerja keras, dirinya pasti akan meraih keuntungan
(amal perbuatan seorang muslim tidak terbatas pada perbuatan lahiriah semata,
namun harus dibarengi pula dengan niat dan iman yang benar). Kita bisa lihat,
betapa ajaran ini mampu menumbuhkan kepercayaan yang kuat dalam diri manusia
dan menjadikannya bertumpu di atas kekuatannya sendiri!! Namun sayang, ajaran
ini sekarang menjadi salah satu ajaran Islam yang sedikit banyak telah
mengalami penyimpangan. Dan penyimpangan pemikiran semacam ini semakin hari
semakin menjadi-jadi. Secara berangsur-angsur, apa yang disebut dengan beramal
mulai diremehkan dan dianggap tidak berguna. Bersamaan dengan itu, dalam
upayanya mengkonstruksi kebahagiaan manusia, masyarakat mulai menanggalkan pola
pikir yang realistis untuk kemudian mengandalkan pola pemikiran yang bersifat
imajinatif. Sejarah membuktikan bahwa akar pemikiran semacam ini diciptakan
dinasti Bani Umayyah.
Pokok permasalahan yang
berkembang di kalangan teolog (ulama kalam) saat itu adalah: apakah dasar agama
adalah iman? Apa yang dimaksud dengan iman? Sejarah menunjukkan bahwa khalifah
Bani Umayyah terdiri dari orang-orang fasik dan pembuat kerusakan. Mereka tak
mampu menutupi kebejatan dan keburukan perbuatan mereka dari mata masyarakat,
yang pada saat bersamaan justru mengetahuinya. Pemikiran ini yang mereka sebar
luaskan menyatakan bahwa dasar agama adalah keimanan. Apabila iman yang
dimiliki sudah benar, maka amal perbuatan menjadi tidak penting. Dikarenakan
memiliki kekuasaan dan harta kekayaan, pemerintahan Bani Umayyah mampu
menyebarkan ajaran ini –sekalipun dengan cara memaksa. Para ulama bayaran juga
turut berperan serta dalam menciptakan serta menyebarluaskan ajaran ini. Mereka
mengatakan bahwa dasar agama adalah keimanan. Iman yang benar tidak lagi
memerlukan amal perbuatan. Ajaran ini ditujukan untuk mencuci bersih noda
kejahatan yang melekat pada tubuh kekuasaan Bani Umayyah sehingga masyarakat
yang memiliki kepekaan sosial politik tidak sampai mengecam sang khalifah dan
juga tidak memiliki anggapan bahwa para ulama (istana) merupakan pelaku
kerusakan.
Pada abad kedua Islam,
dalam bidang teologi (ilmu kalam) lahir sebuah ajaran baru yang kemudian menyebut
dirinya aliran Murji’ah. Akidah yang mendasari aliran ini bertujuan untuk
melindungi seluruh kejahatan Bani Umayyah. Lantas bagaimana pandangan
orang-orang Syi’ah saat itu? Perintah apa yang diinstruksikan para imam suci?
Pelajaran apa yang kita peroleh dari Imam Ali as? Ketika ditanya tentang
tentang makna iman, para imam mengatakan: “Iman adalah keyakinan dalam
hati, pemyataan dengan lisan, dan beramal dengan anggota tubuh.”[4] Para Imam tidak
memisahkan amal dan iman. Orang yang tidak beramal adalah orang yang tidak
memiliki iman. Tentunya tidak logis, apabila orang yang tidak beramal, demi
menyenangkan hatinya, mengatakan bahwa dirinya memiliki iman. Jika Anda
perhatikan, pujian yang disampaikan al-Quran ditujukan kepada orang-orang
mukmin, bukan kepada orang-orang yang hanya memiliki keyakinan namun tidak
menjalankan amal perbuatan. Dalam setiap ayat yang menyertakan pujian terhadap
orang-orang beriman, dijelaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang
mengucapkan dua kalimat syahadat, memiliki keyakinan dalam hati, serta beramal
dengan anggota tubuh mereka.
Syi’ah dan Murji’ah
Pada masa itu, pemikiran
sesat yang diusung aliran Murji’ah hanya menimpa kalangan Ahlusunnah wal
Jama’ah. Namun pada masa sekarang, Syi’ah yang sesungguhnya mendapatkan ajaran
dari para imam suci dan pada awalnya paling keras menentang aliran Murji’ah,
tak pelak juga telah terpengaruh pemikiran tersebut. Di tengah-tengah ajaran
yang diperoleh, ternyata kita meremehkan amal perbuatan. Misalnya, kita
beranggapan bahwa untuk menjalin hubungan dengan Ali bin Abi Thalib, cukup
dengan mengatakan: Ya Ali! Selain itu, kita juga sudah merasa puas hanya dengan
menyandang nama Syi’ah dan namamu tencantum dalam daftar orang-orang yang
berduka atas Imam Husain. Kemudian kita menghimbau masyarakat untuk menjadi
anggota partai tertentu, dengan anggapan bahwa Imam Husain juga aktif dalam
partai. Ada yang mengatakan, barang siapa yang telah mengedarkan kartu anggota
(majelis) di sini, akan memperoleh keselamatan. Orang yang mengatakan semua itu
sama sekali tidak memahami filsafat kesyahidan Imam Husain. Makna filosofis
dari kesyahidan tersebut adalah demi menghidupkan ajaran Islam sampai pada
tingkat amaliahnya.“Saya bersaksi bahwa engkau telah mendirikan
sholat, menunaikan zakat, memerintahkan kebaikan, mencegah perbuatan
munkar, dan kamu telah berjuang di jalan Allah dengan sebaik-baiknya
jihad.”[5] Maksudnya, engkau wahai
Imam Husain, terbunuh untuk menghidupkan Islam dalam bentuk perbuatan.
Namun bertolak belakang
dengan itu, kita malah mengatakan bahwa kesyahidan yang ditempuh Imam Husain
demi mematikan amal perbuatan dalam Islam dan menciptakan keterikatan serta
hubungan lahiriah. Saya teringat pada sebuah kisah yang sepuluh tahun silam
telah saya kemukakan dalam salah satu pertemuan bulanan. Abu al-Faraj
al-Isfahani memiliki buku yang sangat terkenal, berjudul Al-Aghânî –yang berisikan lagu-lagu dan
nada-nada musik. Salah satu peristiwa yang secara bertahap terjadi dalam dunia
Islam adalah bahwa para khalifah senantiasa menampilkan hiburan dan lagu-lagu.
Jika keadaan seperti ini terus menyebar luas ke dalam tubuh setiap bangsa, maka
itu akan mengantarkannya ke ambang kehancuran. Dalam tubuh bangsa tersebut akan
muncul berbagai praktik prostitusi, legalisasi minum-minuman keras, tari-tarian
eksotis, musik, serta bermacam-macam lagu. Akibatnya kemudian, di dunia Islam
mulai banyak bermunculan para musikus dan seniman. Sosok Abu al-Faraj
al-Isfahani merupakan seorang Umawi dan tergolong sejarahwan
yang terampil dan obyektif. Beliau menulis buku yang berjudul Maqâtil
at Thâlibiyîn (Pembunuhan terhadap keluarga Abu Thalib). Buku yang
relatif obyektif tersebut dijadikan pegangan oleh kaum muslimin, termasuk ulama
Syi’ah. Bisa dikatakan bahwa buku ini ditulis secara netral tanpa berpihak
kepada siapapun.
Buku Al-Aghânî terdiri
dari 18 jilid dan kebanyakan berhubungan dengan masa lalu para seniman, artis,
dan musikus dalam dunia Islam. Buku ini banyak mengutip berbagai kisah yang
aneh. Salah satunya dikatakan dalam buku tersebut: Pada suatu ketika, seorang
Syi’ah dan seorang Murji’ah membicarakan masalah amal perbuatan. Orang Murji’ah
mengatakan bahwa dasar agama adalah memiliki iman. Keimanan tetap ada kendati
tidak terdapat amal (perbuatan). Sementara orang Syi’ah mengatakan bahwa iman
dan amal tidak dapat dipisahkan. Jika tidak ada amal (perbuatan), maka iman
juga tidak akan eksis. Keduanya kemudian terlibat dalam perdebatan yang sengit
dan masing-masing tidak puas terhadap lawan bicaranya. Untuk menghentikan
perdebatan, mereka sepakat untuk menanyakan persoalan itu kepada orang yang
pertama kali melewati gang tempat mereka berdebat, demi mengetahui mana yang
benar dan mana yang keliru. Kebetulan, lewatlah seorang musikus (sehubungan
dengan masalah inilah cerita tersebut dikutip dalam buku Al-Aghânî).
Dikarenakan kesepakatan tadi, mereka pun lantas bertanya kepadanya. Orang
Murji’ah sangat senang dan beruntung dengan kedatangan musikus tersebut.
Kemudian keduanya menerangkan pembicaraan mereka sebelumnya kepada sang musikus
tersebut. Orang Syi’ah mengatakan akidahnya meyakini bahwa amal dan iman tidak
terpisah satu sama lain dan kebahagiaan manusia tergantung pada amal
perbuatannya. Sementara orang Murji’ah mengatakan bahwa amal perbuatan tidak
ada harganya. Kebahagiaan manusia, katanya, bergantung pada iman dan akidah.
Setelah itu, keduanya bertanya kepada si musikus: “Apa akidahmu?”
Musikus tersebut berpikir
sejenak, lalu mengatakan: “Dari ujung rambut sampai pinggang saya orang
Syi’ah, dan dari pinggang ke bawah saya orang Murji’ah.” Maksud
orang itu, pemikiran saya condong pada pendapat Syi’ah, namun secara praktik
saya orang Murji’ah. Dalam konteks kekinian, banyak orang yang mengaku Syi’ah,
termasuk diri kita, akan menjumpai dirinya seperti si musikus tadi; mulai dari
pinggang sampai ujung kaki sebagai Murji’ah. Kita selalu mencari-cari alasan
untuk tidak beramal, bahkan kita telah menciptakan surga dengan alasan-alasan
pula (bukan dengan amal perbuatan, —peny.). Ada yang mengatakan
bahwa nikmat surga tidak diberikan dengan “harga”, melainkan dengan “alasan”.
Siapa yang mengatakan demikian? Imam Ali menyampaikan sebuah ungkapan bahwa
surga adalah “harga”, yaitu surga merupakan “harga” dari amal perbuatan Anda.
Namun kita malah mengatakan bahwa surga diberikan tanpa “harga”. Kita tak mungkin
bisa meraih surga tanpa amal perbuatan. Tentunya, alasan untuk masuk surga
haruslah tepat. Ini merupakan contoh dari bentuk pemikiran yang keliru dan
spekulatif.
Sehubungan dengan masalah
ini, masih banyak hal yang perlu dibicarakan lebih lanjut. Bila kita merujuk
pada al-Quran, persoalannya akan nampak semakin jelas. Al-Quran gusar terhadap
orang-orang Yahudi yang menganut pemikiran semacam ini (bahwa iman terpisah
dari amal, —pen.). Orang-orang Yahudi yang menganggap dirinya
makhluk paling mulia di sisi Allah berkeyakinan bahwa jika mereka melakukan
kejahatan, Allah tidak akan menghukum kejahatannya. Namun jika mereka melakukan
kebaikan, Allah akan mengganjarnya berlipat ganda. Pada dasarnya, konsep
semacam ini —sebagaimana acapkali disebutkan dalam al-Quran— bersumber dari
pemikiran orang-orang Yahudi. Dalam pandangan orang Yahudi, apapun dosa serta
kejahatan yang kita lakukan, tidak akan menyebabkan kita masuk neraka. Kita
adalah makhluk yang mulia. Kalaupun kita dijerumuskan ke dalam siksa neraka,
itu hanya bersifat sesaat dan segera terbebas darinya. Surga adalah milik
kita. “Dan mereka berkata: ‘Kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka,
kecuali selama beberapa hari saja.”[6] Coba Anda simak
bagaimana penjelasan al-Quran tentang orang-orang Yahudi tersebut.
Dalam beberapa kitab
tafsir disebutkan bahwa pada masa Nabi, orang-orang Yahudi dan Nasrani tinggal
di Madinah. Saat itu acap terjadi perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin,
orang-orang Nasrani, dan Yahudi. Kaum muslimin mengatakan, kita sekarang telah
masuk Islam sehingga Allah memberikan kemuliaan kepada kita. Setiap perbuatan
buruk yang kita lakukan akan dimaafkan oleh Allah. Orang Nasrani balik
mengatakan, tidak, kamilah orang-orang yang mulia. Demikian pula halnya dengan
orang-orang Yahudi. Coba Anda perhatikan bagaimana jawaban yang diberikan
al-Quran berkenaan dengan masalah ini: “Pahala dari Allah itu
bukan menurut angan-angan kamu yang kosong dan tidak pula menurut
angan-angan ahli kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya
akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.”[7]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar