Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari
Kezuhudan Cermin
Kekuatan Jiwa
Islam merupakan
pendukung kekuatan –kekuatan jiwa dan ekonomi. Islam merupakan pendukung
kekuatan jiwa. Dengan demikian, sebagai orang muslim, Anda harus kokoh dari
segi akhlak dan moral. Anda tidak boleh memfokuskan diri pada materi. Anda
tidak boleh menjadi hamba sahaya serta tawanan materi. Betapa agung ucapan
Amirul Mukminin: “Kezuhudan semuanya terletak di antara dua
kata dalam al-Quran.”[22] Imam Ali as menafsirkan
kezuhudan dari sisi kekuatan jiwa dengan mengatakan: ” Allah
menjelaskan dalam al-Quran: ‘(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu
jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan
terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.”[23] Saat Anda secara
spiritual telah mencapai kedudukan ini, yakni Anda dianugerahi seluruh ihwal
kehidupan duniawi, Anda tidak serta merta menjadi budak hawa nafsu. Dan apabila
seluruh ihwal kehidupan duniawi direngut, Anda tidak merasa kalah dan frustasi.
Dalam kondisi seperti ini, Anda disebut sebagai orang yang zuhud. Islam
mendukung dua jenis kekuatan –kekuatan yang berhubungan dengan kezuhudan dan
keduniawian. Jiwa kita harus tegar sehingga tidak diperbudak oleh harta dan
kekayaan dunia. Dari perspektif ekonomi, kita harus bekerja keras untuk mencari
harta dan kekayaan. Namun upaya tersebut harus didasari oleh tuntunan syari’at
sehingga kita bisa benar-benar memanfaatkan kekuatan materi dan ekonomi.
Ketika mengetahui
bahwa Islam mendukung kekuatan tersebut (moral dan ekonomi), Anda bisa melihat
bahwa sesungguhnya kita tergolong orang-orang zuhud yang mendukung sekaligus
memiliki kelemahan (terhadap kedua faktor tersebut, —peny.). Apabila
kita menjadi orang zuhud yang senantiasa menjauh dari ekonomi dan kekayaan, itu
artinya kita lebih memilih kelemahan. Masyarakat yang tidak memiliki kekayaan,
tidak akan mampu melaksanakan tugas-tugas ekonomi dan harus mengulurkan tangan
untuk mengemis kepada orang lain. Kita juga mempunyai kelemahan dari sisi
moralitas. Sebab, pada saat mendidik diri untuk menjauh dari harta dan
kehidupan dunia, kita menyangka bahwa diri kita sudah menjadi zuhud. Namun,
tatkala kehidupan dunia menghampiri mereka, kita akan saksikan bagaimana mereka
mengabaikan nilai-nilai kezuhudan. Kita menyadari bahwa kita tidak memiliki
kemampuan dari segi ruhani maupun ekonomi. Jadi, kezuhudan dalam Islam
merupakan kekuatan dan kemampuan jiwa. Dengan kekuatan dan kemampuan tersebut,
harta, kekayaan, dan segala hal yang bersifat duniawi, tidak akan berbahaya
jika berada dalam genggaman Anda. Bahkan semua itu akan menjadi kekuatan Anda.
Beberapa ulama pernah
mengunjungi Imam Ja’far dan menentang pendapat beliau. Padahal, mereka
sesungguhnya tidak memahami filsafat kezuhudan. Mereka mendengar bahwa Imam Ali
bin Abi Thalib merupakan orang yang zuhud pada jamannya. Mereka menyangka Imam
Ali mendukung orang yang hidup dengan berpakaian compang-camping dan memakan
roti kering. Mereka tidak memahami filsafat memakan roti kering. Imam Ja’far kemudian
memberi penjelasan sampai mereka memahami filsafatnya. Mengapa Imam Ali hidup
zuhud? Sebabnya, beliau ingin menjadi manusia. Imam Ali bukan orang zuhud yang
hanya duduk-duduk di sudut ruangan. Beliau bahkan menganggap pengucilan diri
bukan sebuah kezuhudan.
Dalam kehidupannya,
Imam Ali as senantiasa berbaur dengan masyarakat dan melakukan berbagai
kegiatan sosial serta memproduksi kekayaan melebihi siapa pun. Namun, beliau
tidak menggenggam kekayaan tersebut di telapak tangannya. Beliau mengumpulkan
harta, namun tidak menyimpannya. Pekerjaan produktif manakah yang tidak
dikerjakan Imam Ali pada masa itu? Beliau melakukan perniagaan, bercocok tanam,
berkebun, menanam pohon, dan menggali lubang. Beliau juga ahli dalam bidang
kemiliteran. Namun pada waktu yang bersamaan, beliau merupakan orang yang
zuhud. Imam Ali pernah bekerja di kebun-kebun kota Madinah milik ahli kitab dan
non-muslim. Beliau bekerja, membantu, dan memperoleh gaji dari mereka. Kemudian
beliau menukar upah yang didapatkan dengan roti. Terkadang beliau membawa
gandum dan tepung ke rumahnya. Kemudian Sayyidah Fathimah sendiri yang
menggiling gandum tersebut dan memasaknya. Mereka pernah didatangi orang-orang
yang membutuhkan, yakni orang miskin, anak yatim, dan tawanan perang. Imam Ali
as merupakan pribadi yang lebih mementingkan orang lain ketimbang dirinya.
Tanpa pikir panjang lagi, beliau akan segera memberikan santapannya. Seperti
inilah kezuhudan Imam Ali. Orang zuhud seperti inilah yang harus Anda jumpai.
Dalam kezuhudannya,
Imam Ali senantiasa menyertakan dirinya dalam kedukaan (orang lain, —peny.). Menyertakan
diri dalam kedukaan (orang lain) merupakan keadaan yang manusiawi. Kendati
memperoleh gaji negara, namun beliau tidak memanfaatkan semuanya demi memenuhi
kepentingan pribadi. Beliau hanya mengambil sedikit haknya dari baitul mal (kas
negara). Meskipun demikian, beliau tetap merasa puas. Ketika makan, beliau
tidak sudi perutnya berada dalam keadaan kenyang. Mengapa? Karena jiwa, hati,
dan nuraninya tidak mengizinkan beliau untuk berbuat demikian. Beliau berkata:“Apakah
saya akan berbaring dengan perut kenyang sementara di sekitar saya mungkin
ada orang yang resah dan gelisah lantaran perut yang lapar dan dahaga?
Atau apakah saya akan menjadi seperti yang dikatakan sang penyair,
Cukuplah bagi Anda
untuk punya suatu penyakit,
bahwa Anda berbaring
dengan perut penuh,
sementara di sekitar
Anda,
mungkin ada orang
yang sangat mermdukan kulit kering.”
Beliau tidak hanya
memperhatikan para tetangga, namun juga keseluruhan umat manusia. Dalam hal
ini, beliau sering mengatakan: “Dan keserakahan membawa saya untuk memilih
makanan yang bagus-bagus, sementara di Hijaz atau di Yamamah (dekat Teluk
Persia), mungkin ada orang yang tak mempunyai harapan untuk mendapatkan roti,
atau tidak memiliki cukup makanan untuk dimakan sampai kenyang.” Inilah
pengertian zuhud yang sesungguhnya. Apabila Anda menjumpai orang seperti ini,
maka kemanusiaan akan bangga terhadapnya. Bukan seperti kezuhudan yang kita
jalani –kezuhudan yang mati dan tak bergerak serta menganggap diri sendiri
sebagai zuhud. Kezuhudan bukanlah seperti ini. Kezuhudan (sejati) identik
dengan kezuhudan Imam Ali as. “Apakah saya akan berbaring dengan perut kenyang
sementara di sekitar saya mungkin ada orang yang resah dan gelisah karena perut
yang lapar dan haus? Atau apakah saya akan menjadi seperti yang dikatakan sang
penyair,
Cukuplah bagi Anda
untuk punya suatu penyakit,
bahwa Anda berbaring
dengan perut penuh,
sementara di sekitar
Anda,
mungkin ada orang
yang sangat merindukan
kulit kering.
Kita harus menjalani
kezuhudan sebagaimana yang dipraktikkan Rasulullah SAWW. Meskipun berada di
senja usianya, Rasulullah tetap memiliki kekuatan dan hatinya tetap hidup.
Beliau orang yang lebih mengutamakan orang lain dan memiliki sifat pemaaf.
Dikarenakan itulah, diturunkan ayat yang khusus diperuntukkan bagi beliau. Ayat
tersebut berbunyi: “Janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena
itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”[24] (Maksud ayat
tersebut, “janganlah kamu terlampau kikir, dan jangan pula terlampau pemurah, —pent.).
Pada suatu ketika, Rasulullah tidak datang (ke masjid) di waktu shalat. Setelah
itu diketahui bahwa tatkala waktu shalat akan tiba, seseorang yang tidak
mengenakan pakaian mendatangi rumah beliau SAWW. Saat itu, Nabi SAWW tidak
memiliki apapun kecuali baju kasar yang melekat di tubuhnya. Namun, beliau
tetap memberikannya kepada orang tersebut. Dikarenakan itulah, Nabi menjadi
berhalangan untuk datang ke masjid. Inilah bentuk kezuhudan dan kemanusiaan.
Rasulullah menyuruh
seseorang membeli baju untuk beliau. Orang itu kemudian membeli baju yang cukup
bagus seharga dua belas dirham. Setelah itu, ia segera kembali. Rasulullah SAWW
memandang ke arah orang tersebut seraya mengatakan: “Saya lebih puas mengenakan
pakaian yang lebih murah dari ini.” Kemudian Rasulullah sendiri yang pergi
menukarkan kembali pakaian tersebut dengan yang lebih murah. Di tengah jalan,
beliau menjumpai seorang budak perempuan kecil yang sedang menangis. Kemudian
Rasul menghampirinya dan berkata: “Mengapa kamu menangis?” Gadis kecil itu
menjawab: “Saya telah menghilangkan uang majikan saya.” Rasulullah segera
memberinya empat dirham, lalu pergi. Dengan uang sebanyak empat dirham,
Rasulullah membeli dua buah baju yang salah satunya diberikan kepada orang yang
membutuhkan. Dalam perjalanan pulang, Rasulullah melihat budak perempuan kecil
tadi masih duduk dan menangis. Rasulullah kembali bertanya: “Mengapa kamu masih
menangis?” Dia menjawab: “Karena terlambat, saya tidak berani pulang ke rumah,
mereka pasti akan memukuli saya.” Beliau berkata: “Saya akan mengantarmu pulang.”
Setelah gadis kecil tersebut menunjuk pintu sebuah rumah, Rasulullah
mengucapkan: “Assalamu ‘alaikum, wahai penghuni rumah.”
Kebiasaan Rasulullah ketika hendak masuk rumah orang lain adalah mengucapkan
salam (ini juga merupakan perintah al-Quran yang melarang masuk ke rumah tanpa
izin). Sebagimana sikap kita (orang-orang Iran, —pent.) yang
senantiasa mengucapkan: “Ya Allah.” Ucapan tersebut merupakan
zikir. Alangkah baiknya jika ingin memberi tahu orang lain, kita mengucapakan
kata “ya Ilahi”.
Rasulullah kemudian
mengeraskan ucapan salamnya. Mendengar suara Nabi, hati penghuni rumah tersebut
berdebar-debar. Rasulullah kembali mengucapkan salam, namun penghuni rumah
tidak juga menjawabnya. Sampai pada salam yang ketiga, akhirnya mereka
menjawab: “Wa’alaikassalam ya Rasulullah. Silahkan masuk.”
Rasulullah bertanya: “Apakah kalian tidak mendengar salam pertama saya?” Mereka
menjawab: “Ya, kami mendengar, namun kami ingin Anda mengulangi ucapan salam,
karena hal itu memberi berkah kepada keluarga kami. Apabila kami menjawab salam
pertama Anda, maka kami tidak akan mendapatkan (berkah) salam kedua dan ketiga.
Karena kami tahu bahwa Anda akan mengucapkan salam sebanyak tiga kali, dengan
sengaja kami tidak menjawab salam Anda.” Rasulullah memasuki rumah tersebut seraya
berkata: “Kedatangan saya ingin membantu gadis kecil yang datang terlambat ini.
Semoga tidak merepotkan kalian.” Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, dikarenakan
kedatanganmu, kami membebaskannya.” Rasulullah kembali berkata: “Segala puji
bagi Allah, dengan dua belas dirham saya memberi pakaian orang yang telanjang
dan membebaskan seorang budak!”
Inilah kezuhudan
(yang sebenarnya). Inilah filsafat kezuhudan yang Islami, yang membuat hati,
kemanusiaan, dan menyertakan diri dalam kedukaan (orang lain) menjadi hidup.
Catatan:
[1] Al-Anfâl: 24.
[2] An-Najm: 39.
[3] Az-Zalzalah: 7-8.
[4] Jâmi’ al-Akhbâr, bab
XVIII, hal.42; Al-Khishâl, hal.l78-119; Bihâr
al-Anwâr, Jilid ke 69, hal. 64-73.
[5] Mafâtih al-Jinân,
Bab Ziarah Imam Husain pada Idul Fitri dan Idul Adha.
[6] Al-Baqarah: 80.
[7] An-Nisâ’: 123.
[8] Hûd: 45.
[9] Ushûl al-Kâfî, Jilid
IV, hal. 207.
[10] Asy-Syu’arâ`: 214.
[11] Bihâr
al-Anwâr, Jilid 43, hal. 38, 54, 76, dan 80.
[12] Nahj Al-Balâghah,
Faidh al-Islam, Hikmah ke-142, hal. 1160.
[13] Al-Anfâl: 24.
[14] Yâsîn: 70.
[15] Al-An’âm: 122.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Al-Anfâl: 24.
[19] Al-Baqarah: 255.
[20] Ibid.
[21] An-Najm: 39.
[22] Nahj
al-Balâghah, “Faidhul Islam”, Hikmah ke-34, hal. 1291.
[23] Al-Hadîd: 23.
[24] Al-Isrâ`: 29.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar