Jika bunga-bunga tebing mekar kembali dan menguning di awal musim
–dan secercah cahaya mengerdip di tanah ini, aku
senantiasa percaya makna-makna yang akan kau
tulis pada selembar kertas, takkan cukup
bercerita tentang langkah-langkah dan jejak. Atau tentang kisah-kisah masa
kanak yang kau rajut kembali tanpa henti pada sebuah diari.
Dan jika pun kau mau, tulislah satu dua sajak seolah mereka adalah jiwamu yang
selalu setia di saat-saat riangmu. Demikian bila kau sendiri pergi dan tak
menemu apa yang hilang di antara dongeng-dongeng jelang tidur. Meski acapkali
kau pun gundah dan tak sanggup menolaknya sebagai kata.
Seperti juga semua kerapuhan
hidup yang membuatmu takut. Meski jarum-jarum matahari senantiasa meresap pada tanah
–juga pada daun-daun. Seperti juga mengeringkan apa
yang mereka sentuh, membakar rambutmu-rambutku –menjelma tangan-tangan
usia yang tak pernah kita tahu kapan ia pergi dan kapan ia datang kembali. Seringkali aku pun tak paham kenapa anugerah hidup mesti meminta kehilangan.
Seringkali saat pagi hari, kupandangi kelengangan -di antara para unggas yang sibuk menancapkan paruh mereka pada air dan lumpur.
Bermain-main cahaya yang memantul di mata mereka. Dan jika pun ingin bertanya tentang hidup, kuyakin aku tak punya jawabnya. Sebab seringkali apa pun yang
kupikirkan, seringkali aku pun lupa menyaksikan sesuatu yang berharga pada yang
biasa saja –pada apa yang tak kusadari
sebagai yang paling nyata.
Dan kau sadar betapa banyak yang datang tanpa kehendakku –sebanyak yang hilang tanpa sepengetahuanmu dan raguku. Seperti
saat kau tidur dan memejamkan matamu pada lembut telapak tanganmu. Seperti saat kunyanyikan lagu-laguku sembari kupandangi
lampu yang mengilau urai rambutmu. Dan seakan aku tak percaya betapa keindahan
selalu luput –saat aku hanya memikirkannya. Dan ketika segala yang padam tiba-tiba
menyala, saat itulah kutahu kau ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar