Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari
Allah tidak
membeda-bedakan keberadaan satu kaum dengan yang lainnya. “Barang siapa
yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan
kejahatan itu.” Coba Anda simak, bagaimana al-Quran dengan jelas
membantah angan-angan yang pada gilirannya menjadi pemicu terjadinya dekadensi
di kalangan muslimin tersebut. Al-Quran seakan-akan mengatakan, perbaikilah
amal perbuatan kalian! Kita menyaksikan bahwa di masa para imam, pemikiran
semacam ini tersebar luas ke tengah-tengah komunitas Syi’ah. Para imam dengan
upaya maksimal memerangi pemikiran tersebut. Saya akan mengutip dua buah cerita
yang berhubungan dengan masalah ini. Salah satunya sebagai berikut: Suatu
ketika, khalifah Makmun meminta kepada Imam Ali bin Musa ar-Ridha as untuk
menerima jabatan calon pengganti raja (waliy al-‘ahd). Namun beliau
menolaknya. Lantaran terus menerus dipaksa, akhimya Imam menerimanya secara
lahiriah. Bagi orang yang cermat dalam menganalisis masalah ini, akan diperoleh
pemahaman bahwa pada saat Imam Ali Ridha menolak jabatan tersebut, beliau akan
dianggap sebagai pembelot sehingga dirinya tidak lagi leluasa dalam bergerak.
Kemudian, Makmun membentuk suatu pertemuan yang dihadiri banyak orang, di mana
Imam berbicara di hadapan mereka.
Imam Ali Ridha
memiliki seorang saudara yang bernama Zaid bin Musa bin Ja’far, yang terkenal
dengan julukan Zaid an-Nâr. Zaid bin Musa pernah mengadakan perlawanan terhadap
Makmun, namun gagal. Makmun telah memaafkan perbuatannya lantaran dirinya
menghormati Imam Ali Ridha. Dalam pertemuan tersebut, Zaid bin Musa juga hadir.
Saat itu, terdapat dua orang yang bernama Zaid putra imam. Selain Zaid bin
Musa, ia adalah Zaid bin Ali bin Husain, saudara Imam Muhammad al-Baqir. Di
antara keduanya, Zaid bin Ali merupakan orang yang sangat mulia. Ia (dianggap
sebagai) imam oleh para pengikut aliran Syi’ah Zaidiyyah. Pengikut Syi’ah di
wilayah Yaman ini meyakini bahwa Zaid bin Ali adalah sosok imam setelah Imam
Ali Zainal Abidin as. Berdasarkan keyakinan kita sebagai penganut Syi’ah
Imamiyah –dan juga dari berbagai riwayat yang disampaikan para imam, Zaid bin
Ali merupakan orang yang sangat mulia dan tidak pernah mengaku sebagai imam.
Pengakuan sebagai imam berasal dari orang lain. Namun Zaid an-Nâr berbeda
dengannya. Di saat Imam Ali Ridha as berbicara di hadapan masyarakat umum,
beliau memperhatikan Zaid yang saat itu tengah duduk di pinggir dan berbicara
dengan orang sekitarnya. Imam mendengar Zaid seringkali menyebut kata-kata
“kami Ahlul Bait”. Maksudnya, “Kami Ahlul Bait seperti ini, kami keluarga suci
Nabi begitu, begini cara Allah memperlakukan kami Ahlul Bait,” dan seterusnya.
Zaid banyak membanggakan kemulian-kemulian yang tidak semestinya.
Di tengah-tengah
pidatonya kepada khalayak, Imam Ali Ridha memotong pembicaraannya dan memandang
ke arah Zaid bin Musa, seraya berkata: “Wahai Zaid! Omong kosong apa yang kamu
sampaikan kepada masyarakat? Keutamaan-keutaman yang kamu sebutkan, apakah kamu
kira karena Allah fanatik terhadap kita? Apakah dikarenakan kita sebagai
keluarga suci Nabi berarti kita dekat dengan Allah? Jika kamu berkata seperti
ini, bahwa karena kita keluarga Nabi, jika melakukan perbuatan buruk, niscaya
Allah akan memaafkan. Surga kita sudah dijamin dan kita pasti aman dari siksa
neraka. Jika ucapanmu ini benar, berarti kamu lebih mulia dari ayahmu Musa bin
Ja’far lantaran engkau telah mendapat jaminan surga. Engkau pasti masuk surga
dan ayahmu Musa bin Ja’far juga masuk surga. Ayahmu menghabiskan umurnya dengan
beramal, bekerja keras, bersungguh-sungguh dalam berbuat, dan beribadah.
Sedangkan kamu hanya menghabiskan umur dengan menganggur. Berdasarkan ucapanmu,
seharusnya kamu dan ayahmu Musa bin Ja’far termasuk orang-orang yang didekatkan
ke sisi Allah. Jadi kamu lebih mulia dari ayahmu, karena dia menghabiskan
umurnya untuk ibadah supaya sampai ke surga sedangkan engkau mencapainya tanpa
beribadah.”
Untuk menyadarkannya,
Imam ar Ridha segera memandang ke arah Wisya’, seorang perawi hadis yang
berasal dari Kufah. Wisya’ termasuk ulama dan ahli hadis Kufah —pada masa itu
pemikiran yang keliru dan menyimpang telah tersebar luas di kalangan ulama, di
mana Imam Ali Ridha mengetahui hal tersebut dan bermaksud menyinggungnya). Imam
berkata kepadanya: “Wisya’! Bagaimana penafsiran penduduk Kufah sehubungan
dengan ayat al-Quran yang mengisahkan Nabi Nuh dan putranya. Dalam ayat
tersebut Nabi Nuh berseru kepada Allah: “Ya Tuhanku, sesungguhnya
anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar.”[8] Kemudian bagaimana
kelanjutan firman Allah itu?” Wisya’ memahami maksud Imam dan berkata: “Wahai
Imam, sebagian ulama di Kufah membaca ayat selanjumya sebagai berikut: “Sesungguhnya
ia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan),
sesungguhnya perbuatannya perbuatan yang tidak baik.”
Ketika Nabi Nuh as
berseru kepada Allah; “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk
keluargaku, ampunilah dia (hati Nabi Nuh merasa iba terhadap putranya,
sedangkan anaknya seorang pendosa). Ya Allah perkenankanlah
aku menaikkan putraku ke atas bahtera agar ia tidak tenggelam. Kemudian
turun ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya dia bukanlah termasuk
keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya perbuatannya
perbuatan yang tidak baik.” Wisya’ mengatakan bahwa sebagian orang
Kufah membaca ayat di atas sebagai berikut: Nabi Nuh as berseru kepada Allah;
Tuhanku dia adalah anakku, ampunilah dosanya demi aku. Namun, kemudian penduduk
Kufah membengkokan pengertian yang sebenarnya dari ayat tersebut, sehingga
seolah-olah Allah mengatakan kepada Nabi Nuh as: “Wahai Nuh! Kamu keliru, dia
bukan anakmu. Jika dia memang benar anakmu, Aku akan mengampuninya demi kamu.
Aku tidak akan membuat susah seorang Nabi gara-gara perbuatan anaknya. Tapi
kamu keliru, dia bukan dari keturunanmu. Dia bukan dari hasil perbuatanmu. Dia
bukan putramu. Dia anak orang jahat dan fasik.” Tafsiran seperti ini merupakan
penghinaan terhadap kedudukan seorang nabi. Orang-orang akan mengatakan kepada
nabi tersebut bahwa istrimu di rumah telah berselingkuh, dan anak yang
dilahirkannya bukanlah anakmu.
Wisya’ mengatakan
bahwa tafsir yang dihasilkan sebagian penduduk Kufah tersebut menjatuhkan nama
baik Nabi Nuh as. Imam Ali Ridha mengatakan: “Yang mereka katakan adalah
kebohongan.” Mereka telah menyimpangkan ayat al-Quran. Ayat yang sebenarnya
berbunyi: “…sesungguhnya perbuatannya perbuatan yang tidak
baik.” Ia telah melakukan perbuatan yang tidak baik meskipun ia adalah
anakmu. Secara genetis, ia memang anakmu. Namun secara maknawi (spiritual),
ia tidak termasuk keluargamu. Wahai Nuh, mengapa kamu ingin memberi syafa’at
kepada anak yang jahat dan fasik ini? Permohonan Nabi Nuh as agar Allah
mengampuni dosa anaknya, tidak terkabul. Dalam riwayat disebutkan bahwa selama
bertahun-tahun, Nabi Nuh as meratapi dan menangisi serta memohon ampunan atas
permohonannya ini. Imam Ali Ridha lantas berkata: “Apakah anak Nabi Nuh as
bukan putra seorang Nabi? Wahai Zaid, mengapa Allah tidak mengabulkan
permohonan seorang Nabi yang menginginkan supaya anaknya diampuni? Bahkan Allah
mengatakan perbuatan yang dilakukannya adalah perbuatan yang tidak baik. Apakah
kamu mempunyai argumentasi yang lebih baik darinya?”
Pada kesempatan ini,
saya juga akan membacakan riwayat lainnya. Dari riwayat sebelumnya bisa
diketahui bahwa pada masa itu banyak terjadi penyimpangan terhadap keberadaan
hadis dan riwayat. Seseorang mendatangi Imam Ja’far as seraya berkata:
“Orang-orang banyak meriwayatkan hadis dari Anda. Saya ingin mengetahui apakah
hadis tersebut benar atau keliru. Hadis tersebut sehubungan dengan
masalah wilâyah dan amal perbuatan. Apakah benar Anda
mengatakan: ‘Jika pengetahuan kamu tentang imâmah sudah benar,
maka berbuatlah sekehendak hatimu.'” Imam Ja’far mengatakan: “Benar, saya
pernah menyampaikan hadis tersebut.” Lalu orang tersebut menambahkan: “Apakah
yang Anda maksud bahwa jika seseorang mengetahui imamnya secara benar, ia boleh
berbuat sekehendak hatinya, meskipun dengan berzina dan mencuri?”[9] Imam terkejut mendengar
itu. Kemudian beliau berkata: “Celakalah kamu! Seperti inikah kamu memahami
ucapan saya? Maksud ucapan saya tidaklah identik dengan yang engkau pahami.
Maksud ucapan saya adalah ketika seseorang mengenal imamnya dan mengetahui
pengertian imamah secara benar, ia boleh mengerjakan perbuatan
baik sekehendak hatinya.
Karena di saat
mengenal imam, engkau akan mengetahui bagaimana cara melakukan perbuatan baik.
Engkau sudah menemukan prasyarat bagi diterimanya amal perbuatan. Engkau
sekarang telah mengenal imam. Engkau mengenal Imam Ali bin Abi Tbalib as, dan
Imam Husain as. Kini seluruh perbuatan baik yang ingin engkau kerjakan,
kerjakanlah! Kapankah saya mengatakan bahwa pada saat engkau mengenal imam,
pada saat itu pula engkau bebas mengerjakan setiap perbuatan jahat dan
kefasikan?” Coba Anda perhatikan, ketika kita merujuk kepada al-Quran, sunah
Nabi, dan riwayat para Imam, akan nampak bahwa seluruh amal perbuatan memiliki
dasar yang kokoh. Kita juga akan menyaksikan bahwa kebahagiaan manusia amat tergantung
pada amal perbuatan. Maksudnya, manusia harus mewujudkan kekuatan yang
tersembunyi dalam dirinya.
Penyimpangan
Pemikiran
Apabila kita menelaah
pemikiran kaum muslimin di abad kontemporer ini, kita akan menjumpai bahwa amal
perbuatan telah dilecehkan sedemikian rupa. Amal perbuatan hanya dianggap
sebatas formalitas dan konsep belaka. Kita menyaksikan bahwa bangsa kita tidak
menaruh perhatian yang serius terhadap amal perbuatan. Umpama, seseorang
beranggapan bahwa apabila kelak dirinya meninggal dunia dan kuburannya
berdampingan dengan makam Imam Ali Ridha as atau Imam Husain as, maka seluruh
dosanya akan terampuni. Apakah pemikiran seperti ini sesuai dengan ajaran
Islam? Apakah masyarakat bisa menjamin bahwa jika mereka mengerjakan amal
selama hidupnya, dan setelah meninggal dunia dimakamkan di bawah kaki Imam Ali
Ridha, maka semua dosa-dosanya akan terampuni dan mereka akan mencapai
kebahagiaan abadi di alam akhirat? Jika engkau ingin dimakamkan di bawah kaki
Imam Ali Ridha as agar dosa-dosamu terampuni, maka Harun Ar-Rasyid (ahli
maksiat) akan terpelihara dari siksa Allah lantaran ia dimakamkan persis di
bawah kaki Imam Ali Ridha.
Namun mengapa ketika
hendak dimakamkan di atas kepala Imam Ali Ridha as, jasad Harun tidak bisa
diletakkan ke dalam liang lahat? Itu dikarenakan Harun dan putranya (Makmun)
merupakan orang-orang yang terkutuk. Semua itu merupakan pemikiran yang
menyimpang dan mati. Kita telah mengatakan sebelumnya bahwa kita hendak
menelaah “upaya menghidupkan kembali pemikiran Islam”, yang salah satunya
berkenaan dengan masalah “beramal”. Pemikiran kita harus hidup dan dinamis.
Kita harus memahami bahwa Islam merupakan agama praktik, bukan agama yang
berhubungan dengan imajinasi.
Masalah Kekebalan
Hukum
Dalam Islam, sama
sekali tidak terdapat kekebalan hukum. Dahulu kala, memang terdapat kekebalan
hukum bagi sejumlah individu. Bila seseorang melakukan kejahatan dan pihak
aparat hendak menangkapnya, ia bisa meminta perlindungan dari tokoh agama yang
sangat berpengaruh. Dengan demikian, pihak aparat berwajib tidak akan mampu
menangkapnya. Kejahatan telah dilakukan dan menurut ketetapan undang-undang pelakunya
harus dijatuhi hukuman –namun ketika pelakunya berlindung di balik pribadi
seorang tokoh berpengaruh, pihak pemerintah tidak akan berani menghukumnya
dikarenakan kekebalan hukum yang dimiliki tokoh tersebut. Kadangkala kita
menyangka bahwa dalam ajaran Allah terdapat pula konsep kekebalan hukum.
Padahal, kekebalan hukum sama sekali tidak termaktub dalam ajaran Islam.
Imam Husain atau Imam
Ali Ridha as tidaklah memiliki kekebalan hukum. Bahkan, kekebalan hukum akan
bertolak belakang dengan pemikiran Imam Husain dan Imam Ali as. Sepanjang
hidupnya, mereka tidak pernah menerima konsep kekebalan hukum. Lantas, apakah
setelah wafat (syahid, — peny.), mereka akan menerima konsep
tersebut? Jika Anda mempelajari kitab Nahjul Balâghah, Anda akan menjumpai dua
perkara yang acapkali disebutkan secara berulang-ulang, yaitu masalah “takwa”
dan “amal shaleh”. Anehnya, kita malah menutup mata dari kedua perkata penting
tersebut bahkan menolak keduanya. Kita tidak meyakini nilai amal shalih dan
ketakwaan. Kita hanya menghabiskan umur tanpa melakukan amal shalih (perbuatan
baik), namun kemudian mewasiatkan kepada ahli waris apabila kelak meninggal
dunia, kita ingin dimakamkan di Najaf berdampingan dengan makam Imam Ali as.
Perbuatan seperti ini jelas tidak dibenarkan dalam Islam. Saya akan membacakan
dua hadis sekaitan dengan masalah di atas. Pada hari pengangkatan
kenabian (yaumul bi’tsah), turunlah ayat yang berbunyi: “Dan
berikanlah peringatan kepada keluarga dekatmu.”[10]
Setelah ayat ini
turun, Rasulullah SAWW mengumpulkan anggota keluarga Bani Hasyim dan berkata di
hadapan mereka: “Wahai Bani Hasyim! Wahai Bani Muthalib! Janganlah
kalian datang kelak pada hari kiamat dengan mengandalkan hubungan
kekeluargaan denganku, sedangkan manusia datang pada hari itu dengan
membawa bekal amal perbuatan baik mereka. Hubungan kekeluargaan pada
hari kiamat tidak akan berguna.” Terdapat pula riwayat lain yang
berhubungan dengan putri Nabi, Sayyidah Fathimah az-Zahra as, seorang wanita
suci yang disebut Rasulullah SAWW sebagai “bagian dari tubuhku”. Berkenaan
dengan Sayyidah Fathimah as, Rasulullah SAWW pemah mengatakan: “Wahai
putriku Fathimah as, beramallah untuk dirimu sendiri, karena aku tidak bisa
membantumu kelak di akhirat. Hubungan kekeluargaan denganku tidak akan
bermanfaat pada hari itu. Terimalah ajaran yang aku sampaikan dan amalkanlah.
Jangan kamu mengatakan ayahku seorang Nabi. Ucapan ‘ayahku seorang Nabi’ tidak
akan berguna pada hari kiamat. Yang berguna adalah mengamalkan perintah dan
ajaran ayahmu.”[11]
Anda harus
mempelajari biografi kehidupan Sayyidah Fathimah as. Pada saat Anda mengkaji
kehidupan wanita suci ini, Anda akan mengetahui bahwa beliau tidak pernah
membanggakan diri sebagai putri Nabi akhir zaman. Terdapat riwayat yang
menyebutkan, setiap kali Sayyidah Fathimah as berdiri di mihrabnya untuk
menunaikan sholat, tubuhnya senantiasa bergetar. Itu dikarenakan beliau akan
menghadap Allah Swt, beliau menangis lantaran takut (siksa) Allah. Setiap malam
Jumat, beliau tidak pernah tidur dan menghabiskan malam itu untuk menangis dan
meratapi dosa-dosa. Saya juga mempersilahkan Anda untuk menyaksikan kehidupan
Imam Ali bin Abi Thalib as. Saya tidak tahu, mengapa kita seperti ini? Jika
amal perbuatan memang tidak ada manfaamya dan tidak menimbulkan pengaruh (dalam
menciptakan kebahagiaan), maka Sayyidah Fathimah as lebih layak untuk tidak beramal.
Demikian pula halnya dengan Imam Ali Zainal Abidin as, Imam Hasan as, Imam
Husain as, dan Imam Ali bin Abi Thalib as yang setiap tengah malam selalu
tenggelam dalam rasa takut terhadap (siksa) Allah. Apa yang menyebabkan semua
itu? Apakah Imam Ali as lupa bahwa dirinya merupakan orang yang pertama kali
masuk Islam? Apakah Imam lupa kalau dirinya adalah menantu Nabi dan memiliki
hubungan batin yang kuat dengan Rasulullah? Inilah ajaran Islam. Lantaran
ajaran Islam telah disampaikan kepadanya dengan benar, maka kendati beliau
putra Nabi, namun beliau tidak pernah mengandalkan hubungan nasabnya. Ia lebih
mengedepankan kualitas amal perbuatannya sendiri. Prinsip yang dijunjungnya
adalah menjalankan ajaran Nabi.
Inilah salah satu
musibah pemikiran yang menimpa kaum muslimin pada permulaan Islam. Akan tetapi,
kadar musibah yang menimpa tersebut sangatlah lemah lantaran orang-orang Syi’ah
dan sebagian besar penganut Ahlussunnah menentang pemikiran itu (pemikiran
bahwa amal tidak memberikan pengaruh dalam menciptakan kebahagiaan manusia, —pent.). Banyak
terdapat faktor yang menyebabkan tersebarnya pemikiran yang menyimpang.
Sehubungan dengan persoalan ini, ada sejumlah mimpi serta kejadian yang pernah
saya kemukakan beberapa kali di sejumlah universitas. Di kalangan ulama
Syi’ah, Muqaddas Ardibili dikenal sebagai ulama yang zuhud dan
bertakwa. Ia termasuk salah seorang tokoh yang berilmu tinggi dan pakar dalam
bidang fikih. Syeikh Anshori menyebutnya dengan Muhaqqiq Ardibili.
Beliau orang yang sangat bertakwa dan begitu zuhud. Banyak orang yang
menuturkan bahwa beliau memiliki berbagai karamah. Ia merupakan orang yang
rajin beramal.
Pernah pada suatu
ketika, seseorang melihat Muqaddas Ardilibi dalam mimpinya.
Orang tersebut bertanya kepada beliau: “Apa yang Allah lakukan terhadapmu?”
Beliau mengatakan: “Allah menyayangiku dan memperlakukanku dengan baik.”
Kembali orang tersebut bertanya: “Apa yang menyelamatkanmu dari siksa-Nya?”
Beliau menjawab: “Saya melihat pasar amal perbuatan begitu sunyi (di hari
kiamat).” Apa maksud dari ungkapan tersebut? Bahwa pasar amal perbuatan begitu
sepi di hari kiamat, sedangkan Al-Quran menyatakan bahwa di hari kiamat, pasar
amal perbuatan manusia sangatlah ramai (pada hari kiamat Allah membeli amal
perbuatan manusia, di mana amal perbuatan yang baik dibayar Allah dengan pahala
surga dan amal perbuatan buruk akan dibayar Allah dengan siksa neraka. Ungkapan
ini merupakan ungkapan kiasan, —pent.). Namun menurut kisah dalam
mimpi tersebut, pasar amal perbuatan akan sepi di hari kiamat. Jika pada hari
kiamat, pasar amal, perbuatan bakal sepi, lantas apa yang menjadikannya ramai
oleh para pembeli? Pemikiran seperti ini ibarat penyakit yang menggerogoti
kulit dan tubuh sedemikian rupa sampai-sampai ia hanya menyisakan tulang
belulang. Pemikiran semacam ini justru akan merusak akidah.
Saya juga akan
menyampaikan riwayat dari Imam Muhammad Baqir sebagaimana yang tercantum dalam
kitab al-Kâfî. Imam Muhammad Baqir pernah berpesan kepada
orang-orang Syi’ah dengan mengatakan: “Sampaikanlah pesanku kepada Syi’ah
(pengikut) kami….” Ucapan tersebut mencerminkan bahwa beliau mengetahui adanya
pemikiran yang menyimpang yang sedang menyebar di tengah-tengah pengikumya.
Beliau mengatakan: “Bukan termasuk pengikut kami, kecuali orang
yang wara’ (orang yang berhati-hati dalam menjalankan
agamanya), orang yang bertakwa, dan orang yang
bersungguh-sungguh dalam perbuatannya, berusaha keras, aktif, dan beramal.
Selain dari itu tidak kami terima sebagai pengikut kami (Ahlul Bait).” Dalam
kitab Nahjul Balâghah disebutkan adanya seseorang yang mengunjungi Imam Ali as
untuk meminta nasihat. Imam mengatakan: “]anganlah kamu menjadi orang
yang mencintai akhirat, akan tetapi kamu tidak mau beramal. Janganlah kamu
menjadi orang yang mengharapkan taubat namun kamu berangan-angan panjang.
Janganlah kamu menjadi orang yang berbicara dengan pembicaraan orang yang tidak
memperhatikan dunia, namun dalam perbuatan, kamu beramal layaknya orang yang
rakus terhadap dunia dan tertipu olehnya.”[12]
Apabila pada hari ini
kita meminta nasihat kepada Imam Ali as, beliau pasti akan menyampaikan hal
ini. Ucapan Imam Ali as yang berbunyi: “Janganlah kamu menjadi orang yang
mengharapkan (kebahagiaan) akhirat tanpa beramal.” Maksudnya,
seluruh harapan dan angan-angan tak lebih dari kebohongan belaka. “]angan
menjadi orang yang mengharapkan taubat namun kamu berangan-angan
panjang.” Maksudnya, janganlah kamu mengulur-ulur taubat dan
mengatakan bahwa untuk bertaubat belum terlambat dan waktu untuk itu masihlah
panjang. Tatkala Imam Ali as mengatakan: “Wahai manusia, janganlah kamu
menjadi orang yang mencintai akhirat akan tetapi kamu tidak mau
beramal,” beliau kemudian menjelaskan maksudnya dalam ungkapan
berikut: “Janganlah kamu menjadi orang yang berbicara
dengan pernbicaraan orang yang tidak memperhatikan dunia, namun dalam
perbuatan, kamu beramal layaknya orang yang rakus terhadap dunia dan
tertipu olehnya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar