Oleh
Walid Syaikhun
Pada
abad ke-16 seorang wali Sufi harus menghadapi tuduhan sesat oleh Majelis Hakim
kerajaan Islam Demak. Gara-gara tuduhan ini Syekh Siti Jenar alias Syekh Lemah Abang,
sang wali, harus menjalani hukuman mati dengan tikaman sebuah keris yang konon
milik Sunan Gunung Jati Cirebon. Referensi Islam Indonesia telah membukukan
Syekh Siti Jenar sebagai tokoh sesat yang membangkang terhadap kepemimpinan
Walisanga. Istilah kafir, murtad, zindik dan atheis adalah tuduhan yang
akrab dialamatkan kepadanya. Bahkan, dia telah menjadi simbol tokoh
pembangkangan terhadap sistem yang telah dianggap absah. Itu sebabnya, Syekh
Siti Jenar dinisbatkan sebagai tokoh kaum abangan -- yang tak rela terhadap
musnahnya ajaran nenek moyang setelah datangnya Islam.
Syekh
Siti Jenar dianggap berdosa karena menyebarkan faham wihdatul wujud (manunggaling
kawula gusti) kepada masyarakat yang waktu itu masih tergolong awam. Lebih
fatal lagi adalah ucapannya Ama al-haq (Akulah Al-haq) -- sebuah
pernyataan yang menyebabkan Al Hallaj dihukum mati.
Karena
alasan inilah maka DH Kraemar menjulukinya Al-Hallaj dari Jawa. Berikutnya --
terutama oleh para penulis Belanda seperti Rinkes dan Zoetmolder -- Siti Jenar
disebut-sebut sebagai penganut Syi'ah, beraliran Jabariah dan Qadariah (Rinkes,
''De Heiligen van Java'') serta pengikut tarekat Rifaiyah (Zoetmolder,
''Pantheisme en Monisme'') Bahkan Kraemer dalam ''Een Javaansche Primbon''
menempelinya sebagai musuh dalam selimut bagi Islam. ''Sering kali dari balik
pikiran-pikirannya yang pantheistik, yang berkedok istilah-istilah Islam,
terasa sekali polemik yang tajam menyerang Islam secara diam-diam,'' tulis
Kraemer.
Syahdan,
dalam satu diskusi periodik yang dilakukan Majelis Walisanga, Syekh Siti Jenar
melontarkan buah renungannya yang kemudian dikenal sebagai konsep Syahadat
Mutaawwila atau lebih dikenal Sasahidan. Konsep ini berakar pada faham wihdatul
wujud, sebuah faham tasauf yang menjadi trade mark para wali waktu itu. Sasahidan
adalah tafsir Siti Jenar terhadap Alquran surah Thaha ayat 14 yang berbunyi: innany
anallaha la ilaha illa ana fa'buduny. Wa aqimish-sholaata li dzikri
(Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka
sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku).
Syahadat
mutawwila yang bunyi lengkapnya Asyhadu anla ilala illa huwa (Tidak ada
Tuhan selain Dia), menurut Siti Jenar merupakan pengejawantahan atas surah Thaha
ayat 14 tadi. ''Aku'' dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai kehidupan kita
sendiri. Sehingga, bernafas pun dianggap sebagai ibadah kepada Sang Pencipta.
Dalam kerangka filosofis ini Siti Jenar memandang kehidupan di dunia adalah
sesuatu yang semu atau palsu. Sedangkan kehidupan sebenarnya adalah alam
akhirat, karena di situ manusia hidup kekal. ''Mila dunya punika dudu aran
idup, pratandane sira pejah, aneng donyo ingaran pati,'' kata Siti Jenar.
Diskusi
periodik Walisanga ini terekam dalam kitab ''Pananggalaning ngilmu'' sebuah
kitab majmu yang berisi kumpulan wejangan para wali peserta diskusi. Sunan Giri
misalnya mengulas tentang Ananing Dzat (Keadaan Dzat), Sunan Gunung Jati
tentang Kasentosaing Iman (Kesentosaan Iman), Sunan Kalijaga mengulas soal Tata
Malige ing Baitul Mal. Sedangkan Syekh Siti Jenar sebagai pembahas soal
Sasahidaning Dumados (Kesaksian dari Kejadian atau Mahluk).
Masih
dalam paradigma filosofisnya, Siti Jenar berprinsip tidak terlalu menekankan
simbol formalisme dalam mencari kebenaran. Sikap tunduk dan patuh pada Yang
Benar itulah yang menurutnya hakikat ajaran agama yang oleh Alquran disebut
sikap Al-Hanief. Siti Jenar yang nama aslinya Sayyid Ali Anshar ini juga
membenarkan adanya kesinambungan dan persatuan agama-agama samawi atau yang
disebut wihdatul adyan. Sikap intelektual inilah yang mendorong Siti Jenar
mengeluarkan statement yang dianggap kontroversial: ''Jangan banyak semu. Aku
inilah Allah, Aku bernama Prabu Satmata dan tiadalah yang lain dengan nama
ketuhanan'' (''Walisanga'', Solochin Salam). Babak berikutnya, tokoh ini hanya
dikenang sebagai Wali yang diqishosh (hukum mati) oleh sesama wali lainnya.
Melihat
konteks situasional di atas, merasa perlu menggarisbawahi sebuah vonis dan
tuduhan yang telah ditulis para pelopor sejarah Syekh Siti Jenar. Memang,
sementara ini ada kesan, sejarah Walisanga adalah ''Ruang Keramat'' yang setiap
orang merasa tabu memasukinya, apalagi bertingkah nyeleneh. Sehingga, dapat
dipahami jika sepanjang masa selalu muncul kontroversi pemikiran keagamaan,
bahkan menjadi fenomena yang menyejarah.
Syekh
Siti Jenar tergolong wali senior dalam Majelis Walisanga. Andilnya terhadap
pengembangan Islam di Pulau Jawa sangat besar. Sayangnya, informasi tentang
asal usul dan sepak terjangnya sangat simpang siur. Berita menyebut Siti Jenar
sebagai penganut Syi'ah yang datang dari tanah Persia dan berdakwah dengan wali
lainnya. Dia menggantikan Syekh Sutamaharja (kakak Maulana Ishak) yang gugur
dibunuh oleh pasukan Andayaningrat dari Pengging dalam sebuah insiden antara
pasukan Islam dengan laskar Majapahit, sekitar tahun 1524 M. (''Kerajaan-kerajaan
Islam di Jawa'', H.J. De Graaf). Siti Jenar tergolong berhasil membangun
masyarakat Islam di Pengging, Ngerang, Butuh, Pajang dan sekitarnya sehingga
beberapa pembesar setempat seperti Ki Gede Kanigara (putra Andayaningrat)
menyerahkan diri masuk Islam.
Lebih
dari itu, pola dakwah Siti Jenar melalui pengembangan tradisi keagamaan
dianggap paling berhasil, sehingga cara ini ditiru oleh Sunan Kalijaga pada
waktu berikutnya. Dalam kaitan ini kita patut mempertanyakan laporan para
penulis sejarah yang menyebut Syekh Siti Jenar sebagai musuh Islam, antek-antek
kezindikan. Para pelopor nampaknya telah memanipulasi diri dengan menisbatkan
Walisanga sebagai pelontar-pelontar tuduhan mereka terhadap Siti Jenar.
Wihdatul
wujud sebagai sebuah faham tasauf pada masa itu sudah akrab di mata Walisanga.
Apalagi banyak di antara mereka yang mendalami dan mengambil jalan tarekat itu.
Sebut saja misalnya Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.
Menurut
Kitab ''Walisanga'' yang disebut-sebut sebagai karya Sunan Giri II. Sunan
Gunung Jati telah mendalami karya-karya ulama wujudiyah dan menjadikannya
sebagai ''kurikulum'' pengajaran kepada para santrinya, semiasl Sunan Kalijaga.
Sunan Gunung Jati sangat menguasai ilmu-ilmu yang termaktub dalam kitab karya
Syekh Ibrahim Al-Iraqi (kumpulan syair Al-Iraqi), Syekh Abul Hasan Ali
Asy-Syabasty (ahli tarikh Daulat Fatimiyah yang meninggalkan karya spektauler
''ad-Dirayah'', berisi kisah jenaka tentang biara-biara di Irak, Suriah, Mesir
dan Aljazair), Syekh Muyidin Ibnu Araby (Ibn Araby), Syekh Abu Yazid
Al-Bustomi, Syekh Abu Abdullah Ibn Muhammad Ar-Rudayi (yang digelari ''Babak Penyair
Persia''), Syekh Samaun Assarini dan kitab-kitab karya ulama wihdatul wujud
lainnya. Sunan Gunung Jati juga dikenal sebagai penganut Syi'ah yang sangat
sholih. Bahkan, hingga pemerintahan Penembahan Giri Laya (1650-1662) Syi'ah
menjadi mazhab resmi kerajaan Cirebon.
Sunan
Kalijaga juga seorang penganut wihdatul yang cukup fanatik. Dia bersama-sama
Syekh Siti Jenar pernah berguru faham ini kepada Sunan Bonang bin Sunan Ampel.
Tema-tema dakwah yang dikumandangkan Sunan Kalijaga sangat mengakar bercorak
wujudiyah. Hal itu antara lain dapat dilihat dari karya yang cukup masyhur di
masyarakat Jawa, ''Dewa Ruci''. Arya Sena (Bhima) yang menjadi tokoh cerita itu
berusaha mencari Jejering Pangeran (letak kedudukan Tuhan) mencapai klimaks
usahanya setelah fana, melebur masuk dalam telinga Dewa Ruci. Karya ini
merupakan pengembangan dari paham Jalaluddin Rumi, dan khususnya ''Manthiquth
Thair'' karya Fariduddin Athar. Dua nama yang disebutkan terakhir adalah tokoh
utama wihdatul wujud.
Penjelasan
di atas mengasumsikan bahwa wihdatul wujud yang dianut Syekh Siti Jenar dianut
pula oleh sebagian anggota Walisanga. Maka, wajarkah jika Majelis Walisanga
menganggap sesat kepercayaan itu padahal dianutnya juga? Tuduhan itu makin
tidak jelas dengan adanya label Jubariyah dan Qodariyah sekaligus.
Satu
sisi Syekh Siti Jenar disesatkan karena berprinsip bahwa gerak langkah manusia
secara mutlak ditentukan oleh Tuhan (Jabariyah), dan pada sisi lain dia dizindikkan
karena menganut paham Qodariyah yang menganggap takdir manusia sepenuhnya
ditentukan oleh tindakan dan sikapnya sendiri dan menafikan campur tangan
Tuhannya. Bagaimana mungkin dua paham antagonis ini dinisbatkan kepada satu
orang secara bersamaan? Para pengulas Syekh Siti Jenar nampaknya tidak memiliki
wawasan teologis, sehingga salah melontarkan tuduhan yang sebenarnya jauh
panggang dari api.
Siti
Jenar juga disebut-sebut sebagai penganut tarekat Rifaiyah -- sebuah aliran
tarekat yang didirikan oleh Ahmad Rifai (meninggal 1181 M). Padahal, di Aceh
penganut wujudiyah dimusuhi oleh penganut Rifaiyah. Syekh Nuruddin Arraniri
yang secara intens mengecam dan memfatwakan halalnya darah kaum wujudiyah
adalah syaikh dalam tarikat Rifa'iyah yang ia pelajari dari gurunya Syaikh Ba
Syaiban di India. Kemungkinan besar tuduhan itu baru disusun setelah munculnya
kelompok Ahmad Rifa'i -- sebuah kelompok radikal bermazhab Syafii di Jawa --
yang memberontak penguasa Belanda pada Abad ke-18. Untuk kepentingan politik
pemerintahnya, para penulis Belanda telah mencitrakan setiap pembangkang dengan
asosiasi sebagai penganut aliran Siti Jenar, yang saat itu telah melegenda
sebagai sosok pembangkang.
Kesimpulannya, persoalan Syekh Siti Jenar tampaknya bukan persoalan kemurtadan, kezindikan, atau malah kekafiaan. Masalahnya sebenarnya sudah menjadi klasik. Perbedaan pendapat dalam memasyarakatkan pandangan-pandangan ''esoteris''. Banyak ulama dalam sejarah Islam, termasuk Imam Ghazali, cenderung mempertahankan pembagian masyarakat keilmuan ke dalam kelompok elite (khawash) dan awam. Hal ini ternyata dari vonis yang dibacakan oleh Sunan Giri: ''Siti Jenar kafir di sisi manusia, dan mukmin di sisi Allah.''
Sumber:
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/03/09/m0m8uf-menimbang-kembali-kasus-syekh-siti-jenar-i
http:
//www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/03/09/m0m966-menimbang-kembali-kasus-syekh-siti-jenar-ii
Tidak ada komentar:
Posting Komentar