Berkembangnya
Ahlul-Bait walaupun sepanjang sejarah kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah mengalami penindasan luar biasa,
adalah berkah dari do’a Muhammad kepada mempelai
pengantin Fatimah putri
beliau dan Ali di dalam
pernikahan yang sangat sederhana.
Doa
Nabi SAW adalah,”Semoga Allah memberkahi kalian berdua, memberkahi apa yang
ada pada kalian berdua, membuat kalian berbahagia dan mengeluarkan dari kalian
keturunan yang banyak dan baik”
Setelah
mengalami titik noda paling kelam dalam sejarah Bani Umayyah, dimana cucu Nabi SAW, al-Husain bersama keluarga dibantai di Karbala,
pemerintahan berikutnya dari Bani Abbasiyah yang sebetulnya masih kerabat
(diturunkan melalui Abbas bin
Abdul-Muththalib) tampaknya juga tak mau kalah dalam membantai
keturunan Nabi SAW yang saat itu sudah berkembang banyak baik melalui jalur Ali Zainal Abidin satu-satunya putra Husain bin Ali yang selamat dari pembantaian di Karbala, juga melalui jalur putra-putra Hasan bin Ali.
Setelah
berakhirnya Bani Abbasiyah
Perkembangan
di berbagai negara
Menurut
berbagai penelaahan sejarah, keturunan Hasan bin Ali banyak yang selamat dengan
melarikan diri ke arah Barat hingga mencapai Maroko. Sampai sekarang, keluarga kerajaan Maroko mengklaim keturunan dari Hasan melalui cucu beliau Idris
bin Abdullah, karena itu keluarga mereka dinamakan dinasti Idrissiyyah. Selain itu pula, ulama-ulama besar
seperti Syekh Abu Hasan Syadzili Maroko (pendiri Tarekat
Syadziliyah) yang nasabnya sampai kepada Hasan melalui cucunya Isa
bin Muhammad.
Mesir
dan Iraq adalah negeri yang ulama Ahlul Baitnya
banyak dari keturunan Hasan dan Husain. Abdul
Qadir Jaelani seorang ulama yang dianggap sebagai Sufi terbesar
dengan julukan ‘Mawar kota Baghdad’ adalah keturunan Hasan melalui cucunya Abdullah bin Hasan al-Muthanna.
Persia hingga ke arah Timur seperti India
sampai Asia Tenggara
(termasuk Indonesia) didominasi para ulama dari keturunan Husain bin Ali. Bedanya, ulama Ahlul Bait di
tanah Parsi banyak dari keturunan Musa al-Kadzim bin Ja'far ash-Shadiq
seperti Ayatullah Ruhollah Khomeini karena itu ia juga bergelar
Al-Musawi karena keturunan dari Imam Musa al-Kadzim, sedangkan di Hadramaut (Yaman),
Gujarat dan Malabar (India) hingga Indonesia ulama Ahlul Baitnya banyak dari
keturunan Ali Uraidhi bin Jafar ash-Shadiq terutama melalui jalur Syekh Muhammad
Shahib Mirbath dan Imam Muhammad Faqih Muqaddam ulama dan sufi terbesar Hadramaut di zamannya (abad 12-13M).
Walaupun
sebagian besar keturunan Ahlul Bait yang ada di Nusantara termasuk Indonesia
adalah dari Keturunan Husain bin Ali namun terdapat juga yang merupakan
Keturunan dari Hasan bin Ali, bahkan
Keturunan Hasan bin Ali yang
ada di Nusantara ini sempat memegang pemerintahan secara turun temurun di
beberapa Kesultanan di Nusantara ini, yaitu Kesultanan Brunei, Kesultanan Sambas dan Kesultanan Sulu sebagaimana yang tercantum dalam
Batu Tarsilah / Prasasti dan beberapa Makam dan juga Manuskrip yang tersebar di
Brunei, Sambas (Kalimantan Barat) dan Sulu (Selatan Filipina), yaitu melalui
jalur Sultan
Syarif Ali (Sultan Brunei ke-3) yang merupakan keturunan dari Syarif
Abu Nu'may Al Awwal. Sementara dari keturunan Husain bin Ali memegang kesultanan di Jawa bagian
barat, yang berasal dari Syarif
Hidayatulah, yaitu Kesultanan Cirebon
(yang kemudian pecah menjadi tiga kerajaan, Kesultanan Kasepuhan, Kanoman dan
Kacirebonan) dan Kesultanan Banten.
Sebagai kerurunan Syarif Hidayatulah keturunan merekapun berhak menyandang
gelar Syarif/Syarifah, namun dari keturunan Syarif Hidayatullah gelar tersebut
akhirnya dilokalisasi menjadi Pangeran, Tubagus/Ratu (Banten) dan Raden
(Sukabumi, Bogor).
Mazhab
yang dianut
Mazhab yang dianut para ulama keturunan Husain pun terbagi dua; di Iran,
Iraq
dan sekitarnya menganut Syi’ah, sedangkan di Yaman,
India hingga Indonesia menganut Sunni
(yang condong kepada tasawuf). Para ulama
keturunan Hasan dari Mesir
hingga Maroko hampir semuanya adalah kaum Sunni
yang condong kepada tasawuf. (*)
Pustaka:
1.
^
AL-ALBANI, M. Nashiruddin; Ringkasan Shahih Muslim. Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
ISBN 979-561-967-5. Hadist no. 1656
2.
^
AL-ALBANI, M. Nashiruddin; Ringkasan Shahih Muslim. Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
ISBN 979-561-967-5. Hadist no. 1657.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar