Oleh
Habib Ali al Jufri
Adakalanya
engkau menjadi bagian dari orang yang hatinya berjalan di belakang lisannya.
Dalam kondisi ini, engkau akan mengatakan segala sesuatu dan dengan
bagaimanapun cara engkau mengatakannya, atau ucap asal bunyi. Dan orang semacam
ini akan berangkat menuju keterjauhan dari sisi jalan menuju Allah dan mengarah
kepada kerugian.
Apakah
engkau tergolong bagian dari orang-orang yang apabila disebutkan sesuatu ia
harus nimbrung dalam pembicaraan itu, baik itu memiliki faidah ataupun tidak.
Atau bila muncul satu perbincangan, ia senang untuk ikut di dalamnya, baik
perbincangan itu setelahnya ada faidahnya ataupun perbincangan yang mati.
Tahukah
engkau, apakah perbincangan mati itu? Yakni perbincangan yang tidak
mendatangkan faidah dan manfaat apapun.
“Tahun
’90-an siapa yang meraih piala ini?”
“Fulan
yang meraihnya. Dan Fulan terus yang menang.”
“Kira-kira
siapa nanti yang bisa mengalahkannya?”
Tanpa
terasa setengah jam hilang begitu saja.
“Mobil
terbaru ini itu buatan Inggris atau Amerika?”
“Mobil
ini sangat anggun dan mewah. Tidak ada mobil lain lebih mewah darinya!”
Padahal,
di akhir waktu, tidaklah yang mengajak berbincang-bincang dan tidak pula lawan
bicaranya membeli mobil yang sedari tadi diperbincangkan sepanjang waktu yang
dihabiskan.
Andai
saja perbincangan itu didasari adanya niatan untuk membeli mobil yang
diinginkan, misalnya, dan engkau hendak mencari yang paling baik atau yang
lebih kuat, tentu di dalamnya terdapat faidah dan manfaat.
Akan
tetapi, perbincangan itu tidak lain hanyalah perbincangan yang panjang lebar
dan perdebatan yang tanpa arah. Di saat itu engkau telah kehilangan banyak
waktu. Inilah yang para ulama katakan dengan pembicaraan mati (al-kalam
al-mayyit). Maknanya, pembicaraan yang tidak memiliki manfaat dan tidak
pula dilandasi satu kehendak tertentu terhadap sesuatu yang diinginkan.
Seseorang
datang kepada seorang guru dan ia berkata kepada guru itu, “Wahai Syaikh. Apa
warna bulu domba yang Allah jadikan sebagai tebusan bagi Nabi Ismail?”
Warna
bulu domba tebusan Nabi Ismail?! Manfaat apa gerangan yang dapat diambil dari
pengetahuan semacam ini? Apakah engkau akan memberi cat kepada dombamu dengan
warna domba itu, misalkan engkau mengetahui? Lalu buat apa semua itu?
Wahai
murid, jangan pernah engkau rela untuk masuk ke dalam suatu perbincangan atau
ke dalam suatu pembicaraan yang engkau tidak memiliki kehendak terhadap sesuatu
dalam perkaraan yang engkau perbincangkan itu, dan jangan pernah engkau rela
untuk masuk ke dalam suatu perbincangan atau ke dalam satu pembicaraan yang di
dalamnya tidak terdapat manfaat atau faidah atau pelajaran yang engkau ingin
dapatkan dari seseorang.
Itulah
sebabnya, bila engkau hendak berbicara, baik tujuanmu itu mengajar atau
belajar, sampaikanlah faidah itu atau gapailah ia. Adapun pembicaraan yang di
dalamnya engkau tidak mengajarkan dan tidak pula mengambil pelajaran, atau
engkau tidak memberikan manfaat dan tidak pula mengambil manfaat, sungguh yang
demikian itu tidaklah layak sama sekali bagi seorang salik peniti jalan menuju
Allah SWT. Seorang salik tidak memiliki pembicaraan yang tidak berguna dan
tidak pula mengandung manfaat (fudhulul kalam).
Setiap
kali seseorang bertambah derajatnya, semakin sedikit pula perkataannya. Dan
setiap kali perkataan seseorang semakin sedikit tapi menghimpun makna, semakin
sedikit pula orang-orang yang mengajak bicara dengannya, yang bila hendak
menyampaikan satu makna dalam satu bagian tema tertentu membutuhkan
setengah jam atau lebih.
Perhatikanlah!
Rasullah SAW, apabila teman bicaranya meminta beliau untuk mengulangi
ucapannya, niscaya beliau mengulanginya lagi. Coba engkau renungkan! Hal
penting apa yang terdapat dalam perilaku Rasullah SAW seperti itu.
Rasullah
SAW adalah seorang pendidik. Dan seorang yang diutus sebagai pendidik, dai, dan
penunjuk jalan hidayah, memiliki sifat, sebagaimana para ulama uraikan dalam
berbagai kitab tentang kepribadian beliau, apabila teman bicaranya meminta
beliau untuk mengulangi lagi ungkapan yang telah beliau tuturkan dalam
majelisnya, niscaya beliau mampu untuk mengulanginya lagi. Setelah itu
keluarlah dari kalimat-kalimat yang beliau ulang tadi pengulangan-pengulangan
yang darinya lahir ilmu-ilmu agung di tengah-tengah umat menjadi berbagai
cabang ilmu-ilmu syari’at. Dan dari sana lahir para dai dari kalangan sahabat,
tabi’in, dan generai-generasi setelah mereka.
Cobalah
kita muthalaah Bukhari-Muslim atau ambillah kitab Riyadh ash Shalihin,
dan bacalah. Niscaya engkau akan mendapati, kebanyakan hadits di dalamnya tidak
lebih dari dua, tiga atau empat baris.
Apa
makna dari ungkapan ini? Para sahabat mereka adalah para ahli penghapal dan
pencatat. Akan tetapi jarang sekali engkau temukan hadits dalam dua lembar atau
satu lembar setengah. Bahkan sampai sebagian para huffazh merasa
bingung di saat menyebutkan hadits-hadits yang panjang, apakah mesti didhaifkan
(dinilai sebagai hadits lemah) atau dishahihkan (dinilai sebagai hadits
shahih). Dan sebagian lagi menjadikan sebagian hadits yang panjang dinilai
memiliki illat (perkara yang dapat mempengaruhi keshahihan suatu
hadits) di saat mereka memberikan penilaian (naqd) terhadap matan
hadits tersebut.
Makna
penjelasan ini adalah bahwa Rasulullah SAW memberikan pengajaran kepada para
sahabat untuk senantiasa memposisikan lidah mereka di belakang hati mereka dan
engkau tidak akan mungkin menjadi kecuali satu di antara dua, dan tidak ada
ketiganya.
Adakalanya
engkau menjadi bagian dari orang yang hatinya berjalan di belakang lisannya.
Dalam kondisi ini, engkau akan mengatakan segala sesuatu dan dengan
bagaimanapun cara engkau mengatakannya, atau ucapan asal bunyi. Orang yang
berbicara semacam ini akan berkata-kata semaunya tanpa ada rem sedikitpun
terhadap lisannya. Umumnya, hatinya akan mengekor di belakang lisannya. Dan
orang semacam ini akan berangkat menuju keterjauhan dari sisi jalan menuju
Allah dan mengarah kepada kerugian.
Atau,
adakalanya engkau menjadi bagian dari orang yang memposisikan lisannya di
belakang hatinya, orang semacam ini akan senantiasa dituntun oleh hatinya untuk
menuju ketinggian derajat di hadapan Allah SWT dan demikian pula dengan
lisannya. Keadaan orang seperti ini adalah orang yang senantiasa
menimbang-nimbang kalimat sebelum mengucapkannya dan dia pun mengetahui mengapa
harus mengucapkannya.
Para
ulama menjelaskan bahwa, di antara kejadian-kejadian yang dialami oleh Nabi SAW
pada malam Isra dan Mi’raj adalah beliau SAW melihat ada segumpal asap tebal
yang keluar dari lubang yang kecil, kemudian asap itu mencoba untuk kembali ke
dalam lubang tersebut, namun tak lagi dapat kembali. Nabi SAW pun menanyakan
hal itu dan dijawab oleh pemiliknya, lalu ia menyesali telah mengucapkannya dan
berharap kalau saja ucapan itu dapat ditarik kembali dan ia tidak
mengucapkannya. Namun ia sudah tidak dapat lagi menariknya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar