Oleh Ayatullah Murtadha Muthahhari
Apa nilai mukjizat? Ahli logika dan ahli
filsafat membagi materi yang digunakan untuk memperdebatkan urusan ini menjadi
beberapa jenis. Sebagian argumen ada nilai tahkiknya. Argumen-argumen tersebut
sangat kuat, seperti yang terjadi pada data yang digunakan ahli matematika.
Sebagian argumen lainnya hanya memiliki nilai persuasif, seperti yang terjadi
pada argumen-argumen yang diajukan ahli retorika. Namun sepanjang tidak
dianalisis, argumen-argumen seperti itu ternyata sangat mengesankan. Sebagian
argumen lainnya semata-mata emosional atau ada nilainya yang lain.
Nilai
Mukjizat Menurut Al-Qur’an
Al-Qur’an Suci menggambarkan mukjizat
para nabi sebagai tanda dan bukti yang kuat, dan memandangnya sebagai bukti
yang meyakinkan dan logis tentang eksistensi Allah. Al-Qur’an Suci juga
menganggap alam semesta sebagai bukti eksistensi-Nya yang tak terbantahkan.
Al-Qur’an Suci membicarakan dengan saksama masalah mukjizat. Al-Qur’an
memandang permintaan orang akan mukjizat dan ketaksudian mereka menerima nabi
kecuali kalau mereka sudah menyaksikan mukjizatnya, dapat dibenarkan dan masuk
akal, asalkan permintaan tersebut bukan untuk maksud-maksud tersembunyi atau
sekadar iseng. Dengan fasih Al-Qur’an Suci membawakan banyak kisah tentang jawaban
praktis para nabi terhadap permintaan-permintaan seperti itu. Al-Qur’an Suci
tak pernah menunjukkan bahwa mukjizat hanyalah argumen persuasif yang cocok
untuk orang bodoh dan untuk periode ketika manusia masih belum matang.
Al-Qur’an Suci justru menyebut mukjizat sebagai bukti yang nyata.
Karakter
Petunjuk Nabi saw
Mukjizat “Nabi terakhir” yang berupa
Al-Qur’an, sebuah Maha-karya sastra dan sebuah khazanah budaya dan ilmu
pengetahuan, merupakan mukjizat yang abadi. Banyak di antara segi-segi mukjizat
Al-Qur’an berangsur-angsur mulai terungkap. Sebagian segi luar biasa dari
Al-Qur’an yang kini telah diketahui oleh manusia di zaman kita, di masa lalu
tidak diketahui dan tak dapat diketahui. Nilai mukjizat-Al-Qur’an lebih
dimengerti oleh pemikir ketimbang orang biasa. Memang mukjizat ini, berkat
nilai-nilai khususnya, cocok untuk periode akhir kenabian. Namun apakah juga
benar bahwa mukjizat ini memiliki karakter sebuah kitab lantaran antara lain
dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian manusia dari masalah gaib ke masalah
nyata, dari masalah yang tidak rasional ke masalah yang rasional dan logis, dan
dari masalah supranatural ke masalah natural? Apakah Nabi Muhammad saw berupaya
mengalihkan rasa ingin tahu orang dari masalah-masalah yang luar biasa dan supranatural
ke masalah-masalah yang rasional, logis, intelektual, ilmiah, sosial dan moral,
dan berupaya mengalihkan rasa ingin tahu mereka dari masalah yang luar biasa ke
realitas? Kelihatan itu tidak benar. Andaikata benar, berarti para nabi lainnya
mengajak orang untuk memperhatikan masalah-masalah gaib, dan hanya Nabi
Muhammad saw sajalah yang mengajak orang untuk memperhatikan masalah-masalah
nyata. Kalau memang begini, kenapa sampai ratusan ayat Al-Qur’an Suci
memaparkan tentang mukjizat?
Memang benar, salah satu karakter pokok
Al-Qur’an Suci adalah mengajak orang untuk mengkaji alam dan memaparkan
fenomena alam sebagai ayat-ayat Allah. Namun ajakan untuk mengkaji alam tidak
berarti mengalihkan perhatian orang dari segala sesuatu yang tak ada hubungannya
dengan alam. Ajakan untuk mengkaji fenomena alam sebagai ayat-ayat (tanda-tanda
kekuasaan—pen.) Allah SWT justru berarti melangkah dari alam menuju yang di
luar alam, dan dari yang kasat mata ke yang dapat dimengerti akal.
Arti penting karya Nabi Muhammad saw
terletak pada fakta bahwa di samping mengajak orang untuk mengkaji alam,
sejarah dan masyarakat, Nabi Muhammad saw juga meyakinkan orang-orang yang
hanya mau menerima yang supranatural untuk mau menerima akal, logika dan ilmu
pengetahuan juga. Nabi saw juga berupaya membuat orang-orang yang keranjingan
akal dan logika, dan maunya hanya menerima yang natural dan yang lahiriah saja
untuk mengenal logika yang lebih tinggi juga.
Perbedaan pokok antara dunia yang
dikemukakan oleh agama sebagai keseluruhan, dan khususnya Islam, dan dunia yang
digambarkan filsafat dan ilmu pengetahuan murni, adalah bahwa, seperti
dikatakan William James, dalam konstruksi dunia agama, unsur-unsur lain
tertentu hilang di samping unsur-unsur material dan hukum-hukum yang lazim dikenal
manusia.
Al-Qur’an Suci tak mau mengalihkan
perhatian orang dari hal-hal alamiah dan lahiriah ke hal-hal supranatural dan
non-lahiriah. Nilai penting Al-Qur’an Suci terletak pada fakta bahwa di samping
memperhatikan hal-hal yang alamiah atau, dalam kata-kata Al-Qur’an Suci, nyata,
Al-Qur’an juga menempatkan iman kepada yang gaib di garis terdepan ajarannya.
Al-Qur’an memfirmankan:
Kitab (Al-Qur’an) ini tak ada keraguan
padanya. Petunjuk bagi mereka yang takwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang
gaib. (QS. al-Baqarah: 2-3)
Mana mungkin Al-Qur’an Suci mengalihkan
perhatian orang dari yang supranatural padahal Al-Qur’an itu sendiri adalah
mukjizat (yang juga supranatural—pen.), dan sedemikian banyak mukjizat lainnya
dipaparkan dalam lebih dari seratus ayatnya.
Kami tak dapat memahami apa maksud
perkataan bahwa Al-Qur’an adalah satu-satunya mukjizat yang bukan saja diimani
oleh orang-orang yang mempercayai hal-hal yang supranatural.
Percaya yang bagaimana? Apakah maksud si
penulis adalah percaya bahwa Al-Qur’an adalah sebuah kitab yang isinya sangat
bemilai dan tinggi, atau percaya bahwa Al-Qur’an adalah mukjizat? Percaya bahwa
sesuatu itu mukjizat, dalam pengertian bahwa itu adalah mukjizat Allah, berarti
mempercayai kesupranaturalannya. Mana mungkin seseorang mempercayai mukjizat
dan sekaligus tidak mempercayai sesuatu yang supranatural?
Sudah disebutkan bahwa mukjizat Nabi
Muhammad saw bukan bagian dari masalah-masalah non-manusiawi, sekalipun
mukjizat Nabi saw itu merupakan suatu karya non-manusiawi. Bagi kami, makna
pernyataan ini juga tidak jelas, karena dapat ditafsirkan dengan dua cara:
pertama, bisa berarti bahwa Al-Qur’an yang merupakan kitab wahyu, yang
penyusunnya bukan Nabi Muhammad saw, merupakan suatu karya non-manusiawi.
Namun, sekalipun Al-Qur’an merupakan firman Allah, bukan kata-kata manusia,
namun Al-Qur’an termasuk dalam kategori masalah-masalah manusiawi dan merupakan
suatu karya biasa, seperti karya-karya manusiawi lainnya.
Kelihatannya mustahil kalau ini yang
dimaksud si penulis, karena kalau pandangan ini diterima, maka Al-Qur’an tak
ada bedanya dengan kitab-kitab wahyu lainnya. Kitab-kitab wahyu lainnya juga
berasal dari sumber wahyu yang sama. Namun karena kitab-kitab tersebut tak ada
aspek supranaturalnya, maka tidak termasuk dalam kategori karya
supra-manusiawi.
Ada kategori sabda Nabi Muhammad saw
yang dikenal dengan sebutan hadis Qudsi. Sabda-sabda ini merupakan wahyu Allah
meski tidak mukjizat dan juga tidak supra-manusiawi. Al-Qur’an Suci beda dengan
kitab-kitab wahyu lainnya dan beda dengan hadis Qudsi karena Al-Qur’an
supra-manusiawi. Al-Qur’an adalah wahyu, supra-manusiawi dan supranatural.
Itulah sebabnya Al-Qur’an menyebutkan:
Katqkanlah: “Sesungguhnya jika manusia
dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak
akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi
pembantu bagi sebagian yang lain.” (QS. al-Isrâ’: 88)
Interpretasi lain mengenai wahyu
tersebut di atas bisa berupa, bahwa tak seperti mukjizat nabi-nabi lainnya
seperti mengubah tongkat menjadi ular besar dan menghidupkan mayat—dan kedua
perbuatan ini bukan tergolong perbuatan manusia—mukjizat Nabi Muhammad saw,
yang berupa kepiawaian berbicara, tergolong perbuatan manusia, meski tetap
supra-manusia, karena sumbernya adalah sumber supranatural. Kalau interpretasi
ini yang dimaksud, maka paparan ini sendiri merupakan pengakuan bahwa ada yang
supranatural dan yang luar biasa, dan bahwa ada hal-hal yang gaib. Kemudian
mengapa kita menganggap mukjizat seakan-akan sesuatu yang bersifat mitos dan
irasional. Keriapa dari awal kita tidak membedakan saja antara mukjizat di satu
pihak dan mitos serta takhayul di lain pihak, sehingga orang-orang yang kurang
tahu, kesannya tentang mukjizat jangan sampai seperti yang tidak kita
kehendaki. Kenapa bukannya mengatakan dengan jelas dan apa adariya bahwa
kitabnya Nabi Muhammad saw (Al-Qur’an—pen.) adalah sebuah mukjizat, tetapi
malah secara tak langsung mengatakan bahwa mukjizat Nabi Muhammad saw adalah
Al-Qur’an?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar