Barangkali selama ini kita
memiliki suatu pandangan bahwa seluruh sahabat Nabi Muhammad Al-Mustafa (tanpa
kecuali) adalah contoh-contoh dan suri teladan yang patut kita teladani dan
mereka itu pada masa hidupnya tak tersentuh oleh nafsu duniawi, mereka bersih
dari dosa, mereka tidak serakah dan senantiasa berbuat baik. Barangkali selama
ini juga kita memiliki pandangan bahwa semua sahabat itu saling mencintai satu
sama lainnya, mereka bekerja sama untuk menuju cita-cita Islam, mereka jauh
dari saling membenci dan saling iri hati satu sama lainnya. Akan tetapi pandangan itu ternyata jauh
panggang dari api.
Pandangan itu tidak sesuai
dengan kenyataan sejarah. Memang, kita sebenarnya berharap bahwa hal itu benar,
akan tetapi fakta-fakta dan bukti-bukti sejarah malah tidak mendukung sama
sekali apa yang sudah diyakini sebagai kebenaran –yang ternyata politis ini.
Fakta-fakta sejarah yang kejam merobek-robek pandangan-pandangan itu, sehingga
orang-orang yang mengagumi para sahabat akan terhenyak di kursinya apabila
kenyataan sejarah yang sebenarnya sampai pada mereka semua.
Mereka hampir-hampir
semuanya tidak sanggup menerima kenyataan bahwa keutamaan-keutamaan para
sahabat yang mereka kagumi hanyalah mitos belaka. Seorang pengagum yang paling
fanatik pun tidak bisa menyangkal bahwa ada pergulatan kekuasaan diantara para
sahabat yang memuncak bahkan sebelum Rasulullah dikebumikan sekalipun. Mereka
tidak bisa menyangkal sedikitpun bahwa pergulatan politik seperti itu memang
ada dan pernah terjadi.
Oleh karena itu,
bukti-bukti sejarah yang melimpah yang tertulis dalam berbagai buku sejarah
Islam yang standar itu bisa kita pakai untuk merekonstruksi sejarah,
merekonstruksi pandangan kita terhadap para sahabat, merekonstruksi keyakinan
kita akan Islam karena dari para sahabatlah kita mendapatkan Islam. Sedangkan
para sahabat itu tidak semua bisa kita percayai sesuai dengan apa yang kita
lihat dalam sejarah.
Tidak masuk akal sehat kita
apabila para sahabat itu sama semua dari segala aspeknya termasuk aspek
keimanan dan ketakwaan. Bahkan para Nabi pun memiliki berbagai tingkatan
ruhaniah, apalagi para sahabat yang hanya manusia biasa. Tidak ada dua orang
yang memiliki semua tingkat keimanan dan ketakwaan yang serupa.
Ketika mereka menerima
Islam sebagai agama mereka, para sahabat Nabi itu adalah manusia biasa dan
mereka memiliki preferensi yang berbeda-beda terhadap Islam. Masyarakat Islam
yang ada pada waktu itu sama saja dengan yang ada pada hari ini. Masyarakat
Islam pada waktu itu terdiri dari berbagai umat manusia dengan setiap karakter
yang berbeda-beda.
Setelah memeluk Islam,
beberapa dari mereka sanggup mencapai derajat keIslaman yang tinggi bahkan
mencapai ke-ma’shuman seperti contohnya Imam Ali as, sedangkan yang lainnya
tetap sama—keadaan sebelum dan sesudah masuk Islam sama saja. Satu contoh kecil
boleh disebutkan, yaitu ketika Khalid bin Walid tetap tidak menyukai Imam Ali
bin Abi Thalib karramallahu wajhah setelah memeluk Islam, karena ayahnya gugur
di tangan Imam Ali dalam Perang Badar, ketika 313 pasukan Muslim membela diri dari
1000 pasukan Qurays yang menyerang mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar