Kemudian,
Jibril as datang untuk mengabarkan kepada Rasulullah saw, bahwa Allah telah
menikahkan Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib. Tak lama setelah itu, Ali datang
menghadap Rasulullah dengan perasaan malu menyelimuti wajahnya untuk meminang
Fatimah. Sang ayah pun menghampiri putri tercintanya untuk meminta pendapatnya
seraya menyatakan, “Wahai Fatimah, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang telah
kau kenali kekerabatan, keutamaan, dan keimanannya. Sesungguhnya aku telah
memohonkan pada Tuhanku agar menjodohkan engkau dengan sebaik-baik mahkluk-Nya
dan seorang pecinta sejati-Nya. Ia telah datang menyampaikan pinangannya
atasmu, bagaimana pendapatmu atas pinangan ini?” Fatimah diam, lalu Rasulullah
pun mengangkat suaranya seraya bertakbir, “Allahu Akbar! Diamnya adalah tanda
kerelaannya.” [Dzakha’ir Al-Ukba, hal. 29]
Rasulullah
saw kembali menemui Ali as sambil mengangkat tangan sang menantu seraya
berkata, “Bangunlah! ‘Bismillah, bi barakatillah, masya’ Allah la quwwata
illa billah, tawakkaltu ‘alallah.”
Kemudian,
Nabi saw menuntun Ali dan mendudukkannya di samping Fatimah. Beliau berdoa, “Ya
Allah, sesungguhnya keduanya adalah makhluk-Mu yang paling aku cintai, maka
cintailah keduanya, berkahilah keturunannya, dan peliharalah keduanya.
Sesungguhnya aku menjaga mereka berdua dan keturunannya dari setan yang
terkutuk.” Rasulullah mencium keduanya sebagai tanda ungkapan selamat
berbahagia. Kepada Ali, beliau berkata, “Wahai Ali, sebaik-baik istri adalah
istrimu.”
Dan kepada Fatimah, beliau menyatakan, “Wahai Fatimah, sebaik-baik suami adalah suamimu.”
Acara
pernikahan itu berlangsung dengan kesederhanaan. Saat itu, Ali tidak memiliki
sesuatu yang bisa diberikan sebagai mahar kepada sang istri selain pedang dan
perisainya. Untuk menutupi keperluan mahar itu, ia bermaksud menjual pedangnya.
Tetapi Rasulullah saw mencegahnya, karena Islam memerlukan pedang itu, dan setuju
apabila Ali menjual perisainya.
Setelah
menjual perisai, Ali menyerahkan uangnya kepada Rasulullah saw. Dengan uang
tersebut beliau menyuruh Ali untuk membeli minyak wangi dan perabot rumah
tangga yang sederhana guna memenuhi kebutuhan keluarga yang baru ini. Kehidupan
mereka sangat bersahaja. Rumah mereka hanya memiliki satu kamar, letaknya di
samping masjid Nabi saw. Mereka menemukan saat-saat indah bukan dalam kemewahan
dan rumah tangga yang gemerlap, tapi pada waktu bersujud dan isak tangis
dihadapan Yang Mahakuasa. Rasulullah saw membimbing keluarga muda ini dengan
penuh perhatian.
Pada
suatu hari Nabi saw menemukan Fatimah sedang menggiling tepung. Ia memakai
pakaian dari kulit unta, nabi menangis dan ia berkata, “Wahai Fatimah, kau
teguk kepahitan dunia ini untuk kebagahiaan di akherat nanti”. Fatimah
berkata, “Alhamdulillah atas segala nikmat-nya dan syukur kepada Allah atas
segala anugrah-Nya.” [Tafsir al-Tsa’labi, Al-Qusyairi, dan al-Dur
al-Mantsur]
Kehidupan
suami istri adalah ikatan yang sempurna bagi dua kehidupan manusia untuk
menjalin kehidupan bersama.Kehidupan keluarga dibangun atas dasar kerjasama,
tolong menolong, cinta, dan saling menghormati. Kehidupan Ali dan Fatimah
merupakan teladan bagi kehidupan suami istri yang bahagia. Azzahra senantiasa
memberikan semangat kepada suaminya, membantunya berjihad dan berperang bersama
Rasulullah menegakkakn kalimat tauhid. Bahkan dalam peperangan, Fatimah sering
ikut dan merawat luka Rasulullah dan suaminya sendiri. Ia menghilangkan
sakitnya, membuang keletihannya, sehingga Ali mengatakan, “ketika aku
memandangnya, hilanglah kesusahan dan kesedihanku” [Al-Khawarizmi,
Al-Manaqib,hal. 256]
Pembicaraan
mereka penuh dengan adab dan sopan santun. “Ya binta Rasulillah”; wahai putri
Rasul, adalah panggilan yang biasa digunakan Imam Ali setiap kali ia menyapa
Fatimah. Sementara Sayidah Fatimah sendiri menyapanya dengan panggilan “Ya
Amirul Mukminin” wahai pemimpin kaum mukmin. Demikianlah kehidupan Imam Ali dan
Sayidah Fatimah. Keduanya adalah teladan bagi kedua pasangan suami-istri, atau
pun bagi orang tua terhadap anak-anaknya.
Keluarga
Azzahra dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang kepada suami dan
anak-anaknya. Pada tahun ke-2 Hijriah, Fatimah melahirkan putra pertamanya yang
oleh Rasulullah saw diberi nama “Hasan”. Rasul saw sangat gembira sekali atas
kelahiran cucunda ini. Beliau pun menyuarakan azan pada telinga kanan Hasan dan
iqamah pada telinga kirinya, kemudian dihiburnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
Setahun
kemudian lahirlah Husain. Demikianlah Allah SWT berkehendak menjadikan
keturunan Rasulullah saw dari Fatimah Azzahra as. Rasul mengasuh kedua cucunya
dengan penuh kasih dan perhatian. Tentang keduanya beliau senantiasa
mengenalkan mereka sebagai buah hatinya di dunia.
Bila
Rasulullah saw keluar rumah, beliau selalu membawa mereka bersamanya. Beliau
pun selalu mendudukkan mereka berdua di haribaannya dengan penuh kehangatan.
Suatu hari Rasul saw lewat di depan rumah Fatimah as. Tiba-tiba beliau
mendengar tangisan Husain. Kemudian Nabi dengan hati yang pilu dan sedih
mengatakan, “Tidakkah kalian tahu bahwa tangisnya menyedihkanku dan menyakiti
hatiku.”
Satu
tahun berselang, Fatimah as melahirkan Zainab. Setelah itu, Ummu Kultsum pun
lahir. Sepertinya Rasul saw teringat akan kedua putrinya Zainab dan Ummu
Kultsum ketika menamai kedua putri Fatimah itu dengan nama-nama tersebut. Dan
begitulah Allah SWT menghendaki keturunan Rasul saw berasal dari putrinya
Fatimah Zahra.
Muhammad Al Baqir ibn Ali Assajjad ibn Husain putra
Fatimah mengatakan, “Mengapa Fatimah dinamakan Azzahra?” ia menjawab,
“karena Allah SWT menciptakannya dari cahaya keagungan-Nya, ketika ia bersinar
, ia menerangi langit dan bumi dengan cahayanya, menutupi pandangan-pandangan
para malaikat lalu mereka sujud kepada Allah dan bertanya, “Tuhan kami dan
junjungan kami, cahaya apakah ini? Maka Allah menjawab, ‘ini adalah cahaya dari
cahaya-Ku. Aku tempatkan ia dilangit-Ku dan aku ciptakan dia dari keagungan-Ku.
Aku keluarkan dia dari sulbi seorang Nabi-ku yang Aku utamakan atas sekalian
Nabi.. ” [ Al-Bihar, Jus 43. Hal 12]
Rasulullah saw mengatakan, “cukuplah bagimu
wanita-wanita di seluruh alam dengan Maryam binti Imran, Khadijah binti
Khuwailid.Fatimah binti Muhammad, dan Asiyah binti Muzahim” [Kasyf
Al-Ghummah, II, hal. 76]
Aisyah mengatakan “Belum pernah saya melihat seorang
pun yang lebih benar bicaranya dibandingkan Fatimah, kecuali ayahnya.”
[Kasyf Alghummah II,hal. 8; Dzakha’ir Al-‘Ukba, hal. 44]
Rasulullah saw mengatakan, “wahai Fatimah,
sesungguhnya Allah marah dengan kemarahanmu dan rida dengan keridaanmu”
[Yanabi’ Al-Mawaddah, hal. 99]
Kita ketahui dengan pasti, Allah tidak akan rida kepada
sesuatu yang buruk dan bertentangan dengan kebenaran.
Rasulullah saw juga mengatakan “Fatimah adalah bagian
dari diriku, barang siapa membuatnya marah berarti ia membuatku marah.” [Shahih
Al-Bukhari, II, hal.203]
Dapat kita perhatikan disini bahwa Fatimah juga memiliki
akhlak yang agung serta suci dari dosa, dan kejahatan, karena Nabi sendiri
adalah utusan Allah yang suci. Sebagaimana tentangnya Allah SWT berfirman, “Dan
sungguh engkau (muhammad) benar-benar memiliki akhlak yang mulia,”
[QS.Al-Qalam:4] dan bahwa ia, “tidak berbicara menurut hawa nafsunya;
ucapannya tidak lain dari wahyu yang diwahyukan,” [QS.Ann-Najm:4] dengan
demikian, tidak mungkin kemarahan dan keridaan Rasulullah saw bertentangan
dengan Fatimah sendiri.
Fatimah adalah Ahlulbait Nabi, dialah yang disebutkan
dalam Al-Quran “sesungguhnya Allah berkeinginan untuk menghilangkan kotoran
dari kamu, hai Ahlulbait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya” [QS.Al-Ahzab:
33]
Imam Hasan meriwayatkan, “Aku belum pernah melihat
seorang wanita yang lebih alim daripada ibuku. Ia selalu melakukan solat dengan
begitu lama sehingga kakinya menjadi bengkak.” Imam Hasan juga
meriwayatkan:
“Aku melihat ibuku, Fatimah
berdiri solat pada malam Jumat. Beliau meneruskan solatnya dengan rukuk dan
sujud sehingga subuh. Aku mendengar beliau AH berdoa untuk kaum mu’minin dan
mu’minah dengan menyebut nama-nama mereka. Beliau berdoa untuk mereka semua
tetapi beliau AH tidak berdoa untuk dirinya sendiri. “Ibu,” Aku bertanya kepada
beliau “Mengapa ibu tidak berdoa untuk diri sendiri sebagaimana ibu berdoa
untuk orang lain?” Beliau menjawab,” Anakku, (berdoalah) untuk tetangga-tetanggamu diutamakan dan kemudian barulah dirimu sendiri.”[Bihar al-Anwar, Jilid 43, hlm.81-82; Abu Muhammad
Ordooni, Fatimah The Gracious, hlm.168-169;Sayyid Abdul Razak Kammoonah
Husseini, Al-Nafahat al-Qudsiyyah fi al-Anwar al-Fatimiyyah, Juz 13, hlm.45]
Rasul pernah menyifati putrinya, Fatimah dengan sabdanya,
“Allah telah memenuhi hati dan seluruh anggota tubuh Fatimah dengan keimanan
dan keyakinan.” Kepada putrinya itu, beliau pernah bersabda, “Fatimah, Allah
telah memilihmu dan menghiasimu dengan makrifat dan pengetahuan. Dia juga telah
membersihkanmu dan memuliakanmu di atas wanita seluruh jagat.“
Kecintaan Rasulullah SAW kepada Fatimah Zahra merupakan
satu hal khusus yang layak untuk dipelajari dari kehidupan beliau. Di saat
bangsa Arab menganggap anak perempuan sebagai pembawa sial dan kehinaan, Rasul
memuliakan dan menghormati putrinya sedemikian besar. Selain itu, Rasulullah
SAW biasa memuji seseorang yang memiliki keutamaan. Beliau mencintai dan memuji Fatimah sedemikian, semata-mata karena
mengetahui kedudukannya yang tinggi. Dialah perempuan teladan dalam Islam.
Fatimah ditanya tentang apa yang paling baik untuk
perempuan? “yang baik bagi perempuan adalah mereka tidak memandang laki-laki
dan laki-laki tidak memandang mereka” beliau ingin menegaskan disini pentingnya
menjaga hijab dan kesucian diri. Perempuan yang selalu menjaga harga dirinya
dan memelihara kemuliaannya. Ia berhijab dan keluar dari rumahnya dengan
sederhana tanpa berlebihan, menutupi tubuhnya yang dapat menggoda dan juga
perhiasannya dari laki-laki nonmuhrim, tidak memandang mereka dan mereka tidak
memandangnya.
Kecintaan Fatimah AS kepada Tuhan disebut oleh Rasulullah
sebagai buah dari keimanannya yang tulus. Beliau bersabda, “Keimanan kepada
Allah telah merasuk ke kalbu Fatimah sedemikian dalam, sehingga membuatnya
tenggelam dalam ibadah dan melupakan segalanya.” Manusia yang mengenal
Tuhannya akan menghiasi perilaku dan tutur katanya dengan akhlak yang terpuji.
Kasih sayang dan kelemah-lembutan Fatimah AS diakui oleh
semua orang yang hidup sezaman dengannya. Dalam sejarah disebutkan bahwa kaum
fakir miskin dan mereka yang memiliki hajat, akan datang ke rumah Fatimah
ketika semua jalan yang bisa diharapkan membantu mengatasi persoalan mereka
telah tertutup. Fatimah tidak pernah menolak permintaan mereka, padahal
kehidupannya sendiri serba berkekurangan.
Poin penting lain yang dapat dipelajari dari kehidupan
dan kepribadian penghulu wanita sejagat ini adalah sikap tanggap dan peduli
yang ditunjukkan beliau terhadap masalah rumah tangga, pendidikan dan masalah
sosial. Banyak yang berprasangka bahwa keimanan dan penghambaan yang tulus
kepada Allah akan menghalangi orang untuk berkecimpung dalam urusan dunia.
Kehidupan Sayyidah Fatimah Azzahra AS mengajarkan kepada semua orang akan hal
yang berbeda dengan anggapan itu. Dunia di mata beliau adalah tempat kehidupan,
meski demikian hal itu tidak berarti harus dikesampingkan. Beliau menegaskan
bahwa dunia laksana anak tangga untuk menuju ke puncak kesempurnaan, dengan
syarat hati tidak tertawan oleh tipuannya. Fatimah AS berkata, “Ya Allah,
perbaikilah duniaku bergantungnya kehidupanku. Perbaikilah kondisi akhiratku,
karena ke sanalah aku akan kembali. Panjangkanlah umurku selagi aku masih bisa
berharap kebaikan dan berkah dari dunia ini…”
Detik-detik akhir kehidupannya telah tiba. Duka dan
derita terasa amat berat untuk dipikul oleh putri tercinta Nabi ini. Meski
demikian, dengan lemah lembut Fatimah bersimpuh di hadapan Sang Maha Pencipta
mengadukan keadaannya. Asma berkata, “Saya menyaksikan saat itu Fatimah
mengangkat tangannya dan berdoa, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan
perantara kemuliaan Nabi dan kecintaannya kepadaku. Aku memohon kepada-Mu
dengan nama Ali dan kesedihannya atas kepergianku. Aku memohon kepada-Mu dengan
perantara Hasan dan Husein serta derita mereka yang aku rasakan. Aku memohon
kepada-Mu atas nama putri-putriku dan kesedihan mereka. Aku memohon, kasihilah
umat ayahku yang berdosa. Ampunilah dosa-dosa mereka. Masukkanlah mereka ke
dalam surga-Mu. Sesungguhnya Engkau Dzat Yang Maha Pengasih dari semua
pengasih.”
Sebelum ajal datang menjemputnya, Fatimah Azzahra AS
menghadap kiblat setelah sebelumnya berwudhu. Beliau mengangkat tangan dan
berdoa, “Ya Allah, jadikanlah kematian bagai kekasih yang aku nantikan. Ya
Allah, curahkanlah rahmat dan inayah-Mu kepadaku. Tempatkanlah ruhku di tengah
arwah orang-orang yang suci dan jasadku di sisi jasad-jasad mulia. Ya Allah,
masukkanlah amalanku ke dalam amalan-amalan yang Engkau terima.”
Tak lama sepeninggal Rasullulah saw, Sayidah Fatimah
Azzahra menyusul kehadirat Ilahi. Tanggal 3 Jumadi Tsani tahun 11 Hijriyyah,
Fatimah Zahra putri kesayangan Nabi menutup mata untuk selamanya. Beliau wafat
meninggalkan pelajaran-pelajaran yang berharga bagi kemanusiaan. Hari ini, kami
mengucapkan belasungkawa kepada para pecinta keluarga suci Rasul. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar