Di Indonesia pendakwah ajaran Islam tak dapat dipastikan
apakah Sunni atau Syiah yang datang terlebih dahulu, sebagaimana madzhab
leluhur para habib di Hadramaut yang masih diperdebatkan apakah Sunni, Syiah
atau bahkan membuat madzhab sendiri. Karena itulah budaya, simbol-simbol
Syiah melekat kuat dengan budaya Sunni di Indonesia. Kecintaan akan
keluarga Nabi SAW melekat dengan erat, di antaranya:
pujian,
sholawat, tawasulan pada para imam Syiah termaktub dalam syair-syair, dll,
hikayat
dan cerita kepahlawanan keluarga Nabi SAW, tradisi-tradisi yang mirip dengan budaya Syiah, seperti
tabot, tahlil kepada yang telah meninggal, rabo wekasan, primbon, larangan
berhajat di bulan suro, istilah-istilah keagamaan,
dsb
seperti syuro,
kenduri, dan hal-hal lain yang serupa itu.
Nahdhatul
Ulama, misalnya, sebagai salah satu mainstream Sunni di Indonesia
bahkan menghormati, mengagungkan dan mentaati keturunan Nabi SAW, demikian halnya dengan Syiah. Dalam mengatasi ayat-ayat mutasyabihat berkenaan dengan Tuhan, kedua golongan
ini sama-sama menakwilkan sesuai dengan posisi Tuhan, bukan
memakai arti lahiriah ayat tersebut. Jika dalam NU ada saudara mereka yang
meninggal, mereka mendoakannya dalam acara tersendiri,
tahlilan. Begitu juga dengan Syiah. NU mengajarkan kebolehan tawasul, begitu
pula dengan Syiah. NU mengenal tabaruk, sama halnya dengan
Syiah. Poin-poin terakhir di atas
itulah yang membuat golongan muslim kecil
imporan naik darah lantas mengkafir-musyrikan dan siap-siap
menghunuskan pisau untuk mengalirkan darah penganut NU dan Syiah untuk taqarub kepada Allah.
Dua
golongan ini, NU dan Syiah memang memiliki banyak kesamaan. Kedua-keduanya sudah dicap sesat dan kafir oleh kelompok
Islam kecil lainnya. Tak jarang untuk mengadu domba dan mempertajam perseteruan
kedua kelompok ini, ada oknum yang mengaburkan, mengganti bahkan menghilangkan
redaksi-redaksi dalam kitab-kitab rujukan Sunni-Syiah. Masalah yang seringkali
dibentrokkan dengan golongan Sunni adalah imamah Ali dan 11 keturunannya,
tahrif al-Quran, doktrin keadilan sahabat nabi, nikah mut’ah, taqiyah,
dll.
Keimamahan
ahli bayt merupakan salah satu rukun dalam
Syiah. Namun bukan berarti orang yang tidak meyakini dan mengikutinya kafir.
Begitulah yang dikatakan para imam Syiah.
Imam Abu Ja'far, Muhammad
Al-Baqir as, berkata, seperti tercantum dalam Shahih Hamran bin A'yan: "Agama
Islam dinilai dari segala yang tampak dari perbuatan dan ucapan. Yakni yang
dianut oleh kelompok-kelompok kaum Muslim dari semua firqah (aliran). Atas
dasar itu terjamin nyawa mereka, dan atas dasar itu berlangsung pengalihan
harta warisan. Dengan itu pula dilangsungkan hubungan pernikahan. Demikian pula
pelaksanaan shalat, zakat, puasa, dan haji. Dengan semua itu mereka keluar dari
kekufuran dan dimasukkan ke dalam keimanan."
Mengenai tahrif al-Quran, umat Islam sepakat bahwa hal ini merupakan
masalah besar. Siapapun yang meyakini bahwa al-Quran telah berubah, baik kurang
atau ditambah, maka dihukumi kafir. Sayangnya, pengeritik dan pencela
Syiah
tidak melihat langsung kondisi sebenarnya di Iran, melihat langsung al-Quran
yang tersebar seantero Iran yang sama dengan yang dibawa umat Islam lainnya.
Masih ingat dengan “Mukjizat Abad 20: Doktor Cilik
Hafal dan Paham Al-Quran”
yang best seller di Indonesia, Masih sama kan dengan al Quran
yang dibaca dan dihafal kelompok Sunni? Adapun riwayat-riwayat hadits, sahabat
atau ulama yang mengatakan adanya tahrif al-Quran sebenarnya
juga bertebaran tak hanya di kitab-kitab Syiah saja tapi
juga ada di kitab-kitab Sunni. Itupun ada yang belum dipastikan sahih
riwayatnya atau tidak dan juga tidak menjustifikasi si
empunya kitab sebagai penganut tahrif, bahkan mungkin ia menolak mentah-mentah. Jika ada oknum di
suatu golongan yang meyakini tahrif, maka itu tidak menegaskan semua golongan
itu meyakini tahrif. Baik Sunni maupun Syiah mempunyai
oknum yang meyakini adanya tahrif tersebut. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar