Salah-satu
hal yang cukup memprihatinkan dunia kesusastraan dan intelektual adalah seputar
tingkah-polah “kritikus” atau para penulis-pengulas karya yang lebih memerankan
diri sebagai promotor atau “makelar-marketing” –hingga mereka hanya mampu
mengutarakan pujian-pujian gombal sebagai upaya pembelaan kelompok atau dalam
rangka memunculkan seseorang –dan sebaliknya, tanpa diiringi dengan semangat
untuk mengetahui lebih intim dan membaca lebih peka karya yang ditulis itu
sendiri. Barangkali kita akan menyebut perilaku dan fenomena tersebut sebagai
“politisasi kritik sastra”, yang tentu saja hanya akan menyuburkan perilaku
tidak adil untuk melihat karya sastra itu sendiri.
Landasan
utama kritik sastra adalah kejujuran dan sikap mengesampingkan terlebih dahulu
siapa seorang penulis ketika membaca sebuah karya –bukan sebaliknya, di mana
simpulan-simpulan dan argumentasi-argumentasi tulisan kritik sastra akan
disemangati oleh kehendak dan upaya untuk membaca karya itu sendiri, bukan
untuk memunculkan atau pun menyerang “figur” atau pun “nama diri” seorang
penulis atau pun pengarang.
Yang
juga penting adalah untuk menjaga agar sebuah esei atau ulasan kritik-sastra
tidak berubah menjadi gosip yang sifatnya ad hominem, dalam artian lebih banyak
membicarakan penulisnya ketimbang karyanya.
Semangat
politis yang berlebihan seperti yang dirasakan dan dialami banyak penulis atau
seniman, pada akhirnya hanya akan mengalahkan dan meniadakan kejujuran estetik
itu sendiri –membuat mata tak lagi bisa melihat, dan telinga jadi tersumbat
dari semangat estetika untuk mengafirmasi dan membela kepekaan hidup dan dari
upaya sungguh-sungguh untuk menyelami karya yang ditulis oleh siapa saja.
Kritik
sastra yang baik adalah kritik sastra yang imbang –dalam arti membicarakan atau
pun mengulas kelebihan, sumbangan, keunikan sebuah karya yang dibahas dan
dibicarakan, sekaligus tidak menutup-nutupi aspek-aspek kelemahan, kekurangan,
warisan, dan jejak-jejak karya-karya lain yang ditulis sebelumnya dalam sebuah
karya yang tengah dibicarakan dan dibahas oleh sebuah tulisan atau ulasan
kritik sastra.
Jikalau
pun ada upaya untuk memenangkan atau mengalahkan satu atas lainnya, tetap saja
dalam posisi dan kadar pembicaraan karyanya, bukan penulisnya atau penyairnya
–hingga nama diri pengarang dan penulis disebut pun bukan dalam rangka mengatasnamakan
mereka, tetapi lebih merupakan rujukan sementara saja dalam tulisan atau pun
ulasan sebuah esai atau pun ulasan kritik sastra.
Dengan
ini barangkali kita perlu juga berandai-andai, misalnya, ada sebuah karya prosa
atau puisi yang membuat sebuah kerangka analitik dan teoritik tafsir atau pun
metode pembedahan tiba-tiba kehilangan relevansinya untuk selaras dan cocok
sebagai alat untuk menafsir dan membaca karya tersebut –sebab adakalanya sebuah
analisa dan tafsir justru lahir setelah karya, bukannya sebelum karya, di mana
ada suatu waktu Heidegger membaca sajak-sajaknya Friedrich Holderlin yang malah
membantunya untuk menuliskan tesis dan argumentasinya untuk buku Being and
Time-nya –dan di suatu waktu Mikhail Bakhtin terpesona dengan novel-novelnya
Dostoievsky, lalu menulis tentang apa itu prosa, seperti juga istilah surplus
meaning-nya Paul Ricoeur dan ma’na bathin-nya al Ghazali adalah istilah-istilah
yang ditetapkan dengan mantap ketika dan setelah membaca bentuk-bentuk dan
metode-metode penuturan dan metafora kitab suci.
Adakalanya
ketidaktepatan penggunaan wawasan atau metode analisa dan tafsir malah hanya
akan membuat sebuah karya lepas dari pembacaan yang intim. Begitulah ketika
seorang yang hendak mengulas sebuah karya sastra membaca sebuah puisi atau pun
novel, tentu ia akan melupakan dan menunda untuk sementara wawasan teoritiknya
tentang seni atau pun sastra yang telah ia pahami dan telah menyusun
presuposisi alias praduga-praduga epistemik dalam benaknya, sebab ia mestilah
mengetahui terlebih dahulu apa yang tengah dituturkan dan digambarkan sebuah
teks sastra yang sedang ia baca –mungkin ada sesuatu yang lain, yang unik, dan
yang sama sekali datang sebagai sesuatu yang masih asing dan belum dikenali
atau pun belum diulas oleh wawasan dan kerangka teoritik tafsir dan analisa
yang ada dan ditulis saat ini.
Kadangkala
sebuah karya puisi atau pun novel yang kita baca justru telah menyediakan
dirinya bagi esai, komentar, atau pun tanggapan yang akan kita tulis, semisal
Musim Gugur-nya John Keats yang menceritakan dan mengisahkan dirinya sendiri
kepada kita, musim gugur yang anehnya seperti suara-suara yang digumamkan
seseorang dalam kesunyian dan kebisuannya. Segugus fantasi dan kesepian yang
tengah menuturkan hidupnya, tentang hasrat yang terpendam dan senantiasa berada
dalam kerinduan-kerinduannya yang tak tergapai –dan akhirnya membuat ia sendiri
pasrah dan diam, terus-menerus bergumam dalam kesepiannya, sebentuk erotisme
yang menggoda kita karena keinginannya untuk tidak mengatakannya secara verbal
dan terus-terang.
Juga
ketika kita, misalnya, membaca Crime and Punishment-nya Dostoievsky, di mana
kita seakan disadarkan tentang sisi utopisnya keadilan dan betapa hukum itu
secara institusional diwarnai ambiguitas dan ketakmungkinannya untuk
memungkinkan keadilan yang ideal karena keterkaitannya dengan kekuasaan. Hingga
akhirnya kita pun berpendapat bahwa kerangka teoritik dan alat analisis
pembacaan karya mungkin tak ubahnya hanya seorang guide sementara yang hanya
bertugas menunjukkan ke mana kita mesti berjalan untuk sampai ke tempat yang
ingin kita kunjungi, sementara untuk memasukinya tergantung sepenuhnya kepada
diri kita sendiri sebagai pembaca sebuah karya puisi atau pun novel.
Tentu
saja kita tak bermaksud menolak kerangka teoritik tafsir atau pun metode
analisa, hanya saja setiap kerangka teoritik tafsir dan metode analisa memiliki
resiko untuk menyingkirkan ekseptionalitas alias pengecualian yang hanya
dimiliki karya itu sendiri, alias rentan untuk melakukan generalisasi setiap karya
yang ditulis oleh seorang penulis atau pun sebuah puisi yang ditulis oleh
seorang penyair –bila tidak diiringi dengan kelenturan dan memahami konteks
jaman dan tempat, kekhususan bathin teks dan tuturannya.
Begitu
pun di garis yang sama, ketika ulasan atau esei kritik sastra terlampau
menyibukkan dirinya untuk lebih menyoroti pengarang atau pun penyair, serta
kehidupan pribadinya, dan lain sebagainya, hanya akan membuat si pengulas
mengabaikan konsentrasinya untuk membaca dan memahami karya puisi atau pun
novel itu sendiri. Hingga tendensi yang muncul kemudian bukanlah untuk
mengetengahkan atau pun menghadirkan sebuah karya dalam publikasi, tetapi lebih
didasarkan karena siapa penulis dan siapa penyairnya. Perilaku seperti ini
sudah bisa dipastikan tidak didasarkan oleh semangat estetik untuk mengintimi
karya, tetapi lebih didasarkan pada semangat politis para kritikus dan pengulas
karya.
Maka,
sebagai konsekuensinya, bila tendensi politis tersebut terus berlangsung, kita
tak usah berharap tentang wibawa kritik sastra, karena memang cara penilaian
dan apresiasi sebuah karya tidak didasarkan pada semangat untuk membaca dan
mengintimi karya itu sendiri, melainkan karena lebih didasarkan sebagai
pembelaan dan atau penokohan atau pun penolakan terhadap pengarang atau pun
penyair yang menulis sebuah karya. Dengan kerangka inilah sejumlah karya mestinya
dibaca, dinilai, dan diapresiasi, yang meski tak terlepas dari subjektivitas,
berusaha untuk berikhtiar secara adil, netral, dan jujur. Salam!
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar