Dalam bait-bait Pale Fire
Canto One baris 99-101, Vladimir Nabokov menulis: My God died young. Theolatry
I found degrading, and its premises, unsound. No free man needs a God; but was
I free?
Bait-bait tersebut dalam
pembacaan saya lebih terdengar sebagai satirisasi diri sang subjek sejauh
menyangkut heroisme promothean manusia yang ingin terbebas dari belenggu
kekuatan impersonal – yang kemudian malah terjebak dalam belenggu kekuatan
impersonal yang lain – atau yang disebut oleh Adorno dan Horkheimer sebagai
gejala odisian. Karena dalam pembacaan saya bait-bait tersebut tidak meletakkan
dirinya pada ide tentang ada atau tidak adanya Tuhan, tetapi lebih sebagai
kritik dan parodi atas semangat promothean manusia yang ketika ingin terbebas
dari belenggu kekuatan impersonal yang satu, malah menciptakan bagi hadirnya
kemungkinan belenggu kekuatan impersonal yang lainnya.
Bila saya kembali
mengucapkan dan menuliskannya dengan gaya dan penuturan yang berbeda, maka
bait-bait tersebut akan berbunyi: Tuhan senantiasa ada, tetapi manusia
seringkali hanya menjadikannya sebagai berhala. Atau bisa juga: Tuhan memang
ada, Tapi Ia tak nyata, karena itulah manusia menciptakan berhala.
Silogisme negatif tersebut
merupakan gaya Aristophanes untuk mengekspresikan kekekesalannya terhadap
silogisme sokratian yang menurutnya cenderung komikal dan lurus hingga
menyingkirkan kemungkinan bagi ironi, komedi, satir, dan parodi. Dan gaya yang
terakhir ini pulalah yang mungkin akan lebih dekat dengan apa yang ingin dimaksudkan
istilah teolatri dalam bait-bait Pale Fire yang telah saya kutip di atas. Di
mana diksinya mengandung secara serentak kontradiksi, satir, parodi, ironi,
silogisme yang dipelesetkan, dan logika yang dijungkirbalikkan. Hingga logika
atau pun silogisme menjadi negatif dan porak-poranda. Metode dan bentuk ini
juga dikenal dengan anagram, yaitu permainan merangkai huruf yang telah
disediakan untuk menyusun beberapa kata dan bunyi yang berbeda. Misalnya kata
Islam bisa menjadi Salim. Kata Demokrasi bisa berubah menjadi “Demo Kasir”,
“Kasir Demo”, “Sari Medok”, “Sari Demok”, dan lain sebagainya.
Begitulah bait-bait dalam
teks Pale Fire terasa menggelitik sekaligus menggugah karena eksplorasinya dan
iktiarnya memparodikan dan memelesetkan khasanah pemikiran menjadi kekayaan
khasanah bahasa dan penuturan. Seperti silogisme yang dipelesetkan dan logika
yang dibalikkan. Yang kadang digabungkan dan dicampuradukkan dengan anagram:
pot, top, spider, redips. And “powder” was “red wop” (348-9) dan: other men die;
but I am not another; therefore I’ll not die (213-14). Gaya yang pernah
dipraktekkan Aristophanes untuk melawan Sokrates ini di kemudian hari
dikembangkan dengan canggih oleh Nietzsche menjadi diksi yang padat sekaligus
simbolik. Di sini metafor bukan semata personifikasi atau pun simbolisasi.
Tetapi juga komedi, satir, dan ironi. Gaya ini juga dipraktekkan dalam
karya-karya Kierkegaard yang sarkartis, simbolik, dan merusak kemapanan. Kita
juga bisa memasukkan falsifikasi dan verifikasi Popperian ke dalam bentuk dan
gaya ini. Ketika generalisasi silogistik-deduktif sokratian dan platonian
dibatalkan keabsahannya oleh kasus induktif aristotelian. Dan di tangan
Derrida, gaya ini menjadi dekonstruksi.
Semua gaya dan bentuk
tersebut juga secara serempak dipraktekkan bait-bait dalam teks Pale Fire-nya
Vladimir Nabokov untuk menertawakan dan memelesetkan berhalaisme dan dogmatisme
pemikiran dan ideologi. Yang kadang menjadi skeptisisme murni: There was a time
in my demented youth, when somehow I suspected that the truth about survival
after death was known to every human being: I alone knew nothing, and a great
conspiracy of books and people hid the truth from me. There was the day when I
began to doubt man’s sanity: How could he live without knowing for sure what dawn,
what death, what doom awaited consciousness beyond the tomb? And finally there
was the sleepless night when I decide to explore and fight the foul, the
inadmissible abyss (168-180).
Dalam teks-teks Pale Fire,
silogisme menjadi komedi. Logika berubah parodi. Matematika jadi tawa. Rumus
jadi satir. Pemikiran dan ideologi mesti dicurigai sebagai berhala, bila tanpa
kritisisme. Di sana secara serempak terjadi perdebatan antara Freud, Sokrates,
Aristoteles, Nietzsche, Lolita, Oedipus, Montaigne, Lafontaine, Rabelais,
Plato, Pope, Jane Dean, Proust, Homer, Virgil, Ovid, Arthur Conan Doyle, dan
Marx. Pale jadi Leap. No jadi On. Tea jadi Eat. Doom jadi Mood. On jadi No. Eat
jadi Tea. Leap jadi Pale. Late jadi Tale. Tale jadi Late. Life jadi File. File
jadi Life. Jean jadi Jane. Jane jadi Jean. Now jadi Won. Won jadi Now. Read
jadi Dare. Dare jadi Read. Dan seterusnya sampai batas imajinasi huruf
merangkai kata.
Tetapi keseluruhan
penulisan teks-teks Pale Fire mempraktekkan bentuk dan gaya diaris, di mana
penuturnya adalah orang pertama yang sedang mengkomunikasikan keluhan-keluhan
kejiwaannya kepada seorang psikiater. Atau seseorang yang tengah curhat dan
berbagi dengan pembaca. Istilah lain untuk menyebut gaya ini adalah confession
atau pengakuan. Gaya seperti ini akan terasa dekat dan akrab dengan pembaca,
karena si penutur hanyalah wakil dari pembaca untuk membuka dan mengungkapkan
sisi lain jiwa para pembaca: Now I shall spy on beauty as none has spied on it
yet. Now I shall cry out as none has cried out. Now I shall try what none has
tried. Now I shall do what none has done (746-9). Dan posisi si penutur diari
ini adalah posisi orang yang skeptis dan mengejek dogmatisme dalam hidup: I’m
puzzled by the difference between two methods of composing: A, the kind which
goes on solely in the poet’s mind, a testing of performing words, while he is
soaping a third time one leg, and B, the other kind, much more decorous, when
he’s in his study writing with a pen (840-7). Di sini kata-kata ditemukan oleh
tangan, bukan oleh benak. Dan bahasa ditemukan oleh penyakit jiwa, kegilaan,
dan ketakterdugaan: In method B the hand supports the thought, the abstract
battle is concretely fought (848-9). Pada konteks ini logika konvensional
diragukan dan pertanyaan dipertanyakan kembali: what is what? (369).
Uraian-uraian diaris Pale
Fire bisa juga dibaca dalam posisi seorang penulis yang sedang bercerita
tentang proses menulis. Seseorang yang mencampuradukkan berbagai pemikiran
untuk disatirkan dan diparodikan. Pale Fire adalah Rabelais dalam puisi: L’if,
Lifeless tree! Your great Maybe, Rabelais: The grand potato. I.P.H., a lay
Institute (I) of Preparation (P) for the Hereafter (H) (501-4). Dan fantasi si
penutur dan pencerita dalam teks-teks Pale Fire adalah seseorang yang sedang berandai-andai
tidak menjadi manusia. Atau seseorang yang sedang membayangkan dirinya tak ada.
Ia ingin menjadi burung atau pun bayang-bayang. Ia ingin terbang bebas
menjelajah cakrawala semesta tanpa batas: I was the shadow of the waxwing
slain, by the false azure in the windowpane; I was the smudge of ashen fluff
–and I lived on, flew on, in the reflected sky (1-4).
Pale Fire adalah pengakuan
verbal kekanak-kanakkan yang menggelitik. Nostalgia masa silam demi
penghiburan. Ia adalah identitas yang samar dan tercerai dalam fantasi
ketiadaan. Dengan kata lain, Pale Fire adalah fiksi otobiografis yang ditulis
dalam bentuk puisi dengan mengeksplorasi ironi dan komedi demi mencurigai diri
sendiri. (Ciujung-Kragilan, Serang,
Banten 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar