Menafsir Iman Melalui
Puisi oleh Sulaiman Djaya (2007)
Theo – Diri Atau Tentang Iman dalam Perspektif
Individual
Tulisan ini adalah ikhtiar subjektif, tentang iman dan teologi. Tentang apa yang berada di antara keduanya, yang mungkin menjadi sesuatu yang di tengah. Tentang suatu ikhtiar untuk berbicara sebagai seorang amatir dan non-akademik. Tentang renungan orang biasa yang ingin berbicara tentang sesuatu yang bisa dikatakan luar biasa. Tentang seseorang yang ingin mencari landasan kepercayaannya secara individual. Sebentuk sikap eksentrik. Dan karena itu seseorang tersebut memiliki hak untuk menuliskan apa yang dipercayainya, dan mempercayai –meski secara individual dan personal, apa yang ditulisnya tersebut.
Tulisan ini adalah ikhtiar subjektif, tentang iman dan teologi. Tentang apa yang berada di antara keduanya, yang mungkin menjadi sesuatu yang di tengah. Tentang suatu ikhtiar untuk berbicara sebagai seorang amatir dan non-akademik. Tentang renungan orang biasa yang ingin berbicara tentang sesuatu yang bisa dikatakan luar biasa. Tentang seseorang yang ingin mencari landasan kepercayaannya secara individual. Sebentuk sikap eksentrik. Dan karena itu seseorang tersebut memiliki hak untuk menuliskan apa yang dipercayainya, dan mempercayai –meski secara individual dan personal, apa yang ditulisnya tersebut.
Sebab pengetahuan dan
kreativitas dalam penulisan akan ditemukan dalam kebebasan dan kemerdekaan
individual dan personal. Apapun motivasi dan kepentingannya. Entah hanya
sekedar untuk menghibur diri, atau berusaha memberikan dan menyumbangkan
gagasan alternatif terhadap gagasan dan analisis objektif yang saya sebut
sebagai dogmatisme sains.
Sejauh berbicara tentang teologi, sesungguhnya mungkin tak lebih berbicara tentang tafsir. Tetapi kemudian tafsir itu justru menjadi lebih serius ketimbang teologi itu sendiri. Pada moment ini tafsir atas teologi menjadi teologi itu sendiri. Dan pada konteks ini pula apa yang disebut teologi sesungguhnya adalah ilusi. Sebab ketika teologi telah menjadi tafsir, maka yang ada adalah sains atau positivisme atas teologi. Bila kita ibaratkan teologi sebagai pribadi atau pun individu, maka ikhtiar atau pun upaya penafsiran atasnya tak lebih sebagai penamaan. Seperti halnya memberi nama pada anak yang baru lahir.
Dari itu debat tentang teologi mungkin tidak lebih sebuah polemik tafsir atas atau tentang tafsir itu sendiri, yang pada akhirnya akan menghasilkan kosakata baru tentang teologi. Karena itu mungkin perkembangan teologi adalah perkembangan dari penemuan yang terus-menerus dari kosakata bahasa tersebut untuk terus-menerus menafsir teologi atau pun teks kitab suci. Meski hal tersebut mungkin akan terjebak pada tekstualisme dan verbalisme dalam bentuknya yang liyan.
Sejauh berbicara tentang teologi, sesungguhnya mungkin tak lebih berbicara tentang tafsir. Tetapi kemudian tafsir itu justru menjadi lebih serius ketimbang teologi itu sendiri. Pada moment ini tafsir atas teologi menjadi teologi itu sendiri. Dan pada konteks ini pula apa yang disebut teologi sesungguhnya adalah ilusi. Sebab ketika teologi telah menjadi tafsir, maka yang ada adalah sains atau positivisme atas teologi. Bila kita ibaratkan teologi sebagai pribadi atau pun individu, maka ikhtiar atau pun upaya penafsiran atasnya tak lebih sebagai penamaan. Seperti halnya memberi nama pada anak yang baru lahir.
Dari itu debat tentang teologi mungkin tidak lebih sebuah polemik tafsir atas atau tentang tafsir itu sendiri, yang pada akhirnya akan menghasilkan kosakata baru tentang teologi. Karena itu mungkin perkembangan teologi adalah perkembangan dari penemuan yang terus-menerus dari kosakata bahasa tersebut untuk terus-menerus menafsir teologi atau pun teks kitab suci. Meski hal tersebut mungkin akan terjebak pada tekstualisme dan verbalisme dalam bentuknya yang liyan.
Pada konteks ini
penafsiran teologi adalah ikhtiar penemuan bahasa baru untuk mencari relevansi
kontekstualnya. Ini adalah suatu keniscayaan ketika perdebatan atau pun
penafsiran tentang teologi belum bisa beranjak atau keluar dari teks yang
tertulis dalam kitab suci. Dan selama perdebatan tersebut masih berkutat pada
teks yang tertulis, maka tafsir atas teologi rentan terjebak pada ikhtiar
politisasi-teks yang didasarkan pada kepentingan dan kondisi eksistensial si
penafsir. Entah dalam bentuknya yang sosiologis atau pun yang politis.
Sementara itu kenyataan yang tak mungkin diingkari orang-orang yang menjadikan doktrin agama sebagai pandangan hidupnya adalah situasi epistemik jaman modern yang memaklumatkan persamaan sekaligus pluralitas sebagai keniscayaan jaman modern. Dan maklumat persamaan dan pluralitas ini diserap dan diterima menjadi dasar hukum dan institusi dunia sekuler. Di satu sisi dunia sekuler saat ini menerima manusia dalam dimensi kesamaannya untuk mendapatkan perlakuan hukum dan politik yang sama. Sementara di sisi lain, perbedaan budaya dan pandangan religiusnya seyogyanya tidak melahirkan ancaman dan kekerasan bagi budaya dan pandangan religius yang lain.
Sementara itu kenyataan yang tak mungkin diingkari orang-orang yang menjadikan doktrin agama sebagai pandangan hidupnya adalah situasi epistemik jaman modern yang memaklumatkan persamaan sekaligus pluralitas sebagai keniscayaan jaman modern. Dan maklumat persamaan dan pluralitas ini diserap dan diterima menjadi dasar hukum dan institusi dunia sekuler. Di satu sisi dunia sekuler saat ini menerima manusia dalam dimensi kesamaannya untuk mendapatkan perlakuan hukum dan politik yang sama. Sementara di sisi lain, perbedaan budaya dan pandangan religiusnya seyogyanya tidak melahirkan ancaman dan kekerasan bagi budaya dan pandangan religius yang lain.
Dari itulah mungkin
dogmatisme mestinya dapat dibedakan dari fundamentalisme. Sebab tiap doktrin
agama menuntut kepercayaan dogmatis dari para penganutnya. Pada moment ini
dogmatisme menjelma fundamentalisme ketika para penganut pandangan religius dan
budaya yang berbeda abai dengan situasi epistemik jaman modern tersebut.
Agama sebagai kepercayaan yang diterima secara personal dalam pandanganku sendiri selalu bersifat individual. Sementara penerimaan sosialnya mewujud dalam institusi dan hukum yang dianut masyarakat. Dan saya memahami kitab suci atau doktrin teologis lebih sebagai visi yang dihasilkan dari upaya pencarian manusia itu sendiri untuk memahami hidupnya dan mencari dasar bagi kondisi eksistensialnya.
Agama sebagai kepercayaan yang diterima secara personal dalam pandanganku sendiri selalu bersifat individual. Sementara penerimaan sosialnya mewujud dalam institusi dan hukum yang dianut masyarakat. Dan saya memahami kitab suci atau doktrin teologis lebih sebagai visi yang dihasilkan dari upaya pencarian manusia itu sendiri untuk memahami hidupnya dan mencari dasar bagi kondisi eksistensialnya.
Sebagai visi ia berusaha
mengatasi atau melampaui sejarah untuk mencari pendasaran ke masa depan.
Sementara sebagai tafsir atas kondisi eksistensial manusia, agama merupakan
tafsir sekaligus pembenaran bagi pengalamannya bersama sejarah. Pada konteks
ini saya menyebut agama sebagai ikhtiar manusia untuk mencari alasan atau
pembenaran bersama sejarah sekaligus pencariannya untuk melampaui sejarah dan
mencari pendasaran untuk hidup di masa yang akan datang.
Dengan visi tersebut,
kepercayaan yang lahir dan berasal dari pandangan religius mampu membangun peradaban,
yang mana visi tersebut bercampur dengan muatan eskatologis, messianisme, terutama dalam agama-agama
Semitik (Yahudi, Kristen, dan Islam). Pada moment inilah kepercayaan yang lahir
dari doktrin religius kemudian menjadi sebentuk horizon dan pandangan yang
sifatnya personal sekaligus sosial. Agama memiliki dua wajah: ‘yang subjektif’
(private) dan ‘yang politis’ (komunal).
Sebagai wajah subjektif, agama merupakan sebentuk komitmen pribadi dengan segala citarasa personal dan individual si penganut. Sementara sebagai wajah politis, agama menuntut kepatuhan kolektif atau komunal, karena pada dimensi yang kedua inilah, agama telah menjadi institusi kode etik masyarakat, dan ketika terjadi perbedaan penafsiran, maka terciptalah kesenjangan dan ketegangan.
Sebagai wajah subjektif, agama merupakan sebentuk komitmen pribadi dengan segala citarasa personal dan individual si penganut. Sementara sebagai wajah politis, agama menuntut kepatuhan kolektif atau komunal, karena pada dimensi yang kedua inilah, agama telah menjadi institusi kode etik masyarakat, dan ketika terjadi perbedaan penafsiran, maka terciptalah kesenjangan dan ketegangan.
Akan tetapi pandangan
agama yang sifatnya komunal tersebut tidak lepas dari aktor berpengaruh yang
mampu menanamkan pandangan personalnya kepada masyarakat, yang kemudian mampu
memaksakannya menjadi aturan institusi dan kode etik bersama dalam suatu
masyarakat. Inilah yang lazim kita sebut sebagai otoritas, sebab kata otoritas
itu sendiri berasal dari author (sang pengarang atau sang penulis) yang telah
mendapatkan penerimaan publik.
Pada konteks inilah siapa
pun yang berhasil mempengaruhi dan mendapatkan penerimaan publik seputar
tafsirnya tentang pandangan religius maka bisa diklaim sebagai yang otoritatif.
Dan kata otoritas memang pada dirinya sendiri mengandung kekerasan, sebab pandangan
dan tafsir religius yang awalnya adalah sebentuk pandangan pribadi dan
individual sang pengarang (author) yang kemudian diterima dengan resiko dan
konsekuensi menyingkirkan pandangan dari author atau pengarang yang lain yang
tidak mendapatkan penerimaan publik.
Sang pengarang yang kalah
ini pada akhirnya menjadikan pandangan religiusnya sebagai sikap kritik atas
pandangan religius yang umum dan menempati relung sunyinya yang individual
seperti halnya Al-Hallaj dan Kierkegaard.
Tetapi seseorang yang menjadikan pandangan religius sebagai pilihan sunyi akan terhindar dari hipokritas-politis, dan pandangan religiusnya kemudian menjadi sebentuk kesalehan dan kepekaan pribadi yang mampu menjadi sumber inspirasi dan permenungan. Pandangan religius tersebut kemudian menjadi paradigma puitis sebagai horison pencapaian teodisi yang mendalam. Terkadang orang-orang seperti ini menolak institusionalisasi pandangan religius karena pandangan religius yang terlembaga rentan pada intoleransi atas pandangan religius yang unik dan yang sifatnya subjektif dan personal.
Tentang Teologi dan Yang Lainnya
Setiap perbincangan tentang teologi pada akhirnya akan menjadi teologi itu sendiri. Bila teologi dipahami sebagai apapun yang menyangkut kepercayaan, maka segala yang membuat orang percaya dan mengimaninya dapat dikatakan sebagai teologi. Bila teologi dipahami sebagai apapun yang memiliki muatan teodisi dan eskatologi, maka puisi bisa dikatakan sebagai teologi yang berbicara tentang kehidupan manusia dan segala kemungkinan keadaan eksistensialnya.
Tetapi seseorang yang menjadikan pandangan religius sebagai pilihan sunyi akan terhindar dari hipokritas-politis, dan pandangan religiusnya kemudian menjadi sebentuk kesalehan dan kepekaan pribadi yang mampu menjadi sumber inspirasi dan permenungan. Pandangan religius tersebut kemudian menjadi paradigma puitis sebagai horison pencapaian teodisi yang mendalam. Terkadang orang-orang seperti ini menolak institusionalisasi pandangan religius karena pandangan religius yang terlembaga rentan pada intoleransi atas pandangan religius yang unik dan yang sifatnya subjektif dan personal.
Tentang Teologi dan Yang Lainnya
Setiap perbincangan tentang teologi pada akhirnya akan menjadi teologi itu sendiri. Bila teologi dipahami sebagai apapun yang menyangkut kepercayaan, maka segala yang membuat orang percaya dan mengimaninya dapat dikatakan sebagai teologi. Bila teologi dipahami sebagai apapun yang memiliki muatan teodisi dan eskatologi, maka puisi bisa dikatakan sebagai teologi yang berbicara tentang kehidupan manusia dan segala kemungkinan keadaan eksistensialnya.
Pun pada akhirnya dalam
konteks ini setiap pemaknaan dan penafsirannya akan banyak ditentukan oleh
keinginan dan kebutuhan manusia itu sendiri. Pada titik ini teologi dipahami
sebagai simbolisasi dan bahasa yang bunyi dan tafsirnya diwarnai oleh
heterogenitas makna eksistensi manusia itu sendiri. Dalam hal ini mungkin
teologi adalah ilusi yang tanpanya manusia tak bisa hidup seperti yang
dikatakan Nietzsche. Sementara itu pada konteks yang subjektif, teologi adalah
sebentuk aspirasi seperti halnya Kierkegaard yang memilih iman sebagai
pandangan hidup yang sifatnya individual dan personal.
Sementara itu eskatologi adalah sebentuk kepercayaan pada ketiadaan, ketakterdugaan, dan ketakteramalan yang membuat manusia berharap dan memiliki harapan sehingga tidak dikalahkan pengalaman eksistensialnya yang negatif, seperti penderitaan. Dalam konteks inilah iman hidup dan bertempat. Karena eskatologi selalu berbicara tentang masa depan dan yang akan datang. Sesuatu yang tak tampak. Sesuatu yang tak hadir. Sebentuk messianisme dan pengharapan yang tak berkesudahan yang membuat manusia merasa memiliki alasan untuk menjalani hidup dan tidak dikalahkan rasa putus-asa.
Sementara itu eskatologi adalah sebentuk kepercayaan pada ketiadaan, ketakterdugaan, dan ketakteramalan yang membuat manusia berharap dan memiliki harapan sehingga tidak dikalahkan pengalaman eksistensialnya yang negatif, seperti penderitaan. Dalam konteks inilah iman hidup dan bertempat. Karena eskatologi selalu berbicara tentang masa depan dan yang akan datang. Sesuatu yang tak tampak. Sesuatu yang tak hadir. Sebentuk messianisme dan pengharapan yang tak berkesudahan yang membuat manusia merasa memiliki alasan untuk menjalani hidup dan tidak dikalahkan rasa putus-asa.
Maka seringkali yang
menjadi daya tarik teologi adalah muatan eskatologisnya, disebabkan rujukannya
pada ketiadaan dan harapan tentang yang akan datang. Dalam tradisi Semitik,
eskatologi ini biasanya berbicara tentang nubuat dan hari akhir. Eskatologi
adalah iman yang selalu menunggu dalam moment menunggu yang membuat manusia
mampu berharap dan tidak putus-asa. Eskatologi adalah iman yang merawat dan
memelihara manusia dari thanatos, yang
membuat manusia mampu bertahan. Eskatologi adalah janji dan ilusi yang justru
memberikan “ruang antara” bagi eksistensi dan hidup manusia.
Eskatologi adalah suara
tengah di antara passivitas dan aktivitas. Di antara identitas dan
non-identitas. Sekaligus bukan kata atau konsep. Bukan aktif atau pasif. Bukan
pula pemikiran atau citra. Eskatologi adalah oposisi seperti halnya teologi itu
sendiri yang berada di antara langit dan bumi. Di antara yang sakral dan yang
profane. Tak memiliki tempat yang ajeg dan tetap. Senantiasa menunggu.
Senantiasa menjadi peziarah dan orang asing.
Teologi dan eskatologi adalah sesuatu yang tak pernah tergenapi. Sesuatu tentang yang akan datang. Sementara teodisi dan puisi adalah wadah eksistensial heterogen yang merujuk pada singularitas dan kontradiksi jantung eksistensi manusia itu sendiri. Maka teologi dan eskatologi adalah sebentuk penguatan dan penegasan hidup manusia itu sendiri dalam keberhadapannya dengan ajal atau ketiadaan yang tak teramalkan.
Teologi dan eskatologi adalah sesuatu yang tak pernah tergenapi. Sesuatu tentang yang akan datang. Sementara teodisi dan puisi adalah wadah eksistensial heterogen yang merujuk pada singularitas dan kontradiksi jantung eksistensi manusia itu sendiri. Maka teologi dan eskatologi adalah sebentuk penguatan dan penegasan hidup manusia itu sendiri dalam keberhadapannya dengan ajal atau ketiadaan yang tak teramalkan.
Teologi dan eskatologi
adalah visi, bukan positivisme. Ia menyejarah sekaligus melampaui sejarah. Ia
adalah oposisi di antara dua kekuatan. Di antara dua tempat. Di antara dua wajah.
Di antara surga dan neraka.
Bila teologi adalah sebentuk illuminasi dan teodisi, maka yang menjadi pertanyaan adalah sejauh manakah seseorang mampu menyelami arti illuminasi dan teodisi tersebut. Sehingga antara ilmu pengetahuan dan pewahyuan dapat saling melengkapi dan saling mengkritik satu sama lainnya.
Bila teologi adalah sebentuk illuminasi dan teodisi, maka yang menjadi pertanyaan adalah sejauh manakah seseorang mampu menyelami arti illuminasi dan teodisi tersebut. Sehingga antara ilmu pengetahuan dan pewahyuan dapat saling melengkapi dan saling mengkritik satu sama lainnya.
Pada konteks inilah
menurut saya tidak penting seseorang menjadi religius atau pun sekuler. Akan
tetapi sejauh manakah seseorang tidak terjebak pada politik tekstual sehingga
menambah kontaminasi pada semangat teodisi dari iman. Sebab upaya
memoralisasikan agama sekalipun pada akhirnya akan terjebak pada ikhtiar
pelegitimasian moral sebagai upaya keagamaan yang malah akan mewariskan
kubangan spiral yang tak pernah selesai dan terjebak pada dogmatisme yang lain.
Sebentuk tekstualisme dan verbalisme dalam bentuknya yang baru yang mungkin
tidak disadari.
(Lukisan karya Edward Hopper)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar