Oleh
Al Ustadz Al Fadhil Rohimuddin Nawawi Al
Bantani
“Apakah Tasawuf itu dari Islam atau dari luar Islam?” Pertanyaan ini kerap mengganggu para penuntut ilmu-ilmu Islam yang lemah dan kurang berhubungan dengan Turats Islam. Diharapkan dari tulisan ini rasa ingin tahu itu telah mendapat jawaban. Tasawuf datang dari dalam ajaran Islam, dan posisi Tasawuf adalah sebagai berikut:
“Apakah Tasawuf itu dari Islam atau dari luar Islam?” Pertanyaan ini kerap mengganggu para penuntut ilmu-ilmu Islam yang lemah dan kurang berhubungan dengan Turats Islam. Diharapkan dari tulisan ini rasa ingin tahu itu telah mendapat jawaban. Tasawuf datang dari dalam ajaran Islam, dan posisi Tasawuf adalah sebagai berikut:
1. Bagian Dari
Risalah Islam
a.
Definisi Risalah dan Rasul
Risalah
menurut bahasa adalah sesuatu yang diberikan, perintah atau pesan yang terdiri
dari beberapa masalah yang sejenis. Dan Rasul menurut bahasa adalah orang yang
diperintah untuk menyampaikan risalah dengan tunduk lagi patuh. Risalah menurut
istilah adalah kekhususan yang diberikan kepada seorang hamba dapat mendengar
wahyu Allah berupa hukum taklifi dan diperintah untuk menyampaikannya.
Rasul
adalah seorang manusia yang diutus Allah SWT untuk menyampaikan
hukum-hukum-Nya. Imam al-Kalabi dan al-Farra mengatakan setiap Rasul adalah
seorang Nabi dan tidak sebaliknya. Rasul adalah seorang manusia pilihan Allah
SWT yang akan menjadi saksi di antara Dia dan hamba-Nya, menyampaikan kabar
gembira berupa pahala kepada orang-orang yang beriman di antara mereka sebagai
imbalan atas keimanan, keta’atan dan prilaku baik, mereka juga memberikan
peringatan kepada orang-orang kafir dan berpaling dari kebenaran bahwa mereka
akan mendapatkan siksa atas kekafiran dan keberpalingannya itu.
Kewajiban
seorang Rasul adalah menyampaikan perintah Allah SWT dan mengajak manusia
kepada ajaran yang diwahyukan kepadanya.
b.
Tugas-Tugas Rasulullah SAW (Pengemban Risalah)
Jika
kita renungkan isi kandungan Al Qur’an, akan kita ketahui bahwa tugas-tugas
Rasulullah SAW banyak sekali, seperti menerima wahyu, ilmu dan agama dari Allah
SWT dengan tata cara tertentu; membacakan wahyu, menyampaikan seluruh perintah
Allah swt, memperluas makna Al Qur’an sekaligus menjelaskannya kepada manusia.
Allah
SWT berfirman: “Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an agar engkau menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44) serta mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada
cahaya, memimpin umat dan mentarbiyah para pengikutnya dengan pendidikan yang
luhur setara dengan tarap keimanan mereka kepada Allah SWT.
Jika
kita klasifikasikan tugas-tugas Rasulullah SAW ini berdiri di atas tiga unsur
dasar sekaligus dan tidak terpisah-pisah. Firman Allah SWT: “Sebagaimana telah
kami utus kepada kalian seorang Rasul dari kalian yang membacakan ayat-ayat
kami kepadamu dan mensucikanmu dan mengajarkan kitab-kitab dan hikmah serta
mengajarkanmu apa-apa yang belum kalian ketahui” (QS.2:151)
Tiga
unsur pokok itu adalah sebagai berikut:
1.
Tabligul ahkam. Menyampaikan hukum-hukum agama kepada manusia, yaitu perintah
dan larangan serta halal dan haram dalam urusan ibadah dan muamalat. Di mana
unsur ini pasca peristiwa fitnah (di masa Khalifah terakhir Khulafa ar-Rasyidin)
diperankan dalam berbagai ijtihad para ulama Islam yang disebut faqih atau
fuqaha.
2.
Tanfidzul Hukm. Pelaksanaan kekuasaan (kepemerintahan), memimpin dan mengatur
umat dalam urusan agama dan kehidupan dunia. Maka Rasulullah SAW bagi kaumnya
adalah seorang pimpinan, penguasa dan yang mengatur siyasah agama dan duniawi
serta yang membimbing manusia agar mereka mengenal karakter kehidupan dunia
yang mereka lalui. Misi tugas ini setelah masa fitnah tadi diperankan oleh para
khalifah daulah Islam sepanjang masa.
3.
Tazkiyatunnufus. Mensucikan serta mendidik jiwa ummat. Kata zakah atau tazkiyah
dalam kamus kontemporer disebut tarbiyah, karena tazkiyah adalah mendidik jiwa,
mengendalikan syahwat dan membuat dominasi akal terhadap hawa nafsu serta
menciptakan manusia-manusia yang mampu untuk menselaraskan karakter pribadinya
sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Ini
merupakan realisasi makna firman Allah SWT: “Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), maka Allah SWT mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya, sesunggunya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.” (QS.
Asy-Syams: 7-9).
Zakkaha
bermakna mendidik sehingga nafsu itu menjadi terdidik dan terkontrol lagi terkendali.
Sesungguhnya manusia apabila membiarkan dan melepaskan nafsunya berbuat sesuai
dengan keinginan serta kehendak sendiri maka nafsunya itu sedang menggiring
menuju malapetaka. Seseorang yang telah membiarkan nafsunya melakukan sesuatu
sesuai dengan kemauannya sendiri tanpa kontrol dia tidak akan mampu melakukan
kebaikan untuk dirinya apalagi kepada orang lain. Iman al-Bushairi mengatakan:
“Nafsu itu seperti anak kecil yang menyusu pada ibunya jika engkau biarkan dia
akan tumbuh dewasa seperti itu namun jika engkau menyapihnya dia akan berhenti
menyusu.”
Unsur
pokok ketiga ini –tazkiyyatunufus- pada pasca fitnah di tubuh umat Islam
dinamakan tasawuf dan hal ini terealisasi melalui ijtihad para sufi ahli sunnah
wal jama’ah. Dengan demikian tasawuf merupakan bagian dari Misi Islam yang
dibawa oleh Rasulullah sebagai utusan Allah SWT.
Tiga
unsur pokok Risalah Islamiyah ini terus berlangsung hingga masa Khulafa
ar_Rasyidin dan dipikulkan ke pundak para khalifahnya. Setiap khalifah
bertanggung jawab menjalankan tugas misi tersebut (Tablig, Tazkiyah dan
Tanfidz) atau dalam bahasa kontemporernya: (Ta’lim, Tarbiyah dan Siyasah).
Sehingga muncul masa fitnah di akhir khilafah Ali R.A dan permulaan Daulah
Dinasti Umawiyah. Bersamaan terpecahnya umat Islam bertolak dari urusan pilitik
terus merembet ke sektor kehidupan lainnya, maka mulai terpisah-pisahlah
bulatan 3 misi pokok tersebut, sehingga bersama berjalannya roda kehidupan
Daulah Umat Islam, tiga (3) pokok misi Nubuwah itu terpisah kepada tiga komponen:
Ulama Fikih (Fuqaha), Ulama Tasawuf (Sufi) dan Amirul Mukminin (Khalifah).
Tidak
lagi setiap khalifah dalam Daulah Islam Dinansti Umawiyah –kecuali Khalifah
Umar bin Abdul Aziz- menjadi pemegang 3 otoritas misi Nubuwah tersebut. Para
Khalifah tersebut hanya mewariskan dan mengendalikan urusan kekuasaan, politik
dan hukum Negara berdasarkan Al-Qur’an dan hadis. Adapun 2 misi Nubuwah lainnya
diwariskan dan dikembangkan oleh Ulama Islam, terdiri dari: Fuqaha yang
mewariskan Tablighul Ahkam, yaitu pengembangan hukum-hukum Islam yang
menyangkut tentang Ibadah dan seputar mua’malah, yang kemudian dikenal dengan
ilmu-ilmu Fikih; dan Ulama Tasawuf yang mewariskan Misi Tazkiyatunnufus, yaitu
mengontrol spiritual dan akhlak umat, yang pada pertengahan abad ke II dikenal
dengan sebuatan Sufi dengan karya-karyanya yang dituang dalam buku Tasawuf. Dan
kondisi ini terus berlangsung hingga runtuhnya Daulah Islam secara total pada
tahun 1924 dan hingga sekarang.
2.
Salah Satu Rukun Agama
Tasawuf
adalah salah satu rukun agama Islam. Ide ini diilhami oleh sebuah Hadis panjang
yang diriwayatkan Umar bin Khathab R.A, beliau berkata: “Ketika kami sedang
duduk bersama Rasulullah Saw pada suatu hari, datang kepada kami seorang yang
sangat putih bajunya, sangat hitam rambutnya, bekas jalannya tidak terlihat,
dan tidak seorang pun mengenal di antara kami sampai dia duduk di hadapan
Rasulullah SAW, menyandarkan kedua lututnya kepada lutut Rasulullah SAW,
meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya, kemudian dia bertanya:
Ya Rasulullah SAW beritahu aku tentang Islam? Rasulullah SAW menjawab: Islam
adalah bahwa engkau bersaksi tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW
utusan Allah SWT, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa di bulan Ramadhan,
dan menunaikan ibadah haji jika mampu. Dia berkata: engkau benar. Sayyidina
Umar berkata: kami terkejut kepadanya dia yang bertanya dia juga yang
membenarkan. Kemudian bertanya lagi, beritahu aku tentang iman? Rasulullah
menjawab: engkau beriman kepada Allah SWT, kepada para malaikat, kitab-kitab,
Rasul-Rasul-Nya, hari akhir dan engkau beriman kepada ketentuan baik dan
buruk-Nya. Dia berkata: engkau benar. Dia bertanya lagi tentang Ihsan?
Rasulullah SAW menjawab: engkau menyembah Allah SWT seakan-akan engkau melihat
Dia dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.
Selanjutnya dia bertanya tentang hari kiamat? Rasulullah SAW menjawab: Tidaklah
yang ditanya tentang hal itu lebih tahu dari yang bertanya, Dia berkata:
beritahu aku tentang tanda-tandanya? Rasulullah SAW menjawab: Apabila seorang
hamba sahaya melahirkan anak tuannya, dan apabila orang yang bertelanjang kaki
rakyat jelata lagi fakir miskin mereka berlomba bermegah-megahan dalam
bangunan. Kemudian dia pergi dan saya berdiam lama. Rasulullah SAW bertanya:
Wahai Umar engkau tahu siapa yang bertanya? Aku jawab: Allah SWT dan Rasul-Nya
lebih tahu, Rasulullah bertkata: Ini Jibril datang untuk mengajarkan Agama
kepada engkau.” (HR Bukhari)
Dari
Hadis ini jelas sekali bahwa agama yang di sisi Allah itu Islam, agama yang
dibawa oleh Jibril untuk dijelaskan, adalah Islam jika dilihat kepada perilaku
lahiriyah dan aktivitas nyata, Iman jika dilihat kepada keyakinan dan aqidah
yang membangkitkan aktivitas, dan Ihsan jika dilihat kepada cara penunaiannya
yang sempurna serta pemenuhan tujuan ketika disertai oleh Iman dan amal saleh.
Iman
jika betul pastinya akan memproduk amal, amal jika betul juga bertolak dari
iman, sedang Ihsan jika betul maka dimunculkan dari iman yang dalam dan amal
yang sempurna tadi. Dalam Al Qur’an puluhan ayat yang mendeskripsikan agama ini
dan menjelaskan tuntunannya dengan menyebutkan berkali-kali kata-kata Islam,
Iman dan Ihsan, agar kesatuan kata tersebut menjadi mercusuar yang menyinari
jalan dan menggiringnya kepada tujuan.
Kalau
begitu, 3 kata berbeda: Islam, Iman dan Ihsan itu menyimbulkan satu hakekat.
Ketika kita lihat dari beberapa sudut, maka masing-masing akan memberikan
kriteria khusus, di samping bahwa semua sifat-sifat tersebut saling menjalin
dan menjelaskan dalam membatasi satu hakikat. Oleh karena itu Hadis tersebut
diakhiri dengan ungkapan: “Dia adalah Jibril datang untuk mengajarkan AGAMA
kalian”, yaitu: bahwa agama yang dibawa dan diajarkan Jibril adalah Islam.”
Allah
SWT berfirman: “Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada yang gaib,
mendirikan salat dan menafkahkan sebagaian yang telah KAMI rezekikann
kepadanya” (QS. 2:3). Simbol-simbol ini merupakan unsur terpenting dalam Islam.
Firman-NYA:
“Katakanlah: Sesungguhnya aku diperintahkan agar menyembah Allah dengan ikhlas
karenaNYA dalam (menjalankan) agama, dan aku diperintah agar menjadi orang
muslim yang pertama”. (QS. 39:11-12). Dalam ayat lain: “Dan siapakah yang lebih
baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah,
sedang dia pun mengerjakan kebaikan” (QS. 4:125).
Di
dalam ayat-ayat di atas terdapat secara sinonim ungkapan Islam, Ihsan berdiri
di atas bahwa iman yang bersemayam di dalam qalbu adalah suatu eksistensi yang
pasti, jika tidak, maka tidak dapat dibayangkan bahwa di sana terdapat Islam
dan Ihsan.
Jika
ayat tersebut membahas sisi lahiriyah (Islam) dari inti agama, maka ayat
berikut ini membahas dan mendeskripsikan hakekat serta orisinal akarnya. Allah
SWT berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang
jika disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan jika dibacakan
ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka” (QS 8:2).
“Dan
orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan
orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada
orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman.
Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia” (QS. 8: 74).
Dari
sini kita dapat melihat bahwa kaitan-kaitan Iman itu banyak, tidak boleh satu
dengan lainnya terpisah-pisah, sebagaimana bahwa pengaruh iman secara praktis
(amal) –yaitu inti keIslaman- tidak mungkin terlepas satu sama lain dari
karakter keyakinan.
3.
Hakikat Dalam Syariah dan Thariqah
Dalam
Hadis Umar R.A itu, terdapat pembagian agama kedalam 3 rukun atau tahapan, ini
dipahami dari sabda Nabi SAW: “Dia adalah Jibril datang kepada kalian untuk
mengajarkan AGAMA kalian”.
A.
Rukun Islam, yaitu sisi amali (praktis), serupa Ibadah, mua’malat dan perkara
ibadah lainnya, tempat dan perangkatnya adalah anggota tubuh lahiriyah. Ulama
telah memberikan istilah Syari’ah, dan yang mempunyai spesialisasi melakukan
studi ini adalah para pembesar ahli fikih.
B.
Rukun Iman. sisi i’tiqad qalbu (keyakinan hati), serupa iman kepada Allah,
Malaikat, Kitab-kitab, Para Rasul, Hari akhir dan Qadla-Qadar. Ulama telah
memberikan istilah Thariqah, Dan yang melakukan spesialisasi studi bidang ini
adalah para pembesar ulama Tauhid.
Kata
Islam dan Iman meskipun saling bertalian kuat, namun antara keduanya ada umum
dan khusus, setiap seorang mukmin adalah muslim, namun tidak setiap muslim itu
mukmin. Dalilnya firman Allah SWT: “Orang-orang Arab Badui itu berkata:
“kami telah beriman”, Katakanlah (kepada mereka) kamu belum beriman, tetapi
katakanlah ‘kami telah tunduk (Islam), karena iman itu belum masuk ke dalam
hatimu” ( QS. 49:14).
C.
Rukun Ihsan. Sisi ruh dalam hati (spiritual); adalah musyahadah (engkau
menyembah Allah seolah engkau melihat-NYA), muraqabah (jika engkau tidak
(merasa) melihat-NYA maka DIA melihatmu), kondisi spiritual (ahwal) serta
konsekwensinya serupa, dzauq wijdani (taste of conscientious), maqamat
‘Irfaniah (akhlak mulia) dan ilmu-ilmu wahbiyah (hikmah). Para ulama menamakan
Hakekat, dan yang bekompeten terhadap studi bidang ini adalah para pembesar
ulama sufi.
Untuk
menjelaskan hubungan antara syari’ah dan hakikah, kita dapat membuat contoh
konkrit, seperti ibadah solat; melakukan gerakan solat, serta aktivitas
lahiriyah lainnya yang dituturkan oleh ulama fikih, merupakan peranan sisi
syari’ah, adalah merupakan jasad solat. Sedang kehadiran dan kekhusyu’an hati
kepada Allah dalam mendirikan solat adalah peranan sisi hakikat, adalah ruhnya
solat.
Jadi
aktivitas gerakan fisik dalam solat adalah jasad solat, dan khusyu adalah
ruhnya. Apakah faedah jasad jika tanpa ruh, sebagaimana ruh perlu kepada jasad
sebagai tempatnya, demikian jasad pun memerlukan ruh sebagai motornya, oleh
karena itu Allah SWT berfirman: “Dirikanlah solat dan tunaikanlah zakat” (QS.
2:44). Mendirikan di sini hanya dapat dilakukan dengan adanya jasad dan ruh.
Demikian, para sufi itu mengarahkan dan membina umat Islam agar menjadi mukmin
sempurna yang menghimpun antara syari’ah dan hakikah, sebagaimana yang mereka
ikuti jejak Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Untuk
mencapai makam yang luhur dan iman yang sempurna ini harus menempuh jalannya
(thariqah), apakah thariqah yang harus ditempuh oleh seorang salik tersebut?
Yaitu Mujahadatun nafs, meninggalkan sifat-sifat tercela menuju sifat-sifat
sempurna dan meningkatkan kesempurnaan akhlak (maqamat), inilah jembatan
penghubung syari’ah kepada hakikah. Imam Al-Jurjani berkata R.A: Thariqah
adalah perjalanan khusus para salik (penempuh mujahadatunnafs menuju
ma’rifatullah) menuju Allah SWT dengan menempuh dan meningkatkan berbagai
tingkatan spiritual dan maqamat moral.
Maka
Syari’ah adalah asas, Thariqah adalah sarana, dan Hakikat adalah buah hasilnya.
Ketiga komponen ini sebuah integritas yang sempurna, tidak kontradiksi dan
bertabrakan, barang siapa berpegang kepada yang pertama dan menempuh jalan
kedua, maka ia telah sampai kepada yang ketiga. Para tokoh Sufi dalam sebuah
Kaidah mereka berkata: (Setiap hakekat yang bertolak belakang (menyalahi)
syari’ah maka ia zindiq). Bagaimana mungkin hakekat menyalahi syari’ah sedang
ia konsekwensi dari aplikasi syari’ah, atau dengan kata lain: hakikat adalah
batinnya syari’ah dan syari’ah adalah lahirnya hakekat.
Para
Salafus Soleh, ulama Sufi yang sodik dengan sebenar-benarnya ubudiyah dan Islam
yang sahih telah betul-betul dapat merealisasikan semua itu, karena mereka
telah menghimpun antara Syari’ah, Thariqah dan Hakekat. Dengan begitu mereka
dapat menunjukan manusia ke jalan yang lurus. Agama jika kering dari hakikatnya
akan kering akarnya, layu batangnya dan rusak buahnya.
Syekh
Ahmad Zarruq berkata dalam salah satu Qaidahnya: (Mengembalikan sesuatu kepada
asalnya dan membangun karakteristik dalilnya itu dapat menolak perkataan orang
yang menginkari hakekat sesuatu tersebut. Asas Tasawuf adalah maqam Ihsan
sebagaimana yang telah ditafsirkan oleh Rasullah SAW: “Engkau beribadah kepada
Allah seakan-akan engkau melihat-NYA, kemudian jika engkau tidak dapat
melihat-NYA, maka DIA melihatmu”, karena seluruh makna sidqut tawajuh terpulang
kepada asas ini, serta sebagai porosnya, sebab kata ‘sidqut tawajuh’
melambangkan makna penuntutan muraqabah yang lazim, maka anjuran kepada
kandungan sidqut tawajuh adalah inti Ihsan itu sendiri, sebagaimana fikih berkisar
pada maqam Islam, dan Ushul agama (tauhid) pada maqam Iman. Jadi Tasawuf adalah
merupakan bagian agama yang diajarkan oleh Jibril kepada para sahabat Nabi SAW.
(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar