“Orang-orang yang mengklaim bahwa al
Qur’an tidak memiliki makna kecuali apa yang telah disampaikan oleh tafsir
literal (eksoteris) sesungguhnya sedang mengakui keterbatasan kapasitas
kemampuan mereka sendiri untuk melakukan penafsiran esoteris (ta’wil). Mereka
(para literalis) benar dalam pengetahuan mereka, namun keliru dalam
penilaiannya yang menempatkan semua orang berada pada tingkatan (maqam) mereka
yang pemahamannya terbatas” (al Ghazali, Ihya ‘Ulumu al Din). “Dalam
bejana-bejana keberadaanmu terdapat batu-batu permata dan berlian yang bersinar
terang. Tersembunyi di dasar lautan keadaanmu zamrud dan pecahan tanah. Dan
tentang Kami, Kami memiliki dua rumah: dari satu rumah Kami menggelar taplak
makanan dari kenikmatan yang teramat lezat, dan di rumah yang lainnya Kami
menyalakan api kemurkaan” (Sam’ani, Rawh al Arwah). “The sentence is not a
larger or more complex word, it is a new entity. It maybe decomposed into
words, but the words are something other than short sentence. A sentence is a
whole irreducible to the sum of its parts. It is made up of words, but it is
not derivative function of its words. A sentence is made up of signs, but it is
not itself a sign” (Paul Ricoeur, Interpretation Theory)”.
Pada tahun 1976, filsuf Perancis Paul
Ricoeur mempublikasikan karya terpentingnya, Interpretation Theory: Discourse
and the Surplus of Meaning. Karya intelektualnya tersebut tak diragukan lagi
telah memberikan sumbangan teoritis dan metodologis yang sangat berarti bagi
khasanah ilmu-ilmu kemanusiaan dan kritik-sastra, terutama untuk menjawab ketakpuasannya
terhadap cara pandang strukturalisme. Dalam introduksi karya monumentalnya itu,
Ricoeur memaksudkan kerja teoritik dan filosofisnya untuk memahami dan menguji
konsep kesatuan tekstual (the concept of textual unity) sebagai konstruk bahasa
(as a construct of language). Sementara itu pada tingkatan praktis dan
pragmatis, karya teoritiknya itu diniatkan sebagai kerangka analitik dan
hermeneutik untuk memahami bahasa pada ragam produksinya dalam puisi, pola
naratif, dan juga pada esei.
Dengan karyanya tersebut, Ricoeur
membedakan diskursus tulisan (written discourse), yang kemudian ia definisikan
sebagai teks, dari wicara atau kelisanan (spoken). Artinya, yang dinamakan teks
oleh Ricoeur adalah bahasa yang telah dipatenkan dalam bentuk tulisan, bukan
bahasa lisan. Selanjutnya, Ricoeur memperkenalkan konsep diskursus atau wacana
(discourse-text) sebagai hasil dialektis antara makna (meaning) dan peristiwa
(event), di mana peristiwa sebagai pengalaman yang diekspresikan, diujarkan,
atau pun dituliskan merupakan pertukaran intersubjektif, yang dengan demikian,
apa yang ingin dikomunikasikan dalam tiap diskursus bukanlah apa yang
diekspresikan, tetapi makna yang dibawa dan berada di baliknya. Pada konteks
ini, pengalaman yang dihidupi (lived experience) memang milik ruh pribadi yang
unik (private), akan tetapi makna teks atau ujaran dari ekspresi pengalaman
beralih menjadi milik publik pembaca melalui diskursus yang dituliskan (written
discourse) atau apa yang oleh Ricoeur sendiri disebut sebagai teks (fixed-writing).
Sebagai contohnya, perasaan dan pengalaman subjektif seorang penyair atau
novelis memanglah milik pribadi si penyair atau pun si novelis alias milik
dunia bathin penulisnya. Tetapi puisi atau novelnya sebagai ekspresi selalu
berkaitan dengan berbagai makna dalam pengalaman hidup itu sendiri. Oleh karena
itu, sejalan dengan dialektika makna-peristiwa terdapat lingkaran hermeneutic
(hermeneutic-circle) antara sense atau makna tekstual (textual-meaning) dengan
reference atau makna referensial sebagai makna yang lahir dari hubungan antara
teks dengan dunia di luar teks. Sementara itu, sense atau makna tekstual lahir
dari hubungan di dalam teks itu sendiri yang sifatnya gramatik. Ricoeur
menulis:
“To
refer is what the sentence does in certain situation and according to a certain
use. It is also what the speaker does when he applies his words to reality.
That someone refers to something at certain time is an event, a speech event.
But this event receives its structure from the meaning as sense. The speaker
refers to something on the basis of, or through, the ideal structure of the
sense. The sense, so to speak, is traversed by the referring intention of the
speaker. In this way the dialectic of event and meaning receives a new
development from the dialectic of sense and reference” (IT, p.20).
Oleh karena itulah seringkali makna
pengarang atau maksud pengujar (author-meaning / uttered-meaning) berbeda
dengan makna teks atau maksud ujaran (textual-meaning / utterance-meaning). Dan
perbedaan tersebut merupakan konsekuensi yang lepas alias berada di luar
kendali pengarang. Karena jika yang dinamakan teks adalah fiksasi (pembakuan)
dan inskripsi (tulisan), maka dengan sendirinya sebuah teks atau pun wacana
yang dituliskan (written discourse) telah mendapatkan otonominya, yang dengan
itu pula Ricoeur membedakan antara teks yang telah dibebaskan dari pengarangnya
dengan tindak-wicara (spoken) yang masih sangat tergantung dengan maksud
pengujarnya (the speaker):
“Only this dialectic (sense and
reference) says something about the relation between language and the
ontological condition of being in the world. Language is not a world of its
own. It is not even a world. But because we are in the world, because we are
affected by situations, and because we orient ourselves comprehensively in
those situations, we have something to say, we have experience to bring to
language (p. 20-21)”.
Argumentasi teoritik tersebut
sesungguhnya bernada Heideggerian yang mengasumsikan bahwa pemahaman dan
penafsiran kita tentang dunia tak mungkin dilepaskan dari dunia itu sendiri di
mana kita berada, baik konteks, tempat, wacana epistemologis, dan cakrawala
budaya, di mana kita kemudian berbahasa:
“This notion of bringing experience to
language is the ontological condition of reference, an ontological condition
reflected within language as a postulate which has not immanent justification;
the postulate according to which we presuppose the existence of singular thins
which we identify. We presuppose that something must be in order that something
may be identified. This postulate of experience as the ground of identification
is what Frege ultimately meant when he said that we are not satisfied by the
sense alone, but we presuppose a reference. And this postulation is so
necessary that we must add a specific prescription if we want to refer to
fictional entities such as character a novel or a play” (p.21).
Dengan kerangka otonomi semantik
tersebut, sebuah karya telah dibebaskan dari ikatannya dengan pengarang, di
mana sebuah karya didekonstualisasikan dari konteks di mana sebuah karya
diproduksi dan dari hubungan sasarannya, yang kemudian direkonstualisasikan.
Dibebaskannya teks dari pengarang adalah dilepaskannya beban dan hubungan
psikologis khusus antara teks dengan pengarangnya. Sementara itu dibebaskannya
teks dari konteks produksi dan kelompok sasarannya adalah dilepaskannya
hubungan-hubungan sosiologis sebuah teks demi memberikan kemungkinan maksimal
kepada teks itu sendiri untuk mengatakan apa yang ingin disampaikannya kepada
publik atau pembaca. Meskipun begitu, otonomi semantik tidaklah dimaksudkan
untuk menyangkal atau pun menolak kepengarangan seseorang seakan-akan sebuah
teks adalah entitas nir-author. Otonomi semantic lebih dimaksudkan bahwa maksud
pengarang bukanlah satu-satunya penentu tafsir atas karya: “What we insist on
its that the subjective intention of the author expressed outside the text does
not decisive authority in comparison the meaning of text itself. The
authorial-meaning becomes a new dimension of the textual meaning”, juga untuk
menghindari dua kekeliruan metodologis: “The intentional fallacy which hold the
subjective intention of the author as the criterion for any valid
interpretation and the fallacy of absolute text, i.e, the fallacy of
hypostasizing the text as authorless entity” (ibid).
Karena itulah pada praktik penafsiran
dan pembacaan, seringkali ada kontradiksi atau ketakcocokan atau pun
pertentangan antara dunia empirik yang dirujuk oleh teks dengan dunia yang
diajukan alias diusulkan (proposed-world / possible-world), dunia yang
diciptakan dan dimaknakan secara baru oleh teks. Artinya, seringkali sebuah
teks atau pun karya lepas dan berada di luar kendali pengarangnya, dari apa
yang dimaksudkan oleh pengarangnya, alih-alih malah menciptakan kemungkinan-kemungkinan
makna dan arti bagi dunia dalam teks itu sendiri. Dan karya yang berhasil
menurut Ricoeur adalah karya yang mampu memberikan kemungkinan ragam penafsiran
dan pembacaan (surplus-meaning).
Dalam khasanah pemikiran dan penafsiran
Islam, tafsir metaforis, alegoris, dan simbolis dikenal dengan istilah ta’wil
alias tafsir esoteris, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sufi dan
mazhab-mazhab pemikiran yang tidak puas dengan mazhab-mazhab yang cenderung
literal dalam membaca teks semisal kaum Hanbal yang acapkali dogmatis dan tidak
terbuka pada ijtihad. Dalam tradisi ta’wil ini salah-satu tokoh moderatnya
adalah al Ghazali, di mana pendapat-pendapatnya tentang tafsir ia tuangkan
dalam salah-satu karyanya, Ihya ‘Ulum al Din, yang mengakui adanya arti lahir
dan makna bathin dalam sebuah teks: “Memang riwayat dan hadits dan yang lainnya
mengindikasikan bahwa bagi manusia yang memahami (menafsir) terdapat ruang
gerak yang besar, lebar, dan meluas (muttasa’) dalam makna al Qur’an. Begitulah
suatu ketika Ali berkata: Rasulullah tidak menceritakan kepadaku apa saja yang
dia sembunyikan dari orang-orang kebanyakan, kecuali bahwa Tuhan memberkati
pemahaman akan al Qur’an kepada manusia. Jika tidak ada makna selain apa yang
telah disampaikan, maka apa yang dimaksudkan dengan pemahaman al Qur’an itu?
Rasulullah menjawab: Sesungguhnya al Qur’an memiliki aspek lahiriah
(verbal-literal) dan aspek bathin (simbolik dan alegorik), sebuah tafsir (hadd)
dan sebuah awal (mathla’). Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud atas
otoritasnya sendiri, dan beliau adalah salah-seorang ahli tafsir. Lalu apa yang
dimaksudkan dengan aspek lahiriah dan aspek bathin, awal dan akhir itu? Ali
berkata: Jika aku boleh berharap, aku ingin membebankan tujuh puluh unta dengan
tafsir surat al Fatihah” (IU:I, h.252).
Meskipun begitu, menurut al Ghazali,
penafsiran esoteris mestilah dilakukan setelah kita memahami arti literal teks:
“Orang hendaknya tidak mengabaikan untuk mempelajari terjemahan (tafsir
lahiriah) terlebih dahulu, karena tidak ada harapan untuk mecapai aspek bathin
(esoteris) al Qur’an sebelum menguasai aspek lahirnya. Orang yang mengklaim
telah memahami rahasia-rahasia (asrar) al Qur’an tanpa pernah menguasai aspek
lahiriahnya adalah seperti orang yang mengaku diri telah memasuki ruang utama
sebuah rumah (sadr al bayt) tanpa pernah melewati pintunya. Atau seperti orang
yang mengaku telah memahami maksud-maksud orang Turki dari perkataan mereka
tanpa pernah menguasai bahasa Turki” (ibid, h.262).
Adapun mengenai pentingnya tafsir esoteris
menurut al Ghazali karena seringkali ada pertentangan (kontradiksi) dan
pembatalan (nasakh) dalam hubungan-hubungan makna sejauh menyangkut teks-teks
al Qur’an: “Perbedaan antara realitas-realitas makna al Qur’an dan tafsir
literal dapat dipahami dari contoh berikut: Sesungguhnya kamu tidak melempar
ketika kamu melempar, tetapi Kami-lah (Allah) yang melempar (al Qur’an, 8;17).
Tafsir literal ayat ini jelas, namun makna sejatinya samar, karena ia
menegaskan pelemparan sekaligus menyangkalnya, dan ini tampak sebagai
pernyataan yang bertentangan” (ibid, h.263).
Bila kita kembali ke Ricoeur, term
dualisme al Ghazali tersebut mendapatkan istilahnya sebagai dua level atau
tingkatan penandaan dan pemaknaan, yang literal dan yang simbolis, tetapi
penandaan dan pemaknaan yang simbolis hanya akan tercapai setelah pemaknaan dan
penandaan literal memungkinkan kita untuk memahami simbol mengandung makna yang
lain atau makna lebih (surplus-meaning), ketika Ricoeur mengatakan bahwa this
surplus of meaning is the residue of literal interpretation, yang langsung
mengingatkan saya pada pandangannya al Ghazali. Baik Ricoeur dan al Ghazali pun
memiliki kesamaan pendapat ketika mengatakan bahwa bahasa puisi mampu
mengandung dan memberikan ragam makna bagi penafsiran dan pembacaan. Meskipun
saya tak tahu apakah Ricoeur membaca Ihya ‘Ulum al Din ataukah tidak? Meski
kita sama-sama tahu bahwa Interpretation Theory-nya Paul Ricoeur ditulis dan
diterbitkan ratusan tahun setelah Ihya ‘Ulum al Din-nya al Ghazali.
(Sulaiman Djaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar