Di
era Perang Dingin Dunia setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, Indonesia
menjadi medan pertarungan dan perebutan dua kutub ideologi politik dan ekonomi
yang saling bersaing dan berlawanan, bahkan acapkali saling berperang secara
fisik dan militer: kapitalisme yang dinahkodai Amerika dan Barat dan sosialisme
yang dinahkodai Rusia (kala itu Uni Soviet) dan Republik Rakyat Cina atau RRC.
Mulanya,
utamanya di era-era akhir kepemimpinan Bung Karno, kiblat Indonesia adalah
sosialis, di mana setelah kekecewaan terhadap Amerika dan PBB, Bung Karno lebih
memilih berkiblat ke Rusia (dan juga Cina-Peking). Namun roda sejarah pun
berubah dan berganti, setelah kup-deta terhadap Bung Karno yang dilakukan
militer Indonesia pimpinan Jenderal Soeharto yang dibantu CIA, Indonesia pun
berkiblat ke Amerika ketika Jenderal Soeharto menjadi presiden Indonesia
menggantikan Bung Karno yang digusur dan tergusur.
Bersamaan
dengan duduknya Soeharto di tampuk kekuasaan tersebut, kapitalisme pun menjadi
pilihan ideologi ekonomi dan kebijakan pembangunan Indonesia, di mana di era
Orde Baru tersebut yang menjadi para teknokratnya adalah mereka yang lazim
disebut “Mafia Berkeley”. Memang ada banyak pencapaian ekonomi di era Soeharto
tersebut. Meski demikian, tentu saja, banyak juga ironi dan kelemahannya. Para
ahli dan pakar yang mengkritik ideologi kapitalisme yang bertumpu kepada
akumulasi modal di tangan segelintir elit itu, contohnya, mengkritik bahwa dalam
praktiknya kebijakan ekonomi kapitalis-liberalis lebih merupakan kerja
eksploitatif sejumlah Negara maju dan penguasa modal atas banyak Negara
berkembang atau Negara-negara yang lazim disebut Dunia Ketiga.
Di
sini, meski sudah banyak dikritik, analisis dan pemetaan yang dilakukan Lenin
atas kapitalisme yang dapat menjadi imperialisme ketika akumulasi modal
tersebut hanya berada di tangan sedikit Negara maju atau segelintir elit
penguasa modal, masih terbilang relevan bagi sejumlah pakar dan ahli, semisal bagi
Paul Baran dan Samir Amin, yaitu bahwa (a) konsentrasi produksi dan kapital
yang telah berkembang dalam tingkat yang demikian tinggi akan menciptakan
monopoli, dan (b) akumulasi kapital bank dan kapital industri yang ada di
tangan segelintir elite oligarkh-korporat dan Negara akan menjelma kapitalisme
imperialis ketika telah melampaui batas-batas bangsa dan Negara atau ketika akumulasi
kapital (modal) tersebut telah keluar dari segelintir Negara dan para
oligarkh-korporat.
Tak
hanya itu saja, Osvaldo Sunkel, sebagai contohnya, menegaskan bahwa konsentrasi
dan monopoli kapital internasional di tangan sejumlah MNC telah seringkali
mengakibatkan disintegrasi nasional sebuah Negara dan bangsa yang akibatnya
malah memperlemah kekuatan sebuah bangsa atau Negara bersangkutan untuk
berkembang secara mandiri.
Dalam
sejarah ekonomi bangsa kita sendiri, tepatnya di era Orde Baru Presiden
Soeharto, terjadi akumulasi modal di tangan segelintir elit dan keluarga
presiden atau golongan tertentu di satu sisi, dan di sisi lain terjadinya
penetrasi modal asing yang begitu kuat hingga menyetir kebijakan politik dan
ekonomi Indonesia, bahkan dalam skala politik dan ekonomi global. Juga
menciptakan oligarki lokal yang tidak sehat hingga otoritarianisme feodalistik
berbaju militer dan satu partai yang mengabdi kepada penguasa (presiden) kala
itu. Menyadari hal demikian, di era tahun 70-an hingga 80-an, sejumlah cendekiawan
yang kritis mulai bersuara bahwa ketika kedudukan bangsa Indonesia sendiri
lemah justru malah hanya akan menempatkan bangsa Indonesia dalam ketergantungan
pada kekuatan asing semata, yang karenanya perkembangan ekonomi Indonesia
sebenarnya hanya bentuk nyata ekspansi kekuatan kapitalis oligarkhi tersebut.
Singkatnya, Indonesia hanya jadi “sapi perah” dengan pembagian hasil atau
keuntungan yang timpang dan tidak adil.
Menyikapi
keprihatinan tersebut, sejumlah intelektual kritis menyarankan agar Indonesia
harus sudah mulai menghentikan ketergantungan kepada bantuan asing (hutang)
yang pada kenyataan malah membebani dan bahkan memenjarakan kebijakan-kebijakan
politik Indonesia untuk menjadi Negara yang telah menegaskan dirinya sebagai
bangsa yang justru merupakan pioneer dan penggagas gerakan Non-Blok, dan
seyogyanya membatasi pada pinjaman-pinjaman yang sangat diperlukan saja.
Sejatinya, Indonesia sudah semestinya membatasi ekspansi perusahaan-perusahaan
asing dan harus mulai memberi kesempatan dan memberikan perlindungan kepada
industri dan perusahaan nasional. Hal ini tak lain karena jika bangsa kita
ingin maju secara berdikari, maka bangsa ini harus terbebas dari hutang luar
negeri dan mulai membangun basis inovasi-nya sendiri, semisal melalui riset
atau alih-tekhnologi.
Seperti
dapat kita baca dalam catatan-catatan sejarah ekonomi dan pembangunan bangsa
kita, di era Orde Baru itu memang ada pertumbuhan ekonomi, namun sifatnya tidak
merata dan masih terkonsentrasi pada wilayah-wilayah bahkan etnik tertentu
saja. Demikian juga di era Orde Baru tersebut banyak dibangun industri, akan
tetapi industri-industri tersebut bukan milik bangsa kita, melainkan
perpanjangan tangan kekuatan modal alias kapital Negara-negara tertentu
(semisal Amerika), hingga keuntungan yang didapat dari kekayaan Indonesia
justru lebih banyak keluar, dan kalau pun dinikmati bangsa kita, itu pun hanya
bagi sekelompok elit yang dekat dengan lingkaran dalam kekuasaan dan pemerintah
Indonesia di era Orde Baru, semisal keluarga presiden. Sementara itu, dari segi
birokrasi, banyak juga korupsi yang dilakukan para pejabat dan birokrat di
pusat dan di daerah, yang semakin membuat Negara mengalami kebocoran, di saat
Negara sendiri dibiayai dan diselenggarakan dari hutang luar negeri, yang
bahasa halusnya acapkali disebut “hibah” itu.
Dan
sebelum mengakhiri tulisan ini, mungkin tak ada salahnya jika kita menyimak dan
merenungi sejenak apa yang pernah dikatakan Hugo Chavez dalam salah satu
pidatonya: “Kita harus menentang hak-hak istimewa para elit yang telah
menghancurkan sebagian besar dunia”. Barangkali dalam hal ini, apa yang
dikatakan oleh Hugo Chavez itu memang relevan bagi kita, bagi Indonesia
tercinta kita untuk saat ini dan di masa yang akan datang.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar