Oleh Abu Husein
Ada beberapa hal yang
perlu kita perjelas keberadaannya –baik dalam batasan wacana maupun realitas
dalam politik Islam. Pertama, kelompok yang sengaja memolitisasi Islam. Kedua,
dugaan-dugaan politik yang ingin di-Islam-kan. Ketiga, etika dan roh politik
Islami.
Perang Shiffin sudah
dimulai. Pasukan Ali bin Abi Thalib hampir saja memenangkan pertempuran. Sebuah
hasrat dan nafsu yang mengental kotor telah tersirat di benak Muawwiyah bin Abu
Sufyan dan Amr bin Ash manakala ia menancapkan al Qur’an di ujung tombak seraya
berteriak nyaring, “Bainana wa bainakum al Qur’an” (Antara kami dan kalian
terdapat al Qur’an). Muawwiyah dan Amr bin Ash dapat melihat dengan jelas, bila
perang itu berlanjut terus, maka ia akan terpecundangi. Oleh karena itu, al
Qur’an mereka jadikan alat dan legitimasi untuk dapat mengambil simpati massa
–dan massa pun harus tertipu dengan cara mereka yang mengatasnamakan kitab suci
itu.
Mereka memolitisasi Islam
dan ummat. Muawwiyah dan para sekutunya adalah aktualisasi yang paling
transparan dalam memolitisasi Islam untuk sebuah ambisi politik yang di
dalamnya terdapat segenap intrik, konspirasi, kolusi dan ribuan bentuk
kelicikan lainnya.
Pada akhirnya semua itu
bersatu dalam bentuk destruktif. Sementara Ali bin Abi Thalib, dengan nurani
Islaminya, bangkit seraya mengatakan, “Mereka adalah orang-orang pencari
kebatilan dan telah mendapatkannya”.
Di luar itu, ada
segelintir pengikut Imam Ali bin Abi Thalib yang juga terkontaminasi. Mereka
adalah orang-orang Khawarij –orang-orang yang gemar larut pada simbol-simbol
luaran, serta memiliki dugaan-dugaan politik yang ingin mereka Islamkan,
sembari mengatakan “La hukma illa-Allah”.
Sayangnya,
anggapan-anggapan dan dugaan-dugaan mereka melumat semua akal sehat mereka, dan
karenanya mereka masuk dan terjebak pada sebuah kondisi di mana atribut harus
didahulukan daripada substansinya. Imam Ali memberi penilaian terhadap mereka,
“Adapun Khawarij adalah orang-orang yang senantiasa mencari kebenaran, tetapi
mereka telah keliru dalam memahaminya, akhirnya mereka terjerumus dalam
kesesatan”. Untuk memahami al Qur’an, kita perlu memiliki ilmu pengetahuan yang
memadai. Tanpa hal tersebut, kita hanya mengikuti dugaan-dugaan tanpa dasar.
Imam Ali sebenarnya hanya ingin memberi-tahu keadaan dan kondisi intelektual
mereka yang rapuh, jiwa mereka yang labil, dan mudah diombang-ambing karena tak
bersandarkan ilmu yang sahih.
Kelompok-kelompok
(Khawarij) ini tak hanya berhenti sebatas di stasiun Shiffin saja, mereka terus
menggelinding ke dalam kancah sejarah Islam –bahkan berganti-ganti bentuk.
Namun, isinya tak pernah jauh berbeda dengan sejarah lamanya. Gerbong-gerbong
Khawarij akhir-akhir ini penuh dan berada di sekitar kita dengan ciri-ciri
khusus mereka: bodoh, memaksakan kehendak, dan intinya penuh dengan
dugaan-dugaan yang tak jelas yang ingin mereka Islamkan, terutama dalam
pandangan-pandangan politik mereka.
Kelompok yang terakhir
adalah etika (akhlaq) dan ruh politik Islam. Kelompok ini adalah manusia
Qur’ani dan sekaligus diwakili oleh washi-nya (pengemban wasiat) Rasulullah,
Ali bin Abi Thalib. Beliau sadar ketika melihat al Qur’an yang sedang
ditancapkan di ujung tombak, ketika beliau tak mudah tertipu oleh kulit luaran,
sementara batin mereka penuh dengan kebatilan. Maka, beliau mengatakan,
“kalimatul haq yurodu biha bathil”, artinya kalimat bahwa al Qur’an yang
terpampang di ujung tombak itu benar –namun tujuan mereka penuh dengan
intrik-intrik kebatilan.
Tak hanya sebatas itu,
Imam Ali pun menegaskan, “Itu adalah al Qur’an yang bisu, yang terlihat oleh
kalian. Sementara aku yang berada di hadapan kalian adalah al Qur’an yang
berbicara”. Sebenarnya Imam Ali ingin mengatakan bahwa al Qur’an yang sudah
menyatu dalam diri manusia akan membentuk penjernihan dalam akal dan jiwa
manusia tersebut. Ia akan tercerahi dengan ma’rifat-ma’rifat rabbani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar