Tiga orang pendeta Yahudi datang
menemui Imam Ali karramallahu wajhah, mereka ingin menguji kebenaran Islam.
Salah seorang berkata, “Wahai Ali, ada satu masalah yang ingin kutanyakan
kepadamu.” Imam Ali as pun berkata, “Bertanyalah sesukamu!” Pendeta Yahudi tadi
berkata, “Beritahukan kepadaku tentang sekelompok remaja pada zaman dahulu.
yang mana mereka mati selama tiga ratus sembilan tahun, lalu Allah hidupkan
kembali. Bagaimana kisah mereka itu?” Imam Ali as tersenyum dan mulai
menceritakan keinginan dari pendeta Yahudi tersebut, “Wahai Yahudi, mereka
adalah penghuni gua (Ashabul Kahfi). Allah telah menurunkan atas Nabi kami,
Muhammad Saw, al-Quran yang memuat kisah mereka. Kalau engkau mau, akan kami
bacakan kisah mereka di hadapanmu.” Orang Yahudi berkata, “Betapa sering aku
mendengar bacaan al-Qur’an. Kalau engkau memang tahu, katakan kepadaku
nama-nama mereka, nama raja, nama anjing, nama gunung, nama gua dan kisah
mereka dari awal sampai akhir!”
Lalu Imam Ali as duduk sambil
mengangkat kedua lututnya dengan melilitkan sorban pada kedua lututnya, dengan
sorban Rasulullah saw, seraya berkata, “Wahai saudara bangsa Arab, kekasihku
Muhammad saw pernah bercerita kepadaku bahwa di daerah Romawi terdapat sebuah
kota bernama Afsus dan juga dinamakan Thurthus. Nama kota itu di zaman
jahiliyah adalah Afsus, lalu ketika Islam datang dinamakan Thurthus. Mereka
mempunyai seorang raja yang saleh. Beberapa waktu kemudian, raja itu wafat,
lalu tersebar berita kematiannya hingga seorang raja dari Persia yang bernama
Diqyanus, mendengar berita tersebut. Diqyanus adalah raja yang sangat zalim dan
kafir. Dia datang bersama bala tentara ke kota Afsus dan menjadikan sebagai
kerajaannya, dan membangun sebuah istana megah.”
Yahudi itu berkata, “Jika engkau
benar-benar tahu, maka jelaskan kepadaku tentang istana itu dan
ruangan-ruangannya!” Imam Ali as segera menjawab, “Raja itu membangun istana
dari marmer, panjangnya satu farsakh (atau sama dengan 5 hingga 6 km), lebarnya
satu farsakh. Di dalamnya terdapat empat ribu pilar dari emas dan seribu lampu
emas, lantainya dari suasa dan setiap malam diisi dengan minyak wangi yang
harum. Ia letakkan di timur, seratus delapan puluh kekuatan, demikian juga di
bagian baratnya. Matahari dari sejak terbit sampai terbenam mengitari istana.
Ia membuat singgasana dari emas yang panjangnya delapan puluh hasta dan
berhiaskan mutiara. Ia letakkan di sebelah kanan singgasana delapan puluh kursi
emas untuk para panglimanya dan di sebelah kirinya delapan puluh kursi emas
juga. Dia duduk di atas singgasananya sambil mengenakan mahkota di atas
kepalanya.”
Yahudi itu dengan bersemangat
berkata melanjutkan, “Wahai Ali, jika engkau sungguh mengetahui, katakan
kepadaku terbuat dari apa mahkotanya?” Imam Ali as menjawab, “Wahai saudara
Yahudi, mahkotanya terbuat dari emas cetakan yang mempunyai sembilan pucuk.
Pada setiap pucuk terdapat lampu yang bersinar laksana lampu yang bersinar di
malam yang gelap. Dia memiliki lima puluh remaja dari anak para panglima. Mereka
berpakaian terbuat dari sutera merah dan celana yang terbuat dari sutera hijau.
Mereka memakai mahkota, gelang tangan dan gelang kaki yang terbuat dari emas
berkilauan. Dia juga jadikan enam pemuda dari kalangan ulama sebagai
menteri-menteri. Dia tidak akan menetapkan satu keputusan tanpa berdiskusi
dengan mereka. Tiga orang dari mereka berdiri di sebelah kanan dan tiga orang
di sebelah kiri sang raja.”
Yahudi berkata, “Wahai Ali! Jika
engkau benar, beritahu aku siapa nama enam orang itu?” Imam Ali as menjawab,
“Kekasihku Muhammad saw bercerita padaku, bahwa tiga orang yang di sebelah
kanan adalah Tamlikho, Muksalmina, dan Muhsalmina. Sedang yang di sebelah kiri
Marthuliyus, Kaythus, dan Sadaniyus. Raja itu senantiasa meminta pendapat dari
mereka dalam segala urusannya. Jika ia duduk di singgasananya yang mewah setiap
hari, orang-orang pun berkumpul di sekitarnya, maka datanglah tiga pemuda dari
sebuah pintu. Di tangan salah seorang dari mereka terdapat gelas emas yang
berisi minyak kesturi (misik). Di tangan pemuda kedua adalah gelas perak berisi
air mawar, serta di tangan pemuda ketiga bertengger seekor burung yang molek.
Jika yang satu berteriak, maka burung itu terbang menuju gelas yang berisi air
mawar, lalu ia mandi dengan air mawar itu. Bulu dan sayapnya menyerap air mawar
yang wangi. Jika yang kedua berteriak, maka si burung terbang menuju gelas yang
berisi minyak wangi (misik). Burung kecil itu pun mandi dan menyerap minyak
wangi dengan bulu dan sayapnya. Kemudian jika yang ketiga berteriak, maka burung
itu terbang menuju mahkota raja untuk kemudian mengibaskan bulu dan sayapnya di
atas kepala raja.
Raja itu memegang kekuasaannya
selama tiga puluh tahun tanpa pernah mengalami sakit kepala, panas, flu, dan
sakit lainnya. Melihat keadaan dirinya seperti itu, ia menjadi congkak dan
angkuh, sehingga dia mengakui dirinya sebagai tuhan (rabb). Dia mengajak
menteri dan rakyatnya untuk menyembah kepada dirinya. Setiap orang yang
menerima pengakuan dirinya sebagai tuhan, akan diberi hadiah dan mendapat keistimewaan,
sedangkan yang enggan untuk menerimanya akan disiksa dan dibunuh. Akhirnya
mereka tunduk kepada keinginan sang raja. Menteri dan penjaga istana menganggap
dia sebagai tuhan selain Allah swt.
Suatu hari di saat pesta
berlangsung, sang raja duduk di atas singgasana sambil mengenakan mahkota di
atas kepalanya. Tiba-tiba muncul beberapa panglima menyampaikan berita, bahwa
pasukan Persia telah siap membunuh raja. Sang raja amat panik, hingga mahkota
yang dikenakannya jatuh dari atas kepala, sedang ia sendiri terjungkal dari
singgasana. Salah seorang dari tiga pemuda yang berada di samping raja
menyaksikan hal tersebut. Dia adalah si cerdik bernama Tamlikho. Pemuda itu
berpikir dan berkata dalam hatinya, “Jika Diqyanus (si raja itu) adalah tuhan
seperti yang ia akui sendiri, pastilah ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak
kencing atau buang air. Karena semua bukan sifat dari Tuhan”.
Setiap hari enam pemuda tersebut
selalu berkumpul di tempat salah seorang dari mereka. Setelah terjadi peristiwa
tadi, mereka tengah berkumpul di tempat Tamlikho, namun Tamlikho tidak ikut
makan dan minum. Mereka bertanya, “Wahai Tamlikho, mengapa engkau tidak makan
dan minum?” Tamlikho menjawab, “Wahai saudara-saudaraku, telah terjadi sesuatu
dalam hatiku, ini yang mencegahku makan, minum dan tidur. Mereka bertanya, “Apa
itu wahai Tamlikho?” Dia menjawab, “Aku lama sekali berpikir tentang
langit. Aku berkata, “Siapa yang meninggikan langit menjadi atap yang kokoh
tanpa ada pengikat di atasnya dan tanpa tiang penyangga di bawahnya? Siapa yang
menjalankan matahari dan bulan? Siapa yang menghiasi langit dengan bintang
gemintang? Lalu aku lama termenung tentang bumi ini, siapa yang menjadikannya
terapung di alas permukaan laut? Siapa yang menahan dan mengikatnya dengan
gunung-gunung yang kokoh agar tidak tenggelam?”
Kemudian aku berpikir tentang
diriku. Aku berkata, “Siapa yang mengeluarkanku dari rahim ibu? Siapa yang
memberiku makan dan membimbingku? Sungguh ada Pencipta dan Pengatur semua ini
selain Diqyanus.” Lima pemuda tadi tersungkur ke lantai, mencium kedua kaki
Tamlikho dan berkata, “Wahai Tamlikho, sungguh telah terjadi di hati kami apa
yang telah melanda hatimu. Berilah kami petunjuk!” Tamlikho berkata, “Wahai
saudara-saudaraku, aku tidak mendapatkan jalan untukku dan untuk kalian, selain
lari dari penguasa zalim menuju Penguasa langit dan bumi.” Mereka berkata,
“Pendapat yang benar adalah pendapatmu”. Tamlikho bangkit membeli kurma dengan
uang tiga dirham, lalu menyimpannya di dalam selendang. Mereka naik kuda dan pergi
ke luar kota. Setelah berjalan sejauh tiga mil dari kota, Tamlikho berkata,
“Saudaraku, telah hilang dari kita raja dunia dan kekuasaannya. Turunlah dari
kuda dan berjalanlah, semoga Allah memudahkan urusan kalian dan memberikan
jalan keluar kepada kita.”
Mereka pun turun dari kuda dan
berjalan kaki sejauh tujuh farsakh, sampai kaki mereka berdarah kerena tidak
terbiasa. Tiba-tiba seorang penggembala menghampiri mereka. Tamlikho bertanya,
“Wahai penggembala, apakah engkau memiliki seteguk air atau susu?” Aku punya
apa yang kalian inginkan, tetapi aku lihat wajah kalian adalah wajah-wajah para
raja. Menurutku kalian melarikan diri. Ceritakan pengalaman kalian kepadaku!
Kami memeluk agama yang melarang berbohong. Apakah kejujuran membuat kami
selamat? Maka mereka pun menceritakan apa yang mereka alami. Si penggembala
langsung tersungkur mencium kaki mereka sambil berkata, “Sungguh terjadi di
hatiku apa yang terjadi di hati kalian.
Si penggembala meminta mereka
menunggunya. Sementara dia mengembalikan kambing-kambing kepada pemiliknya.
Mereka menunggu sampai si penggembala kembali, tapi kali ini dia kembali dengan
diikuti seekor anjing. Ketika para pemuda itu melihat anjing, satu sama lain
saling berbicara. Kami khawatir anjing ini akan membuka rahasia kita dengan
gonggongannya. Mereka minta dengan sangat agar di penggembala mengusir
anjingnya dengan batu. Anjing itu berwarna hitam pekat dan namanya Qithmir.
Ketika anjing itu melihat gelagat mereka, anjing itu pun lalu duduk dan dapat
berbicara, “Wahai manusia, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku
bersaksi tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu atas-Nya.
Izinkan aku menjaga kalian dari musuh yang akan mengganggu kalian. Aku ingin
mendekatkan diri kepada Allah dengan hal itu.” Lalu mereka pun mengijinkannya. Kemudian
mereka pun melanjutkan perjalanan. Sang penggembala mengajak para pemuda itu
untuk menaiki gunung dan bersembunyi di dalam sebuah gua.
Orang Yahudi berkata, “Wahai Ali,
apa nama gunung itu dan apa nama gua itu?” Amirul Mukminin (gelar Amirul
Mu’minin hanya disematkan kepada Imam Ali) menjawab, “Wahai saudara Yahudi,
nama gunung itu adalah Najlus dan nama gua itu adalah Washid atau Khairam.”
Imam Ali as melanjutkan ceritanya, “Ternyata di dalam gua itu terdapat beberapa
pohon yang berbuah dan mata air yang bening. Mereka memakan buah-buahan dan
meminum air tersebut. Ketika malam tiba, mereka masuk ke dalam gua sedangkan
anjing itu duduk di pintu gua, sambil menjulurkan kedua kaki depannya. Lalu
Allah menyuruh malaikat maut untuk mencabut ruh mereka sementara waktu, dan
menugaskan dua malaikat lainnya untuk menjaga dan mengurus setiap orang dari
mereka. Kedua malaikat itu membalik-balikkan tubuh mereka ke kanan dan ke kiri
dan dari kiri ke kanan.
Allah mewahyukan kepada matahari
agar pada saat terbit bercondong dari gua mereka ke sebelah kanan dan ketika
terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri. Ketika raja Diqyanus kembali dari
upacara, ia bertanya tentang para pemuda itu. Lalu dikatakan kepadanya, bahwa
mereka telah meyakini Tuhan selain Raja Diqyanus. Mereka telah keluar dari
istana dan melarikan diri darinya. Mendengar hal itu, maka raja pergi dengan
delapan puluh ribu pasukan berkuda untuk mencari sang pemuda. Sampailah sang
raja di sebuah gunung dan ia sendiri yang naik ke atas gunung itu, kemudian
mendekati sebuah gua. Raja melihat para pemuda yang dicari tengah berbaring,
dia yakin para pemuda itu tengah tidur. Raja berkata kepada anak buahnya,
“Kalau aku hendak menyiksa mereka, aku tidak akan menyiksa lebih dari mereka
menyiksa diri mereka sendiri. Datangkanlah para tukang bangunan!” Akhirnya
mulut gua ditutup dengan batu-batu dan sang raja berkata, “Katakanlah kepada
mereka agar memohon kepada Tuhan mereka yang berada di langit. Jika benar ada,
maka Tuhan mereka akan mengeluarkan para pemuda itu dari sini.”
Para pemuda tinggal dan tertidur di
dalam gua selam tiga ratus sembilan tahun. Lalu Allah swt menghidupkan mereka
kembali ketika matahari mulai terbit. Satu sama lain saling berkata, “Sungguh
kami telah lalai dari ibadah kepada Allah swt. Mari kita pergi ke mata air.”
Ternyata mata air dan pohon-pohon telah kering. Salah seorang berkata, “Sungguh
ini adalah hal yang sangat aneh. Bagaimana mata air seperti ini menjadi kering
hanya dalam waktu satu malam, beitu juga dengan pepohonannya?” Lalu Allah
membuat mereka merasa lapar. Salah seorang berkata, “Siapa di antara kita yang
bisa pergi membawa uang ke kota, membeli sesuatu untuk kita makan?
Hendaknya dia teliti jangan sampai
makanan itu bercampur dengan lemak babi, seperti tercantum dalam firman
Allah. “Maka utuslah seorang dari kalian dengan (membawa) uang ini ke
kota dan lihatlah makanan yang paling bersih” (al Qur’an Surah Al-Kahfi ayat 19). Yaitu makan yang halal
dan enak untuk dimakan.” Tamlikho berkata, “Wahai saudara-saudaraku, aku saja
yang membeli makanan itu. Tetapi, wahai penggembala, berikan bajumu kepadaku
dan kenakan bajuku ini.” Tamlikho mengenakan baju si penggembala dan berjalan
melalui tempat-tempat yang tidak ia ketahui. Ternyata di atas pintu gerbang
kota berkibar bendera hijau yang bertuliskan “Tiada Tuhan selain Allah dan
Isa Ruhullah”. Pemuda itu terpana melihat bendera itu, dan
mengusap-usap matanya seraya berkata, “Apakah aku sedang bermimpi.”
Sesaat berlalu ia memasuki kota, dan
melewati sekelompok orang yang tengah membaca kitab Injil. Beberapa orang
menyapanya hingga ia sampai ke pasar dan menemui pedangang roti. Ia berkata,
“Wahai tukang roti apa nama kota ini?” “Afsus” jawab tukang roti ramah. Ia bertanya
lagi, ”Siapakah rajamu?” “Abdurrahman” jawabnya singkat. Tamlikho berkata,
“Jika Anda benar, sungguh yang kualami ini sangat aneh. Berikan padaku makanan
seharga uang dirham ini.” Uang dirham yang berlaku pada masa Tamlikho berat dan
besar, sehingga si tukang roti terheran-heran melihatnya. Orang Yahudi berkata
kepada Imam Ali as, “Jika engkau benar-benar tahu, katakan padaku berapa berat
dirham itu?” Imam Ali as menjawab, “Wahai saudara Yahudi, kekasihku Muhammad
saw memberitahuku, bahwa berat dirham itu sepuluh kali dari berat dirham saat
ini.” Imam Ali as melanjutkan, “Tukang roti berkata kepada Tamlikho, “Wahai
pemuda, engkau telah mendapat harta karun? Berikan sebagian kepadaku, jika
tidak Anda akan kubawa kepada raja.” Tamlikho berkata, “Aku tidak mendapatkan
harta karun. Dirham ini kuperoleh dari hasil menjual buah-buahan seharga tiga
dirham, tiga hari yang lalu. Aku keluar dari kota ini, sementara penghuninya
sedang menyembah raja Diqyanus.” Penjual roti pun marah mendengarnya, “Tidakkah
kamu senang mendapat harta karun, lalu memberikan sebagiannya kepadaku? Mengapa
engkau menyebut seorang pengusa zalim yang mengaku dirinya tuhan? Dia telah
mati tiga ratus tahun yang lalu. Anda telah menghinaku!”
Tukang roti menangkap Tamlikho, dan
orang-orang pun berkumpul. Kemudian ia dibawa menghadap sang raja yang cerdas
dan adil, “Apa yang pemuda ini lakukan?” Mereka pun menjawab, “Orang ini telah
mendapat harta karun.” Raja berkata, “Tenanglah, Nabi kita Isa as membolehkan
kita mengambil harta karun, tidak lebih dari seperlimanya saja. Maka
serahkanlah kepadaku seperlima dari harta karun tersebut, setelah itu kamu
dapat pergi dengan selamat.” Tamlikho berkata, “Wahai raja, lihatlah masalahku
ini. Aku tidak mendapatkan harta karun. Aku penduduk kota ini.” “Kamu penduduk
kota ini?” Tanya raja. “Ya”, jawabnya. Raja bertanya lagi, “Apa kamu kenal
seseorang di kota ini?” “Ya”, jawabnya Tamlikho. Kemudian ia menyebutkan
kira-kira seribu orang. Namun tak satupun dari mereka yang dikenal oleh mereka
yang berkumpul.
Sang raja berkata, “Hai, kami tidak pernah
mengenal nama-nama itu. Mereka bukan penduduk zaman ini. Apa kamu punya rumah
di kota ini?” Tamlikho menjawab, “Ya, wahai paduka yang mulia. Utuslah
seseorang bersamaku!” Raja kemudian mengutus beberapa orang untuk pergi
bersamanya. Mereka pergi menuju sebuah rumah yang berada di dataran tertinggi
kota itu. Mereka sampai di satu rumah dan lalu mengetuknya. Tidak lama kemudian
keluarlah seorang tua renta, kedua alisnya panjang terurai ke bawah menutupi
kedua matanya. Pengawal berkata, “Pemuda ini mengaku bahwa ini adalah
rumahnya.” Orang tua itu marah dan menoleh kepada Tamlikho, “Siapa namamu?!”
“Tamlikho bin Filsin”, jawab Tamlikho. Ulangi lagi! Tamlikho bin Filsin.
Kemudian orang tua itu tersungkur
menciumi tangan dan kaki Tamlikho, “Dia adalah kekekku. Dia adalah salah
seorang pemuda yang lari dari Diqyanus, raja yang zalim, menuju Raja langit dan
bumi. Sungguh Nabi Isa as pernah mengatakan, bahwa mereka akan hidup kembali di
dunia ini.” Berita tersebut akhirnya sampai ke telinga raja, ia pun segera
mendatangi mereka. Ketika melihat Tamlikho, raja segera turun dari
kuda dan mengangkat Tamlikho ke atas pundaknya. Orang-orang pun menciumi tangan
dan kaki Tamlikho. Mereka bertanya, “Hai Tamlikho, apa yang sedang dikerjakan
teman-temanmu?” Tamlikho memberitahu bahwa mereka berada di dalam gua. Pada
saat itu kota Afsus dikuasai oleh dua penguasa, penguasa mukmin dan kafir.
Keduanya lalu berangkat diiringi
para pengikutnya. Ketika mereka mendekati gua, Tamlikho berkata kepada mereka,
“Aku khawatir saudara-saudaraku mendengar suara kaki kuda dan gemerincing
senjata, sehingga mereka anggap Diqyanus telah bersiap menyerang. Mereka akan
sangat ketakutan. Oleh karenanya kalian tinggallah di sini sebentar, biarkan
aku masuk ke dalam untuk memberitahu mereka. Mereka pun setuju dan Tamlikho
masuk menemui teman-temannya. Para pemuda tadi langsung merangkul Tamlikho
sambil berkata, “Alhamdulillah.” Allah swt telah menyelamatkan dirimu
dari Diqyanus!”
Tamlikho berkata, “Tahukah kalian,
berapa lama kita tinggal di tempat ini?” “Dua hari satu malam”, jawab mereka.
Tamlikho berkata lagi, “Tidak, tetapi kalian tinggal di sini tiga ratus
sembilan tahun!” Diqyanus kini telah mati. Waktu demi waktu telah berlalu dan
kini penduduk kota telah beriman kepada Allah Yang Mahabesar. Mereka berkata,
“Wahai Tamlikho, kamu ingin kita berbuat fitnah (baca: keributan atau prahara)
kepada orang-orang itu?” Kata Tamlikho, “Lalu apa yang kalian inginkan?” Mereka
berkata, “Angkatlah tanganmu, kami akan mengangkat tangan kami.” Mereka semua
mengangkat tangan dan berdoa, “Ya Allah, demi kebenaran yang Engkau tampakkan
kepada kami, berupa keanehan dalam diri kami, cabutlah nyawa kami agar tidak
seorang pun mengetahui kami”.
Allah swt mengutus malaikat maut
untuk mencabut nyawa mereka. Lalu Allah menutup pintu gua. Kedua raja itu tidak
sabar menanti. Mereka segera menyusul Tamlikho karena lama. Dua penguasa tadi
mengelilingi gua selama tujuh hari tujuh malam, namun tidak menemukan pintu
atau lubang pada gua itu. Mereka berdua yakin bahwa itu adalah kebesaran
ciptaan Allah Yang Mahamulia, dan bahwa keadaan ini merupakan pelajaran (‘ibrah)
penting yang diperlihatkan kepada kita semua. Penguasa yang beriman berkata,
“Meraka mati atas dasar agamaku dan akan kubangun di atas pintu gua ini sebuah
mesjid.” Sementara penguasa kafir berkata, “Tidak! Mereka mati atas dasar
agamaku dan akan kubangun tempat peribadatan.” Akhirnya mereka berperang dan
penguasa mukmin mengalahkan penguasa kafir, yang dijelaskan Allah swt: “Dan
berkata orang-orang yang menang, akan kami jadikan di atas mereka sebuah
mesjid” (al Qur’an Surah al Kahfi ayat 21).
Itulah kisah mereka, wahai Yahudi.”
Lalu Imam Ali as berkata, “Aku bertanya kepadamu wahai Yahudi, apakah semua itu
sesuai dengan yang ada di dalam Taurat kalian?” Orang Yahudi itu berkata,
“Engkau tidak menambah dan tidak mengurangi satu kata pun wahai Abul Hasan.
Jangan lagi engkau panggil aku Yahudi. Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah,
Muhammad adalah hamba serta utusan Allah, dan engkau adalah orang yang paling
pandai dari umat Muhammad ini.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar