Oleh DR.
Sabara, M.Fil.I
Memahami
pemikiran Ali Syariati terkait dengan berbagai macam hal dan diskursus
keilmuan, tentu bukan merupakan hal yang mudah, mengingat posisinya yang begitu
getol dalam menanggapi segala hal yang dihadapi, bisa dikata bahwa Syariati
adalah salah satu tokoh yang melahirkan berbagai macam diskurus kewacanaan
terkait dengan kompleksnya kehidupan. Ghulam Abbas Tawassuli, memuji Syari'ati
sebagai sosok yang memiliki kesadaran dan intuisi yang tajam, keberanian
berpikir, dan ketinggian jiwa, dan hal tersebut adalah sebagian dari karakter
manusia terpuji yang dimiliki oleh Ali Syariati.
Memahami
sosok dan pemikiran Syari'ati adalah memahami sosok seorang perenung yang
resah, spiritualis yang humanis, muslim (Syiah) yang taat, intelektual
organik, dan orator yang propagandis dan puitis. Karena itulah, Memahami
pikiran seorang Ali Syari'ati tidaklah mudah, melihat kompleksitas diri dan
pikirannya. Ali Syari'ati tahu dan sadar betul bahwa ia hidup di tengah-tengah
masyarakat muslim (khususnya bangsa Iran) yang sedang berada dalam suasana
penindasan, kesaliman, keterbelakangan, kebodohan, apatisme. Di sisi lain, Ali
Syari'ati diperhadapkan pada fenomena kaum intelektual dan ulama yang diam,
intelektual yang hanya sibuk berasyik-ma'syuk dengan keilmuan tapi tak
mampu menjadi intelektual yang membawa pencerahan, atau ulama yang hanya sibuk
dengan pengajaran dogama keagamaan dan abai terhadap spirit pemebbasan dari
agama (Islam). Bahkan yang lebih miris lagi, sebagain intelektual dan ulama tersebut
makin melegitimasi kelanggengan kezaliman dan penindasan. Pada situasi seperti
inilah, Ali Syari'ati hidup dan merenungkan kehidupannya.
Di
sisi lain Ali Syari'ati adalah seorang spiritualis yang humanis, Seerti yang
dituturkan oleh Ali Rahmena, pada tahun 1964, Ali Syari'ati gnostisisme yang
telah ia alami sejak masa kanak-kanak akhirnya menjadi "halilintar"
yang mentransformasikan kehidupannya dan memikatnya kepada sufisme.
Tulisan-tulisan Ali Syari'ati pada masa ini bisa dipandang sebagai bukti
pencarian gnostiknya. Dengan menjelaskan proses pencarian jiwa dan pencapaian
kebenaran, Ali Syari'ati menggambarkan pencariannya terhadap kesempurnaan
tujuan semua sufi.
Sebagai
seorang spiritualis, Ali Syari'ati tidak serta-merta larut dalam keasyikan
spiritual dan abai terhadap dunianya, Ali Syari'ati benar-benar meyakini bahwa
spiritualitas harus berbanding lurus dengan pencerahan dan pembebasan.
Spiritualis sejati adalah seperti sosok imam Ali dan Imam Husein yang tampil
sebagai agen yang memperjuangkan pembebasan umat. Sosok Ali Syari'ati yang
spiritualis-humanis ini tampak pada pemikiran beliau mengenai haji. Dalam
pandangan Syari'ati, haji adalah sebuah ritual yang membawa kita pada sebuah
refleksi evolusi eksistensial dan setiap ritus haji mengantarkan manusia pada
makna pembebasan yang sesungguhnya.
Aspek
lain yang tak bisa kita lupakan dalam memahami sosok Ali Syari'ati adalah bahwa
beliau sebagai seorang penganut Syiah yang fanatik yang percaya bahwa Syiah
adalah ideologi yang revolusioner. Refleksi seorang Ali Syari'ati sebagai sosok
muslim Syiah yang taat dan revolusioner dapat kita lihat dalam berbagai
tulisan-tulisan beliau yang menjadikan beberapa doktrin khas Syiah seperti imamah,
asyura, Mahdiisme,dan lainnya sebagai basis dari pikiran-pikiran
revolusioner beliau. Ali Syari'ati adalah orang yang percaya betul terhadap
doktrin Syiah, hanya saja refleksi beliau terhadap doktrin-doktrin tersebut
menjadikan nuansa yang berbeda dari pemahaman banyak kalangan Syiah lainnya.
Selain
sebagai seorang muslim (Syiah) yang taat, sosok Syari'ati juga harus dipahami
sebagai seorang intelektual yang tidak eksklusif pada suatu pemikiran tertentu.
Pengalaman beliau kuliah di Sorbone University Paris, membuat Ali Syari'ati
makin dekat dengan pemikiran-pemikiran Barat, sosok pemikir Barat seperti Franz
Fanon, Alexist Carrel, Jean paul Sartre, bahkan Karl Marx, dan lain-lain banyak
menginspirasi konstruksi pemikiran Ali Syari'ati. Karena begitu banyak
terpengaruh oelh pemikiran Barat, Ali Syari'ati kerap dituduh sebagai agen
rahasia Marxisme dan Babisme. Sebagai seorang inteletual
yang banyak concern pada tema-tema sosiologi, Ali Syari'ati sangat
tertarik pada hubungan dialektis antara teori dan praktek, antara ide dan
kekuatan sosial, dan antara kesadaran dan eksistensi kemanusiaan. Ali Syar'ati
memiliki komitmen yang tinggi untuk peragian (decay) gerakan-gerakan
revolusioner, khususnya agama radikal.
Ali
Syari'ati juga mesti dpahami sebagai seorang orator ulung yang tampil sebagai
propagandis revolusi Islam Iran. Beliau tampil sebagai orator yang bersemangat,
retoris, dan artikulatif dan sangat banyak memikat orang, khususnya kaum muda
Iran. Sebagai seorang propagandis, Ali Syari'ati kerap menggunakan jargon-jargon
yang mengkritik tajam institusi-institusi yang sudah mapan. Karena sebagai
seorang propagandis yang berbahaya inilah, Ali Syari'ati kemudian
"dibereskan" oleh agen SAVAK (intelejen Iran di masa Syah Pahlevi)
saat beliau berada di London pada tahun 1977. Sebagai seorang orator dan
propagandis ulung, Ali Syari'ati kerap menggunakan gaya bahasa yang simbolik
dan provokatif yang kerap keseluruhan maksudnya sangat sulit ditangkap,
penggunaan bahasa simbolik inilah yang membuat sedikit kesulitan dalam melacak
maksud dari pemikiran Ali Syari'ati. Pemilihan bahasa simbolik dilakukan secara
sadar oleh Syari'ati. Ia secara sadar memilih bahasa simbolik dibandingkan
bahasa expository yang lugas.
Menurut
Syari'ati bahasa simbolik (dan puitik) yang menyatakan makna lewat
simbol-simbol dan imaji adalah bahsa yang paling indah dan halus dibanding
bahasa yang pernah dikembangkan oleh manusia. Bahasa simbolik jauh lebih
universal, lebih mendalam, dan lebih abadi dibandingkan bahasa eksposisi yang
maksud dan kejelasannya terbatas pada waktu dan tempat.
Rupanya Ali Syari'ati ingin mengabadikan pesan-pesannya untuk semua waktu dan
tempat, meski konsekuensinya menjadi sulit melacak pemikiran Ali Syari'ati.
Pemilihan Ali Syari'ati pada bahasa simbolik dalam menyampaikan pesan-pesannya,
sangat dipengaruhi pula oleh transformasi spiritual yang ia alami. Menurut Ali
Rahmena, Ali Syari'ati menggunakan seni membuka konsep, sebuah bahsa yang
memiliki sebuah makna yang kelihatan dan superfisila yang sementara menutupi
sejumlah teka-teki.
Sosok
Ali Syari'ati yang multi-atribut sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya
membuat pemikrian Ali Syari'ati bersifat multi dimensi, dan karenanya multi
interpretable. Namun demikian, kita tetap masih bisa melihat konsistensi
pandangan dunia dalam tulisan-tulisan beliau. Pandangan-pandangan Ali Syari'ati
yang menonjol adalah menyangkut hubungan antara agama dan politik, yang dapat
dikatakan menjadi dasar dalam ideologi pergerakannya. Dalam konteks inilah,
Azyumardi Azra menyebut Ali Syari'ati sebagai pemikir politik keagamaan (politico
religio thinkeri).
Memahami
epistemologi atau manhaj pemikiran Ali Syari'ati tak lepas dari
memahami sosok Ali Syari'ati secara utuh, sosok Ali Syari'ati yang multi
atribut dan multi dimensi. Ali Syari'ati menghadirkan pikirannya melalui
dialektika antara idealita konsep dengan kenyataan serta praktek sosial, Ali
Syari'ati adalah orang yang gemar melakukan refleksi kritis terhadap
doktrin-doktrin (baik teologi maupun ritual) Islam guna menghadirkan muatan
ideologi Islam yang revolusioner. Ali Syari'ati adalah pemikir inklusif yang
sangat terbuka terhadap pemikrian Barat dan menjadikannya sebagai inspiring
dalam memahami ajaran Islam. Dan yang terpenting dari memahami pemikiran Ali
Syari'ati adalah beliau menggunakan bahasa simbolik dalam mengemas
pikiran-pikiran yang beliau sampaikan kepada publik. Ali Syari'ati lebih tampak
sebagai pemikir reflektif dibandingkan pemikir epistemik. Beliau tidak
meninggalkan sistematika atau konstruksi epistemologis yang jelas (sebagaimana
Murtadha Muthahhari), tapi beliau meninggalkan banyak catatan mengenai refleksi
kritis atas doktrin, teori, dan kenyataan sosial. Hal ini jualah yang membuat
kita menjadi sulit memahami pemikiran Ali Syari'ati secara sistemik, tapi,
seperti apa pun, sosok Ali Syari'ati dan pemikirannya adalah inspring
yang tak pernah kering. Karena Ai Syariati, sebagaiaman diungkapkan oleh Sayyid
Ali Khamene'i (pemimpin spiritual Iran) adalah pelopor penjelasan
masalah-masalah terbaru yang disingkap Islam modern, masalah-masalah yang sulit
dijawab dan dipahami generasi masa itu.
Pandangan Dunia
dan Ideologi
Pada
dasarnya dalam menjalani kehidupan, manusia sangat bergantung pada pola atau
kerangka pikir yang kemudian disebut sebagai pandangan dunia atau worldview.
Secara sederhana pandangan dunia adalah kerangka yang kita buat untuk melihat
dunia dan berbagai kejadian yang menyertainya. Berbagai kejadian dan peristiwa
kita beri makna dalam kerangka ini. Menurut Murtadha
Muthahhari, pandangan dunia inilah yang kemudian menjadi dasar dari ideologi
yang dianut oleh setiap individu dan golongan. Perbedaan pada ideologi yang
dianut oleh setiap manusia disebabkan perbedaan dalam hal menyusun kerangka
pandangan dunia Pandangan dunia, adalah bentuk dari sebuah kesimpulan,
penafsiran, dan hasil kajian yang ada pada seseorang berkenaan dengan Tuhan,
alam semesta, manusia, dan sejarah.
Gagasan
apa pun yang lahir dari seseorang pasti dipengaruhi oleh mazhab pemikiran yang
ia anut. Jika seseorang percaya pada mazhab pemikiran tertentu, maka
kepercayaan, emosi, jalan hidup, aliran politik, pandangan-pandangan sosial,
konsep-konsep intelektual, keagamaan dan etikanya tidaklah terpisah dengan
pandangan dunianya, dan karenanya pula maka mazhab pemikiran pada akhirnya
dapat menciptakan gerakan, membangun dan melahirkan kekuatan sosial
Pandangan
tentang dunia menurut Ali Syari'ati adalah pemahaman yang dimiliki seseorang
tentang wujud atau eksistensi. Misalnya, seseorang yang menyakini bahwa dunia
ini mempunyai Pencipta Yang Sadar dan mempunyai kekuatan atau kehendak, dan
bahwa dari catatan dan rekaman akurat yang disimpan, ia akan menerima ganjaran
atas amal perbuatannya atau dia akan dihukum lantaran amal perbuatannya itu,
maka ia adalah orang yang mempunyai pandangan tentang dunia religius.
Berdasarkan pandangan tentang dunia inilah seseorang lalu mengatakan:
"Jalan hidupku mesti begini dan begitu dan aku mesti mengerjakan ini dan
itu", inilah makna memiliki ideologi agama. Dengan demikian, idealism
Hegel, materialisme dialektik Marx, eksistensialisme Heiddeger, Taoisme Lao Tsu,
wihdatul wujud al-Hallaj, semuanya adalah pandangan tentang dunia.
Setiap pandangan tentang dunia ataupun mazhab pemikiran pasti akan
memperbincangkan konsep manusia sebagai konsep sentral
Pandangan
tentang dunia seseorang dipengaruhi oleh aspek-aspek spiritual dan material
yang khas dari masyarakatnya. Menurut Henry Bergson, dunia yang dipandang oleh
seorang individu yang hidup dalam suatu masyarakat tertutup merupakan suatu
dunia yang terkungkung. Begitu juga sebaliknya, seorang individu yang hidup
dalam masyarakat yang terbuka memandang dunia luar sebagai sesuatu yang tidak
terbatas, ekspansif dan senantiasa bergerak. Masyarakat dan agama selalu
menentukan visi manusia tentang dunia yang kemudian mempengaruhi
tindakan-tindakannya. Oleh karena itu, membahas pandangan tentang dunia pada
hakikatnya membahas tentang manusia sebagai subjek. Karena pandangan tentang
dunia mempengaruhi seseorang dalam mengambil pilihan tindakannya, maka
mempelajari pandangan hidup suatu komunitas sosial atau bangsa berarti
mempelajari tipe-tipe dari bentuk-bentuk dan pola kebudayaan serta berbagai
karakteristik yang dikembangkan oleh komunitas atau bangsa tersebut.
Di
tengah dominasi pandangan tentang dunia yang materialistik sekarang ini, Ali
Syari'ati menegaskan dirinya pada pilihan pandangan dunia religius. Jenis
pandangan dunia ini yakin bahwa jagat raya adalah sesuatu yang datang dari
Tuhan, sadar dan responsif terhadap tuntutan-tuntutan spiritual serta aspirasi
manusia. Hanya saja, kerangka dasar pandangan dunia yang bersifat religius yang
dimaksud adalah cara pandang yang berbasis pada hasil riset ilmiah yang
bersifat saintifik bukan bentuk yang ortodoks atau ekstrim. Ali Syari'ati
mengambil pilihan pandangan hidup sintetik di antara kutub ekstrim di atas
yaitu pandangan hidup religius humanistik yang mensublimasi unsur
manusia sebagai makhluk yang progresif, selalu mencari kesempurnaan dan sangat
manusiawi.
Ali
Syari'ati menawarkan gagasan pandangan tentang dunia religius humanistik untuk
memerangi dualisme kelas antara kelas penguasa dan yang dikuasai, antara kelas
borjuasi dan proletariat, sehingga manusia akan menemukan keesaan yang orisinil
dalam rangka membangun kesadaran manusia pada misinya sebagai wakil atau
khalifah Tuhan di muka bumi. Menurutnya, manusia adalah makhluk merdeka dan
memiliki potensialitas tanpa batas untuk menentukan nasibnya sendiri dan bukan
ditentukan oleh kekuatan eksternal dengan membangun semangat Tauhid.
Pandangan
dunia akhirnya bermetamorfosa dan membentuk ideologi sebagai keyakinan dan
cita-cita yang dianut oleh kelompok tertentu. Ali Syari'ati melakukan
redefenisi tentang pemahaman ideologi. Dimulai dari pendekatan etimologis, Ali
Syari'ati menjelaskan bahwa ideologi terdiri atas dua kata, idea dan logi.
Idea berati pemikiran, gagasan, keyakinan, cita-cita, dan kata logi
yang berarti logika, ilmu, atau pengetahuan, dengan demikian ideologi
adalah ilmu tentang cita-cita atau keyakinan. Menurut pengertian ini, seorang
ideolog adalah seorang pembela suatu ideologi atau keyakinan tertentu. Dengan
demikian, ideologi terdiri dari berbagai keyakinan dan cita-cita yang dianut
oleh suatu kelompok tertentu, kelas sosial tertentu, atau suatu bangsa.
Menurut
Ali Syari'ati, ideologi adalah fitrah yang paling penting dan bernilai
serta merupakan kesadaran diri yang istimewa dalam diri manusia. Kesadaran ideologis, menurut Ali Syari'ati merupakan
kesadaran khusus yang khas bagi manusia tanpa terkecuali.
Hal tersebut dikarenakan, ideologi menjadi "kebutuhan" manusia yang
paling mendasar untuk memberi arah atau petunjuk dalam mengungkap kebenaran
sampai ke tingkat melakukan verifikasi atas tindakan masyarakat serta
kondisi-kondisi sosial yang melingkupinya. Secara sederhana, ideologi berperan
dalam pemberian cara pandang, membentuk pemahaman, serta mengarahkan prilaku
manusia dalam berinteraksi dengan dunianya.
Berkebalikan
dengan pandangan Marx dan Weber yang berpandangan ideologi dibentuk oleh
struktur masyarakat. Syari'ati justru menyatakan bahwa, dengan kesadaran diri
(ideologi) inilah manusia membentuk masyarakat.
Ideologi menempati posisi yang begitu kuat dalam pikiran dan keyakinan manusia.
Dan ideologi, tetap diperpegangi sebagai penuntun hidup yang paripurna bagi
para penganutnya. Bagi Ali Syari'ati hanya ideologilah yang mampu merubah
masyarakat, karena sifat dan keharusan ideologi yang meliputi keyakinan,
tanggung jawab, dan keterlibatan untuk komitmen.
Pandangan Ali Syari'ati ini, senada dengan pandangan Antonio Gramsci, yang
menyatakan bahwa ideologi, lebih dari sekedar sistem ide. Ideologi secara
historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis (ideologi memberikan
spirit perjuangan). Selain itu, ideologi mengatur dan memberikan tempat bagi
manusia untuk bergerak dan, mendapatkan kesadaran mengenai posisi mereka maupun
perjuangan mereka dalam kehidupannya.
Pandangan Dunia
Tauhid: Tauhid yang Membebaskan
Pandangan
Tauhid dalam pemikiran Ali Syari'ati, dia sebut dengan istilah Tauhid Wujud
yang ilmiah dan analitis. Ali Syari'ati memandang
Tauhid lebih dari sekedar teologi, melainkan memandang Tauhid sebagai pandangan
dunia. Ali Syari'ati tidak mendedah konsep Tauhid dengan pendekatan teoogis,
mistis, ataupun filosofis, tapi merefleksikan Tauhid dalam kerangka pandangan
dunia dan ideologi. Basis ontologis Tauhid Wujud sebagai pandangan dunia adalah
memandang semesta sebagai satu kesatuan, tidak terbagi atas dunia kini dan
akhirat nanti, atas yang alamiah dan yang supra alamiah, atau jiwa dan raga.
Tauhid Wujud memandang seluruh eksistensi sebagai bentuk tunggal, organisme
tunggal yang memilliki kesadaran, cipta, rasa, dan karsa.
Untuk
menjadikan Islam sebagai ideologi yang mampu dipraksiskan dalam kehidupan dan
memberi implikasi yang positif bagi manusia. Syari'ati menyajikan secara detail
tahapan-tahapan ideologi. Pada tahap pertema, Syari'ati berangkat dari satu
pertanyaan mendasar mengenai kedudukan manusia dalam berhubungan dengan Tuhan
dan alam semesta. Untuk menjelaskan hal tersebut, terlebih dahulu Syari'ati
meletakkan pandangan dunia Tauhid sebagai pandangan dunia yang mendasar. Bagi
Ali Syari'ati, Tauhid tak sekedar pemahaman, lebih dari itu, Tauhid adalah
ideologi pembebasan. Basis ideologi Ali Syari'ati adalah Tauhid, sebuah
pandangan dunia mistik-filosofis yang memandang jagad raya sebagai sebuah
organisme hidup tanpa dikotomisasi. Sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Ali
Syari'ati, bahwa Tauhid meninggalkan lingkaran diskusi, penafsiran, dan
perdebatan filosofis, teologis, dan ilmiah, Tauhid masuk dalam urusan
masyarakat. Di dalam Tauhid tercakup berbagai masalah yang menyangkut hubungan
sosial.
Menurut
Syari'ati, pandangan dunia Tauhid mengindikasikan secara langsung bahwa
kehidupan adalah suatu bentuk yang tunggal. Kehidupan
adalah kesatuan dalam trinitas tiga hipotesis, yaitu Tuhan, manusia, dan alam.
Tauhid menyatakan bahwa alam adalah sebuah totalitas kreasi harmoni. Hal ini
tentu saja berbeda secara fundamental dengan pandangan dunia yang membagi
realitas dunia ke dalam dua kategori yang dikotomistik-binerian; materi-non
materi, jasmani-ruhani, khalq-makhluk, alam fisik-alam gaib, serta
individu-masyarakat. Dalam pandangan Ali Syari'ati, hal tersebut adalah syirik
atau lawan dari Tauhid karena menentang pandangan kesatuan antara Tuhan,
manusia, dan alam. Dengan kata lain pandangan dunia Tauhid adalah pandangan
dunia yang melihat kenyataan sebagai realitas yang holistik, universal,
integral dan monistik.
Semua
makhluk dan objek di alam semesta yang merupakan refleksi atas kebesaran Tuhan.
Pandangan dunia Tauhid merupakan pandangan dunia yang integral. Pandangan dunia
Tauhid memberikan "kelonggaran" bagi manusia untuk mengembangkan
kebebasannya, sehiingga manusia bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan
yang dilakukannya. Pandangan dunia Tauhid juga memandang bahwa manusia sebagai insan
yang memiliki kemerdekaan dan martabat yang sangat tinggi.
Berbeda
dengan pandangan kaum eksistensialisme ateistik, seperti Sartre yang menyatakan
dengan tegas bahwa manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Sartre, menafikan Tuhan dalam kaitannya dengan kebebasan
manusia dalam eksistensinya. Meenurut Sartre, ada tidaknya Tuhan tidak akan
mengubah penghayatan manusia tentang dirinya sebagai eksistensi. Penafian Tuhan dalam gerak "mengada" manusia
juga dilontarkan oleh filosof materialis Jerman, Ludwig Van Feurbach, yang
menyatakan bahwa Tuhan tak lebih hanyalah proyeksi akal pikiran manusia semata.
Realitas tuhan yang sejati tak lain hanyalah diri manusia itu sendiri yang
dilemparkan oleh manusia menjadi satu sosok di luar dirinya dan berkuasa atas
dirinya. Kedua filosof tersebut menganggap manusia
benar-benar menjadi sentrum eksistensi dari alam semesta ini. Pendapat
kedua tokoh tersebut, termasuk juga para pemikir materialisme ateistik yang
lain, dapat digambarkan secara puitis, sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad
Zuhri, "Ketahuilah, bahwa bermilyar tahun alam semesta tidak sadar akan
dirinya, dan ketika ia sadar akan dirinya, manusialah wujudnya."
Dalam
pandangan dunia Tauhid, Tuhan adalah tujuan yang kepadaNyalah seluruh
eksistensi dan makhluk bergerak secara simultan, dan Dia jualah yang menentukan
tujuan dari alam semesta ini. Penyembahan terhadap kekuatan Absolut (Allah Yang
Esa) yang merupakan seruan terbesar dari ajaran Ibrahim as, terdiri atas seruan
kepada semua manusia untuk menyembah Penguasa tunggal di jagad raya ini.
Penyembahan tersebut dimaksudkan untuk mengarahkan perhatian manusia kepada
satu tujuan penciptaan dan untuk mempercayai satu kekuatan yang paling efektif
dari seluruh eksistensi dan sebagai tempat berlindung dan bergantung manusia
sepanjang hayat dan sejarah.
Sebagaimana
dikatakan oleh seorang sufi besar, Farid al-Din al-Athar, "bila kau ingin
sempurna, carilah kesemestaan, pilihlah kesemestaan, dan jadilah
kesemestaan." Dalam pandangan dunia Tauhid,
hakekat kesejatian manusia adalah potensi Ruh Allah yang telah ditupkan dalam
diri manusia. Ruh Allah tersebut adalah "kesemestaan" sebagaimaana
yang dimaksud oleh al-Athar. Ruh Allah adalah realitas paling sublim dan ultim
dalam diri manusia yang menjadi modus bagi eksistensi manusia dalam
kehidupannya.
Tauhid
sebagai modus eksistensi manusia, digambarkan oleh Syari'ati dalam
pembahasannya yang sangat romantik, reflektif, dan revolusioner tentang ibadah
haji. Beliau mengatakan, ibadah haji menggambarkan "kepulangan"
manusia kepada Allah yang Mutlak dan Tidak Terbatas, serta tidak ada yang
menyerupaiNya. Perjalanan "pulang" kembali kepada Allah menunjukkan
suatu gerakan yang pasti menuju kesempurnaan, kebaikan, kebenaran, keindahan,
pengetahuan, kekuatan, nilai-nilai, dan fakta-fakta.
Tauhid
sebagai modus eksistensi bermakna, bahwa Allah adalah tempat asal dan tempat
kembali manusia. dariNyalah seluruh atribut Ilahiyah yang dimiliki
oleh manusia berasal. Berbeda dengan filsafat eksistensialisme Jean Paul
Sartre, yang menganggap Tuhan sebagai sosok yang menghalangi kebebasan manusia.
Syari'ati memandang, bahwa tuhan adalah sosok pembebas bagi manusia, dengan
melakukan upaya pendekatan diri kepadaNya, maka manusia akan terbebas dari
nilai-nilai lumpur busuk yang kotor dan melambangkan keadaan manusia yang
dehumanis menuju Ruh Allah yang suci sebagai sumber seluruh nilai-nilai
humanisme yang universal.
Pandangan
dunia Tauhid menuntut manusia hanya takut pada satu kekuatan, yaitu kekuatan
Tuhan, selain Dia adalah kekuatan yang tidak mutlak alias palsu. Tauhid menjamin
kebebasan manusia dan memuliakan hanya semata kepadaNya. Pandangan ini
menggerakkan manusia untuk melawan segala kekuatan dominasi, belenggu, dan
kenistaan manusia atas manusia. Tauhid memiliki esensi sebagai gagasan yang
bekerja untuk keadilan, solidaritas, dan pembebasan.
Implikasi logis dari pandangan dunia Tauhid adalah bahwa menerima kondisi
masyarakat yang penuh kontradiksi dan diskriminasi sosial, serta menerima
pengkotak-kotakan dalam masyarakat sebagai syirik. Dengan demikian, dalam
pandangan Ali Syari'ati, masyarakat tanpa kelas adalah sebuah konsekuensi dari
Tauhid. (IRIB Indonesia/PH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar