Hari Lahir
Pada hari Jumat, 13 Rajab, tepatnya 23 tahun sebelum hijrah,
lahirlah dari keluarga Abu Thalib seorang bayi mulia yang menyinari kota Makkah
dan alam semesta dunia.
Ketika paman Nabi saw yang bernama Abbas bin Abu Thalib sedang
duduk santai bersama seorang lelaki yang bernama Qu'nab, datanglah Fatimah
binti Asad untuk melakukan tawaf di sekeliling Ka'bah dan memanjatkan doa ke
hadirat Allah SWT. Pandangan matanya tertuju ke langit sambil bermunajat
kepada-Nya dengan penuh khusyuk.
Dalam doanya itu ia berkata, "Ketahuilah wahai Tuhanku,
sesungguhnya aku beriman kepada-Mu dan kepada semua yang datang dari sisi-Mu,
yaitu para rasul dan kitab-kitab yang dibawa oleh mereka. Sesungguhnya aku
membenarkan seruan kakekku Ibrahim Al-Khalil as. Dialah yang membangun kembali
Ka'bah yang mulia ini. Maka demi orang yang telah membangun Ka'bah ini, dan
demi janin yang ada dalam kandunganku ini, aku memohon pada-Mu; mudahkanlah
kelahirannya."
Tidak lama setelah itu, terjadilah peristiwa yang sangat
menakjubkan, pertanda bahwa Allah SWT telah mengabulkan doanya. Di saat itu,
tembok Ka'bah terbelah sehingga Fatimah binti Asad bisa masuk ke dalamnya,
setelah itu tertutup kembali. Peristiwa yang sangat aneh dan menakjubkan itu
membuat semua orang yang menyaksikannya terheran-heran.
Abbas bin Abu Thalib yang juga turut menyaksikan kejadian tersebut
langsung pulang ke rumah untuk mengabarkan kejadian tersebut kepada keluarga
dan kerabatnya, lalu kembali lagi ke Ka'bah bersama beberapa orang wanita untuk
membantu kelahiran janin Fatimah itu. Namun, mereka hanya mampu mengelilingi
Ka'bah, tanpa bisa masuk ke dalamnya. Seluruh penduduk kota Makkah tetap dalam
kebingungan sambil menanti Fatimah keluar.
Empat hari kemudian, barulah Fatimah keluar dari dalam Ka'bah
sambil menimang putranya yang baru saja lahir. Orang-orang bertanya-tanya
tentang nama bayi mulia itu, Fatimah menjawab, "Namanya adalah Ali."
Demikianlah kelahiran Imam Ali as yang serba menakjubkan itu.
Semenjak masih dalam susuan, Ali tumbuh besar dan terdidik di
dalam rumah Nabi saw. Pada salah satu khutbahnya yang terhimpun dalam Nahjul
Balaghah, Ali pernah menuturkan, "Ketika aku masih kecil, beliau
saw membaringkanku di tempat tidurnya, mendekapku dengan penuh kasih-sayang,
dan mengunyahkan makanan untuk disuapkan ke mulutku."
Masa Kanak-Kanak
Sejak masa kanak-kanak, Imam Ali as tidak pernah berpisah dari
pendidikan manusia agung Rasulullah saw. Beliau senantiasa menyertai Rasulullah
saw, laksana bayangan yang begitu setia mengikuti empunya.
Mengenang masa kanak-kanaknya, Imam Ali as mengisahkan, "Aku
senantiasa mengikuti Rasulullah saw bak seorang anak unta yang masih menyusu
selalu menyertai ibunya. Setiap hari Rasulullah saw selalu menyempurnakan
perangaiku dan memintaku untuk mengikutinya. Setiap tahun aku selalu
menyaksikan beliau pergi ke goa Hira’, sementara tidak seorang pun mengetahui
kepergian beliau. Ketika itu, tidak ada satu rumah pun yang menyatukan seorang
pun di dalam Islam selain Rasulullah, Khadijah, dan yang ketiga adalah aku
sendiri. Kusaksikan cahaya wahyu dan risalah ilahi. Di sana kucium semerbak
kenabian dari rumah kudus itu."
Ketika Allah SWT mengangkat Muhammad saw sebagai seorang Rasul
untuk seluruh umat manusia, dan memerintahkan agar beliau berdakwah dan
memberikan peringatan kepada keluarga serta kerabatnya, beliau memerintahkan
Ali agar menyiapkan makanan untuk 40 orang dan mengundang kerabat beliau. Di
antara mereka yang memenuhi undangan ialah paman-paman beliau, seperti Abu
Thalib, Hamzah, Abbas, dan Abu Lahab.
Seperti dalam kenangan Imam Ali as sendiri, beliau menuturkan,
"Kemudian Nabi berpidato di hadapan mereka, 'Wahai putra-putra Abdul
Muthalib! Demi Allah, sesungguhnya aku tidak pernah melihat di antara bangsa
Arab ada seorang pemuda yang mendatangi kaumnya dengan sesuatu yang lebih utama
daripada apa yang telah kubawa untuk kalian. Sesungguhnya aku membawa untuk
kalian kebaikan dunia dan akhirat. Ketahuilah, bahwa Allah SWT telah
memerintahkan kepadaku agar mengajak kalian semua untuk meraih kebaikan
tersebut. Siapakah di antara kalian yang siap membela dan menolongku dalam
urusan ini dan untuk menjadi saudaraku, washi, dan khalifahku atas
kalian semua?'
Ketika itu, semua yang hadir diam dan tidak seorang pun yang
menjawab seruan beliau. Aku segera berkata, meski usiaku saat itu paling muda
di antara mereka, 'Aku ya Rasulullah, akulah yang akan menjadi pembela dan
penolongmu.' Saat itu juga Rasulullah saw berkata, 'Inilah Ali sebagai
saudaraku,washi, dan khalifahku atas kalian semua. Maka, dengarkanlah
dan taatilah dia.”
Masa Muda
Masa kanak-kanak seakan berlalu begitu cepat. Kini Ali as telah
menjadi seorang pemuda sempurna. Sementara ia masih terus mengikuti Rasulullah
saw ke mana saja beliau pergi dan di mana saja beliau berada, bagaikan laron
yang selalu beterbangan di sekitar lilin.
Ali as adalah pemuda yang tampan, kuat, dan gagah berani. Kekuatan
dan keberanian ini digunakannya untuk berkhidmat dan berbakti kepada agama
Allah SWT dan Rasul-Nya.
Ketika kita menengok sejarah Islam, kita jumpai bagaimana Imam Ali
as senantiasa hadir dan ikut serta dalam setiap peperangan dan pertempuran.
Beliau berperang dan menyerang musuh-musuhnya dengan penuh ksatria dan prawira
di barisan terdepan.
Pada perang Hunain, di saat sebagian kaum muslimin lari
tunggang-langgang meninggalkan Rasulullah saw di awal pertempuran, Ali as tetap
tampil tegar dan gigih melakukan perlawanan, sementara bendera Islam tetap
berkibar di atas kepalanya, sampai akhirnya tentara Islam dapat meraih
kemenangan atas pasukan musyrikin.
Pada perang Khaibar, Ali bin Abi Thalib as memimpin pasukan
muslimin untuk melakukan serangan yang dahsyat terhadap kaum Yahudi. Padahal
sebelumnya, pasukan muslimin mengalami dua kali kegagalan. Penyerangan pertama
dipimpin oleh Abu Bakar, dan penyerangan kedua dipimpin oleh Umar bin Khattab.
Kedua usaha penyerangan itu dapat dipukul mundur oleh pasukan Yahudi.
Penyerangan ketiga dipercayakan kepada Ali. Beliau memimpin
pasukan dan berhasil menjebol benteng kokoh Khaibar. Bahkan, beliau mencabut
salah satu pintu gerbang benteng itu dan mengangkat dengan tangannya sendiri.
Ketika kaum Yahudi menyaksikan kegagahan dan keberanian Ali
tersebut, mereka segera kabur tunggang-langgang karena ketakutan, sebelum
akhirnya mereka menyerah.
Tebusan Pertama
Setiap manusia yang berakal sehat selalu berusaha membela dirinya,
karena ia ingin senantiasa hidup, dan tidak menghendaki kematian. Dalam
kehidupan ini, kita saksikan sedikit sekali orang-orang yang mau mengorbankan
dirinya demi orang lain.
Ketika kita membaca sejarah Rasulullah saw dan kisah perjalanan
hijrah beliau, kita akan merasa kagum dan penuh haru. Kita saksikan betapa Imam
Ali as dengan penuh keberanian berbaring di tempat tidur Nabi saw sebagai
tebusan jiwa beliau yang suci dari serangan musuh-musuh Islam yang ingin
membunuhnya pada malam hijrah itu, padahal ketika itu Imam Ali as masih sangat
muda.
Rencana pembunuhan atas diri Rasulullah saw itu diawali dengn
berkumpulnya sekelompok kaum musyrikin di Darun Nadwah. Di sanalah
mereka membuat kesepakatan dan memutuskan untuk menghabisi jiwa kudus
Rasulullah saw. Cara dan taktik yang mereka ambil ialah dengan memilih satu
orang pemuda dari setiap kabilah Quraisy. Mereka ditugaskan menyergap rumah
Rasulullah saw pada tengah malam dan membunuhnya secara serentak.
Wahyu Ilahi turun dari langit, mengabarkan kepada Rasulullah saw
akan tipu daya dan makar jahat orang-orang kafir Quraisy tersebut. Mengetahui
rencana jahat itu, Imam Ali as segera pergi menuju rumah Rasulullah saw untuk
bermalam di tempat tidur beliau.
Dengan izin Allah SWT, Rasulullah saw berhasil keluar pada malam
hari itu juga tanpa diketahui oleh mereka. Mereka malah menduga bahwa beliau
masih berada di tempat tidurnya. Ketika mereka berhasil masuk untuk membunuh
beliau saw, ternyata yang mereka dapati adalah Ali. Betapa terkejutnya saat
mereka menjumpai Ali yang tengah berbaring di atas tempat tidur Nabi saw.
Mereka pun segera pergi meninggalkan rumah Nabi dalam keadaan malu dan penuh
kecewa.
Demikianlah Rasulullah saw dapat menyelamatkan diri berkat pengorbanan
sahabatnya yang setia, Imam Ali as.
Di Jalan Allah
Islam adalah agama keselamatan dan kehidupan. Karena itu, Islam
menolak pembunuhan dan pertumpahan darah tanpa hak. Semua peperangan dan
pertempuran yang terjadi pada masa Rasulullah saw adalah demi membela diri dan
mempertahankan agama.
Beliau senantiasa berusaha menghindari peperangan sebisa mungkin.
Akan tetapi ketika Islam terancam bahaya, kaum muslimin pun melakukan
pertahanan dan perlawanan gigih dan kesatria demi mengangkat “Kalimat Allah”.
Ketika kita mengkaji peperangan-peperangan yang terjadi pada masa
awal-awal Islam, sejarah mencatat bahwa pedang Ali bin Abi Thalib berperan
andil yang sangat besar atas kejayaan Islam dan umatnya. Pedang yang diberi
nama Dzul Fiqar itu senantiasa berkilauan, bagaikan kilat
menyambar dalam setiap medan peperangan.
“Ali senantiasa bersama hak dan hak selalu bersama Ali.” Demikian
sabda Nabi saw tentang Imam kita, Ali bin Abi Thalib as.
Akhlak Imam Ali as
Pada masa khilafah Imam Ali as, Kufah merupakan ibu kota
pemerintahan Islam, sekaligus menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan
Islam.
Pada suatu hari, terjadi pertemuan di luar kota Kufah antara dua
orang laki-laki. Satu di antara mereka adalah Amirul Mukminin Ali as dan yang
lainnya adalah seorang laki-laki yang beragama Nasrani. Laki-laki Nasrani ini
sama sekali tidak mengenal beliau. Berlangsunglah percakapan antara kedua orang
itu sambil berjalan, hingga keduanya sampai di persimpangan yang memisahkan
jalan mereka menjadi dua; yang satu menuju kota Kufah dan yang lainnya mengarah
ke suatu perkampungan.
Imam Ali as harus menempuh perjalanannya menuju kota Kufah,
sementara laki-laki Nasrani itu hendak melanjutkan perjalanannya menuju
kampungnya. Namun beliau masih saja mengiringinya, padahal seharusnya beliau
mengambil jalan yang menuju ke arah kota kufah.
Laki-laki Nasrani itu terkejut dan berkata kepada Imam Ali,
“Bukankah Anda hendak kembali ke Kufah?” Beliau menjawab, “Ya betul, akan
tetapi aku ingin mengantarmu beberapa langkah demi menunaikan hak persahabatan
dalam perjalanan, karena sesungguhnya teman seperjalanan itu mempunyai hak dan
aku ingin memenuhi hakmu itu.”
Laki-laki Nasrani itu merasa tertarik dan ia bergumam dalam
hatinya, “Betapa agung dan mulianya agama orang ini yang telah mengajarkan
akhlak yang mulia kepada manusia.” Ia pun sangat terdorong untuk mengungkapkan
keislamannya dan bergabung bersama kaum muslimin.
Kekaguman dan keterkejutannya itu menjadi lebih besar lagi tatkala
ia tahu, bahwa sebenarnya teman perjalanannya itu tiada lain adalah Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib as, pemimpin negara Islam yang luas.
Keteguhan Ali as
Pada kondisi yang wajar dan normal, seseorang akan dapat
mengendalikan jiwa dan menentukan sikapnya yang sesuai dengan kondisi tersebut.
Akan tetapi, pada kondisi dimana ia terbakar api kemarahan dan permusuhan,
seseorang acapkali kehilangan keseimbangan dirinya, hingga pada saat-saat
seperti ini sulit sekali baginya untuk menguasai kembali dirinya.
Tidak demikian halnya pada diri Ali Abi Thalib as. Ia tetap tenang
dan tegar pada setiap keadaan dan kondisi. Sikapnya sama sekali tidak
terpengaruh oleh dorongan emosi jiwanya, dan perbuatannya senantiasa mengiringi
ridha Allah SWT.
Perilaku Ali di dalam rumah tangga, sikapnya dalam peperangan,
pergaulan dan perlakuannya di tengah masyarakat senantiasa tunduk di bawah
syariat dan undang-undang Islam. Beliau telah menjaga jiwanya sedemikian rupa,
sehingga ia menjadi teladan yang unggul bagi setiap muslim yang beriman kepada
Tuhannya.
Dalam perang Khandaq, ketika kaum musyrikin hendak menyerang kota
Madinah, atas perintah Rasulullah saw kaum muslimin menggali parit untuk
melindungi kota dari serangan musuh. Situasi saat itu sangat genting dan
membahayakan sekali bagi umat Islam, terlebih lagi ketika ‘Amr bin Abdi Wud dan
sebagian penunggang kuda musyrikin Quraisy berhasil melompati parit tersebut.
Setelah berhasil melewati parit dengan kudanya yang besar dan
gagah, Amr bersuara lantang menantang kaum muslimin untuk turun ke perang
tanding dengannya. ‘Amr bukanlah orang biasa. Ia seorang jawara Arab yang gagah
berani.
Ketika itu sebagian besar kaum Muslimin merasa ciut dan gentar
hatinya untuk berhadapan dengannya, termasuk Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Pada
kesempatan inilah Imam Ali bangkit untuk memenuhi tantangan ‘Amr. Beliau maju
menuju ke arah musuh yang congkak itu, tanpa sedikit pun ada rasa takut dalam
hatinya.
Sementara itu, Rasulullah saw dengan tenang menyaksikan peristiwa
itu dan bersabda, “Kini keimanan seutuhnya bangkit melawan kemusyrikan
seutuhnya.”
Akan tetapi, ‘Amr bin Abdi Wud berusaha menghindar dari bertanding
duel dengan Imam Ali. Ia berkata, “Wahai Ali! Kembalilah! Aku tidak ingin
membunuhmu.” Ali menjawab dengan penuh kemantapan iman, “Tapi, aku ingin
membunuhmu.”
Mendengar jawaban itu, ‘Amr naik pitam dan begitu berang. Segera
ia menghunuskan pedangnya dan melayangkannya ke arah Ali. Namun, Ali dengan
cepat dapat menghindar dari serangan pedang tersebut. Untuk beberapa saat,
kedua pemberani itu itu saling menyerang, menangkis, dan menghindar.
Ali tidak memberikan peluang sedikit pun kepada lawannya untuk
menarik nafas. Sampai pada kesempatan yang tepat, Ali dapat melayangkan pedang
Dzul Fiqarnya tepat mengenai sasaran yang membuat ‘Amr jatuh tersungkur di atas
tanah. Pemandangan tersebut membuat kawan-kawan ‘Amr ketakutan dan mundur
secara teratur.
Namun, tatkala Ali hendak menghabisi nyawanya, ‘Amr yang congkak
itu malah meludahi wajahnya. Untuk sesaat saja perlakuan seperti itu menyulut
kemarahan Ali. Karena itu pula ia mengurungkan niat untuk membunuh ‘Amr sampai
emosi beliau kembali tenang. Ali melakukan ini agar tebasan pedangnya bukan
sebagai pembalasan dendam dan dorongan murka, akan tetapi demi keikhlasannya
yang murni kepada Allah SWT dan agama-Nya.
Sungguh, Ali adalah kesatria teladan bagi seluruh prajurit di
semua peperangan dan pertempuran. Sikap dan sepak terjangnya telah mengukir
indah sejarah bangsa Arab dan Islam dengan tinta emas.
Setelah ‘Amr bin Abdi Wud terhempas mati, Ali kembali membawa
kemenangan gemilang kepada Rasulullah saw. Beliau menyambutnya degan penuh
hangat, haru, dan puas. Beliau berkata, “Tebasan pedang Ali atas ‘Amr
menandingi pahala ibadahnya seluruh tsaqalain.” Yakni, pukulan pedang Imam Ali
as yang membelah badan ‘Amr menjadi dua itu sama dengan ibadahnya seluruh jin
dan manusia.
Pada saat berlangsungnya duel antara Ali bin Abi Thalib dengan
‘Amr bin Abdi Wud, kaum musyrikin senantiasa mengamati dan memperhatikan
peristiwa itu dengan penuh ketegangan. Tatkala mereka menyaksikan prajuritnya
itu jatuh tersungkur ke tanah, mereka pun mendengar Ali berteriak keras,
“Allahu Akbar”. Seketika itu pula dada mereka bergetar ketakutan,
jiwa mereka tampak melemah dan putus asa untuk melanjutkan peperangan.
Akhirnya, mereka mengakhiri penyerangan dan pengepungan kota
Madinah dan kembali menarik diri dengan segenap kepiluan, kegagalan, dan
kekecewaan.
Imam Ali as di Perang Shiffin
Kekesatriaan dan keprawiraan itu tidaklah berarti apapun jika
tidak diiringi dengan sifat semulia belas dan kasih sayang. Manusia yang
berjiwa laksana pahlawan dan pemberani senantiasa menjaga kehormatan dirinya.
Demikianlah sosok agung Imam Ali as.
Beliau tidak mau membunuh musuhnya yang telah terluka parah atau
tercekik kehausan. Beliau juga enggan mengusir orang yang kalah.
Perikemanusiaannya begitu tinggi dalam setiap peperangan. Beliau tidak pernah
menggunakan lapar atau haus-dahaga sebagai senjatanya dalam peperangan melawan
musuh-musuh Islam, walaupun mereka sama sekali tidak menganggap penting akan
perkara itu.
Bahkan sebaliknya, musuh-musuh Islam tak segan-segan menggunakan
cara yang paling buruk demi meraih kemenangan. Dalam perang Shiffin misalnya,
pasukan Mu‘awiyah berhasil menguasai sungai Furat, dan ia memerintahkan kepada
segenap pasukannya agar mencegah prajurit Imam Ali as untuk mendekati sungai
tersebut. Namun, beliau mengingatkan mereka bahwa ajaran Islam, kemanusiaan,
dan kekesatriaan sangat mengecam perlakuan semacam itu. Akan tetapi, Muawiyah
tidak mempedulikannya, karena yang ia pikirkan hanyalah keuntungan pribadi dan
tujuannya yang rakus dan hina.
Pada saat itu Imam Ali as berkata kepada para prajuritnya dengan
suara lantang, “Hilangkan dahaga pedang-pedang kalian dengan darah, demi
menghilangkan rasa haus kalian dengan seteguk air, karena sesungguhnya kematian
dalam kehidupan kalian akan tunduk, dan kehidupan dalam kematian kalian akan
unggul.”
Dengan serentak para prajurit Imam Ali as menyerang musuh-musuh
Islam yang tengah menjaga sungai Furat, dan dengan mudahnya mereka merebut
sungai itu. Kemudian para prajurit Imam Ali as pun segera menyatakan bahwa
mereka akan memukul setiap pasukan Muawiyah yang hendak meneguk air dari sungai
tersebut. Akan tetapi, Imam Ali as segera mengeluarkan perintahnya agar
mengosongkan tepi sungai dan tidak menggunakan air sebagai senjata, karena yang
demikian itu bertentangan dengan akhlak Islam dalam peperangan.
Sang Pemimpin Yang Miskin
Masih pada masa-masa menjabat sebagai Amiril Mukminin dan khalifah
bagi kaum muslimin, Imam Ali as menghadapi berbagai tantangan, bencana, dan
kesusahan hidup dunia. Walaupun demikian, beliau sendiri terjun langsung
menangani kemiskinan umat Islam dan rakyatnya.
Imam Ali as sama sekali tidak memiliki dendam pribadi kepada siapa
pun, sehingga orang-orang yang sebelumnya memusuhi beliau dan menyimpan
kedengkian serta kebencian yang mendalam sekalipun tetap dapat menerima bagian
dari Baitul Mal (kekayaan negara). Bahkan, beliau tidak membeda-bedakan dalam
membagikan harta Baitul Mal itu di antara para sahabat, kerabat, famili, dan
orang-orang yang dekat dengan beliau dengan yang rakyat lainnya.
Pada suatu hari, seorang wanita bernama Saudah datang menjumpai
Amirul Mukminin Ali as untuk mengadukan perlakuan buruk seorang pegawai pajak
terhadap dirinya. Ketika itu beliau sedang melaksanakan salat. Tatkala bayangan
seorang wanita itu datang menghampirinya, beliau mempercepat salatnya.
Seusai salat, beliau menoleh kepada wanita itu dan berkata
kepadanya dengan penuh santun dan lembut, “Apa yang bisa saya lakukan untukmu?”
Sambil menangis Saudah menjawab, “Aku ingin mengadukan perlakuan buruk pegawai
saat mengambil pajak dariku.” Mendengar hal itu Imam Ali as terkejut dan
menangis, kemudian mengangkat kepalanya ke langit dan berkata, “Ya Allah!
Sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak menyuruh mereka untuk berbuat
aniaya terhadap hamba-Mu.”
Setelah itu beliau megambil sepotong kulit dan menuliskan sebuah
perintah untuk memecat pegawai buruk tersebut dari pekerjaannya. Surat tersebut
beliau serahkan kepada Saudah. Dengan gembira wanita itu menerimanya untuk
selanjutnya ia sampaikan kepada yang bersangkutan.
Pada suatu hari Amiril Mukminin Ali as menerima laporan dari kota
Bashrah bahwa gubernur kota itu yang bernama Utsman bin Hanif telah memenuhi
undangan seorang kaya raya dan hadir dalam pesta pernikahannya. Mendengar hal
tersebut, beliau segera mengirimkan sehelai surat untuknya.
Dalam surat itu Imam Ali as. menegur dan memberikan peringatan
kepada gubernurnya tentang sesuatu di balik undangan tersebut. Karena
sesungguhnya orang-orang kaya apabila mengadakan pesta perkawinan bukanlah
sekedar menyajikan jamuan makanan semata. Akan tetapi, acara semacam itu mereka
jadikan sebagai alat pelicin dan suap untuk penguasa kota tersebut, sehingga
mereka dapat meraih tujuan mereka. Di dalam surat itu pula Imam as menyampaikan
berbagai saran dan nasihatnya yang perlu direnungkan dan dicamkan baik-baik.
Dalam surat tersebut Imam Ali as menegaskan, “Wahai Ibn Hanif,
telah sampai laporan kepadaku bahwa ada orang kaya raya yang mengundangmu untuk
menghadiri pesta pernikahan, lalu dengan segera dan senang hati engkau
menyambut undangan tersebut dengan jamuan makanan yang berwarna warni. Sungguh
aku tidak mengira bahwa engkau sudi menghadiri makanan seseorang yang hanya
dihadiri oleh orang-orang kaya sedang orang-orang miskin tidak mereka hiraukan.
“Ketahuilah sesungguhnya setiap rakyat mempunyai pemimpin yang
harus ditaati dan diikuti petujuk cahaya ilmunya. Ketahuilah! Sesungguhnya
pemimpinmu mencukupkan tubuhnya hanya dengan dua helai jubah yang kasar, dan
makanannya hanya dengan dua potong roti kering.”
Salah seorang sahabat Imam Ali as yang bernama ‘Ady bin Hatim
At-Tha’i pernah ditanya seseorang tentang pemerintahan beliau. Ia berkata, “Aku
saksikan orang yang kuat menjadi lemah di sisinya karena ia menuntut tanggung
jawab darinya, dan orang yang lemah menjadi kuat di sisinya karena hak-haknya
terpenuhi.”
Tentang keadaan hidupnya, beliau sendiri pernah menggambarkan,
“Bagaimana mungkin aku menjadi seorang pemimpin jika aku sendiri tidak
merasakan kesusahan dan kesengsaraan mereka.”
Dalam pandangan Imam Ali, kekuasaan dan jabatan itu tidaklah
berharga. Pada suatu kesempatan, beliau pernah bertanya kepada Ibn Abbas
sembari menjahit sandalnya, “Menurutmu berapa harga sandalku ini?” Setelah
memandang dan mengamati beberapa saat, Ibnu Abbas berkata, “Sangat murah,
bahkan tidak ada harganya.” Kemudian Imam Ali as lantas berkata, “Sesungguhnya
sandal ini lebih berharga bagiku dibandingkan sebuah kekuasaan dan jabatan
kecuali aku dapat menegakkan yang hak dan menghancurkan kebatilan.”
Tidak Ada Keistimewaan!
Sejak hari pertama menjadi khalifah kaum muslimin, Imam Ali as
menegaskan di hadapan khalayak bahwa pemerintahannya akan berjalan di atas
keadilan dan persamaan hak di antara rakyat, dan bahwa tidak ada perbedaan
antara orang Arab dan orang Ajam (non-Arab) kecuali dengan takwa. Beliau pun
tidak membedakan antara tuan dengan budaknya.
Sebagian orang mengecam jalan pemetintahan beliau tersebut. Mereka
memberikan usulan agar beliau kembali kepada cara-cara pemerintahan lama yang
telah dijalankan oleh para khalifah sebelumnya. Namun, Imam Ali as menolak
dengan jawaban keras, “Apakah kalian memintaku untuk meraih kemenangan dengan
jalan kezaliman?” Beliau melanjutkan, “Seandainya harta negara itu adalah
milikku sendiri, maka aku pun akan membagi rata kepada seluruh rakyat. Apalagi
harta itu adalah milik Allah.”
Pada suatu hari kakak beliau yang bernama Aqil datang ke rumahnya.
Imam Ali as menyambut gembira kedatangan sang kakak. Ketika tiba waktu makan
malam, ternyata Aqil tidak melihat apa-apa di atas sufrah (alas
makanan) selain roti dan garam. Ia terkejut dan berkata kepada Imam Ali, “Hanya
inikah yang aku lihat?” Beliau menjawab, “Bukankah ini adalah nikmat Allah yang
patut disyukuri?”
Kedatangan Aqil sebenarnya untuk meminta bantuan kepada Imam Ali
as demi menutupi utangnya. Imam berkata, “Tunggu sebentar, aku akan ambilkan
harta milikku.” Aqil mulai merasa kesal dan berkata, “Bukankah Baitul Mal ada
di tanganmu? Kenapa engkau memberiku dari harta milikmu sendiri?” Imam as
membalas, “Kalau kau mau, ambillah pedangmu dan aku akan mengambil pedangku,
lalu kita keluar bersama-sama menuju ke kawasan Hairah yang di dalamnya
terdapat peadagang-pedagang kaya, kita masuki rumah salah seorang dari mereka
dan kita ambil harta kekayaannya.” Aqil menolak dan berkata, “Memangnya aku
datang untuk merampok!” Imam as menjawab, “Mencuri harta kekayaan seorang dari
mereka itu masih lebih baik daripada engkau mencuri harta milik semua kaum
muslimin.”
Demikianlah Imam Ali as hidup pada masa pemerintahannya yang adil.
Beliau makan makanan kaum fakir miskin dan hidup dengan penuh
kesederhanaan. Ketika orang-orang berkata kepada beliau, “Muawiyah
membagi-bagikan harta kekayaan kepada orang-orang untuk menggalang pendukung.
Akan tetapi mengapa engkau tidak melakukan hal yang serupa?” Imam as menjawab,
“Apakah kalian hendak menyuruhku untuk meraih kemenangan dengan berlaku zalim?”
Membela Wanita
Pada suatu hari di musim panas yang sangat menyengat, seorang
wanita diusir dari rumah oleh suaminya. Wanita itu meminta tolong kepada Imam
Ali as. Dengan segera beliau keluar menuju rumah suami wanita yang malang
tersebut. Setibanya di sana, beliau mengetuk pintunya. Seorang pemuda yang
tidak mengenal beliau membuka pintu.
Ketika Imam mengecam perlakuan buruknya itu, pemuda tersebut berteriak
dengan suara keras dan penuh kemarahan. Ia mengancam akan menyiksa isterinya
itu lebih jahat lagi lantaran ia mengadukan perakuannya kepada Imam.
Pada saat itu, beberapa orang yang mengenal Imam melewati jalan di
hadapan rumah tersebut. Mereka mengucapkan salam kepada Imam Ali as,
“Assalamualaika, wahai Amirul Mukminin!” Mendengar ucapan salam mereka itu,
pemuda tersebut baru sadar bahwa orang yang kini berada di hadapannya adalah
khalifah kaum muslimin.
Tak pelak lagi, ia pun gemetar ketakutan, lalu menundukkan diri
dan segera mencium tangan Imam seraya memohon maaf dalam-dalam. Pemuda itu
berjanji kepada Imam untuk tidak mengulang lagi perlakuan buruknya tersebut.
Imam menasihati kedua suami-isteri itu dan memberikan bimbingan agar kehidupan
rumah tangga mereka terbina tentram dan hidup dengan penuh kedamaian.
Ghadir Khum
Pada tahun 10 H, Rasulullah saw melaksanakan ibadah haji Wada’.
Haji Wada’ adalah haji terakhir sekaligus haji perpisahan bagi beliau. Beliau
merasa sudah semakin dekat perjumpaannya dengan Allah SWT. Sejak awal masa
risalah, sering kali beliau menyampaikan perkara tentang seseorang yang bakal
menjadi pengganti beliau sebagai khalifahnya untuk kaum muslimin.
Nabi saw senantiasa berfikir bagaimana caranya membuka jalan untuk
kesuksesan khalifahnya, Ali bin Abi Thalib as. Mengenai kekhilafahannya beliau
memberikan berbagai isyarat dan penegasan yang didengar langsung oleh para
sahabat, “Ali senantiasa bersama kebenaran, dan kebenaran senantiasa bersama
Ali.” Atau sabda beliau lainnya, “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah
pintunya.”
Jabir bin Abdillah Al-Ansari ra pernah berkata, “Kami tidak dapat
mengenali orang-orang munafik kecuali dengan mengetahui kedengkian mereka
terhadap Ali as.”
Lain dari itu, para sahabat pun pernah mendengar wasiat Nabi saw
yang menyatakan, “Ayyuhannas, aku berwasiat kepada kalian agar mencintai
saudara dan putra pamanku, Ali bin Abi Thalib, karena sesungguhnya tidak ada
yang mencintainya kecuali orang mukmin, dan tidak ada yang mendengkinya kecuali
orang munafik.”
Sampai pada tanggal 18 bulan Dzulhijjah tahun yang sama,
Rasulullah saw kembali dari melaksanakan haji Wada' yang diikuti oleh lebih
dari seratus ribu kaum muslimin. Saat itulah Jibril as turun membawa pesan
langit untuk beliau.
Rasulullah saw menghentikan perjalanannya di suatu tempat yang
dikenal dengan nama Ghadir Khum. Beliau memerintahkan semua kaum muslimin agar
menghentikan perjalanan mereka di tempat yang mulia dan bersejarah itu. Di
tengah padang pasir dan di tengah panasnya terik matahari yang membakar itu,
beliau menyampaikan khutbahnya di hadapan kaum muslimin dan seluruh para
sahabatnya. Dalam khutbahnya itu beliau bersabda, “Ayyuhannas, tak lama lagi
aku akan dipanggil oleh Tuhanku dan aku akan memenuhi panggilan-Nya itu.
Sesungguhnya aku akan dimintai tanggung jawab, demikian pula kalian, maka
apakah yang akan kalian katakan?”
Kaum muslimin dengan serentak menjawab, “Sesungguhnya kami
bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah Tuhan dengan baik, engkau
telah berjihad dan memberikan nasihat, semoga Allah akan membalasmu dengan
kebaikan.”
Nabi saw melanjutkan, “Bukankah kalian telah bersaksi bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya?
Sesungguhnya surga adalah nyata, neraka adalah nyata, kematian adalah nyata,
kebangkitan adalah nyata, hari akhirat itu tidak diragukan lagi kejadiannya,
dan sesungguhnya Allah SWT akan membangkitkan orang-orang yang berada di dalam
kubur.”
Kaum muslimin menjawab lagi dengan serempak, “Benar, kami bersaksi
akan hal itu semua.”
Rasulullah saw menengadah ke hadirat Allah SWT, “Ya Allah!
Saksikanlah kesaksian mereka itu!”
Lalu beliau menyambung khutbahnya, “Wahai sekalian manusia!
Sesungguhnya Allah SWT adalah pembimbingku, sedang aku adalah pemimpin kaum
mukminin, dan sesungguhnya aku lebih utama daripada diri-diri kalian. Maka,
barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka inilah Ali sebagai
pemimpinnya. Ya Allah cintailah orang-orang yang mencintai Ali dan musuhilah
orang-orang yang memusuhinya.
"Dan sesungguhnya aku meninggalkan untuk kalian dua pusaka (tsaqalain)
yang sangat berharga, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan ‘Ithrah (Ahlulbait).”
Pada siang itu, puluhan ribu kaum muslimin melihat dan menyaksikan
Nabi saw mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib as sebagai cara pelantikannya
menjadi khalifah bagi seluruh kaum muslimin setelah ketiadaan beliau. Para
sahabat yang kemudian diikuti oleh kaum muslimin lainnya menyatakan baiat
(ikrar setia) kepada Imam Ali as mengucapkan sambutan selamat kepadanya, “Salam
sejahtera atasmu, wahai pemimpin kaum mukminin!”
Nasib Khilafah
Rasulullah saw telah mangkat meninggalkan dunia yang fana ini
untuk selamanya demi memenuhi panggilan Tuhannya, sebagaimana yang telah beliau
katakan. Seluruh kaum muslimin merasa terkejut dengan kepergiannya itu.
Di tengah-tengah duka dan kesedihan yang mendalam, tidak jauh di
seberang sana berkumpul sekelompok umat Islam untuk memilih seorang khalifah
yang akan menggantikan Rasul sebagai pemimpin umat. Dengan cara ini mereka
sesungguhnya telah merampas kedudukan khilafah dari pemegangnya yang sah.
Mereka membiarkan Imam Ali as sendirian. Beliau sendiri lebih memilih berdiam
diri demi menjaga keutuhan agama dan kemaslahatan seluruh kaum muslimin saat
itu.
Setelah kemelut yang panjang dan tegang, akhirnya Abu Bakar
dinyatakan terpilih sebagai khalifah pertama bagi kaum muslimin. Khilafahnya
dilanjutkan oleh Umar bin Khattab.
Ketika tiba saatnya khilafah jatuh di tangan Utsman bin Affan,
keluarga Bani Umayyah mulai ikut duduk di berbagai jabatan pemerintahannya.
Mereka dapat memegang kendali khilafah tanpa lagi menyembunyikan ketamakan dan
kerakusannya. Maka tersebarlah kerusakan di mana-mana. Tak segan-segan keluarga
Umayyah berlaku sewenang-wenang, dan menjalankan pemerintahan Ustman dengan penuh
kezaliman.
Pada masa itu, kaum muslimin melihat Utsman hanya memilih dan
mengutamakan keluarganya untuk duduk di dalam kekuasannya, dan bahkan
mengasingkan sebagian sahabat terkemuka Nabi seperti Abu Dzar, lebih keras lagi
dari itu ia pun berani memecut seorang sahabat Nabi yang sangat dekat dan
setia, Ammar bin Yasir tanpa alasan dan bukti yang jelas.
Kenyataan ini membuat kaum muslimin segera mengadakan demo dan
unjuk rasa. Mereka mendatangi kota Madinah untuk menuntut Utsman agar turun
dari kursi khilafah Rasul saw.
Api amarah masyarakat muslim terhadap Utsman semakin membara.
Dalam situasi itu, Imam Ali as berusaha mendamaikan dan menentramkan mereka,
serta menasihati Khalifah Utsman agar segera bertaubat dan bersikap adil, dan
menganjurkannya agar tidak menuruti bisikan dan bujuk rayu orang-orang munafik,
seperti Marwan bin Hakam. Sayangnya, Ustman tidak peduli pada nasihat dan
arahan beliau.
Kemurkaan dan kedengkian kaum muslimin mencapai puncaknya. Mereka
mengadakan pengepungan di sekeliling istana khilafah, nyawa Utsman pun terancam
bahaya. Mengetahui hal itu Imam Ali as segera mengutus kedua puteranya,
Al-Hasan dan Al-Husain as ke istana khilafah dan memerintahkan mereka berdua
agar berdiri di depan pintu untuk menjaga Ustman dari serangan orang-orang yang
hendak membunuhnya.
Dalam kondisi yang sudah sangat genting seperti itu, Khalifah
Utsman tetap berkeras kepala pada sikapnya memerintah, padahal kemarahan para
demonstran sudah mencapai titik-didihnya. Puncak kemarahan tersebut meledak
ketika sebagian mereka memanjat naik ke istana dan masuk lewat belakang, hingga
akhirnya mereka berhasil mendekati Utsman. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan,
mereka segera membunuhnya.
Khalifah Utsman pergi meninggalkan dunia fana ini dalam keadaan
yang sangat mengenaskan. Adapun kaum muslimin berbondong-bondong mendatangi
rumah Imam Ali as. Mereka memohon kepadanya agar menerima khilafah, menjadi
amiril mukminin, dan memimpin umat Islam dengan penuh keadilan.
Pada mulanya, Imam Ali as menolak permohonan kaum muslimin itu,
namun karena mereka terus mendesak, akhirnya beliau menerima tawaran tersebut.
Mulailah Amiril Mukminin Ali as menjalankan roda khilafahnya dan
mengatur negara berdasarkan keadilan dan undang-undang Islam. Panji kebenaran
dan keadilan kembali berkibar di bawah kepemimpinan beliau. Di dalamnya kaum
muslimin pun kembali menikmati ketentraman setelah 25 tahun lamanya.
Pemerintahan Imam Ali as
Sejak hari pertama khilafah dan kepemimpinannya, Imam Ali as
menegaskan di hadapan kaum muslimin asas pemerintahannya, yaitu menegakkan
keadilan, menjalankan undang-undang Allah SWT, dan menindak segala macam
kezaliman dan kejahatan.
Masyarakat muslim telah terbiasa menghadapi kezaliman dan
ketidakadilan pada masa-masa sebelumnya. mereka telah menyaksikan perlakuan
khalifah yang tidak lagi berlandasakan pada hukum-hukum Allah; mereka
mengistimewakan sebagian dan menelantarkan sebagian lainnya, mencurahkan harta
kekayaan negara hanya kepada keluarga Umayyah dan orang-orang yang setia kepada
kekuasaannya saja. Sementara sebagian besar kaum Muslimin hidup dalam keadan
miskin dan penuh dengan penderitaan.
Ketika Ali bin Abi Thalib as menjabat sebagai khalifah dan beliau
berjanji akan menegakkan keadilan di tengah kaum muslimin, terutama bagi yang
keadaan ekonominya lemah, mereka menyambutnya dengan penuh harapan. Lain halnya
dengan orang-orang kaya yang biasa hidup mewah dan suka berfoya-foya. Sebagian
mereka sangat khawatir kekayaan, kemewahan dan kepentingan mereka terusik
dengan keadilan Ali as.
Karena itu, mereka segera bergerak cepat menyiapkan
langkah-langkah dalam rangka menghadapi pemerintahan Ali as berkobarlah api
permusuhan dan peperangan di dalam negara dan di antara sesama kaum Muslimin.
Sejarah mencatat bahwa perang Jamal adalah peperangan pertama di antara mereka.
Setelah itu terjadi perang Shiffin, lalu perang Nahrawan.
Syahadah Imam Ali as
Setelah kaum Khawarij mengalami kekalahan besar dalam perang
Nahrawan, tiga orang durjana berkumpul untuk mengambil mufakat, yaitu membunuh
beberapa orang yang mereka anggap sebagai musuh dan penghalang mereka dalam
mencapai tujuan-tujuan mereka.
Ketiga orang itu adalah Ibnu Muljam, Hajjaj bin Abdillah, dan Umar
bin Bakar At-Tamimi. Mereka bertiga telah sepakat dan bertekad untuk membunuh
Muawiyah, ‘Amr bin ‘Ash, dan Imam Ali as. Ibnu Muljam sendiri telah bersumpah
untuk melakukan pembunuhan atas Imam Ali as. Maka pada 19 Ramadhan 40 H., Ibnu
Muljam melakukan rencana jahatnya.
Seperti biasa, subuh itu Imam Ali as memimpin salat subuh
berjamaah bersama kaum Mukminin di Masjid Kufah, Irak. Ibnu Muljam berhasil
menyusup diam-diam sampai mendekati beliau yang tenagh bersujud. Namun, tatkala
beliau bangkit dari sujudnya, Ibnu Muljam segera menebaskan pedangnya yang
beracun itu, tepat di bagian kepala beliau as. Darah suci beliau berhamburan
memerahi mihrab dan pakaian beliau. Pemimpin yang adil itu meratap lemah, “Demi
Tuhan Ka’bah! Sungguh aku telah menang.”
Pada saat itu, terdengar oleh masyarakat suara dari langit
berucap, “Demi Allah, sungguh tonggak petunjuk telah roboh, orang yang paling
takwa telah terbunuh, ... orang yang paling celaka telah membunuhnya.”
Ibnu Muljam berusaha melarikan diri dari kota Kufah. Akan tetapi,
ia berhasil dibekuk. Ketika ia dibawa ke hadapan Imam Ali as, beliau berkata
kepadanya, “Bukankah aku selalu berbuat baik kepadamu?”
Ia menjawab, “Ya, betul.”
Sebagian orang berusaha untuk melakukan pembalasan dendam terhadap
Ibnu Muljam. Akan tetapi, Imam Ali mencegah mereka. Bahkan, beliau berpesan
kepada putranya Hasan as agar senantiasa berbuat baik kepadanya selama beliau
masih hidup.
Pada 21 Ramadhan, Imam Ali as menjemput kesyahidannya. Tak lama
setelah itu, Imam Hasan as melaksanakan hukum Qishash Islam terhadap pembunuh
ayahnya itu.
Demikianlah Imam Ali as, sang pemimpin yang adil itu meninggalkan
dunia pada usia 63 tahun, sama dengan usia Rasulullah saw. Jenazah beliau
dimakamkan di luar kota Kufah secara rahasia di kegelapan malam.
Mutiara Hadits Imam Ali as
▪ “Janganlah engkau mencari kehidupan hanya untuk makan. Akan
tetapi, carilah makan agar engkau dapat hidup.”
▪ “Sesuatu yang paling merata manfaatnya adalah kematian
orang-orang jahat.”
▪ “Janganlah engkau mengecam Iblis secara terang-terangan,
sementara engkau adalah temannya dalam kesunyian.”
▪ “Akal seorang penulis itu terletak pada penanya.”
▪ “Kawan sejati adalah belahan ruh, sedangkan saudara adalah
belahan badan.”
▪ “Janganlah engkau mengucapkan sesuatu yang engkau sendiri tidak
suka jika orang lain mengucapkannya kepadamu.”
▪ “Kurang ajar adalah penyebab segala keburukan.”
▪ “Galilah ilmu pengetahuan sejak kecil, pasti engkau akan
beruntung tatkala besar.”
▪ “Lebih baik engkau memilih kalah (mengalah) sedang engkau
sebagai orang yang adil, daripada engkau memilih menang dalam keadaan engkau
sebagai orang yang zalim.”
Sumber: www.al-shia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar