Oleh DR. Sabara, M. Fil.I
Banyak
di antara kita yang memiliki kesulitan besar dalam memahami bagaimana Tauhid
terkait dengan pembebasan. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena kita telah
dikondisikan untuk memiliki tingkat keimanan yang terbatas hanya pada taqlid
dan ritus, Ibadah keagamaan dan dogma teologis. Iman (keyakinan) kita seperti
jubah di dalam masjid. Walhasil, Islam dengan Tauhid sebagai fondasi ajaran
menjadi tak bertuah bagi kemanusiaan, jangankan menjadi rahmat, justru Islam
sering dijadikan dalih (pembenaran) yang melanggengkan kezaliman (hal yang
sejatinya paling dilawan oleh Islam).
Secara
praksis, menurut Hassan Hanafi, teologi yang diyakini secara dogmatik tak mampu
menjadi "pandangan yang benar-benar hidup" yang memberi motivasi
tindakan dalam kehidupan kongkret manusia. Hal ini dikarenakan penyusunan
doktrin teologi tidak didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan
manusia. Sehingga muncul keterpecahan (split) antara keimanan teoritis
dan keimanan praktis dalam umat Islam, yang pada gilirannya akan menghasilkan
sikap-sikap moral ganda atau "sinkretisme kepribadian". Fenomena
sinkretis ini tampak jelas, menurut Hassan Hanafi, dengan adanya paham
keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), tradisional dan modern (dalam
peradaban), Timur dan Barat (dalam politik), Konservatisme dan progresifisme
(dalam sosial), serta kapitalisme dan sosialisme (dalam ekonomi).
Melihat
efek regresif dari teologi dogmatik yang hari ini menjadi mainstreem
utama dalam khasanah teologi Islam yang dianut oleh mayoritas umat Islam,
meniscayakan perlunya digagas suatu konstruk teologi Islam yang mampu menjawab
persoalan-persoalan umat Islam, perlu dikonstruk teologi yang mempu memantik
spirit, menjadi inspiring, dan menjadi pandangan dunia yang
membebaskan umat Islam dari keterjajahan, keterbelakangan, dan keterbodohan.
Rekonstruksi teologi Islam adalah satu hal yang sangat urgen dalam rangka
pembenahan kondisi umat Islam menuju keadaan yang lebih baik. Teologi islam
yang lebih bercorak liberasi (membebaskan) adalah corak teologi yang sangat
dibutuhkan dalam menjawab kondisi kekinian umat Islam yang terpuruk pada
keterbelakangan dan ketertinggalan dari umat-umat yang lain. Dalam rangka
menyusun format kerangka teologi yang bersifat liberasi sangat dibutuhkan
penafsiran baru yang rasional dan ilmiah, serta tetap berdasarkan pada nash
suci (Alquran dan hadis) sebagai rujukan doktrinal dalam menyusun kerangka
teologi yang konstruktif bagi umat Islam.
Menurut
Toshio Kuroda, dalam menyusun konstruk teologi yang memiliki relevansi dalam
menjawab persoalan-persoalan yang senantiasa muncul dalam perjalanan manusia
sepanjang zaman. Didasarkan pada keyakinan bahwa Islam adalah norma kehidupan
yang sempurna dan mampu beradaptasi pada setiap bangsa dan setiap waktu. Firman
Allah adalah abadi dan universal yang menyangkut seluruh aktivitas dari seluruh
suasana aktivitas kemanusiaan tanpa perbedaan apakah ia aktivitas mental atau
aktivitas duniawi.
Berdasarkan
pernyataan Toshio Kuroda tersebut, dapat disimpulkan bahwa Islam mencakup
bidang-bidang keduniaan, mental, dan sekaligus ketuhanan. Dengan demikian
teologi (Tauhid) memiliki fungsi vital dalam pemikiran umat Islam, dalam
lembaga-lembaga sosial politik Islam, dan dalam peradaban.
Tauhid
haruslah bermakna penyatuan atau kesatuan antara dimensi transenden (spiritual)
dan imanen (sosial). Antara realitas ilahiyah yang transenden dengan realitas
alam dan manusia yang imanen tak memiliki keterpisahan yang kaku sehingga harus
diposisikan secara biner. Dalam pandangan Murtadha Muthahhari, konstruksi
teologi yang akhirnya menjadi sebuah pandangan dunia (world view)
Tauhid yang bersifat unipolar dan uniaxial.
Secara
universal, seluruh aspek kehidupan sosial Islam harus diintegrasikan ke dalam
"jaringan relasional Islam". Jaringan ini diderivasikan dari
pandangan dunia Tauhid, yang mencakup aspek keagamaan dan keduniawian,
spiritual dan material, individual dan sosial. Jaringan relasional Islam ini
akhirnya teruji dalam bentuk praksis ibadah ritual yang
merupakan kewajiban yang mesti dijalankan oleh umat Islam. Selain itu, perlu
digagas relasi Tauhid dan pembebasan, implementasi Tauhid dalam konteks
penindasan, dan masyarakat seperti apa yang diinginkan dalam konteks Tauhid.
Ali
Syari'ati merupakan salah seorang tokoh intelektual muslim abad modern yang concern
pada tema-tema pembebasandari agama. Berbasis pandangan dunia Tauhid
beliau menjadi propagandis yang membakar semangat anak muda Iran di tahun 1970-an
untuk bangkit melawan penindasan rezim Pahlevi. Tak bisa dipungkiri, beliau
adalah salah seorang tokoh teologi pembebasan Islam, yang bahkan
mempersembahkan nyawanya untuk misinya tersebut.
Biografi Singkat
Ali Syari'ati
Ali
Syari'ati terlahir dengan nama Ali Mazinani, pada tanggal 24 November 1933 di
Mazinan, sebuah daerah dekat kota suci Masyhad, sebuah kota yang dianggap suci
oleh para penganut Syiah imamiyah Itsna ‘Asyariyah, karena di kota tersebut
dimakamkan imam mereka yang kedelapan, yakni imam Ali bin Musa al-Ridha. Ayah
beliau adalah Muhammad Taqi Syari'ati dan ibu beliau bernama Zahrah. Nama
Syari'ati sendiri yang kemudian dikenal sebagai namanya, beliau gunakan pertama
kali pada paspornya untuk mengelabui petugas imigrasi, sewaktu beliau akan
meninggalkan Iran menuju Inggris, pada tanggal 16 Mei 1977 (beberapa hari
sebelum beliau meninggal).
Orang
tua beliau adalah tokoh masyarakat yang cukup disegani ditengah-tengah
masyarakatnya sebagai tokoh spiritual. Meskipun demikian, keluarga Syari'ati
tetaplah hidup sederhana selayaknya penduduk desa yang lain. Dari keluarganya
inilah Ali Syari'ati membentuk kepribadiannya, mentalitas, dan jati dirinya,
utamanya melalui sang ayah yang berperan sebagai orang tua, guru, dan
pembimbing spiritualnya. Masa muda Syari'ati dihabiskan
dengan belajar, membantu orang tuanya mencari nafkah dan ikut aktif dalam
perjuangan-perjuangan politik dan melakukan propaganda menentang rezim Syah
Pahlevi yang sedang berkuasa di Iran pada saat itu.
Selain
terpengaruh oleh ayahnya, pembentukan jiwa Ali Syari'ati juga cukup terpengaruh
oleh kakeknya Akhund Ahmad dan paman dari ayahnya Najib Naysapuri.
Dari merekalah Ali Syari'ati kecil mempelajari fiqih, sastra, dan filsafat. Ali
Syari'ati cukup mewarisi tradisi keilmuan yang diturunkan dari ayahnya,
kakeknya, dan paman ayahnya.tersebut. Hal ini tebukti
dengan jejak langkah Ali Syari'ati selanjutnya yang memiliki kecendrungan yang
cukup tinggi terhadap berbagai jenis keilmuan dan gerakan sosial keagamaan
sebagaiamana ayah, kakek, dan paman ayahnya tersebut.
Syari'ati
kecil memulai pendidikan formalnya di sebuah sekolah swasta di Masyhad. Pada saat usianya yang menginjak masa remaja, Syari'ati
cukup intens melakukan pengkajian terhadap filsafat, mistisisme, sastra, dan
masalah-masalah kemanusiaan.. Ketika
memasuki usia dewasa, Ali Syari'ati telah aktif menyibukkan dirinya dalam
kegiatan-kegiatan sosial politik keagamaan. Di usianya yang masih terbilang
muda, Syari'ati aktif di "Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan" yang
didirikan oleh ayahnya.
Pada
tahun 1950-1951, ketika usia beliau masih 17 tahun, Ali Syari'ati terlibat
dalam gerakan nasionalisme yang dilancarkan oleh Perdana Mentri Iran, Muhammad
Mussaddeq untuk menggulingkan rezim Syah Pahlevi. Setelah Mussaddeq gagal dalam
melancarkan kudetanya pada tahun 1953, Ali Syari'ati bergabung bersama ayahnya
ikut aktif dalam "Gerakan Perlawanan Nasional" cabang Masyhad yang
didirikan oleh Mehdi Bazargan. Akibat gerakannya itu, beliau bersama ayahnya
dipenjara selama delapan bulan di penjara Teheran.Masih
pada tahun 1950-an ini juga, Syari'ati mendirikan Asosiasi Pelajar di Masyhad
dan melakukan gerakan untuk menasionalisasi perusahaan industri minyak Iran.
Pada
tahun 1959, Ali Syari'ati lulus sebagai sarjana sastra dari Universitas
Masyhad. Selanjutnya pada tahun 1960, beliau mendapat bea siswa dari pemerintah
untuk melanjutkan study di Universitas Sorbone di Prancis.
Di Prancis inilah Syari'ati tinggal selama lima tahun dan banyak menimba
beragam ilmu serta terlibat aktif dalam berbagai gerakan pembebasan. Di
Prancis, beliau banyak berkenalan dan berguru pada beberapa filosof dan
ilmuwan terkemuka Prancis, seperti Alexist Carrel, Jean Paul Sartre, Henry
Bergson, Frans Fanon, Louis Massignon, Albert Camus, dan tokoh-tokoh pemikir
Prancis yang lainnya. Diantara tokoh Prancis yang
sangat mempengaruhi pemikiran beliau adalah Alexist Carrel, seorang ilmuwan
Prancis. Bahkan beliau menerjemahkan dan mengembangkan buku karangan Alexist
Carrel yang berjudul de Prayer kedalam bahasa Arab dengan judul al-Du'a.
Diantara tokoh pemikir eksistensialisme yang cukup mempengaruhi pemikiran
Ali Syari'ati adalah Jean Paul Sartre, Soren Abeye Kierkegard, dan Nikholas
Bordayev. Selain itu Syari'ati juga banyak mengkaji pemikiran-pemikiran
Marxisme yang sedang booming pada masa itu di dunia.
Selama
di Prancis, beliau aktif dalam gerakan politik pembebasan iran bersama Mustafa
Chamran dan ibrahim Yazdi. Di saat yang sama, beliau juga aktif dalam gerakan
"Front Nasional Kedua". Selama tinggal di Prancis, Syariati juga ikut
aktif dalam gerakan pembebasan Aljazair.Setelah beliau
berhasil menyelesaikan program doktoralnya di Prancis, pada bulan September 1964,
beliau meninggalkan Prancis dan kembali ke kampung halamannya di Iran.
Sesampainya
di Iran, Syari'ati ditangkap dan ditahan selama 1,5 bulan atas tuduhan terlibat
aktif dalam gerakan politik melawan pemerintah selama beliau di Prancis. Setelah dibebaskan, beliau kemudian diterima mengajar di
Universitas Masyhad. Selain itu, Syari'ati juga mengajar di beberapa sekolah di
Masyhad. Karena aktivitas politiknya yang cukup membahayakan, Syari'ati
kemudian dikeluarkan dari Universitas Masyhad, dan selanjutnya beliau bersama
Murtadha Muthahhari, Husein Behesyti, serta beberapa ulama Syiah yang lain
mendirikan lembaga pendidikan Huseiniyah Irsyad, Syari'ati sendiri
terlibat sebagai salah satu pengajarnya. Masa antara tahun 1967-1873 adalah
masa di mana Syari'ati menyibukkan dirinya untuk mengajar di Huseiniyah
Irsyad serta terlibat aktif dalam gerakan-gerakan politik melawan rezim
Syah. Selama mengajar di Huseiniyah Irsyad beliau banyak memberikan
kuliah yang cukup membakar semangat anak muda Iran untuk melakukan perlawanan
terhadap pemerintah. Akibat kegiatannya ini, akhirnya beliau kembali
dipenjarakan selama lima ratus hari oleh pemerintah. Syari'ati baru dibebaskan
oleh pemerintah Iran pada bulan Maret 1975, itu pun setelah adanya desakan dari
berbagai organisasi internasional serta para tokoh intelektual Prancis dan
Aljazair.
Setelah
dibebaskan, Syari'ati menyadari bahwa dirinya tidak bebas melakukan aktivitas
politik selama tinggal di iran. Akhirnya pada tanggal 16 Mei 1977, beliau
meninggalkan Iran menuju ke Eropa. Tujuan pertama beliau adalah singgah di
inggris dan selanjutnya hendak ke Amerika Serikat untuk mengunjungi anaknya
yang kuliah di sana. Tapi, belum sempat beliau pergi ke Amerika, pada tanggal
19 juni 1977, beliau ditemukan meninggal secara misterius di rumah keluarganya,
di Schoumpton, Inggris. Pemerintah Iran(rezim Syah)
menyebutkan beliau meninggal akibat serangan jantung, namun dugaan terkuat
beliau dibunuh oleh agen SAVAK (agen intelejen Iran).
Karena
aktivitas politiknya yang begitu padat dan usia beliau yang cukup singkat, Ali
syari'ati hanya sempat menulis dua buku secara khusus, yaitu Hajj (Haji)
dan Kavir (Gurun Pasir), selebihnya adalah kumpulan kuliah dan ceramah
beliau yang kemudian dibukukan. Selain itu juga sempat
menerjemahkan dan menggubah beberapa buku, seperti Abu Dzar, Salman
al-Farisi, dan de Prayer karya Alexist Carrel. Telah banyak karya
beliau yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pemikiran-pemikiran
beliau yang cukup filosofis dan revolusioner telah cukup banyak mempengaruhi
pemikiran Islam modern yang berkembang di Indonesia. (IRIB Indonesia/PH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar