Oleh
Muhammad
Husain Haekal
Setelah
surat Kaisar sampai ke tangan Najasyi, ia
mengirimkan bersama orang Yaman
itu - yang
membawa surat – sepasukan tentara di bawah pimpinan Aryat (Harith) dan
Abraha al Asyram salah seorang prajuritnya. Aryat menyerbu Kerajaan
Yaman atas nama penguasa Abisinia. Ia
memerintah Yaman ini
sampai ia dibunuh oleh
Abrahah yang kemudian menggantikan kedudukannya. Abrahah inilah yang
memimpin pasukan gajah,
dan dia yang kemudian
menyerbu Mekah guna
menghancurkan Ka'bah tetapi gagal.
Anak-anak
Abraha kemudian menguasai
Yaman dengan tindakan sewenang-wenang. Melihat
bencana yang begitu
lama menimpa penduduk, Saif bin Dhi Yazan pergi
hendak menemui Maharaja Rumawi. Ia mengadukan hal itu kepadanya dan memintanya
supaya mengirimkan
penguasa lain dan Rumawi ke Yaman.
Tetapi karena adanya perjanjian
persekutuan antara Kaisar Yustinianus dengan Najasyi tidak mungkin ia dapat
memenuhi permintaan Saif
bin Dhi Yazan itu. Oleh karena itu Saif meninggalkan Kaisar dan pergi menemui
Nu'man bin'l-Mundhir selaku
Gubernur yang diangkat oleh
Kisra untuk daerah Hira dan sekitarnya di Irak.
Nu'man dan
Saif bin Dhi Yazan bersama-sama
datang menghadap Kisra Parvez. Waktu itu ia sedang duduk dalam Ruangan Resepsi (Iwan Kisra) yang megah dihiasi oleh
lukisan-lukisan bimasakti pada bagian tahta itu. Di tempat musim dinginnya
bagian ini dikelilingi dengan
tabir-tabir dari bulu binatang yang mewah sekali. Di tengah-tengah itu
bergantungan lampu-lampu kendil terbuat daripada
perak dan emas dan diisi penuh dengan air tawar. Di
atas tahta itulah terletak mahkotanya
yang besar berhiaskan batu
delima, kristal dan mutiara bertali emas dan perak, tergantung dengan
rantai dari emas pula.
Ia sendiri memakai pakaian serba emas. Setiap orang yang
memasuki tempat itu akan merasa terpesona
oleh kemegahannya. Demikian
juga halnya dengan Saif bin Dhi Yazan.
Kisra menanyakan
maksud kedatangannya itu
dan Saifpun bercerita tentang
kekejaman Abisinia di Yaman. Sungguhpun pada mulanya Kisra Parvez ragu-ragu,
tetapi kemudian ia mengirimkan juga pasukannya di bawah pimpinan Wahraz
(Syahrvaraz?), salah seorang
keluarga ningrat Persia yang paling berani. Persia telah mendapat
kemenangan dan orang-orang
Abisinia dapat diusir dari Yaman
yang sudah didudukinya selama 72 tahun itu. Sejak itulah
Yaman berada di
bawah kekuasaan Persia, dan ketika
Islam lahir seluruh
daerah Arab itu
berada dalam naungan agama baru
ini.
Akan tetapi
orang-orang asing yang telah menguasai Yaman itu tidak langsung di bawah
kekuasaan Raja Persia. Terutama
hal itu terjadi setelah
Syirawih (Shiruya Kavadh II) membunuh ayahnya, Kisra Parvez,
dan dia sendiri menduduki takhta.
Ia membayangkan - dengan
pikirannya yang picik itu bahwa dunia dapat dikendalikan
sekehendaknya dan bahwa
kerajaannya membantu
memenuhI kehendaknya yang sudah hanyut dalam hidup kesenangan itu.
Masalah-masalah kerajaan banyak sekali
yang tidak mendapat perhatian karena dia sudah mengikuti nafsunya
sendiri. Ia pergi memburu dalam
suatu kemewahan yang belum pernah terjadi
Ia berangkat diiringi
oleh pemuda-pemuda ningrat
berpakaian merah, kuning dan lembayung,
dikelilingi oleh pengiring-pengiring yang membawa burung elang dan
harimau yang
sudah dijinakkan dan ditutup moncongnya; oleh budak-budak yang membawa
wangi-wangian, oleh pengusir-pengusir lalat dan pemain-pemain musik.
Supaya merasa dirinya dalam suasana musim semi
sekalipun sebenarnya dalam musim dingin yang berat, ia beserta rombongannya duduk
di atas permadani
yang lebar dilukis dengan
lorong-lorong, ladang dan kebun yang ditanami bunga-bungaan aneka
warna, dan dilatarbelakangi oleh semak-semak, hutan hijau serta
sungai-sungai berwarna perak.
Tetapi sungguhpun Syirawih
begitu jauh mengikuti kesenangannya, kerajaan
Persia tetap dapat
mempertahankan kemegahannya,
dan tetap merupakan
lawan yang kuat terhadap kekuasaan
Bizantium dan penyebaran Kristen.
Sekalipun dengan naik tahtanya
Syirawih ini telah
mengurangi kejayaan kerajaannya,
ia telah memberi kesempatan kepada kaum
Muslimin memasuki
negerinya dan menyebarkan Islam.
Yaman yang telah dijadikan gelanggang pertentangan
sejak abad ke-4 itu sebenarnya telah meninggalkan bekas yang dalam sekali dalam
sejarah Semenanjung Arab dari segi pembagian penduduknya. Disebutkan
bahwa Bendungan Ma'rib
yang oleh suku-bangsa Himyar
telah dimanfaatkan untuk
keuntungan negerinya, telah hancur pula dilanda banjir besar. Disebabkan oleh adanya
pertentangan yang terus-menerus
itu, lalailah mereka yang harus
selalu mengawasi dan
memeliharanya. Bendungan itu lapuk
dan tidak tahan
lagi menahan banjir. Dikatakan
juga, bahwa setelah Rumawi melihat
Yaman menjadi pusat pertentangan antara kerajaannya dengan Persia
dan bahwa perdagangannya terancam karena
pertentangan itu, ia pun menyiapkan armadanya
menyeberangi Laut Merah - antara
Mesir dengan negeri-negeri Timur
yang jauh -
guna menarik perdagangan yang
dibutuhkan oleh negerinya. Dengan
demikian tidak perlu lagi ia menempuh jalan kafilah.
Mengenai
peristiwanya, ahli-ahli sejarah sependapat,
tetapi mengenai sebab terjadinya
peristiwa itu mereka
berlainan pendapat. Peristiwanya ialah mengenai pindahnya kabilah Azd di
Yaman ke
Utara. Semua mereka sependapat tentang kepindahan ini, sekalipun
sebagian menghubungkannya dengan
sepinya beberapa kota di Yaman karena mundurnya perdagangan yang biasa melalui
tempat itu. Yang
lain menghubung-hubungkan kepada rusaknya bendungan
Ma'rib, sehingga banyak
di antara kabilah-kabilah yang
pindah karena takut binasa. Tetapi apapun juga
kejadiannya, namun adanya imigrasi ini telah menyebabkan Yaman jadi berhubungan
dengan negeri-negeri Arab
lainnya, suatu hubungan keturunan
dan percampuran yang sampai sekarang masih dicoba oleh para sarjana
menyelidikinya.
Apabila
sistem politik di Yaman sudah
menjadi kacau seperti yang
dapat kita saksikan, yang disebabkan oleh keadaan yang menimpa negeri
itu serta dijadikannya
tempat itu medan pertarungan, maka
struktur politik serupa itu tidak
dikenal pada beberapa negeri Semenanjung
Arab lainnya waktu
itu. Segala macam sistem yang dapat dianggap sebagai suatu system
politik seperti pengertian
kita sekarang atau
seperti pengertian
negara-negara yang sudah
maju pada masa itu, di daerah-daerah
seperti Tihama, Hijaz,
Najd dan sepanjang dataran luas
yang meliputi negeri-negeri
Arab, pengertian demikian itu belum dikenal. Anak negeri pada masa itu
bahkan sampai sekarang adalah
penduduk pedalaman yang tidak biasa di kota-kota. Mereka tidak betah tinggal
menetap di suatu tempat. Yang
mereka kenal hanyalah
hidup mengembara selalu, berpindah-pindah mencari padang
rumput dan menuruti keinginan hatinya. Mereka
tidak mengenal hidup
cara lain selain pengembaraan itu.
Seperti juga
ditempat-tempat lain, disinipun
dasar hidup pengembaraan itu
ialah kabilah. Kabilah-kabilah
yang selalu pindah dan mengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara seperti
yang kita kenal.
Mereka hanya mengenal kebebasan
pribadi, kebebasan keluarga dan kebebasan
kabilah yang penuh. Sedang
orang kota, atas
nama tata-tertib mau mengalah dan
membuang sebagian kemerdekaan
mereka untuk kepentingan masyarakat
dan penguasa, sebagai
imbalan atas ketenangan dan kemewahan
hidup mereka. Sedang
seorang pengembara tidak pedulikan
kemewahan, tidak betah
dengan ketenangan hidup menetap, juga tidak tertarik kepada apapun - seperti
kekayaan yang menjadi
harapan orang kota – selain kebebasannya
yang mutlak. Ia hanya mau hidup
dalam persamaan yang penuh
dengan anggota-anggota kabilahnya
atau kabilah-kabilah lain sesamanya.
Dasar kehidupannya ialah seperti
makhluk-makhluk lain, mau survive, mau
bertahan terus sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah kehormatannya yang sudah ditanamkan dalam hidup mengembara yang
serba bebas itu.
Oleh karena
itu, kaum pengembara
tidak menyukai tindakan ketidak
adilan yang ditimpakan
kepada mereka. Mereka
mau melawannya mati-matian, dan
kalau tidak dapat
melawan, ditinggalkannya tempat
tinggal mereka itu,
dan mereka mengembara lagi ke
seluruh jazirah, bila memang terpaksa harus demikian.
Juga
itu pula sebabnya, perang adalah jalan yang paling mudah bagi
kabilah-kabilah ini bila harus
juga timbul perselisihan yang tidak mudah
diselesaikan dengan cara
yang terhormat. Karena bawaan
itu juga, maka tumbuhlah di
kalangan sebagian besar kabilah-kabilah itu sifat-sifat harga diri, keberanian, suka tolong-menolong, melindungi
tetangga serta sikap memaafkan sedapat mungkin dan
semacamnya. Sifat-sifat ini akan makin
kuat apabila semakin
dekat ia kepada
kehidupan pedalaman, dan akan makin
hilang apabila semakin
dekat ia kepada kehidupan kota.
Seperti
kita sebutkan, karena faktor-faktor ekonomi juga, baik Rumawi maupun Persia,
hanya merasa tertarik kepada Yaman saja dari antara jazirah lainnya yang memang tidak mau
tunduk itu. Mereka lebih suka meninggalkan
tanah air daripada
tunduk kepada perintah. Baik
pribadi-pribadi atau
kabilah-kabilah tidak akan taat kepada
peraturan apapun yang
berlaku atau kepada lembaga
apapun yang berkuasa.
Sifat-sifat pengembaraan
itu cukup mempengaruhi daerah
yang kecil-kecil yang tumbuh di sekitar
jaziarah karena adanya perdagangan para
kafilah, seperti yang sudah kita terangkan. Daerah-daerah
ini dipakai oleh para pedagang sebagai
tempat beristirahat sesudah perjalanan
yang begitu meletihkan. Di situ
mereka bertemu dengan tempat-tempat
pemujaan sang dewa guna
memperoleh keselamatan bagi
mereka serta menjauhkan marabahaya gurun sahara serta
mengharapkan perdagangan mereka selamat
sampai di tempat tujuan.
Kota-kota seperti
Mekah, Ta'if, Yathrib dan yang sejenis itu seperti wahah-wahah (oase)
yang terserak di celah-celah gunung atau
gurun pasir, terpengaruh
juga oleh sifat-sifat pengembaraan demikian
itu. Dalam susunan
kabilah serta cabang-cabangnya, perangai
hidup, adat-istiadat serta kebenciannya terhadap segala yang
membatasi kebebasannya lebih dekat
kepada cara hidup pedalaman daripada kepada cara-cara di kota, sekalipun mereka
dipaksa oleh sesuatu cara hidup
yang menetap, yang tentunya tidak sama dengan cara-hidup pedalaman. Dalam
pembicaraan tentang Mekah dan Yathrib pada pasal berikut ini akan terlihat agak
lebih terperinci.
Lingkungan masyarakat
dalam alam demikian ini serta
keadaan moral, politik dan sosial
yang ada pada
mereka, mempunyai pengaruh yang
sama terhadap cara
beragamanya. Melihat hubungannya
dengan agama Kristen Rumawi dan
Majusi Persia, adakah Yaman
dapat terpengaruh oleh
kedua agama itu dan sekaligus mempengaruhi kedua agama
tersebut di jazirah
Arab lainnya? Ini juga yang
terlintas dalam pikiran kita, terutama mengenai agama Kristen. Misi Kristen
yang ada pada masa
itu sama giatnya seperti
yang sekarang dalam mempropagandakan agama. Pengaruh
pengertian agama dalam jiwa serta
cara hidup kaum pengembara tidak sama dengan orang kota.
Dalam kehidupan kaum pengembara manusia berhubungan dengan alam, ia merasakan adanya wujud
yang tak terbatas
dalam segala bentuknya. Ia merasa perlu mengatur suatu cara hidup
antara dirinya dengan alam
dengan ketak-terbatasannya itu. Sedang bagi orang kota ketak-terbatasan itu
sudah tertutup oleh
kesibukannya hari-hari,
oleh adanya perlindungan
masyarakat terhadap dirinya sebagai
imbalan atas kebebasannya
yang diberikan sebagian kepada
masyarakat, serta kesediaannya tunduk kepada undang-undang penguasa
supaya memperoleh jaminan
dan hak perlindungan. Hal
ini menyebabkannya tidak
merasa perlu berhubungan dengan
yang di luar penguasa itu, dengan
kekuatan alam yang begitu dahsyat
terhadap kehidupan manusia. Hubungan jiwa
dengan unsur-unsur alam yang di sekitarnya
jadi berkurang.
Dalam keadaan serupa ini, apakah yang telah
diperoleh Kristen dengan kegiatannya yang begitu besar sejak abad-abad
permulaan dalam menyebarkan ajaran
agamanya itu? Barangkali soalnya hanya akan sampai di situ
saja kalau tidak
karena adanya soal-soal lain
yang menyebabkan negeri-negeri
Arab itu, termasuk Yaman,
tetap bertahan pada
paganisma agama nenek-moyangnya, dan
hanya beberapa kabilah
saja yang mau menerima agama Kristen.
Manifestasi
peradaban dunia yang paling jelas pada masa itu
- seperti yang sudah
kita saksikan - berpusat di sekitar Laut Tengah dan
Laut Merah. Agama-agama
Kristen dan Yahudi bertetangga begitu
dekat sekitar tempat itu. Kalau
keduanya tidak memperlihatkan permusuhan yang
berarti, juga tidak memperlihatkan persahabatan
yang berarti pula. Orang-orang Yahudi masa itu dan sampai
sekarang juga masih menyebut-nyebut adanya pembangkangan dan
perlawanan Nabi Isa kepada agama mereka. Dengan diam-diam
mereka bekerja mau membendung
arus agama Kristen yang telah mengusir mereka dari Palestina, dan yang
masih berlindung dibawah
panji Imperium Rumawi
yang membentang luas itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar