Di
masa kanak-kanak, tanah kelahiranku tak ubahnya butir-butir gerimis di sebuah
senja yang agak malas, dan sebentang jalan yang berapitan dengan sebatang
sungai yang dipenuhi barisan pohon-pohon rindang, yang ketika itu tak ada
mobil-mobil yang melintas seperti sekarang ini, lebih mirip sebuah terowongan
panjang yang sunyi dan menerjemahkan dirinya sebagai rasa damai yang bosan dan
lelah, entah karena apa. Dan ketika kedua mataku memandang ke atas, akan
kulihat beberapa kawanan burung melintas, seolah mereka hendak mengunjungi
musim yang lain atau sekedar mencari dan menziarahi kemungkinan. Sementara itu,
di pagi hari, cahaya matahari harus mampu menembus susunan daun-daun,
ranting-ranting, dan dahan-dahan agar bisa menyentuh jalan, itu pun jika
mendung tak kembali berkunjung, dan karenanya matahari pun tiba-tiba ingin
kembali tertidur. Butir-butir gerimis itu, seperti telah kuibaratkan pada
sebentang kanvas itu, akan menjelma bintik-bintik samar di antara hembusan
udara.
Di
waktu-waktu malam selepas hujan, dan tentu saja lebih sunyi, akan kudengar
anjing-anjing menyalak dalam kegelapan. Mereka berkeliaran di jalan-jalan,
sementara ibuku membaca al Qur’an selepas sembahyang menjelang jam sembilan,
sebelum akhirnya terlelap di saat aku masih terjaga dan tercenung di meja
belajar ketika aku sedang malas mengerjakan tugas sekolah. Tak ada jazz atau
puisi ketika itu, sebab cita-citaku saat itu adalah menjadi ilmuwan seperti
Isaac Newton dan Albert Einstein. Pastilah hal itu karena kegemaranku membaca
buku-buku tentang para penemu dan ilmuwan yang kupinjam dari perpustakaan
sekolah.
Setidak-tidaknya,
kegemaranku itu tetap berjalan hingga ketika aku duduk di sekolah menengah
pertamaku, di waktu-waktu aku harus berjalan kaki di saat fajar, dan sesekali
menumpang mobil bak pengangkut pasir yang lewat di saat pulang. Dan sekarang,
ketika aku telah menjadi seorang lelaki berusia puluhan tahun dan terbukti
tidak menjadi seorang ilmuwan seperti yang kucita-citakan di masa kanak-kanak
itu, semua yang telah kukatakan itu tak lebih masa silam yang samar, yang
seperti juga telah kuandaikan, tak ubahnya lukisan buram pada sebentang kanvas
yang tak lagi terawat. Juga, tak ada lagi lampu-lampu minyak dengan asapnya
yang menghitamkan bilah-bilah bambu penyangga genting-genting rumah.
Di
waktu-waktu itu, masih kuingat setiap usai sembahyang subuh di setiap hari
Senin dan Kamis di pinggir jalan di depan rumah, beberapa pengrajin perabotan
rumahtangga, yang membuat barang-barang kerajinan mereka dari bambu dan
pohon-pohon pandan, akan berkumpul untuk menjajakan barang-barang kerajinan
mereka kepada orang-orang yang kemudian akan menjualnya kembali di pasar, atau
kepada orang-orang yang akan bersedia menjajakannya ke kampung-kampung
tetangga.
Sekarang,
aku dapat melihat lampu-lampu sebuah pabrik kertas lewat pintu ruang bacaku
yang memang sengaja selalu kubuka ketika aku menulis dan membaca. Tak ada lagi
hutan belukar dan rawa-rawa yang tak jauh dari setapak pematang tempatku dulu
dan teman-temanku mencari jangkerik atau berburu belalang dan menerbangkan
layang-layang. Sebab tempat itu kini telah digantikan dua cerobong asap
raksasa. Ratusan sawah di sekitarnya pun telah disulap menjadi danau-danau
buatan untuk memenuhi energi mesin-mesin dan kebutuhan yang lain bagi pabrik
kertas itu. Namun dulu, ketikaku masih kanak-kanak, tempat itu cukup angker dan
menjadi sarang bagi sejumlah binatang melata, semisal ular, dan rimbun
pepohonannya merupakan rumah dan persinggahan sejumlah burung, yang di waktu
pagi atau pun senja akan berkerumun atau berpencaran di rawa-rawa mereka untuk
mencari makan.
Suara-suara
mesin pabrik kertas itu bahkan terdengar dari ruang tempatku menulis dan
membaca dan akan semakin terdengar jelas di waktu malam. Bersamaan dengan
kehadiran pabrik kertas itu, dan juga bersamaan dengan ketika pohon-pohon
rindang sepanjang jalan dan sungai telah digantikan tiang-tiang beton yang
menjadi penghubung bentangan kawat-kawat listrik, tak ada lagi hening kegelapan
yang panjang dan tak ada lagi cerita-cerita dan kabar-kabar tentang mayat
seseorang yang tergeletak di tepi sungai Ciujung akibat sabetan golok beberapa
oknum penjagal.
Tepat
pada saat itulah, dunia yang sangat berbeda hadir dengan gagah perkasa dan
banyak orang-orang yang mulai menyekolahkan anak-anak mereka ketika mereka
sadar bahwa bila anak-anak mereka ingin bekerja sebagai karyawan atau
karyawati, anak-anak mereka harus memiliki ijazah sekolah.
Sejak
itulah, pelan-pelan tapi pasti, terutama anak-anak muda, tak lagi berpikir
untuk tetap menjadi petani, seperti ketika aku membantu almarhumah ibuku
bekerja memotong batang-batang padi dengan menggunakan pisau melengkung mirip
celurit yang kami sebut arit. Sebab, setelah mereka lulus sekolah menengah,
mereka akan langsung melamar untuk bekerja di sejumlah pabrik ketimbang memilih
untuk menjadi petani seperti orangtua-orangtua mereka yang lugu dan sederhana.
Sementara itu, di sudut-sudut rumah kami, nyala-nyala lampu minyak telah
digantikan sejumlah neon dan bohlam yang tampak lebih riang. Meski kehadiran
lampu-lampu neon dan bohlam itu harus dibayar oleh beberapa orang dengan cara
menjual sawah mereka ke pihak perusahaan. Dan sejak itu pulalah, adzan
panggilan sembahyang dikumandangkan dengan menggunakan pengeras suara. (Sulaiman Djaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar