(Dipetik dari
kitab “Shahifah as Shadiqiyyah” Imam Ja’far as Shadiq)
Ilmu adalah
landasan dari segala hal yang mulia, serta titik tumpu dari setiap maqam
(derajat) spiritual yang tinggi. Oleh karena itulah Rasulullah Sang Nabi suci
(semoga kedamaian tercurah atasnya dan atas keluarganya) bersabda, “Telah
menjadi kewajiban bagi seluruh Muslim, laki-laki dan perempuan, untuk menuntut
ilmu.” Ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang menunjang ketaqwaan serta
memperkokoh keyakinan. Imam Ali (semoga kedamaian tercurah atasnya) berkata,
“Carilah ilmu meskipun engkau harus pergi ke negeri Cina.” Dan ilmu yang
dimaksud oleh Imam Ali (semoga kedamaian tercurah atasnya) adalah ilmu
spiritual atau ma’rifat tentang jiwa manusia, yang didalamnya tersimpan hakikat
pengetahuan tentang Tuhan. Sang Nabi suci, Muhammad (semoga kedamaian tercurah
atasnya dan atas keluarganya) bersabda, “Barangsiapa mengenal dirinya, niscaya
dia akan mengenali Tuhannya.” Namun meskipun begitu, kalian semua harus tahu
bahwa sekedar memperoleh pengetahuan saja tanpa ada pengamalan tidaklah
dibenarkan, disamping itu diperlukan keikhlasan dalam mengamalkan ilmu. Sang
Nabi suci, Muhammad (semoga kedamaian tercurah atasnya dan atas keluarganya)
dalam munajatnya bersabda, “Yaa Allah, kami berlindung kepada-Mu dari ilmu yang
tidak bermanfaat.” Kita semua berlindung dari ilmu yang tidak disertai
pengamalan serta dari amal yang tidak disertai keikhlasan.
Ketahuilah wahai murid-murid yang aku kasihi, ilmu yang sedikit akan menuntut
pengamalan yang banyak, karena ilmu ukhrawi (spiritual) menuntut seseorang
untuk beramal sepanjang hidupnya. Nabiyullah Isa (semoga kedamaian tercurah
atasnya) berkata, “Pada sebuah batu aku lihat ada tulisan yang berbunyi
“Balikkanlah aku” maka aku membalikkan batu itu. Dibalik batu tersebut tertulis
“Barangsiapa yang tidak mengamalkan ilmu yang diketahuinya niscaya dia akan
menyesal, dan ilmu itu akan berbalik menuntutnya.”
Allah SWT Berfirman kepada Nabi Daud (semoga kedamaian tercurah atasnya),
“Balasan yang Aku timpakan kepada orang yang tidak mengamalkan ilmunya adalah
lebih berat daripada tujuh puluh siksaan batin, yakni Aku akan mencabut
kenikmatan berdzikir dari hatinya.” Ketahuilah, tidak ada jalan menuju Allah
kecuali dengan ilmu, dan ilmu adalah perhiasan manusia di alam dunia ini serta
kendaraan yang akan membawanya ke surga, kemudian jika seorang manusia
memperoleh hakikat ilmu maka Allah Ta’ala akan melimpahkan keridhaan-Nya kepada
orang itu.
Orang yang mengetahui hakikat ilmu adalah dia yang amal shalehnya, kesucian
munajatnya, kejujurannya, serta ketaqwaannya yang berbicara. Bukan orang yang
hanya berbicara melalui mulutnya, pandai berdebat, pintar berdiskusi, atau
orang yang mengeluarkan pengakuan-pengakuan. Sebelum masa sekarang ini, para
penuntut ilmu adalah mereka yang mempergunakan akal sehatnya, orang-orang yang
shaleh, bijaksana, rendah hati, dan senantiasa waspada. Namun yang kita
saksikan pada masa sekarang ini, para penuntut ilmu tidaklah memiliki
karakter-karakter tersebut.
Orang yang
berilmu membutuhkan kecerdasan, keramahan, kesetiaan, kefasihan, kasih sayang,
kesabaran, kesederhanaan, serta totalitas. Sementara itu orang yang belajar
membutuhkan hasrat yang tulus terhadap ilmu, cita-cita yang luhur, pengorbanan
(waktu, biaya dan energi) keshalehan, kewaspadaan, daya ingat, dan keteguhan
hati.
Nasihat
Spiritual Imam Ja’far as Shadiq
Ketahuilah,
tidak ada rangkaian berkah dan manfaat yang lebih menguntungkan dibandingkan
dengan rangkaian berkah dan manfaat yang akan tercurah kepada hamba yang
menundukkan pandangannya. Hal ini terjadi jika sang hamba memelihara agar
pandangannya tidak tertuju kepada sesuatu yang diharamkan serta tidak disukai
Allah, kecuali jika tajalli keagungan dan keindahan telah bersemayam dihati
hamba. (Maksud Imam adalah jika seorang hamba yang hatinya telah dirahmati oleh
Allah, maka meskipun pandangannya tertuju kepada hal-hal yang tidak baik
niscaya hal itu tidak akan mempengaruhi kondisi batin sang hamba. Atau hamba
itu melihat sesuatu yang haram dengan tujuan untuk memperbaikinya. Misalnya
saja jika seorang hamba melihat perempuan yang membuka auratnya, namun hamba
itu tidak tergoda malahan memberikan nasihat kepada si perempuan itu yang
dengan rahmat Allah perempuan itu akan menjadi sadar).
Pemimpin kaum
beriman, Imam Ali bin Abi Thalib (Semoga kedamaian tercurah kepadanya) pernah
ditanya apakah hal yang dapat membantu kita memelihara pandangan, kemudian
beliau berkata “Memohon bantuan sambil menghinakan diri ke haribaan Dia Yang
mengetahui segala rahasiamu yang baik maupun yang buruk, serta senantiasa
mengawasimu.” Ketahuilah, sesungguhnya mata adalah pengawas hati dan utusan
akal, oleh karena itu peliharalah pandanganmu dari segala sesuatu yang dapat
mempengaruhi keimananmu, segala sesuatu yang tidak disukai hatimu karena dapat
merusaknya (hati), serta hal yang ditolak oleh akal karena dapat mengganggu.
Sang Nabi suci
(Semoga kedamaian tercurah atasnya dan kepada keluarganya) bersabda, “Tundukkan
(pelihara) pandanganmu, niscaya engkau akan menyaksikan keajaiban-keajaiban
spiritual.” Allah Ta’ala Berfirman: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya.” (Qur’an
surah an Nur ayat 30). Nabiyullah ‘Isa
(semoga kedamaian tercurah atasnya) berkata kepada para pengikutnya,
“Berhati-hatilah kalian dari memandang hal-hal yang dilarang, karena hal itu
adalah benih-benih syahwat dan dapat menumbuhkan pohon kefasikan.” Nabiyullah
Yahya (semoga kedamaian tercurah atasnya) berkata, “Lebih baik aku mati
daripada terlena dalam menyaksikan hal-hal yang buruk.” Sahabat Abdullah bin
Mas’ud pernah berkata kepada seseorang yang matanya terbelalak ketika menjenguk
seorang perempuan yang sedang sakit, “Lebih baik engkau kehilangan matamu
daripada melihat seorang perempuan sakit dengan penuh syahwat.”
Setiap kali
seseorang memandang hal-hal yang dilarang, maka pada saat itu hasrat buruk
terikat dihati dan mengotorinya. Ikatan itu hanya bisa diputuskan oleh dua
sebab, yang pertama adalah tangis penyesalan dan bertaubat dengan
sungguh-sungguh, atau yang kedua adalah menyadari kesalahan perbuatannya dan
menebusnya dengan amal baik. Dan jika orang itu tidak sungguh-sungguh menyadari
dan menebus perbuatan buruknya, maka tempat kembalinya adalah neraka. Sedangkan
bagi mereka yang bertaubat dengan sungguh-sungguh maka balasannya adalah
dimasukkan kedalam taman kebahagiaan, di tempat yang diridhai oleh Allah SWT.
Nasihat
Spiritual Imam Ja’far as Shadiq
Barangsiapa
yang menjaga hatinya dari kelalaian dalam berdzikir, melindungi dirinya dari
jerat syahwat, serta menjaga akalnya dari penyimpangan, dia akan dikelompokkan
kedalam golongan mereka yang hidup hatinya. Kemudian bagi mereka yang menjaga
diri dari memanfaatkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk kepentingan
pribadi, yang memelihara keimanannya dari bid’ah-bid’ah yang merusak, serta
memelihara hartanya dari sesuatu yang haram, maka dirinya akan dikelompokkan
kedalam golongan orang-orang yang shaleh.
Rasulullah
(semoga kedamaian tercurah atas diri beliau dan keluarganya) bersabda,
“Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap laki-laki dan perempuan yang beriman.”
Ketahuilah bahwa ilmu yang dimaksud dalam hadits itu yang paling utama adalah
ma’rifat an nafs (ilmu pengetahuan tentang hakikat diri manusia), ilmu yang
membawa manusia agar dapat bersyukur kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu
sangatlah penting bagi semua manusia, agar dalam setiap kondisi hidupnya
senantiasa memanjatkan puji syukur ke Hadhirat Ilahi dan memohon ampunan dari
kelalaiannya dalam bersyukur.
Dan ketahuilah
jika Allah menerima syukur seorang hamba maka itu berarti Dia berkenan
melimpahkan karunia-Nya kepada sang hamba. Namun jika syukur seorang hamba
ditolak, maka hal itu berarti Allah berkehendak untuk menampakkan sifat Maha
Adil (agar sang hamba berusaha lebih keras lagi untuk dapat bersyukur). Setiap
orang harus menyadari pentingnya bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah
dan mengungkapkan rasa syukur, serta bersungguh-sungguh dalam menjaga diri dari
melakukan dosa, serta menjauhi penyebab-penyebab kemaksiatan.
Untuk mencapai
kondisi seperti itu, dasarnya adalah engkau harus menyadari kemudian
mengungkapkan kebutuhan serta kebergantunganmu secara total kepada Allah
Ta’ala, bahwa engkau membutuhkan perhatian Allah, dan bahwa ketaatan kepada
Allah adalah kebutuhanmu. Dan kunci dari semuanya itu adalah pemasrahan dirimu kepada Allah, menghapuskan
angan-angan dan khayalanmu dengan banyak mengingat kematian, serta menumbuhkan
kesadaran bahwa dalam setiap saat sesungguhnya engkau sedang berdiri dihadapan
Yang Maha Perkasa. Dengan melakukan hal ini engkau akan terbebaskan dari
jerat-jerat syahwatmu, engkau akan terselamatkan dari musuh-musuhmu, dan jiwamu
akan dianugerahi kedamaian. Hakikat dari ketulusan dalam beribadah adalah suatu
harmoni yang selaras (antara hati, ucapan, dan perilaku), dan tangga menuju
kemerdekaan spiritual adalah engkau mensikapi hidupmu seakan-akan ini adalah
hari terakhir yang engkau jalani.
Rasulullah
(semoga kedamaian tercurah atas diri beliau dan keluarganya) bersabda,
“Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah sesaat. Maka jalanilah hidupmu
dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Gerbang kepada
kebebasan spiritual ini adalah senantiasa berkhalwat menjauhkan diri dari
keduniawian, serta bertafakur secara terus-menerus melakukan perenungan
mengenai kesementaraan dunia ini. Adapun inti dari khalwat adalah merasa cukup
dengan apa yang telah engkau terima, dan meninggalkan hal-hal yang tidak
memiliki manfaat bagi jiwamu. Sedangkan hakikat dari tafakur adalah
mengosongkan diri dari hasrat dan keinginan rendahmu, yang merupakan tiang dari
kezuhudan. Sempurnanya zuhud adalah ketaqwaan, dan gerbang dari ketaqwaan
adalah rasa takut kepada Allah, yang dibuktikan dengan banyak mengagungkan
Allah Ta’ala, istiqamah menaati-Nya dengan tulus, serta merasa takut dan
waspada agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang.
Ketahuilah
semua maqam spiritual ini hanya dapat dilalui jika dirimu dibimbing oleh ilmu
(memiliki seorang pembimbing spiritual), Allah Yang Maha Besar Berfirman, “Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah mereka yang
berilmu.” (Qur’an surah Fathir ayat 28)