Oleh Dr. Muhammad Tijani As-Samawi (‘ulama & penulis Tunisia)
Salah seorang ulama Syi’ah
bercerita, “Pada suatu hari aku berada di Madinah, di Masjid Nabawi. Aku
melihat di sebelahku ada peziarah yang datang dari Iran mencium dinding dan
pagar makam Rasulullah saw. Lalu tiba-tiba imam jama’ah setempat, yang mana ia
adalah seorang pemuka Wahabi, mendatanginya membentak dengan berteriak:
“Mengapa kamu mencium dinding yang tidak bisa berbuat apa-apa?! Kamu telah
syirik!”
Aku pun merasa kesal
dengan sikapnya lalu kudatangi dan kukatakan, “Kami mencium dinding masjid ini
karena kecintaan kami kepada Rasulullah saw. Tak ada bedanya seperti seorang
ayah yang mencium anaknya karena rasa cinta. Tidak ada kesyirikan dalam hal
seperti ini.” Ia berkata, “Tidak! Perbuatan ini tetaplah syirik.”
Aku berkata, “Bukankah Anda
pernah membaca ayat yang berbunyi: “Ketika pembawa berita gembira datang
kepada Ya’qub dan memberikan baju anaknya kepadanya, Ya’qub mengusap baju itu
ke mukanya lalu ia dapat melihat kembali” (QS Yusuf: 96). Pertanyaanku
adalah, baju itu hanya sekedar kain. Lalu bagaimana bisa menyembuhkan mata nabi
Ya’qub as? Apa bukan karena baju itu milik anak kecintaannya sehingga baju
tersebut begitu istimewa bagi beliau?”
Imam jama’ah Wahabi itu
terlihat kebingungan dan tidak bisa menjawab. Demikian aku berusaha memberitahu
ia tentang bagaimana kami berkeyakinan. Penjelasannya yang lebih detil begini:
Bukannya nabi Ya’qub as pernah mencium bau anaknya dari jarak yang sangat jauh
karena begitu cintanya ia pada nabi Yusuf as? “Sungguh aku mencium
wangi Yusuf” (QS Yusuf: 94)
Oleh karena itu kami
begitu mempercayai keistimewaan wali-wali Allah ini. Perbuatan kami ini
bukanlah syirik. Bahkan kami berani bertaruh inilah Tauhid yang sebenarnya!”
Lalu kujelaskan lebih detil, “Saat menziarahi nabi, kami marasa diri kami tidak
pantas untuk menghadap Allah swt secara langsung, oleh karena itu kami ingin
menjadikan nabi sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Inilah
Tawasul. Tak jauh beda dengan seorang anak yang nakal yang tidak berani menemui
ayahnya lalu meminta tolong orang lain yang dikenal baik ayahnya untuk datang
bersamanya meminta maaf dari sang ayah.
Dalam Al-Qur’an hal ini
pun dijelaskan dengan sangat jelas. Saat anak-anak nabi Ya’qub as merasa berdosa,
mereka berkata kepada ayahnya: “Hai ayah kami, mintakanlah ampun Allah untuk
kami karena kami sungguh orang-orang yang salah” (QS Yusuf: 97). Dari
ayat itu dapat kita fahami bahwa bertwasul dan menjadikan hamba-hamba terdekat
Allah sebagai perantara adalah hal yang wajar dan boleh-boleh saja. Sedangkan
mereka, orang-orang Wahabi menyebut Tawasul sebagai perbuatan syirik,
bertentangan dengan Tauhid, dan lain sebagainya. Allah swt juga pernah
berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, carilah wasilah (perantara)
kepada-Nya” (QS Al Maidah: 35)
Bukannya ayat itu mengajak
kita untuk ber-Tawasul? Wasilah atau perantara yang dimaksud
oleh ayat di atas tidak hanya terbatas pada menjalankan kewajiban dan
meninggalkan yang haram saja, namun juga menjalankan hal-hal mustahab, yang
salah satunya adalah Tawasul itu sendiri. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa
Mansur Dawaniqi (Khalifah kedua Dinasti Abbasiah) bertanya kepada Malik bin
Anas (pemimpin Madzhab Maliki), “Di makam Rasulullah saw kita harus berdoa
menghadap Kiblat atau menghadap makam beliau?”
Ia menjawab, “Mengapa kamu
harus memalingkan wajahmu dari nabi? Ia adalah perantara bagimu dan juga bagi
ayahmu, nabi Adam as, di hari kiamat nanti. Menghadaplah kepada nabi dan
mintalah ia untuk menjadi pemberi syafaat kepadamu. [1] Allah
swt berfirman: “Dan ketika orang-orang yang menzalimi dirinya datang
kepada nabi untuk dimintakan ampunan, lalu nabi memohon ampunan Allah untuk
mereka, niscaya mereka mendapati bahwa Allah maha maha penerima taubat dan
pengasih” (QS. An Nisa’: 64)
Dalam riwayat-riwayat Syi’ah
maupun Sunni disebutkan bahwa nabi Adam as saat bersimpuh di pintu Ka’bah
berdoa kepada Allah dan menjadikan nama Rasulullah Saw sebagai perantara
taubatnya. Ia berdoa, “Ya Allah, demi Muhammad ampunilah aku.”[2] Kembali
ke permasalahan. Sederhana saja, bukti bahwa mencium kubur hamba-hamba dekat
Allah swt adalah beberapa riwayat ini:
Seseorang pernah
mendatangi nabi dan bertanya, “Wahai nabi, aku telah bersumpah untuk mencium pintu
surga…Lalu (jika terlanjur begini), apa yang harus kulakukan?” Beliau menjawab,
“Kalau begitu ciumlah kaki ibu dan kening ayahmu.” “Bagaimana jika ayah dan
ibuku telah mati?”, tanya lelaki itu. Nabi menjawab, “Maka ciumlah kuburan
mereka.”[3]
Riwayat yang lain…Saat nabi Ibrahim as datang dari Syam untuk menemui anaknya,
nabi Ismail as di Makkah, anaknya tidak ada di rumah. Lalu saat nabi Ismail as
datang, istrinya menceritakan bahwa tadi ayahnya datang mencarinya. Segera
setelah itu ia mencari jejak kaki ayahnya lalu sebagai penghormatan ia mencium
jejak kaki tersebut.
Riwayat yang lain juga,
diriwayatkan bahwa Sufyan Tsauri (seorang sufi Sunni) mendatangi Imam Ja’far
Shadiq as dan berkata, “Mengapa orang-orang suka menciumi kain Ka’bah padahal
kain itu tidak akan berbuat apa-apa dan tak berguna?” Imam Ja’far as Shadiq as
menjawabnya dengan berkata, “Hal itu bagai kejadian seseorang yang bersalah
terhadap sesamanya lalu berusaha menarik bajunya dengan berlutut dan menciumnya
agar mau menerima permintaan maafnya.”[4]
CATATAN:
[1] Wafa’ul
Wafa’, jilid 2, halaman 1376; Ad Durr As Sunniyah, Dzaini
Dahlan, halaman 10.
[2] Ad
Durr Al Mantsur, jilid 1, halaman 59; Mustadrak Al Hakim, jilid
2, halaman 615; Majma’ul Bayan, jilid 1, halaman 89.
[3] Al
A’lam, Quthbuddin Hanafi, halaman 24.
[4] Seratus
Satu Dialog, Muhammad Muhammadi Isytihardi, halaman 175.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar