Oleh
Sayed Mahdi Al-Modarresi
Ini
bukan ibadah Haji, atau “Kumbh Mela”-nya kaum Hindu. Ini adalah Arbain, hari
ke-40 gugur syahidnya cucu Rasulullah, Husein bin Ali bin Abi Thalib di
Karbala, Irak. Ini adalah perkumpulan manusia terbanyak di dunia, yang mungkin
belum pernah Anda dengar. Jumlah peziarah yang datang jauh melampui jamaah
Haji. Sejak jatuhnya Saddam 2003 hingga kini, jumlah peziarah terus meningkat.
Arbain melampaui pawai manapun di dunia ini: tahun lalu, diikuti 20 juta orang,
tahun ini diperkirakan 30 juta. Ini setara dengan 60% populasi Irak.
Lebih
dari segalanya, Arbain menjadi unik karena terjadi di sebuah negara yang rawan
karena keberadaan ISIS. Selain itu, meskipun Arbain adalah ritual kaum Syiah,
yang ikut dalam pawai super akbar ini tidak hanya Syiah, melainkan juga Sunni,
Kristen, Yazidi, Zoroastrian, dan Sabian. Mereka hadir di sana baik sebagai
peziarah, maupun sebagai pelayan para peziarah (yang menyediakan berbagai
fasilitas, termasuk makanan-minuman).
Ini bermakna satu hal: manusia, tak peduli asal dan warna kulitnya, memandang Hussein sebagai sosok universal, tanpa batas, dan simbol kemerdekaan dan kasih sayang.
Mengapa
Anda tidak pernah mendengar hal ini, mungkin karena media lebih peduli pada
hal-hal yang negatif dan berdarah-darah, dibandingkan hal-hal yang positif dan
inspiring, terutama jika berkaitan dengan Islam. Demo anti-imigran di jalanan
London, demo pro-demokrasi di Hong Kong atau demo anti-Putin di Russia, akan
menjadi headline. Namun, berkumpulnya 20 juta orang yang menyerukan perlawanan
atas terror dan ketidakadilan, bahkan tak terberitakan dalam running-text
televisi.
Arbain
memunculkan pertanyaan: bagaimana mungkin seorang lelaki yang terbunuh 1396
tahun yang lalu, sedemikian “hidup” hari ini dan membuat puluhan juta orang
merasakan penderitaannya?
Saya
pernah hadir dalam pawai ini, berjalan 425 mil antara kota pelabuhan Basra
menuju Karbala. Ini perjalanan yang jauh bila menggunakan mobil, tak
terbayangkan jauhnya bila menempuhnya dengan berjalan kaki. Total waktu yang
diperlukan adalah dua minggu [dari Najaf 3 hr]. Orang-orang dari berbagai usia
berjalan di tengah terik mentari di siang hari, dan dingin menusuk tulang di
malam hari. Mereka melintasi jalanan yang kasar berbatu, melewati sarang-sarang
teroris yang berbahaya.
Salah
satu bagian dari peziarahan ini yang akan membuat semua orang tercengang adalah
keberadaan ribuan tenda dan dapur darurat yang didirikan oleh warga desa-desa
yang dilalui peziarah. Di tenda (disebut 'mawkeb') itu, semua orang boleh
beristirahat, mendapatkan makan dan minum, menelpon ke luar negeri, bahkan
tersedia juga popok bayi. GRATIS.
Dan
yang lebih mencengangkan lagi, peziarah justru DIUNDANG untuk menerima segala
pelayanan itu. Para pengurus tenda akan mencegat peziarah, dan memohon agar
peziarah bersedia mampir sejenak di tenda mereka, dan menikmati pelayanan kelas
raja: pertama kaki Anda akan dipijat, lalu Anda akan diberi makanan hangat,
lalu Anda dipersilahkan tidur sementara pakaian Anda dicucikan dan
disetrikakan. Semua gratis, tentu saja. Bukan hanya itu, mereka juga menjadi
tameng keamanan, melindungi para peziarah dari serangan ISIS.
"Untuk
menilai Islam, jangan liat aksi biadab ratusan teroris, tapi saksikan
pengorbanan tanpa pamrih yang ditunjukkan oleh puluhan juta peziarah
Arbain," kata salah seorang pengelola Mawkeb. Sumber: http://www.huffingtonpost.co.uk/sayed-mahdi-almodarresi/arbaeen-pilgrimage_b_6203756.html
Diterjemahkan oleh: Dina
Yoelianti Sulaeman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar