Eksperimentasi
dan pengalaman tidak hanya menambah pengetahuan dan keahlian manusia, tapi juga
menambah kemampuan akal manusia. Imam Ali Ibn Abi Thalib (as) mengetahui bahwa
manusia memiliki akal eksperimentasi selain akal dzatiah atau natural yang ada
pada diri mereka. Imam Ali (as) juga mengatakan: “Sebagaimana manusia
menggunakan akal naturalnya ia juga dapat menambah kemampuan akalnya dengan
memanfaatkan akal eksperimentasinya, berikut pernyataan Imam Ali (as):
اَلْعَقْلُ
عَقْلان: عَقْلُ الطَّبْعِ وَعَقْلُ التَّجْرِبَةِ وَكِلاهُما يُؤدّي اِلَى الْمَنْفَعَةِ، وَالْمَوْثُوقُ بِهِ صاحِبُ الْعَقْلِ وَالدّينِ.
“Akal
manusia terbagi dua: pertama akal tabi’i (natural), kedua adalah akal tajribi
(eksperimentasi dan pengalaman), kedua dari pembagian akal manusia ini
memberikan manfaat dan faedah kepada manusia, dan seseorang harus menyakini
bahwa ia memiliki akal dan agama.”
Dengan
demikian, semakin bertambah pengalaman atau eksperimentasi yang dilakukan
seseorang, maka akal eksperimentasinya juga akan bertambah. Untuk itu manusia
harus berusaha untuk menambah dan menyempurnakan akal eksperimentasinya dengan
mencari pengalaman dan melakukan eksperimentasi, sehingga akalnya menyempurna.
Selain dari riwayat yang kami sebutkan di atas juga terdapat riwayat yang di
sampaikan oleh Imam Husain (as), beliau bersabda:
طُولُ التَّجارِبِ زيادَةٌ فِي الْعَقْلِ وَالشَّرَفِ وَالتَّقْوى
“Lama
dan panjangnya sebuah pengalaman akan menambah akal, kemuliaan serta ketaqwaan
manusia”. Singkatnya, dari riwayat di atas kita dapat memahami bahwa
orang-orang yang memiliki tanggung jawab dan tugas yang berat tentunya adalah
orang-orang yang memiliki pengalaman sehingga akal dzatiahnya bertambah, begitu
juga ia mestinya menggunakan akal tajribi (akal pengalaman) sehingga kemampuan aktivitasnya
juga bertambah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar