Pada
25 Agustus 1978, Imam Musa Sadr bersama dua orang yaitu, Syeikh Muhammad Yaqub
dan Abbas Badruddin, pimpinan redaksi kantor berita Lebanon, tiba di Libya.
Menurut rencana tanggal 29 atau 30 Agustus, mereka akan berdialog dengan
Presiden Libya, Muammar Gaddafi. Namun sejak itu hingga kini Imam Musa Sadr
raib tanpa jejak. Para pejabat tinggi Libya mengklaim bahwa Gaddafi mendadak
membatalkan pertemuannya dengan Imam Musa Sadr.
Peristiwa
itu memang sudah lama terjadi. Meski demikian, ketokohan Imam Musa Sadr menjadi
nostalgia tersendiri bagi orang-orang yang merindukan sosok ulama dan pejuang
yang nyaris sempurna. Untuk itu, sangatlah tepat jika ada catatan ringkas yang
mengulas ketokohan dan keagungan Imam Musa Sadr. Siapakah tokoh ini sehingga
Parlemen Iran menaruh perhatian khusus bahkan membentuk komite khusus di
parlemen dari semenjak raibnya pada tahun 1978 hingga kini?
Imam Musa Sadr dan Imam Khomeini
Ketika
mendengar Imam Khomeini ra diasingkan ke Najaf, Imam Musa Shadr langsung ke
tempat kediaman Imam Khomeini. Bersamaan dengan kedatangan Imam Musa Sadr, ada
rombongan dari Iran. Rombongan itu bertanya kepada Imam Khomeini, siapakah yang
akan melanjutkan perjuangan ini bila Imam Khomeini tiada? Pertanyaan ini
sangatlah wajar. Terlebih Imam Khomeini saat itu mendapat ancaman dari rezim
Shah Pahlevi (yang disokong Israel dan Amerika). Mendengar pertanyaan itu, Imam
Khomeini dengan tenang menjawab, "Selama ada Imam Musa Shadr, kalian tidak
perlu khawatir."
Jawaban
itu kemudian dipahami bahwa Imam Musa Sadr adalah pengganti Imam Khomeini.
Selain itu, pernyataan Imam Khomeini menjelaskan kesamaan perpektif dan
idealisme Imam Khomeini dan Imam Musa Sadr.
Syi’ah, Sunni dan Kristen
Setelah
Imam Musa Shadr pindah ke Lebanon, sosok kepemimpinan beliau mulai dikenal di
dunia internasional. Bahkan sepak terjangnya menkhawatirkan Barat (Amerika) dan
Rezim Zionis Israel. Siapapun yang menjadi musuh Barat dan Zionis Israel akan menjadi
sosok yang menjadi perhatian luas di tingkat dunia. Imam Musa Sadr bukan saja
sosok yang mampu mempersatukan Syi’ah dan Sunni di Libanon, tapi beliau juga
tokoh yang mampu mempersatukan Islam dan Kristen. Uskup Agung Lebanon waktu itu
mengatakan, "Seandainya kami memiliki tokoh seperti Imam Musa Shadr, kami
dapat memimpin dunia."
Film The Message
Ingatkah
Film The Message yang pemeran
utamanya adalah Anthony Quinn? Film tentang Nabi Muhammad Saw, The Message yang
disutradarai oleh Moustapha Akkad pada awalnya, ditentang oleh seluruh umat
Islam sedunia. Tapi Akkad kemudian mendapatkan semangat baru untuk membuat film
tersebut setelah mendapat dorongan dari Imam Musa Sadr. Karena Itulah nama Imam
Musa Sadr tercantum setelah nama-nama pemain dan kru film yang biasa
ditampilkan di akhir film.
Setelah
membuat film itu dan mendapat pujian dari banyak kalangan bahkan ulama Islam,
Imam Musa Sadr meminta Akkad untuk membuat film tentang Imam Ali as. Moustapha
Akkad mengatakan, "Saya akan membuatnya tapi dengan syarat pemeran Imam
Ali as adalah Anda sendiri." Imam Musa Sadr hanya menanggapinya dengan
senyum. Kata Akkad, "Imam Musa Sadr hanya tersenyum mendengar usulan saya
itu."
Qom
Imam
Musa Sadr melewati masih muda di kota Qom. Beliau ketika masih muda tidak hanya
belajar fiqih dan ushul fiqih, tapi juga Filsafat. Imam Musa Sadr juga belajar
"Manzhumah" bersama saudaranya Sayyid Ridha.
Ketika
Allamah Thaba'thaba'i mengajar buku Asfar Arba'ah, Imam Musa Shadr langsung
juga ikut dalam kuliah Allamah dan menjadi salah satu murid terbaiknya. Syahid
Muthahhari mengatakan, "Musa Sadr merupakan sosok terbaik yang dengan
mudah menyelesaikan masalah-masalah kompleks dari buku Manzhumah. Ia adalah
orang terbaik yang mampu memahami ucapan-ucapan Mulla Sadra dengan benar."
Najaf
Imam
Musa Sadr ketika melanjutkan pendidikannya di Najaf, beliau belajar mata kuliah
kharij fiqih dan ushul fiqih (jenjang terakhir kuliah fikih yang bisa
disetarakan dengan jenjang kuliah doktoral) kepada Ayatullah Sayyid Muhsin
al-Hakim, Sayyid Abul Qasim Khu'i, Sayyid Mahmoud Syahroudi dan Syeikh Murtadha
Ali Yasin. Mereka adalah ulama besar Najaf waktu itu. Selain itu, Imam Musa
Sadr juga belajar filsafat kepada Ayatullah Badkoubeh.
Ayatullah
Sayyid Khu'i punya perhatian khusus kepadanya. Ketika Imam Musa Sadr
meninggalkan hauzah Najaf, Ayatullah Khu'i mengatakan, "Bila dia tinggal dua atau tiga tahun lagi di
Najaf, Imam Musa Sadr bakal menjadi ulama Syi’ah terbesar di dunia."
Meratapi kepergian Imam Musa Sadr Ayatullah Khu'i mengatakan, "Sangat
disayangkan dia meninggalkan Najaf. Akan lebih baik bila saya tidak pernah
mengenalnya."
Banyak
yang menyayangkan keputusan Imam Musa Sadr untuk pergi ke Libanon. Sayyid
Muhammad Baqir Sadr (Syahid Sadr) yang juga sepupunya mengatakan, "Bila
Imam Musa Sadr tetap komitmen dengan tradisi hauzah dan tinggal di Najaf, ia
bakal menjadi satu-satunya marji’ mutlak Syi’ah."
Sebagian
lainnya meyakini bahwa Libanon terlalu kecil bagi Imam Musa Sadr. Apalagi
beliau dikenal sebagai sosok yang punya program untuk masa depan. Menurut
mereka, sangat disayangkan bila Imam Musa Sadr membatasi dirinya di tempat yang
kecil.
Imam
Musa Sadr mendengar semua ucapan ini. Tapi beliau telah membulatkan tekadnya
untuk bertolak ke Libanon. Untuk itu, beliau mencoba hidup selama sebulan di
Lebanon dengan melihat kehidupan di sana dari dekat. Selama sebulan itu pula
Imam Musa Shadr begitu terharu atas kondisi masyarakat Syi’ah di sana yang
hidup dalam kemiskinan.