Mengapa Ahmadinejad? Jawabnya tak lain
karena kita bisa menjadikan orang atau tokoh bangsa lain sebagai cermin untuk
belajar. Terlebih sebagai figur, Ahmadinejad sangat dikenal secara global
karena keberaniannya untuk bersuara lantang melawan “hegemoni” dan
unilateralisme politik dan ekonomi “Barat”, yang dalam hal ini digawangi
Amerika, yang selama ini didiamkan. Juga tentu saja kesahajaannya.
Jika kita baca biografinya, ia
terlahir dari keluarga dengan ayah seorang pandai besi, mungkin semacam perajin
atau bengkel, di kawasan pertanian Aradan, Iran. Singkatnya, ia memang lahir
dari sebuah tempat dan keluarga yang sederhana dan bersahaja, dan rupa-rupanya
kesederhanaan ini kemudian menjadi karakter jiwa dan kepribadiannya.
Ada satu hal yang unik dari sisi
keseharian Ahmadinejad, yaitu ia tak pernah menggunakan dasi ketika menjabat
sebagai presiden, bahkan dalam salah-satu foto terlihat jelas bagian ketiak
bajunya sobek saat berangkulan dengan koleganya dari Venezuela, dan salah-satu
propertinya hanya Peugeot 504 tahun 1977, sebuah kendaraan yang tentu saja
terbilang sangat buruk untuk ukuran seorang presiden.
Tapi siapa sangka, dia adalah figur
yang punya nyali besar dan berani menantang arogansi unilateralisme: “Jika
nuklir ini dinilai buruk dan kami tidak boleh menguasai dan memilikinya, mengapa
kalian sebagai negara adikuasa boleh memilikinya? Sebaliknya, jika tekno-nuklir
ini baik bagi kalian, mengapa kami juga tidak boleh memakainya?” Demikian
ucapnya dengan lantang dalam salah-satu pidatonya ketika Negara yang
dipimpinnya di-embargo karena program nuklir-nya untuk kepentingan damai itu.
Seperti apa dan bagaimana Mahmoud
Ahmadinejad yang disanjung oleh para pendukung dan pencintanya dan sekaligus
dicaci dan dibenci oleh mereka yang merasa terancam dengan langkah-langkah
politiknya ini? Logis, jelas, dan tegas, itulah gambaran yang cukup tepat bagi
seorang lelaki yang mengaku dirinya pelayan rakyat Iran ini, yang terbilang
memiliki wajah yang kalem dan sejuk. Kesehariannya tentu saja sebagai seorang
presiden, sebagaimana kita tahu seringkali hanya mengenakan kemeja putih atau
yang berwarna terang, dibalut dengan jas, dan sesekali dengan jaket, dan
seperti telah dibilang, tak menggunakan dasi.
Barangkali kita dapat menyimpulkan
bahwa pakaian seseorang mencerminkan visi dan kepribadiannya, di mana dapatlah
kita menebak bahwa ia tidak ingin menjadi ke-Barat-barat-an ala kaum snobis
atau para epigon yang kehilangan identitas mereka. Dan sebagaimana dapat kita
lihat, meski perawakannya tidak terlalu besar, kesungguhan dan adab terpancar
kuat dari wajahnya yang sejuk dan bersahaja. Tatapan matanya dalam dan
membatin, sementara tangannya tampak kekar seperti pekerja kasar. Rambutnya pun
tidak terlihat memakai minyak rambut, yang akan membuat rambutnya tampak
klimis.
Yah, dia adalah Mahmoud Ahmadinejad,
sosok yang tidak disukai Israel dan Amerika, salah-satunya karena mau berdiri
tegak terhadap mereka, bahkan seringkali melontarkan pernyataan-pernyataan
politik yang kontroversial dan, tentu saja, menyulut rasa kesal Amerika, Israel
dan para sekutunya. Mungkin karena hal itu pula, Hugo Chavez, Presiden
Venezuela, mengagumi dan menjadi sahabat kentalnya. Pada November 2010,
misalnya, Ahmadinejad mengunjungi perbatasan Libanon, tidak jauh dari sarang
para tentara Israel. Lautan manusia datang menyambut kedatangan Ahmadinejad
yang bersahaja ini.
Di panggung yang besar itu, ada dua
mimbar yang tersedia: yang pertama adalah mimbar anti peluru yang disediakan
untuk sang presiden, dan yang kedua mimbar biasa untuk penerjemah. Ketika tiba
saatnya memberikan sambutan di atas panggung, sang presiden pun naik dengan
diikuti beberapa pemuda berkecamata hitam yang terlihat sibuk memperhatikan
lautan manusia yang menumpahkan tepuk tangan, dan tak jarang memandang jauh ke
arah jendela-jendela beberapa gedung tinggi yang berdiri di sekeliling lapangan
pertemuan akbar itu.
Kala itu, panita pelaksana tersentak
ketika Ahmadinejad memilih untuk berpidato di mimbar biasa. Semua orang tahu,
ini adalah pilihan berisiko apalagi presiden berada di zona ‘rawan’. Namun
kekhawatiran itu tidak tampak ketika Ahmadinejad berpidato dengan sangat tenang
dan berhasil membakar semangat perjuangan rakyat Timur Tengah dan Iran,
sekaligus mengutuk secara terbuka penjajahan serta penindasan gaya baru di muka
bumi ini.
Jika kembali pada sejarah Islam, kita
tentu akan teringat pada Imam Husain cucu Muhammad saw dan para sahabatnya yang
dengan setia dan tidak gentar sedikit pun menghadapi kepungan bala tentara
prajurit Yazid bin Muawwiyah bin Abu Sufyan yang selalu haus dengan kedzaliman
dan penindasan. Bagi mereka, kematian bukanlah pilihan, tapi sebuah jalan yang
harus dilalui. Namun kematian akan lebih indah dengan syahid untuk sebuah
keadilan. Apakah Anda masih ingat ketika hampir semua negara malu-malu kucing,
segan bahkan takluk dengan Paman Sam, namun Mahmoud Ahmadinejad tampil tegak
untuk menyarankan debat terbuka:
“Saya menyarankan, kami berdebat
dengan tuan Bush, Presiden Amerika Serikat, di televisi yang disiarkan langsung
mengenai masalah-masalah yang terjadi, termasuk pandangan Amerika, juga Iran.
Debat ini tidak boleh disensor agar publik Amerika tahu apa yang sebenarnya
terjadi.”
Keberanian seperti ini pernah hanya
dimiliki orang-orang yang akan mengukir sejarah, seperti Imam Husain sang cucu
tercinta Muhammad saw sekaligus tonggak Islam dan keadilan ummat manusia, yang
bersama kudanya dengan gagah berani meninggalkan kemah keluarganya menghampiri
Pasukan Yazid yang sudah haus dengan darah. Imam Husain sekali lagi
mengumandangkan seruan perdamaian, persatuan untuk kemaslahatan dan visi
kemanusiaan. Namun melihat Imam Husain hanya seorang diri, pasukan Yazid
pura-pura tuli mendengar seruan dari cucu Nabi itu, dan tidak sabar lagi
membantai orang yang tentangnya Rasulullah bersabda: “Husain dariku, dan aku
dari Husain”.
Lepas dari siapa yang menang di mega
tragedi ini, Imam Husain telah mewariskan keberanian dengan darah dan sejarah
untuk melawan tirani penindas kepada generasi-generasi Islam dari masa ke masa.
Imam Husain adalah simbol revolusi yang dirindukan para kaum tertindas dan ditakuti
oleh para imperialis yang dicontohkan oleh Yazid.
Setidak-tidaknya, Mahmoud Ahmadinejad
telah menunjukkan kepada dunia bahwa perstiwa 10 Muharram masih ada dalam
sejarah kekinian ummat manusia. Dan kita masih berada di tengah-tengah Padang
Karbala, yang mau tidak mau harus memilih antara keadilan dan kedzaliman.
Ketika kita memilih menyuarakan
keadilan, maka resiko apapun harus dihadapi dengan berani dan penuh keikhlasan.
Ahmadinejad telah membuktikan bahwa ia tidak gentar sedikitpun dengan segala
kemungkinan resiko, ketika ia berani menentang unilateralisme Israel dan
Amerika. Semangat prajurit Imam Husain menghadapi kaum penindas di Karbala
benar-benar terpancar dari dirinya. Sesuatu yang terbilang unik karena dia
bukan lahir dan besar dari militer.
Singkatnya, kita dapat menyimpulkan
bahwa pribadi dan integritasnya yang berani tegak berhadapan dengan politik
unilateralisme itu tak ragu lagi karena ia meneladani perjuangan dan spirit
Islam Husain sang cucu tercinta Nabi saw di Karbala yang memilukan itu.