Inilah
salah-satu sejarah yang diabadikan al Qur’an, yaitu Tragedi Parit atau Ashabul
Ukhdud, di mana 20.000 manusia mati syahid. Ini terjadi di negeri Najran,
Yaman, yang pada saat itu diperintah oleh raja yang bernama Dzu Nuwas. Mulanya,
Dzu Nuwas adalah raja yang bijaksana dan tegas dalam mengambil keputusan. Namun
dalam perjalanan pemerintahannya dan seiring berjalannya waktu, Dzu Nuwas sang
raja itu, menjelma menjadi raja yang angkuh dan hanya memikirkan dirinya
sendiri. Secara tekstual, al Qur’an mengabadikannya dalam Surah al Buruuj,
surah ke-85, ayat 4-11.
Kala itu, Dzu Nuwas membebankan pajak yang harus dibayar oleh rakyatnya. Petani harus menyerahkan semua hasil jerih payahnya kepada Dzu Nuwas. Ia juga mempekerjakan buruh bangunan secara paksa dan tidak dibayar pula. Ironisnya, pada masa itu sebagian besar penduduk tetap saja menyembah berhala. Dan, suuatu hari, sampailah ke telinga Dzu Nuwas tentang hadirnya orang yang membawa agama Nabi Isa As ke Najran, bernama Faimayun. Faimayun membawa ajaran akan adanya Tuhan pencipta semesta yang Esa yang berkuasa atas segala yang terjadi di muka bumi ini. Dengan keramahan dan ketenangannya menyampaikan agama tauhid, ia seketika memiliki banyak pengikut yang tertarik dengan agama ini, dan secara perlahan namun pasti, masyarakat Najran pula mulai meninggalkan praktek pnyembah berhala.
Kala itu, Dzu Nuwas membebankan pajak yang harus dibayar oleh rakyatnya. Petani harus menyerahkan semua hasil jerih payahnya kepada Dzu Nuwas. Ia juga mempekerjakan buruh bangunan secara paksa dan tidak dibayar pula. Ironisnya, pada masa itu sebagian besar penduduk tetap saja menyembah berhala. Dan, suuatu hari, sampailah ke telinga Dzu Nuwas tentang hadirnya orang yang membawa agama Nabi Isa As ke Najran, bernama Faimayun. Faimayun membawa ajaran akan adanya Tuhan pencipta semesta yang Esa yang berkuasa atas segala yang terjadi di muka bumi ini. Dengan keramahan dan ketenangannya menyampaikan agama tauhid, ia seketika memiliki banyak pengikut yang tertarik dengan agama ini, dan secara perlahan namun pasti, masyarakat Najran pula mulai meninggalkan praktek pnyembah berhala.
Ketika
mengetahui hal tersebut, ada rasa tidak senang dan amarah dalam diri Dzu Nuwas.
Ia memerintahkan prajuritnya untuk membunuh Faimayun. Perintah ini didengar
oleh salah satu pengikut setia Faimayun. Ia pun segera berlari dan mengabarkan
kabar ini kepada Faimayun dan menyarankannya agar pergi dari kota. Sementara
itu, Faimayun menerima saran dari pengikutnya tersebut. Ia tidak takut pada
ancaman Dzu Nuwas, melainkan ia hanya ingin menjalankan agama tauhid dengan
tenang. Ia pun bersembunyi dalam sebuah gua di pinggir kota. Di dalam gua ia
terus berdoa semoga kelak Dzu Nuwas diberikan petunjuk ke jalan yang benar.
Di salah satu sudut kota tersebut tinggal seorang pembatik yang bernama Tsamir. Ia selalu membuat dan mengukir batik untuk Dzu Nuwas. Dengan keahliannya ini, Dzu Nuwas senang dan memerintahkan prajuritnya untuk tidak mengganggu. Tsamir memiliki seorang putra yang bernama `Abdullah, meski ia bekerja sebagai pembatik, namun ia bercita cita agar anaknya menjadi seorang penyihir nomor satu. Cita citanya ini cukup beralasan, karena pada saat itu orang yang menjadi orang kepercayaan Dzu Nuwas adalah seorang penyihir. Di suuatu hari, penyihir kerajaan mengadakan lomba menyihir. Hal ini ia lakukan untuk mencari bibit penyihir baru. Bagi pemenangnya nanti akan diajarkan teknik menyihir dari penyihir Dzu Nuwas. Impian Tsamir terwujud, anaknya `Abdullah berhasil memenangkan perlombaan tersebut.
Abdullah adalah anak yang mengalami hidup semasa kecil cukup menyenangkan dan jauh dari gangguan prajurit Dzu Nuwas yang selalu meminta pajak. Mendapat kesempatan ini ia dengan sungguh-sungguh mengikuti ajaran yang diajarkan oleh penyihir Dzu Nuwas. Ketika itu pula ia bercita-cita untuk menjadi penyihir nomor satu. Hingga suuatu hari, dalam perjalanan ke istana, `Abdullah melihat gua dari balik pohon besar. Dengan rasa penasaran, ia kemudian memasuki gua tersebut. Beginilah cara Tuhan untuk mempertemukan `Abdullah dengan Faimayun, supaya ia belajar pengetahuan yang hakiki dan benar dari lelaki saleh tersebut.
Didorong rasa ingin tahu dan rasa penasarannya, `Abdullah terus masuk ke gua. Tiba-tiba ia melihat cahaya lentera dan mendengar suara laki-laki yang sedang membaca Injil dengan merdu dan syahdu. Merasa ada orang yang mendekat, sang laki-laki di dalam gua itu menoleh dan bertanya, “Siapa engkau, anak muda? Mengapa engkau bisa sampai di tempat yang tersembunyi ini?” “Aku adalah penyihir muda dari Najran. Aku sedang dalam perjalanan untuk belajar seni menyihir kepada penyihir nomor satu di negeri ini. Namaku `Abdullah bin Tsamir.” “Siapa yang memerintah kotamu sekarang? Apakah masih Raja Dzu Nuwas?” “Benar Paman…., tapi mengapa Paman tinggal di tempat yang seperti ini?” “Anakku…, aku adalah seorang pengelana yang berusaha menyeru manusia agar menyembah Allah, Tuhan yang Esa. Rajamu tahu bahwa aku mendakwakan agama Nabi Isa As, lalu dia mengirim prajurit untuk menangkapku. Untuk itu aku bersembunyi di sini. Setiap hari sahabat karibku membawakan makanan untukku, namun sudah beberapa bulan belakangan ini ia tidak muncul. Hanya ia yang tahu keberadaanku di sini..”
“Apakah sahabat yang Paman maksud adalah tukang besi yang bertubuh jangkung dan berambut lebat?” “Benar, anakku. Engkau mengenalnya?” “Dia sudah meninggal, paman.” “Innalillahi wa inna ilaihi raaji`uun..” segera butiran butiran air mata jatuh berguguran membasahi pipi Faimayun yang mulai keriput mendengar berita tersebut. “Jangan sedih, Paman. Kita semua akan mati dan kembali ke tanah.” “Anakku…, dia adalah saudaraku yang seiman. Persaudaraan karena iman lebih mulia di sisi Allah daripada persaudaraan karena nasab” “Apa yang paman maksud dengan kata Allah yang Paman ulang-ulang sejak tadi?”
“Anakku.., Allah adalah Tuhan yang kusembah siang dan malam. Dia-lah yang menciptakan semesta dan seluruh isinya. Lihatlah ke langit dengan matahari dan bulannya. Lihatlah siang dan malam yang silih berganti tanpa pernah berhenti. Lihatlah dirimu anakku. Lihatlah jasadmu. Akalmu yang kau gunakan untuk berpikir. Semua yang ada di tubuhmu dan sekelilingmu. Semuanya bersaksi akan keberadaan Tuhan yang Maha Esa yang telah menciptakan dan mengaturnya. Allah telah menciptakanmu dari ketiadaan, dan memberimu kehidupan. Membuatmu mati dan menghidupkanmu kembali untuk dihisab dan diberi balasan. Jika mengerjakan kebajikan, balasannya pasti baik, dan jika mengerjakan kejahatan, balasannya pasti buruk”
“Apakah aku juga akan hidup setelah mati nanti, Paman?” “Benar anakku. Saat itulah semua orang akan mendapatkan balasan akan perbuatannya. Orang yang mengerjakan kebaikan kendati hanya seujung kuku, pasti melihat balasannya, begitu juga dengan orang yang melakukan kejahatan walau seujung kuku pun akan mendapatkan balasannya. Anakku Allah Maha Adil, Dia tidak akan membiarkan orang yang berbuat keji di dunia ini begitu saja. Di akhirat kelak, Allah pasti memberikan balasan yang setimpal.” “Nasihatmu telah membuka mataku, Paman… awan kelabu yang semula menyelimuti mataku kini telah sirna. Awalnya aku tidak tahu tujuan dan makna kehidupan. Ayahku menggiringku untuk belajar seni sihir, tapi sekarang engkau telah membawaku pada dunia lain yang sangat berbeda dengan sihir. Tuan.. aku segera mohon diri. Aku harus segera menemui penyihir agung sekarang juga.. semog kita bertemu lagi”
Dan `Abdullah meneruskan perjalanannya ke penyihir agung. Dalam tiap langkahnya ia terus merenungkan apa yang dikatakan oleh Faimayun di dalam gua itu. Perasaan saat bersama Faiamayun sangat berbeda dengan saat ia bersama penyihir agung. Di sana ia melihat beragam hewan diikat dan setumpuk buku sihir. Setelah belajar dasar-dasar sihir, `Abdullah kembali ke Najran dan mencermati keadaan penduduk yang hidup menderita dan merana. Ia bercita-cita untuk mengakhiri penderitaan itu secepatnya. Demikian lah, sejak bertemu dengan Faimayun untuk pertama-kalinya itu, `Abdullah sering menemui Faimayun dan belajar agama. Baginya Injil yang dibacakan Faimayun kepadanya dapat membuatnya tenang. Sebaliknya, sihir yang ia pelajari dari penyihir agung hanya membuatnya semakin hari semakin muak. Ketika tahu trik yang dimainkan penyihir, ia semakin benci dan merasa selama ini telah ditipu. Hingga pada suatu hari, ketika `Abdullah menyusuri jalan pulang yang berada di antara bukit ia melihat kerumunan orang tepat di depannya.
“Apa yang terjadi? Mengapa kalian berkerumun di sini?” Tanya `Abdullah pada salah seorang dari mereka. “Anak muda…, bukankah engkau adalah murid dari penyihir agung?” orang itu malah balik bertanya. “Benar sekali.., mengapa kalian berhenti di sini?”
“Di sana ada ular besar menghalangi jalan. Kami takut dan tidak bisa mengusirnya.” Selesai berkata demikian orang itu langsung berteriak “Saudara saudara sekalian mari beri jalan… murid penyhir agung ada di sini, ia akan menyingkirkan ular itu”. Sambil berbicara satu sama lain, orang itu memberikan jalan kepada`Abdullah. Dalam hati `Addullah membatin, “Hari ini akan jelas siapa yang benar, Faimayun atau guruku”. Sejurus kemudian ia mengacungkan tangan tinggi tinggi, “Ya Allah, jika perkara kakek tua yang rajin beribadah lebih Engkau cintai daripada perkara para penyihir, maka matikan ular besar ini agar orang-orang bisa lewat dengan selamat” gumam `Abdullah lirih. Selesai mengucapkan kata-kata itu, `Abdullah segera meraih batu kecil dan ia lemparkan ke arah ular itu. Sungguh ajaib, ular besar itu terkapar dengan lidah terjulur kaku. Semua yang melihat kejadian itu terpukau dan terpaku keheranan. Bagaimana cara anak muda ini mematikan ular raksasa itu?
“Apakah engkau membunuhnya dengan mantera sihir, anak muda?” “Tidak saudaraku…, Allah lah yang membunuhnya. Ular itu diciptakan Allah Swt. Matahari, langit dan bulan, manusia, kita semua dan para nenek moyang kita yang lama telah tiada diciptakan oleh Allah Swt. Dia mengutus para Nabi yang menyeru kita untuk menyembah-Nya dan tidak menyembah selain Dia. Jadi hanya kepada-Nyalah kita menyembah dan bersujud.” Terang `Abdullah panjang lebar. “Maksudmu kami tidak boleh menyembah Paduka Raja Dzu Nuwas?” “Tepat sekali, raja itu ialah manusia yang sama seperti kalian. Ia mengalami lapar haus dan juga sakit. Ia manusia lemah yang tidak patut disembah dan berlaku keji terhadap hambah Allah. Allah menciptakannya sebagaimana kalian diciptakan. Dia kuasa untuk mencabut nyawanya sekarang juga, kemudian dimintai tanggung jawab atas semua kezalimannya jika Allah berkehendak.”
Usai mengucapkan kata-kata tersebut `Abdullah meninggalkan orang-orang yang masih dalam keheranan. Celakanya, di antara kerumunan orang tadi ada mata-mata Dzu Nuwas. Ia pun segera menghadap Dzu Nuwas dan menceritakan apa yang baru saja terjadi. Dzu Nuwas pun marah besar setelah mendengar berita yang disampaikan mata-matanya itu. Dia langsung memanggil penyihir agung yang mengajarinya sihir. “Aku adalah Tuhan! Tidak ada Tuhan selain aku! Akulah yang mematikan dan menghidupkan dan memberi rezeki. Beraninya anak ingusan muridmu itu menyebut nama Allah di hadapanku! Orang orang sudah lupa karena agama asing dengan Tuhan yang bernama Allah itu. Saat ini bocah itu mencoba untuk mengingatkan orang-orang kembali. Bedebah! Apa yang kau ajarkan kepadanya?” hardik Dzu Nuwas kepada penyihir agung.
“Paduka, kirimlah prajurit untuk membawanya kemari. Tuan akan mendapatkan apa yang Tuan inginkan” pinta penyihir agung dengan wajah tertunduk. Prajurit Dzu Nuwas segera ke rumah Tsamir. “Mana anakmu? Paduka Raja Dzu Nuwas menginginkan anakmu menghadap segera juga” kata prajurit itu dengan garang. “Anakku..? ia sedang belajar sihir pada penyihir agung, apa yang telah ia berbuat hingga kalian bersikap kasar seperti ini?” “Goblok, dasar orang tua dungu! Anakmu itu telah menyeru orang-orang untuk menyembah Allah dan berpaling dari Raja Dzu Nuwas” “Apa…? Apa…? Kalian pasti salah. Tidak mungkin anakku melakukan hal yang kalian tuduhkan” Prajurit tidak menghiraukan apa yang Tsamir katakana ia terus mencari `Abdullah. Hingga akhirnya `Abdullah tertangkap dan menghadap Dzu Nuwas
“Hai Bocah! Mengapa kau menyeru penduduk untuk menyembah Allah dan berpaling padaku?” Tanya Dzu Nuwas saat `Abdullah berada di depannya. “Padaku Raja, engkau hanyalah satu di antara hamba Allah yang diberi kekuasaan. Maka dari itu, sembahlah Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan apa pun. Tinggalkan kekufuran dan kesesatan sekarang juga. Sudah cukup engkau merampas harta dan kekayaan alam negeri ini. Allah pasti memintamu bertanggung jawab atas semua perbuatanmu, lalu memberikan balasan yang setimpal atas perbuatanmu” jawab `Abdullah dengan penuh wibawa dan amat meyakinkan.
“Cukup! Hentikan omong kosongmu itu bocah! Dengarkan baik-baik. Jika engkau tidak mencabut kata-katamu dan bersujud padaku sekarang juga, serta memberi tahu penduduk bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali aku, maka aku akan membunuhmu dengan kejam!” “Sayang, aku tidak gentar dengan ancamanmu Raja,” jawab `Abdullah sambil tersenyum. “Pengawal…! Tangkap bocah sialan ini. Lemparkan dia dari atas gunung jika tidak mau mencabut kata-katanya!” Titah raja Dzu Nuwas itu pun segera dilaksanakan prajurit. `Abdullah dibawa ke atas gunung. Sebelum dilemparkan, seorang pria bertubuh besar menarik kerah bajunya dan menghardik, “Sadari ketololanmu anak muda! Kalau tidak, aku akan melemparkanmu ke bawah. Apa kau sudah bosan hidup?”
“Aku tidak bosan hidup, tapi aku ingin hidup mulia dan hanya sudi merendahkan diri di hadapan Allah. Engkau jangan bermimpi kalau aku sudi menukar hidup yang kekal abadi dengan kehidupan yang fana ini”. Usai menyatakan persaksian keteguhannya tersebut. `Abdullah menengadahkan wajahnya ke langit sambil berdoa, “Ya Allah, selamatkan aku dari mereka dengan cara yang Engkau kehendaki..” Allah Swt mengirimkan badai pada puncak gunung itu. Para prajurit yang hendak mengeksekusi `Abdullah gugur berjatuhan. Lengkingan teriakan mereka bagai ornament yang terserak dalam gemuruh angin. `Abdullah selamat dan tidak cedera sedikit pun. Ia pun segera kembali menemui Dzu Nuwas.
“Engkau belum mati, Bedebah! Engkau pasti telah membunuh prajuritku dengan sihirmu” kata Dzu Nuwas tak dapat menyembunyikan ketakutannya. “Kau salah besar Tuan. Allah lah yang telah menyelamatkanku dengan kekuasaan dan kekuatan-Nya” jawab Abdullah dengan tegas. “Pengawal cepat singkirikan bocah ini! Bawa bocah ini ke tengah laut, ikat tubuhnya dengan batu besar, lalu tenggelamkan” perintahnya pada pengawalnya. “Raja, engkau tidak akan dapat membunuhku kecuali dengan izin Allah” kata Abdullah.
Prajurit kemudian membawa `Abdullah ke tengah laut. `Abdullah berkata kepada mereka “Prajurit, ikutilah seruanku dan berimanlah kepada Tuhan, agar Dia tidak menuntut balas atas kalian” “Diam kau, cecurut! Sebentar lagi kau akan mati, dan Tuhanmu itu sama sekali tidak bisa membantu”. Mendapati seruannya tidak digubris, `Abdullah berdoa, “Ya Allah, selamatkanlah aku dari mereka dengan cara yang Engkau kehendaki”. Belum selesai `Abdullah berdoa, seketika langit diselimuti awan hitam, ombak laut bergejolak membalikkan perahu yang ditumpanginya. Semua prajurit mati sedangkan `Abdullah terapung hingga ke pantai. Penduduk yang melihat kejadian itu hanya bisa bertakbir lirih. Seakan tidak pernah jera, `Abdullah kembali lagi ke istana. Dzu Nuwas hampir gila melihat pemuda saleh itu masih hidup.
“Kau bukanlah seorang penyihir…, kau adalah jin ifrit…! Mana tentaraku” ujar raja Dzu Nuwas. “Allah telah menyelamatkanku dari mereka. Dzu Nuwas bertaubatlah kepada Allah, pasrahkan dirimu pada-Nya, dan tinggalkan kesesatanmu” “Diam kau bocah! Aku pasti akan membunuhmu sekarang!” “Jika kau hendak membunuhku, kumpulkan seluruh penduduk di alun alun dan ikat aku pada kayu salib, lalu panah aku sambil membaca, ‘Atas nama Allah, Tuhan pemuda ini”. Hanya ini cara untuk membunuhku. Aku adalah hamba Allah dan nasibku berada di tangannya. Dzu Nuwas pun mengikuti saran dari `Abdullah. Ia segera mengumpulkan penduduk di alun-alun dan mengikat `Abdullah pada kayu salib. Ia segera mengambil busur panah milik `Abdullah sendiri “Bismillahi rabbil ghulam” gumamnya lirih. Ia lepaskan anak panah itu dan tepat mengenai pelipis `Abdullah. Pemuda saleh ini pun mati dengan senyum tersungging.
Peristiwa ini membuat orang-orang yang berkumpul di alun-alun memberontak. Keyakinan mereka terhadap Allah semakin mantap. Buktinya `Abdullah bisa mati dengan mengucapkan nama Allah sebelumnya. Pemberontakan besar terjadi. Mereka seketika berubah menjadi orang-orang yang tidak takut mati. Namun, pasukan Dzu Nuwas berhasil mengendalikan keadaan. Dzu Nuwas yang telah naik pitam kemudian memerintahkan prajuritnya untuk menggali parit mengelilingi alun-alun dan membuat kobaran api pada parit tersebut. Dalam targedi ini 20.000 penduduk Najran meninggal dalam keadaan Syahid dalam kobaran api di parit yang dibangun Raja Dzu Nuwas tersebut.
Di salah satu sudut kota tersebut tinggal seorang pembatik yang bernama Tsamir. Ia selalu membuat dan mengukir batik untuk Dzu Nuwas. Dengan keahliannya ini, Dzu Nuwas senang dan memerintahkan prajuritnya untuk tidak mengganggu. Tsamir memiliki seorang putra yang bernama `Abdullah, meski ia bekerja sebagai pembatik, namun ia bercita cita agar anaknya menjadi seorang penyihir nomor satu. Cita citanya ini cukup beralasan, karena pada saat itu orang yang menjadi orang kepercayaan Dzu Nuwas adalah seorang penyihir. Di suuatu hari, penyihir kerajaan mengadakan lomba menyihir. Hal ini ia lakukan untuk mencari bibit penyihir baru. Bagi pemenangnya nanti akan diajarkan teknik menyihir dari penyihir Dzu Nuwas. Impian Tsamir terwujud, anaknya `Abdullah berhasil memenangkan perlombaan tersebut.
Abdullah adalah anak yang mengalami hidup semasa kecil cukup menyenangkan dan jauh dari gangguan prajurit Dzu Nuwas yang selalu meminta pajak. Mendapat kesempatan ini ia dengan sungguh-sungguh mengikuti ajaran yang diajarkan oleh penyihir Dzu Nuwas. Ketika itu pula ia bercita-cita untuk menjadi penyihir nomor satu. Hingga suuatu hari, dalam perjalanan ke istana, `Abdullah melihat gua dari balik pohon besar. Dengan rasa penasaran, ia kemudian memasuki gua tersebut. Beginilah cara Tuhan untuk mempertemukan `Abdullah dengan Faimayun, supaya ia belajar pengetahuan yang hakiki dan benar dari lelaki saleh tersebut.
Didorong rasa ingin tahu dan rasa penasarannya, `Abdullah terus masuk ke gua. Tiba-tiba ia melihat cahaya lentera dan mendengar suara laki-laki yang sedang membaca Injil dengan merdu dan syahdu. Merasa ada orang yang mendekat, sang laki-laki di dalam gua itu menoleh dan bertanya, “Siapa engkau, anak muda? Mengapa engkau bisa sampai di tempat yang tersembunyi ini?” “Aku adalah penyihir muda dari Najran. Aku sedang dalam perjalanan untuk belajar seni menyihir kepada penyihir nomor satu di negeri ini. Namaku `Abdullah bin Tsamir.” “Siapa yang memerintah kotamu sekarang? Apakah masih Raja Dzu Nuwas?” “Benar Paman…., tapi mengapa Paman tinggal di tempat yang seperti ini?” “Anakku…, aku adalah seorang pengelana yang berusaha menyeru manusia agar menyembah Allah, Tuhan yang Esa. Rajamu tahu bahwa aku mendakwakan agama Nabi Isa As, lalu dia mengirim prajurit untuk menangkapku. Untuk itu aku bersembunyi di sini. Setiap hari sahabat karibku membawakan makanan untukku, namun sudah beberapa bulan belakangan ini ia tidak muncul. Hanya ia yang tahu keberadaanku di sini..”
“Apakah sahabat yang Paman maksud adalah tukang besi yang bertubuh jangkung dan berambut lebat?” “Benar, anakku. Engkau mengenalnya?” “Dia sudah meninggal, paman.” “Innalillahi wa inna ilaihi raaji`uun..” segera butiran butiran air mata jatuh berguguran membasahi pipi Faimayun yang mulai keriput mendengar berita tersebut. “Jangan sedih, Paman. Kita semua akan mati dan kembali ke tanah.” “Anakku…, dia adalah saudaraku yang seiman. Persaudaraan karena iman lebih mulia di sisi Allah daripada persaudaraan karena nasab” “Apa yang paman maksud dengan kata Allah yang Paman ulang-ulang sejak tadi?”
“Anakku.., Allah adalah Tuhan yang kusembah siang dan malam. Dia-lah yang menciptakan semesta dan seluruh isinya. Lihatlah ke langit dengan matahari dan bulannya. Lihatlah siang dan malam yang silih berganti tanpa pernah berhenti. Lihatlah dirimu anakku. Lihatlah jasadmu. Akalmu yang kau gunakan untuk berpikir. Semua yang ada di tubuhmu dan sekelilingmu. Semuanya bersaksi akan keberadaan Tuhan yang Maha Esa yang telah menciptakan dan mengaturnya. Allah telah menciptakanmu dari ketiadaan, dan memberimu kehidupan. Membuatmu mati dan menghidupkanmu kembali untuk dihisab dan diberi balasan. Jika mengerjakan kebajikan, balasannya pasti baik, dan jika mengerjakan kejahatan, balasannya pasti buruk”
“Apakah aku juga akan hidup setelah mati nanti, Paman?” “Benar anakku. Saat itulah semua orang akan mendapatkan balasan akan perbuatannya. Orang yang mengerjakan kebaikan kendati hanya seujung kuku, pasti melihat balasannya, begitu juga dengan orang yang melakukan kejahatan walau seujung kuku pun akan mendapatkan balasannya. Anakku Allah Maha Adil, Dia tidak akan membiarkan orang yang berbuat keji di dunia ini begitu saja. Di akhirat kelak, Allah pasti memberikan balasan yang setimpal.” “Nasihatmu telah membuka mataku, Paman… awan kelabu yang semula menyelimuti mataku kini telah sirna. Awalnya aku tidak tahu tujuan dan makna kehidupan. Ayahku menggiringku untuk belajar seni sihir, tapi sekarang engkau telah membawaku pada dunia lain yang sangat berbeda dengan sihir. Tuan.. aku segera mohon diri. Aku harus segera menemui penyihir agung sekarang juga.. semog kita bertemu lagi”
Dan `Abdullah meneruskan perjalanannya ke penyihir agung. Dalam tiap langkahnya ia terus merenungkan apa yang dikatakan oleh Faimayun di dalam gua itu. Perasaan saat bersama Faiamayun sangat berbeda dengan saat ia bersama penyihir agung. Di sana ia melihat beragam hewan diikat dan setumpuk buku sihir. Setelah belajar dasar-dasar sihir, `Abdullah kembali ke Najran dan mencermati keadaan penduduk yang hidup menderita dan merana. Ia bercita-cita untuk mengakhiri penderitaan itu secepatnya. Demikian lah, sejak bertemu dengan Faimayun untuk pertama-kalinya itu, `Abdullah sering menemui Faimayun dan belajar agama. Baginya Injil yang dibacakan Faimayun kepadanya dapat membuatnya tenang. Sebaliknya, sihir yang ia pelajari dari penyihir agung hanya membuatnya semakin hari semakin muak. Ketika tahu trik yang dimainkan penyihir, ia semakin benci dan merasa selama ini telah ditipu. Hingga pada suatu hari, ketika `Abdullah menyusuri jalan pulang yang berada di antara bukit ia melihat kerumunan orang tepat di depannya.
“Apa yang terjadi? Mengapa kalian berkerumun di sini?” Tanya `Abdullah pada salah seorang dari mereka. “Anak muda…, bukankah engkau adalah murid dari penyihir agung?” orang itu malah balik bertanya. “Benar sekali.., mengapa kalian berhenti di sini?”
“Di sana ada ular besar menghalangi jalan. Kami takut dan tidak bisa mengusirnya.” Selesai berkata demikian orang itu langsung berteriak “Saudara saudara sekalian mari beri jalan… murid penyhir agung ada di sini, ia akan menyingkirkan ular itu”. Sambil berbicara satu sama lain, orang itu memberikan jalan kepada`Abdullah. Dalam hati `Addullah membatin, “Hari ini akan jelas siapa yang benar, Faimayun atau guruku”. Sejurus kemudian ia mengacungkan tangan tinggi tinggi, “Ya Allah, jika perkara kakek tua yang rajin beribadah lebih Engkau cintai daripada perkara para penyihir, maka matikan ular besar ini agar orang-orang bisa lewat dengan selamat” gumam `Abdullah lirih. Selesai mengucapkan kata-kata itu, `Abdullah segera meraih batu kecil dan ia lemparkan ke arah ular itu. Sungguh ajaib, ular besar itu terkapar dengan lidah terjulur kaku. Semua yang melihat kejadian itu terpukau dan terpaku keheranan. Bagaimana cara anak muda ini mematikan ular raksasa itu?
“Apakah engkau membunuhnya dengan mantera sihir, anak muda?” “Tidak saudaraku…, Allah lah yang membunuhnya. Ular itu diciptakan Allah Swt. Matahari, langit dan bulan, manusia, kita semua dan para nenek moyang kita yang lama telah tiada diciptakan oleh Allah Swt. Dia mengutus para Nabi yang menyeru kita untuk menyembah-Nya dan tidak menyembah selain Dia. Jadi hanya kepada-Nyalah kita menyembah dan bersujud.” Terang `Abdullah panjang lebar. “Maksudmu kami tidak boleh menyembah Paduka Raja Dzu Nuwas?” “Tepat sekali, raja itu ialah manusia yang sama seperti kalian. Ia mengalami lapar haus dan juga sakit. Ia manusia lemah yang tidak patut disembah dan berlaku keji terhadap hambah Allah. Allah menciptakannya sebagaimana kalian diciptakan. Dia kuasa untuk mencabut nyawanya sekarang juga, kemudian dimintai tanggung jawab atas semua kezalimannya jika Allah berkehendak.”
Usai mengucapkan kata-kata tersebut `Abdullah meninggalkan orang-orang yang masih dalam keheranan. Celakanya, di antara kerumunan orang tadi ada mata-mata Dzu Nuwas. Ia pun segera menghadap Dzu Nuwas dan menceritakan apa yang baru saja terjadi. Dzu Nuwas pun marah besar setelah mendengar berita yang disampaikan mata-matanya itu. Dia langsung memanggil penyihir agung yang mengajarinya sihir. “Aku adalah Tuhan! Tidak ada Tuhan selain aku! Akulah yang mematikan dan menghidupkan dan memberi rezeki. Beraninya anak ingusan muridmu itu menyebut nama Allah di hadapanku! Orang orang sudah lupa karena agama asing dengan Tuhan yang bernama Allah itu. Saat ini bocah itu mencoba untuk mengingatkan orang-orang kembali. Bedebah! Apa yang kau ajarkan kepadanya?” hardik Dzu Nuwas kepada penyihir agung.
“Paduka, kirimlah prajurit untuk membawanya kemari. Tuan akan mendapatkan apa yang Tuan inginkan” pinta penyihir agung dengan wajah tertunduk. Prajurit Dzu Nuwas segera ke rumah Tsamir. “Mana anakmu? Paduka Raja Dzu Nuwas menginginkan anakmu menghadap segera juga” kata prajurit itu dengan garang. “Anakku..? ia sedang belajar sihir pada penyihir agung, apa yang telah ia berbuat hingga kalian bersikap kasar seperti ini?” “Goblok, dasar orang tua dungu! Anakmu itu telah menyeru orang-orang untuk menyembah Allah dan berpaling dari Raja Dzu Nuwas” “Apa…? Apa…? Kalian pasti salah. Tidak mungkin anakku melakukan hal yang kalian tuduhkan” Prajurit tidak menghiraukan apa yang Tsamir katakana ia terus mencari `Abdullah. Hingga akhirnya `Abdullah tertangkap dan menghadap Dzu Nuwas
“Hai Bocah! Mengapa kau menyeru penduduk untuk menyembah Allah dan berpaling padaku?” Tanya Dzu Nuwas saat `Abdullah berada di depannya. “Padaku Raja, engkau hanyalah satu di antara hamba Allah yang diberi kekuasaan. Maka dari itu, sembahlah Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan apa pun. Tinggalkan kekufuran dan kesesatan sekarang juga. Sudah cukup engkau merampas harta dan kekayaan alam negeri ini. Allah pasti memintamu bertanggung jawab atas semua perbuatanmu, lalu memberikan balasan yang setimpal atas perbuatanmu” jawab `Abdullah dengan penuh wibawa dan amat meyakinkan.
“Cukup! Hentikan omong kosongmu itu bocah! Dengarkan baik-baik. Jika engkau tidak mencabut kata-katamu dan bersujud padaku sekarang juga, serta memberi tahu penduduk bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali aku, maka aku akan membunuhmu dengan kejam!” “Sayang, aku tidak gentar dengan ancamanmu Raja,” jawab `Abdullah sambil tersenyum. “Pengawal…! Tangkap bocah sialan ini. Lemparkan dia dari atas gunung jika tidak mau mencabut kata-katanya!” Titah raja Dzu Nuwas itu pun segera dilaksanakan prajurit. `Abdullah dibawa ke atas gunung. Sebelum dilemparkan, seorang pria bertubuh besar menarik kerah bajunya dan menghardik, “Sadari ketololanmu anak muda! Kalau tidak, aku akan melemparkanmu ke bawah. Apa kau sudah bosan hidup?”
“Aku tidak bosan hidup, tapi aku ingin hidup mulia dan hanya sudi merendahkan diri di hadapan Allah. Engkau jangan bermimpi kalau aku sudi menukar hidup yang kekal abadi dengan kehidupan yang fana ini”. Usai menyatakan persaksian keteguhannya tersebut. `Abdullah menengadahkan wajahnya ke langit sambil berdoa, “Ya Allah, selamatkan aku dari mereka dengan cara yang Engkau kehendaki..” Allah Swt mengirimkan badai pada puncak gunung itu. Para prajurit yang hendak mengeksekusi `Abdullah gugur berjatuhan. Lengkingan teriakan mereka bagai ornament yang terserak dalam gemuruh angin. `Abdullah selamat dan tidak cedera sedikit pun. Ia pun segera kembali menemui Dzu Nuwas.
“Engkau belum mati, Bedebah! Engkau pasti telah membunuh prajuritku dengan sihirmu” kata Dzu Nuwas tak dapat menyembunyikan ketakutannya. “Kau salah besar Tuan. Allah lah yang telah menyelamatkanku dengan kekuasaan dan kekuatan-Nya” jawab Abdullah dengan tegas. “Pengawal cepat singkirikan bocah ini! Bawa bocah ini ke tengah laut, ikat tubuhnya dengan batu besar, lalu tenggelamkan” perintahnya pada pengawalnya. “Raja, engkau tidak akan dapat membunuhku kecuali dengan izin Allah” kata Abdullah.
Prajurit kemudian membawa `Abdullah ke tengah laut. `Abdullah berkata kepada mereka “Prajurit, ikutilah seruanku dan berimanlah kepada Tuhan, agar Dia tidak menuntut balas atas kalian” “Diam kau, cecurut! Sebentar lagi kau akan mati, dan Tuhanmu itu sama sekali tidak bisa membantu”. Mendapati seruannya tidak digubris, `Abdullah berdoa, “Ya Allah, selamatkanlah aku dari mereka dengan cara yang Engkau kehendaki”. Belum selesai `Abdullah berdoa, seketika langit diselimuti awan hitam, ombak laut bergejolak membalikkan perahu yang ditumpanginya. Semua prajurit mati sedangkan `Abdullah terapung hingga ke pantai. Penduduk yang melihat kejadian itu hanya bisa bertakbir lirih. Seakan tidak pernah jera, `Abdullah kembali lagi ke istana. Dzu Nuwas hampir gila melihat pemuda saleh itu masih hidup.
“Kau bukanlah seorang penyihir…, kau adalah jin ifrit…! Mana tentaraku” ujar raja Dzu Nuwas. “Allah telah menyelamatkanku dari mereka. Dzu Nuwas bertaubatlah kepada Allah, pasrahkan dirimu pada-Nya, dan tinggalkan kesesatanmu” “Diam kau bocah! Aku pasti akan membunuhmu sekarang!” “Jika kau hendak membunuhku, kumpulkan seluruh penduduk di alun alun dan ikat aku pada kayu salib, lalu panah aku sambil membaca, ‘Atas nama Allah, Tuhan pemuda ini”. Hanya ini cara untuk membunuhku. Aku adalah hamba Allah dan nasibku berada di tangannya. Dzu Nuwas pun mengikuti saran dari `Abdullah. Ia segera mengumpulkan penduduk di alun-alun dan mengikat `Abdullah pada kayu salib. Ia segera mengambil busur panah milik `Abdullah sendiri “Bismillahi rabbil ghulam” gumamnya lirih. Ia lepaskan anak panah itu dan tepat mengenai pelipis `Abdullah. Pemuda saleh ini pun mati dengan senyum tersungging.
Peristiwa ini membuat orang-orang yang berkumpul di alun-alun memberontak. Keyakinan mereka terhadap Allah semakin mantap. Buktinya `Abdullah bisa mati dengan mengucapkan nama Allah sebelumnya. Pemberontakan besar terjadi. Mereka seketika berubah menjadi orang-orang yang tidak takut mati. Namun, pasukan Dzu Nuwas berhasil mengendalikan keadaan. Dzu Nuwas yang telah naik pitam kemudian memerintahkan prajuritnya untuk menggali parit mengelilingi alun-alun dan membuat kobaran api pada parit tersebut. Dalam targedi ini 20.000 penduduk Najran meninggal dalam keadaan Syahid dalam kobaran api di parit yang dibangun Raja Dzu Nuwas tersebut.