“Bukan
dengan mengurung tetangganya maka orang akan menjadi yakin dengan kegilaannya
sendiri”
(Dostoievsky). Rupanya, kegilaan dan sains pernah saling mencederai, dan ada
sebuah jaman ketika tubuh yang tidak terkontrol dinamakan sebagai kegilaan. Nama
yang sama bagi kemelimpahan imajinasi. Kegilaan ini juga menghiasi filsafat dan
dunia kepenulisan.
Eksplorasi kegilaan bisa dikatakan sudah
sangat tua dalam dunia kepenulisan dan pemikiran. Penulis-penulis seperti
Erasmus, Shakespeare, Marquis de Sade, dan Cervantes adalah beberapa dari
sekian banyak penulis yang mengeskplorasi kegilaan dengan intens dan maksimal
yang dituangkan baik melalui traktat pemikiran maupun melalui karya-karya
kesusasteraan. Tema kegilaan ini pun menjadi proyek super serius filsafatnya
Michel Foucault. Menurutnya yang mendefinisikan kegilaan itu sendiri adalah
sebuah kegilaan dalam artiannya yang lain. Foucault menyitir kata-kata
Dostoievsky: “Bukan dengan mengurung tetangganya maka orang akan menjadi yakin
dengan kegilaannya sendiri”.
Sementara itu, kegilaan dalam Don
Quixote-nya Cervantes adalah kemelimpahan imajinasi. Dan Cervantes sendiri
meminjam kegilaan Don Quixote untuk mengolok-ngolok kegilaan lainnya, yang
dalam hal ini salah satu contohnya adalah heroisme. Turunan heroisme ini bisa
juga dilihat dalam pembunuhan sesama manusia yang dimotivasi panggilan agama.
Dapatlah dibandingkan, bila kegilaan
dalam karya-karya Shakespeare berujung pada kematian, kegilaan Don Quixote
dipicu dan dipacu oleh nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang dipercayainya yang
berawal dari buku-buku tebal yang dibacanya. Secara metaforis dan alegoris,
buku-buku bisa berarti doktrin tradisi atau pun nilai-nilai yang ditanamkan
masyarakat pada individu semisal doktrin kekafiran untuk menyebut para pemeluk
agama yang berbeda.
Di sisi lain, menurut Foucault, kegilaan
dalam Don Quixote-nya Cervantes adalah imajinasi-imajinasi yang dikontrol oleh
praduga-praduga dan kepuasan-kepuasan dengan diri sendiri dalam dunia khayalan.
Jika penelitian arkeologis dan genealogis Foucault benar, kegilaan dan
orang-orang gila pada awalnya tidak diklinikkan atau dipasung. Menurutnya
orang-orang di jaman renaissans lebih ramah memperlakukan orang-orang gila
dengan cara menaikkan mereka ke atas kapal dan menyerahkannya kepada para
pelaut. Itu dilakukan karena menurut orang-orang renaissans kebodohan dan laut
memiliki persamaan. Di jaman renaissans kegilaan begitu riang dan bahtera
kebodohan mengarungi lautan dan melintasi kanal-kanal Eropa.
Sementara itu dalam khasanah
eksistensialisme kegilaan adalah ketegangan individu dengan masyarakat dan
dunia objektifnya seperti terasa dalam pemikiran dan tulisan-tulisan
Kierkegaard, Camus, dan Sartre. Dan di tangan Freud ketegangan ini mendapatkan
pesona ilmiahnya. Kepatuhan individu pada tradisi dan etik-masyarakat (super
ego) meniscayakan konsekuensi untuk menekan (menyensor) hasrat-hasrat
bawah-sadar (id)-nya yang mengakibatkan neurosis alias “gangguan mental dan
kejiwaan” pada tingkatan psikis.
Lebih lanjut menurut Freud, apa yang
kita sebut rasionalitas dan peradaban itu sendiri adalah kumpulan
sublimasi-sublimasi yang isinya adalah orang-orang hipokrit yang menderita.
Penderitaan mereka yang paling dalam adalah apa yang disembunyikan dan tak dikatakan
mereka. Dan kesepiannya yang paling menyakitkan adalah keinginan-keinginan
mereka yang disumbat (disensor).
Sumbangan ilmiah Freud itu sendiri tidak
bisa dilepaskan dari jasa Nietzsche sebagai penemu pertama psikologi alam bawah
sadar dan lorong-lorong gelap manusia yang selama ini mengenakan topeng
rasionalitas. Dan pada Max Weber sumbangan Nietzsche tersebut menjadi teori
tindakan: tidak semua pilihan dan tindakan didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan rasional, material, dan instrumental. Seringkali
sebuah tindakan dan pilihan dilakukan karena dorongan emosi dan kebodohan yang
spontan.
Dan bila kita kembali kepada cara
pandang nietzschean, rasionalitas seringkali lebih merupakan kedok atau bentuk
superfisial dari kehendak untuk berkuasa (Will to Power). Lihat saja ulah
George Walker Bush yang serampangan mengumandangkan perang terhadap setiap
pemimpin negara lain yang tak disukainya. Di sini kita semua tahu kekuasaan
memiliki kegilaannya sendiri seperti telah dibuktikan oleh sejarah dalam wujud
diktatorisme dan totalitarianisme dalam sejarah kelam abad modern. Dan
rasionalitas itu sendiri bila kita setuju dengan Hannah Arendt seringkali
merupakan mesin pembunuh yang paling efektif dan sistematis sebagaimana telah
terjadi di jaman modern dalam wujud genocide alias pembunuhan massal yang
dimungkinkan oleh kepatuhan birokratis Eichmann si perancang gas demi melayani
keinginan tiranis-nya Hitler.
Dalam Don Quixote-nya Cervantes,
kegilaan adalah ketakterwadahan kemelimpahan subjektivitas individu dalam ruang
sosial yang penuh larangan dan patokan, pembatasan dan moralitas. Sementara di
sisi lain secara ironis ada banyak kegilaan yang menggunakan agama dan
topeng-topeng kebajikan seperti disatirkan dan disiratkan dengan baik oleh The
Name of the Rose-nya Umberto Eco. Dan rasionalitas-nya adalah kata lain
“pelupaan”.
Akhirnya dari segi pemikiran seperti
yang dipaparkan Milan Kundera dalam The Art of Novel, Miguel de Cervantes
adalah penemu dunia modern yang dilupakan oleh para pemikir sekaliber Husserl dan
Heidegger dalam telisik mereka tentang dunia modern.
Bila Descartes melulu berbicara tentang
keniscayaan rasionalitas, Cervantes menemukan ambiguitas dan tawa-nya.
Cervantes pula yang telah menyadari “pelupaan atas mengada” manusia, bukan
hanya Heidegger. Manusia yang dalam pandangan Descartes merupakan “tuan dan
pemilik alam”, kini tak lebih alat kekuasaan belaka. Dan rasionalitas yang
digaungkan Descartes ternyata telah menjelma “the iron cage” bagi manusia itu
sendiri, demikian tulis Kundera. Cervantes telah menemukan kebodohan dan
kegilaan manusia di tengah klaim-klaim rasionalitas-nya. Dan hal tersebut
sama-sama tak terhindarkan dan sama-sama nyatanya dalam kehidupan dan
keseharian. Meski seringkali dilupakan (Sulaiman Djaya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar