Saya mulai
tulisan ini dengan ilustrasi yang tak jauh dari lingkungan saya sendiri. Ketika
dua cerobong asap raksasa sebuah pabrik kertas (yang kebetulan tak jauh dari
rumah saya) hadir dan berdiri dengan begitu “angkuhnya” sembari mengeluarkan
asapnya sejak tahun 90-an, bersamaan itu pula saya merasa ada yang “keliru”,
meksi saat itu saya belum mengenal isu-isu ekologi. Saya memandang asap yang
keluar dari dua cerobong asap pabrik kertas tersebut sebagai “kotoran” yang
mencemari kemurnian udara, udara yang dengannya kita bernafas setiap hari, yang
dengan demikian, udara adalah bagian dari kita sendiri yang paling akrab, yang
dengannya dan bersamanya kita hidup.
Ketika udara itu tercemari dan terkotori, maka tercemari dan terkotori pula diri
kita, sebab kehidupan kita sendiri tak terpisahkan dari dan dengan alam dan
lingkungan. Kita adalah bagian dari alam dan lingkungan. Singkatnya, kita hidup
dengan dan bersama alam, dan ketika kita bertindak dan berperilaku zhalim
terhadap alam dan lingkungan, maka pada saat itu pula kita telah bertindak zhalim
terhadap diri kita sendiri. Itu karena kita adalah bagian dan mata-rantai
ekosistem, alam, dan lingkungan (yang adalah juga kita bagian dari jagat-raya),
dan karena itu prilaku dan tindakan kita di mana kita hidup dengan dan bersama
alam dan lingkungan, akan sangat berpengaruh kepada alam dan lingkungan di mana
kita hidup dengan dan bersama mereka setiap hari.
Kita pun
sadar, dalam konteks saat ini, lahirnya industrialisasi yang disusul
kemudian dengan merebaknya budaya konsumsi dalam masyarakat mutakhir kita di
era saat ini, telah menghadirkan disharmoni dan ancaman bagi kesehatan alam dan
lingkungan, akibat residu (sampah dan limbah) yang besar-besaran misalnya, dan
juga emisi serta polusi di udara kita, yang pada akhirnya akan berdampak pada
kesehatan dan kualitas hidup kita sendiri. Itulah kenapa kesadaran ekologis pada segala
tingkatan, baik lokal maupun global, adalah mendesak.
Dalam skala
global, contohnya, Konferensi Perubahan Iklim ke-20 diselenggarakan
pada 1-12 Desember 2014 lalu di Lima, Peru, yang merupakan kelanjutan Protokol
Kyoto ke-10. Konferensi tersebut membahas komitmen negara-negara yang tergabung
dalam Protokol Kyoto dalam kaitannya terhadap penurunan emisi gas rumah kaca
yang sehubungan dengan proses adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Jauh
sebelumnya, jargon “Think Globally, Act Locally”, yang menjadi tema KTT Bumi di
Rio de Janeiro pada bulan Juni 1992 silam, segera menjadi jargon populer untuk
mengekspresikan kehendak berlaku ramah terhadap lingkungan. Topik yang diangkat
dalam konferensi ini adalah permasalahan polusi, perubahan iklim, penipisan
ozon, penggunaan dan pengelolaan sumber daya laut dan air, meluasnya
penggundulan hutan, penggurunan dan degradasi tanah, limbah-limbah berbahaya
serta penipisan keanekaragaman hayati.
Kita tahu
bersama, isu lingkungan hidup semakin hari semakin menjadi isu yang sangat
penting untuk ditangani bersama, baik oleh Negara-negara maju maupun
Negara-negara berkembang atau Negara-negara Dunia Ketiga. Singkatnya merupakan
keniscayaan bagi Utara dan Selatan. Kita tahu juga, persoalan lingkungan, meski
telah ditempuh beragam upaya perawatan dan pencegahan dari kerusakan dan
pencemaran, tidak semakin membaik. Penanganan dan perbaikan pun belum sebanding
dengan peningkatan persoalan lingkungan itu sendiri. Kondisi lingkungan dan
bumi, sebagaimana sama-sama kita tahu dan kita rasakan, diperparah dengan
terjadinya fenomena perubahan iklim (climate
change).
Kondisi
persoalan lingkungan yang tidak semakin membaik itulah, sebagai contohnya, yang
juga mendasari diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi tentang Pembangunan
Berkelanjutan, yang telah berlangsung pada tanggal 13-22 Juni 2012 di Rio de
Janeiro, Brasil yang lebih dikenal dengan KTT Rio+20. Bagi Indonesia,
menyepakati dokumen The Future We Want, sebagaimana tercermin dalam KTT Bumi
tersebut, misalnya, menjadi arahan bagi pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan di tingkat global, regional, dan nasional. Dokumen itu memuat
kesepahaman pandangan terhadap masa depan yang diharapkan oleh dunia.
Isi Dokumen
yang disepakati itu mengenalkan konsep Sustainable Development Goals atau
tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan yang harus dipenuhi, baik oleh negara
maju maupun negara berkembang, untuk tetap menjaga prinsip-prinsip perlindungan
lingkungan saat meraih kesejahteraan ekonomi atau ‘ekonomi hijau’ (green
economy). KTT Bumi ini, yang juga disebut Rio+20, tersebut menjadi kelanjutan
dari KTT Bumi yang dilakukan di Rio de Janeiro pada 1992 silam. Pada saat itu,
negara-negara yang hadir juga mengeluarkan komitmen perlindungan lingkungan.
Namun, yang disayangkan dari Rio+20 adalah tidak adanya mekanisme evaluasi akan
apa saja hal-hal yang sudah dicapai negara maju dalam pemenuhan janji-janji
tersebut dari 1992 sampai sekarang.
Konservasi Tradisional dan Kearifan Lokal
Menurut
beberapa ahli yang mengamati hubungan antara masyarakat lokal dengan sumber
daya alam –khususnya hutan di sekitarnya, bahwa “kearifan lokal” identik dengan
pengetahuan tradisional. Kearifan tradisional merupakan pengetahuan kebudayaan
yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup pengetahuan yang
berkenaan dengan model-model pengelolaan sumber daya alam secara lestari.
Pengetahuan yang dimaksud itu merupakan citra lingkungan tradisional yang
didasarkan pada sistem religi (kepercayaan dan keagamaan) dan memandang manusia
adalah bagian dari alam lingkungan itu sendiri (kosmik kepercayaan, nilai, dan
sistem pengetahuan masyarakat bersangkutan), dimana, sebagai contohnya,
terdapat roh-roh yang bertugas menjaga keseimbangannya. Oleh karenanya, untuk
menghindari bencana atau malapetaka yang bisa mengancam kehidupannya, manusia
(dalam kepercayaan atau kearifan lokal-tradisional) itu, wajib menjaga hubungan
dengan alam semesta, termasuk dalam pemanfaatannya yang harus bijaksana dan
bertanggung jawab.
Praktek konservasi
tradisional tentu saja tidak dapat dilepaskan dari sistem pengetahuan
masyarakat lokal, sebagaimana telah disebutkan, karena berdasarkan pengetahuan
itulah masyarakat mempraktekkan aspek-aspek konservasi yang khas di daerahnya.
Dengan demikian, konservasi tradisional meliputi semua upaya pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat tradisional, baik secara langsung
maupun tidak langsung –dalam mempraktekkan kaidah-kaidah konservasi berkaitan
dengan pengelolaan sumber daya alam guna kelestarian pemanfaatannya.
Praktek-praktek tersebut umumnya merupakan warisan dari nenek moyang (karuhun
atau leluhur) mereka, dan bersumber dari pengalaman hidup yang selaras dengan
alam, semisal dalam masyarakat Kanekes (Baduy, Banten), di mana praktek-praktek
pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat tradisional tersebut memperhatikan
prinsip-prinsip kelestarian, yang kemudian oleh kita dikenal dan dinamakan sebagai
kearifan tradisional.
Beberapa contoh
dari bentuk-bentuk kearifan lokal yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya
hutan secara lestari antara lain: [1] Kepercayaan dan/atau pantangan, misalnya
(a) manusia berkaitan erat dengan unsur (tumbuhan, binatang dan faktor
non-hayati lainnya) dalam proses alam, sehingga harus memelihara keseimbangan lingkungan,
(b) pantangan untuk menebang pohon buah atau pohon penghasil madu yang masih
produktif, binatang yang sedang bunting (hamil atau mengandung), atau memotong
rotan terlalu rendah. [2] Etika dan aturan, yang contohnya (a) menebang pohon
hanya sesuai dengan kebutuhan dan wajib melakukan penanaman kembali, (b) tidak
boleh menangkap ikan dengan meracuni (tuba) dan/atau menggunakan bom, (c)
mengutamakan berburu binatang-binatang yang menjadi hama ladang.
Selanjutnya,
teknik dan teknologi, yang contohnya (a) membuat sekat bakar dan memperhatikan
arah angin pada saat berladang agar api tidak menjalar dan/atau menghanguskan
kebun atau tanaman pertanian lainnya, (b) menentukan kesuburan tanah dengan
menancapkan bambu atau parang (untuk melihat kekeringan tanah), warna tanah,
diameter pohon dan warna tumbuhannya. (c) membuat berbagai perlengkapan/alat
rumah tangga, pertanian, berburu binatang dari bagian-bagian
kayu/bambu/rotan/getah/zat warna, dan lain-lain. Praktek dan tradisi
pengelolaan hutan atau lahan, yang contohnya (a) menetapkan sebagian areal
hutan sebagai hutan lindung untuk kepentingan bersama, (b) melakukan koleksi
berbagai jenis tanaman hutan berharga pada lahan-lahan perladangan dan
pemukiman, (c) mengembangkan dan/atau membudidayakan jenis tanaman atau hasil
hutan yang berharga.
Bagi kita saat
ini, mempelajari kearifan lokal, tentu saja, tidak berarti mengajak kita
kembali pada periode zaman batu. Akan tetapi hal itu justru penting tidak saja
dalam memahami bagaimana masyarakat lokal memperlakukan sumber daya alam di
sekitarnya juga memanfaatkan berbagai hal positif yang terkandung di dalamnya
bagi kepentingan generasi mendatang.
Konservasi
tradisional merupakan aturan-aturan yang berjalan dan berlaku di dalam
masyarakat pedesaan secara tradisional mengenai pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya alam dan lingkungannya untuk tetap menjaga keberlanjutan nilai
kualitas lingkungan dan sumber daya alam. Pada masyarakat tradisional (pedesaan
atau masyarakat adat) biasanya terdapat aturan-aturan tertentu yang dapat
mencegah dan melindungi penggunaan sumber daya alam yang tak beraturan, atau
melakukan eksploitasi yang mubazir dan membahayakan masa depan lingkungan
sekitar kita tempat kita hidup dan hidup anak cucu kita sendiri kelak.
Singkatnya, masyarakat
tradisional kita sendiri telah menyadari kebutuhan “mendesak” kesadaran
ekologis, dan merasa diri sebagai bagian dari semesta.
@ Sulaiman Djaya